Makanan bukan hanya soal resep masakan atau bagaimana mengolah bahan pangan menjadi hidangan siap saji. Ia juga memiliki kisah dan cerita bahkan filosofi dan sejarah di baliknya yang unik. Di dalamnya melekat identitas budaya bangsa. Karena itu, makanan juga menjadi bagian penting dari pergaulan internasional antar-bangsa dan antar-negara. Dalam beberapa tahun terakhir, gastro-diplomacy (diplomasi-gastro) atau culinary-diplomacy telah menjadi fokus perhatian. Secara umum, di beberapa negara termasuk Indonesia, ia juga dianggap sebagai bagian dari promosi wisata.
Dialog Prisma kali ini coba menggali lebih dalam diplomasi gastro, bagaimana sebuah negara memperkenalkan makanannya, dan bagaimana posisi diplomasi gastro Indonesia serta pengalaman beberapa duta besar Indonesia dalam upaya memperkenalkan Indonesia melalui makanan. Karena bahan pangan dan pengolahannya merupakan proses yang membutuhkan energi yang meninggalkan jejak karbon, maka pangan/makanan juga menjadi salah satu klaster dariupaya internasional untuk menanggapi perubahan iklim dan tujuan pembangunan berkelanjutan. Apa saja kekuatan dan kelemahan Indonesia dalam diplomasi gastro? Bagaimana peluang menjawab tantangan soal diplomasi gastro yang dihadapi kantor perwakilan dan para duta besarIndonesia di mancanegara?
Dipandu oleh Ismid Hadad (Pendiri dan Redaktur Senior Prisma) diskusi yang diselenggarakan awal September 2020 ini menghadirkan narasumber: Indrakarona Ketaren (Pendiri dan Ketua pertama IGA - Indonesian Gastronomy Association); Nur Hassan Wirajuda (Menteri Luar Negeri RI, 2001-2009 dan Ketua Yayasan Rempah Indonesia); Tantowi Yahya (Dubes RI untuk Selandia Baru dan Negara-negara Kepulauan di Pasifik); Agus Trihartono (Associate Professor di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Jember dan co-founder Pusat Studi Gastrodiplomasi [Centre for Gastrodiplomacy Studies, CGS] Universitas Jember); Dr Amanda Katili Niode (Pendiri Yayasan Nusa Gastronomi, Ambassador for Wallacea, World Food Travel Association, dan Manager The Climate Reality Project Indonesia); dan Diennaryati Tjokrosuprihatono (Dubes RI untuk Republik Ekuador, 2016-2020). Berikut petikan dialog tersebut.