Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Ilmu, Hermeneutika, dan Historiografi

Daniel Dhakidae

Hanya dengan memahami sejarah masa Jepang di Indonesia, dalam konteks imperialisme, dan perluasan ekonomi industrinya, romusha bisa dipahami. Dalam suasana itulah Soekarno dan Hatta me- mutuskan untuk bekerja sama dengan Jepang, yang membuatnya dikenal sebagai koperator.

Kerja sama itu dijalankan dan menemui puncak dilema moral dalam romusha. Ratusan ribu pekerja dikirim untuk membangun apa saja yang menjadi infrastruktur perang, seperti perkebunan dalam ne- geri atau rel kereta api di Burma (Myanmar se- karang). Bekerja berat dalam kekurangan makan tidak lain dari pembunuhan massal. Dengan begitu, hanya seperlima dari mereka yang akhirnya bisa bertahan hidup dan pulang dari Burma.

Hanya dengan latar belakang itu mars romusha bisa didengar dan karena jarak sudah terlampau jauh dan lama bisa dinikmati sebagai sesuatu yang indah. Namun, keindahan musikal tidak bisa menyembunyi- kan kenyataan bahwa itulah kerja paksa yang dipropa- ganda oleh kaum aktivis Indonesia untuk “mencuri” hati Jepang agar Indonesia bisa melepaskan diri dari penjajahan Belanda.
Dengan memahami latar belakang seperti itu, maka Mars Romusha tampil dalam suatu Gestalt, yaitu keseluruhan teater penjajahan Jepang. Kesungguhan para pemuda dan pemudi Indonesia yang melagukan mars itu dalam suatu aransemen musikal berkualitas tinggi bisa dinilai. Kemegahan iringan band trompet Angkatan Perang Jepang sungguh menggetarkan jiwa, dan dalam kegetaran menampilkan makna yang berbagai ragam.

Mars itu sendiri mengajak semua jenis pekerja, semua jenis lapangan kerja utamanya pabrik agar “mesin pabrik berpoetar teroes”; nelayan, “tiada satoe doedoek termenoeng”; kaum tani “tiada satoe berto- pang dagoe”, dan semua “pekerdja tegoeh bersatoe” dengan tujuan utama tidak lain dari “goegoer hantjoer kaoem sekoetoe” demi kesatuan Asia Timur Raya di bawah kepemimpinan Saoedara Toea.

Bekerdja…bekerdja…bekerdja Tenaga semoea soedah bersatoe Mesin pabrik berpoetar teroes Paloe godam soeara gemoeroeh Tenaga pekerdja tegoeh bersatoe Goegoer hantjoer kaoem sekoetoe

“Mars Romusha” bukan sejarah, akan tetapi suatu versi artistik kekuasaan yang tanpa itu kita, yang tidak mengalami masa pendudukan Jepang, kehi- langan alat untuk memahami suasana dan terutama paradoks yang tersembunyi di sana. Paradoks dari semua buruh, petani, dan nelayan yang “riang gembira” dalam bayang-bayang kematian ratusan ribu orang. Paradoks “goegoer hantjoer kaoem sekoetoe” dalam bayang-bayang kehancuran Jepang itu sendiri karena bom atom. Paradoks suatu sistem sosial yang tidak mengenal “kelas”, tetapi buruh, tani, nelayan sungguh-sungguh kelas bawah yang diperas untuk kepentingan borjuis dalam perang.

Lagu mars tersebut menjadi artefak untuk melacak jejak imperialisme Jepang di Asia dan Indonesia khususnya. Kekejaman dalam kehalusan artistik menggumpal dengan indah dalam mars itu, suatu erotisme kekerasan, violence, tiada tara. Namun, semua yang dikatakan di atas bukan suatu scientific statement, karena lebih utama di sana diberikan suatu insight, menuju interpretasi.
Di sana muncul soal apakah historiografi suatu ilmu atau bukan. Ilmu-ilmu sosial keras menolak historiografi sebagai suatu ilmu, karena masalah tafsir menjadi lebih mengemuka di sana daripada scientific statement. Namun, kalau sekiranya rumusan ilmu yang tidak lain dari “any organized body of knowledge”, seperti dikatakan sejarawan dan filsuf Inggris Robert George Collingwood (1889-1943), maka historiografi tidak lain dari suatu jenis ilmu yang harus diterima secara sah.

Soal itu selalu menjadi latar dari berbagai konflik berlandaskan sejarah. Berapa korban jatuh karena mencari hari lahir Pancasila, scientific search. Berapa korban jatuh karena mengingkari satu Oktober ada- lah hari kesaktian Pancasila, suatu pandangan, insight, tentang mengalami kebenaran.

Semuanya ini berurusan dengan chronos, waktu, dan karena itu ada kronologi urutan waktu suatu peristiwa. Penyusunan kronologi adalah pekerjaan ilmiah, namun, dari sisi lain, juga tafsiran karena ada yang dimasukkan dan ada yang dikeluarkan—bah- wa gerakan Gestapu 1965 meletus pada 30 Septem- ber, bukan satu Oktober dini hari. Dengan demikian, satu Oktober menjadi hari nan sakti. Mengeluarkan dan memasukkan hanya mengatakan bahwa tafsiran tentang apa yang penting dan tidak penting hidup di sana.

Dengan begitu ilmu, tafsiran, tidak mungkin terlepas dari historiografi dan sejarah itu sendiri. Hanya keseimbangan antara ketiganya bisa menjadi dasar membangun suatu masyarakat sehat•