Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Dua Puluh Lima Tahun Reformasi: Dari Reformasi Politik ke Reformasi Sosial?

Rustam Ibrahim

Adalah Eduard Bernstein (1852- 1930), ideolog dan politikus sosial-demokrasi Jerman, orang pertama yang secara terbuka dan menyeluruh melakukan revisi terhadap teori Marxis di pengujung abad ke-19. Menurut Bernstein, kemerosotan kapitalisme tampaknya semakin mustahil karena, di satu sisi, kapitalisme menunjukkan kemampuan adaptasi yang lebih besar dan, di sisi lain, produksi kapitalis menjadi semakin bervariasi (lihat, Rosa Luxemburg, Reform or Revolution, hal. 5). Berkembangnya cabang-cabang produksi telah meningkatkan kesejahteraan kaum buruh dan mengubah lapisan besar kaum proletar menjadi kelas menengah. Polarisasi di antara kelas buruh dan kelas kapitalis pun makin menyempit dan pembagian kelas kian kabur. Situasi sosial-politik kaum proletar juga berubah berkat perjuangan kelas buruh melalui cara-cara demokrasi parlementer.

Tesis Bernstein itu sangat bertolak belakang dengan ajaran Marx, bahwa runtuhnya kapitalisme merupakan keniscayaan karena kontradiksi yang terkandung di dalamnya. Sosialisasi proses produksi akan meningkatkan aktivitas organisasi dan kesadaran kelas proletar, yang menjadi faktor aktif perjuangan kelas melawan kaum kapitalis dan menciptakan revolusi. Perubahan revolusioner itu akan menghasilkan suatu kediktatoran proletariat sebagai bentuk peralihan, yang tugas utamanya menindas kaum kapitalis, sampai tercipta suatu masyarakat tanpa kelas. Ketika itu tercapai, terciptalah kebebasan manusia dan negara secara perlahan akan lenyap.

Eduard Bernstein adalah “bapak” revisionis dan reformis yang bertolak dari Marxisme, namun pisau analisis dan metode mencapai tujuannya berbeda. Bernstein memilih jalan demokrasi dan konstitusional. Melalui perjuangan parlementer, dia berusaha mengoreksi keserakahan kapitalisme demi peningkatan kesejahteraan kaum buruh. Dengan demikian, akan tumbuh kelas menengah yang semakin luas dan sadar akan kewajiban sosialnya. Bagi Bernstein, negara tidak harus menghilang, tetapi perannya perlu diperluas untuk mengoreksi keburukan kapitalisme melalui proses legislasi yang dilakukan secara bertahap. Paham demokrasi sosial yang dikembangkan Bernstein berusaha mencapai tujuan dengan melakukan reformasi terhadap kapitalisme serta berupaya menghilangkan ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang ditimbulkannya melalui cara-cara demokratis dan evolusi. Selain tetap mengakui dan menerapkan ekonomi pasar, paham itu percaya bahwa demokrasi mampu menyelesaikan segala persoalan yang muncul dari kapitalisme. Kapitalisme tetap dapat dipertahankan dengan menjalankan program-program reformasi sosial yang disponsori oleh negara.

Perkembangan masyarakat menunjukkan bahwa prediksi Bernstein jauh lebih mendekati kenyataan daripada ramalan utopis Karl Marx. Kapitalisme bukan hanya mampu bertahan, melainkan juga mendominasi kehidupan masyarakat nasional dan global. Namun, wajah kekinian kapitalisme sangat berbeda dibanding kapitalisme Eropa akhir abad ke-19 seperti yang dibayangkan Bernstein. Lapisan kelas menengah memang makin besar, akan tetapi kapitalisme berkembang jauh lebih dahsyat dilihat dari konsentrasi modal yang mengakibatkan kesenjangan sosial kian melebar. Ketamakan kapitalisme yang ditopang oleh prinsip mengejar kepentingan sendiri dan maksimalisasi keuntungan di pasar bebas tanpa campur tangan pemerintah, menghasilkan sedikit orang kaya, tetapi menguasai sebagian besar kekayaan nasional atau global. Laporan OXFAM 2020, misalnya, menemukan bahwa 1 persen orang terkaya dunia menguasai 63 persen kekayaan penduduk planet bumi ini. Sementara itu, 1 persen penduduk yang merupakan “crazy rich Indonesians” menguasai 46,6 persen kekayaan seluruh penduduk Nusantara (Global Wealth Report 2018).

000

Perkembangan kapitalisme juga dipercepat oleh gagasan-gagasan neoliberal; sebuah paham bahwa peran utama negara adalah melindungi setiap individu, khususnya dalam kebebasan berusaha dan hak milik. Negara harus mengurangi peran dalam hal kepemilikan dan pengelolaan harta kekayaan dengan melakukan privatisasi dan perdagangan internasional harus berlangsung secara bebas (free trade). Paham neoliberal sangat memercayai mekanisme pasar sebagai cara optimal dalam mengorganisasi barang dan jasa. Perdagangan dan pasar bebas melahirkan potensi-potensi kreatif serta kewiraswastaan dan karena itu menuju ke arah kebebasan individu dan kesejahteraan serta efisiensi dalam alokasi sumber daya. Neoliberal dilihat sebagai kunci untuk tata kelola pemerintahan yang lebih baik.

Sementara itu, menjelang akhir abad ke-20, komunisme musuh utama kapitalisme kalah telak. Bahkan, negara sosialis Uni Soviet bubar pada 1989. Kediktatoran proletariat berganti pemerintahan yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Ekonomi pasar bebas perlahan-lahan menggantikan “model” pembangunan berdasarkan perencanaan sentral. Republik Rakyat Tiongkok, meski masih dipimpin oleh Partai Komunis, pembangunan ekonominya dalam banyak hal menempuh jalan kapitalis. 

Pertanyaan yang muncul, masih adakah cara untuk mengurangi keserakahan kapitalisme? Satu-satunya jawaban, suka atau tidak suka, tampaknya adalah melalui intervensi atau regulasi negara.

Dua puluh lima tahun silam, setelah rezim Orde Baru Soeharto tumbang, Indonesia menempuh jalan reformasi. Namun, reformasi itu sama sekali tidak menyentuh kapitalisme serta tidak menuntut perbaikan kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Sebagaimana diketahui, Indonesia masa itu tengah dilanda krisis ekonomi yang parah. Reformasi hanya berfokus pada politik dan hukum dengan enam agenda: adili Soeharto dan kroni-kroninya; amendemen UUD 1945; hapus dwi-fungsi ABRI; otonomi daerah seluas-luasnya; berantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); serta tegakkan supremasi hukum. Sejumlah tuntutan reformasi memang berhasil diwujudkan. Amendemen UUD 1945 yang dilakukan empat kali menghasilkan perlindungan dan perluasan hak asasi manusia, pulihnya kebebasan sipil, pemberian otonomi daerah seluas- luasnya, pemilu yang bebas dan demokratis di bawah sistem multipartai, pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung, kembalinya TNI ke barak, dan lahirnya lembaga-lembaga baru seperti KPK, KPU, dan lain-lain.

Namun, dalam perkembangannya, banyak hasil reformasi menunjukkan hal yang tidak memuaskan. Korupsi masih merajalela, supremasi hukum belum sepenuhnya ditegakkan, demokrasi mengalami regresi yang ditandai oleh berkembang suburnya oligarki. Pemilu langsung yang diharapkan dapat memilih pemimpin sesuai kehendak rakyat, dibajak partai-partai politik dengan menyodorkan tokoh-tokoh yang mereka inginkan. Partai politik yang diharapkan dapat menebar kepemimpinan yang demokratis, justru di dalam dirinya berkembang kepemimpinan oligarkis, bahkan seperti monarki yang melestarikan politik dinasti.

000

Sangat sedikit hasil reformasi yang berkait langsung dengan kesejahteraan rakyat. Barangkali satu-satunya yang dapat disebut sebagai “keberhasilan” reformasi adalah di bidang pelayanan kesehatan dalam bentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mulai diterapkan sejak 2014. Sistem jaminan sosial itu ditandai oleh persamaan hak dan kemudahan akses seluruh warga negara untuk memperoleh layanan kesehatan yang memadai dengan iuran gotong royong relatif murah. Namun, ancaman masuknya asuransi swasta ke dalam sistem pelayanan kesehatan dapat menyebabkan layanan ini menjadi mahal dan hanya dinikmati warga yang kaya.

Barangkali sudah saatnya reformasi politik dilanjutkan dengan reformasi sosial mengikuti pola seperti diajarkan Bernstein; dengan negara berperan aktif merumuskan kebijakan-kebijakannya melalui proses legislasi di parlemen. Reformasi sosial dimaksudkan untuk menata kembali kondisi sosial-ekonomi masyarakat secara sistematis dengan mengendalikan dan mengurangi keserakahan kapitalisme dan ekonomi pasar bebas beserta dampak negatif yang ditimbulkan. Gagasan perlunya reformasi sosial memiliki landasan konstitusional di dalam UUD, khususnya Pasal 33 dan 34. Bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara; negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Hari ini, kondisi masyarakat Indonesia masih sangat jauh dari yang diwajibkan oleh konstitusi. Sumber daya alam berupa bahan tambang, hutan, air, laut masih menjadi ajang eksploitasi para pengusaha kapitalis- oligarkis dengan segala dampak negatifnya, seperti kerusakan lingkungan yang menyumbang pada perubahan iklim dan pemanasan global. Perlindungan sosial bagi fakir miskin, anak-anak telantar serta lansia, dan pelayanan umum masih jauh dari memadai. Koperasi sebagai wujud dari demokrasi ekonomi justru semakin mundur dan dalam beberapa tahun terakhir ditandai oleh berbagai skandal korupsi dan gagal bayar terhadap anggota-anggotanya.

000

Reformasi sosial dapat merupakan upaya sistematis untuk mengurangi keserakahan kapitalisme serta menata kembali hubungan negara dan ekonomi pasar melalui intervensi pemerintah berupa kebijakan program kesejahteraan sosial—untuk secara bertahap mewujudkan gagasan negara kesejahteraan (welfare state). Kebijakan dan program reformasi sosial membutuhkan komitmen dan kepemimpinan negara yang kuat agar mampu mengegolkannya melalui proses legislasi di parlemen, termasuk menggalang dukungan partai politik serta gerakan sosial seperti gerakan buruh dan civil society lainnya. Program-program kesejahteraan sosial itu mencakup kebijakan upah layak untuk memenuhi kebutuhan dasar kaum buruh dan keluarganya, jaminan sosial bagi fakir miskin dan lansia, pelayanan sosial bagi warga negara, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan, berdasarkan standar terbaik tanpa membedakan status dan kelas sosial.

Pendanaannya tentu bersumber dari pajak yang dikenakan kepada rakyat, termasuk pajak progresif orang-orang kaya dengan mempertimbangkan jangan sampai menimbulkan disinsentif terhadap kebebasan berusaha, apalagi distorsi dalam mekanisme ekonomi pasar. Dengan kata lain, gagasan welfare state adalah bagaimana membuat keseimbangan antara mekanisme pasar bebas dengan kebijakan untuk kesejahteraan rakyat.

Senyampang kita menyongsong Pemilu 2024, mudah-mudahan gagasan Negara Kesejahteraan mendapatkan perhatian dan menjadi pemikiran serta program dari calon-calon pimpinan nasional yang akan berlaga. Semoga!