Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Keterbatasan Pasar

Fachru Nofrian Bakarudin

Tidak mudah mengupas koperasi saat ini, ketika kapitalisme menjadi satu-satunya agenda ekonomi di setiap negara. Namun, tidak mudah juga untuk tidak menulis koperasi karena pada kenyataannya krisis selalu ada di tengah pertumbuhan ekonomi. Kapitalisme telah membentuk keyakinan dan ekspektasi meraih pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Optimistis boleh saja, tetapi belum tentu membuat ekonomi menjadi lebih baik, bahkan cenderung menghanyutkan masyarakat.

Mungkin itulah pengharapan kapitalisme, harapan bahwa tingkat pertumbuhan tinggi pasti menyejahterakan rakyat. Keberhasilan mekanisme pasar menjadi salah satu landasan utama yang memungkinkan kapitalisme pasar. Pasar dianggap wahana paling sempurna bagi tercapainya transformasi ekonomi dari negeri berpendapatan rendah ke negeri berpendapatan tinggi seperti yang dilalui negara-negara maju.

Pasar yang diandaikan sempurna ternyata memiliki berbagai keterbatasan. Pasar dianggap paling efisien yang membuat seluruh insan ekonomi, termasuk korporasi, secara sukarela berorientasi pada pasar. Kapitalisme pasar menjadi kompas perekonomian global dan bahkan banyak ekonom menganggap tidak mungkin berhasil jika tidak menerapkan pasar. Dengan demikian, pasar menjadi absolut seakan paling benar, dengan Amerika Serikat sebagai pendorong utamanya. Semua negeri mesti mengadopsi model pasar, termasuk Indonesia. Namun, krisis multidimensi 1997-1998 mendadak hadir menyentak dan memikul berbagai kemungkinan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Di balik ‘hukum pasar’ sebagaimana tercermin dalam liberalisasi dan deregulasi, ada pertumbuhan yang bertahan rendah, kemiskinan dan tingkat ketergantungan, ketidakstabilan ekonomi, dan industrialisasi yang tak kunjung tercapai.

Akibatnya, perusahaan atau korporasi cenderung memilih jalan sendiri mengantisipasi keterbatasan pasar. Praktik ekonomi di berbagai negara menunjukkan perusahaan dan masyarakat serta negara mencari bentuk hubungannya sendiri yang paling memungkinkan untuk memperbanyak akumulasi. Perusahaan menempuh cara menemukan jalan paling efisien ketika pasar tidak lagi berdaya guna. Kita dapat melihat praktik perusahaan atau korporasi di Jepang jauh berbeda dibanding praktik perusahaan-perusahaan di Eropa, Amerika, Tiongkok, dan juga di Indonesia. Kapitalisme di negeri sosialis berbeda dengan kapitalisme di negeri komunis atau kapitalis.

Akan tetapi, praktik perusahaan yang dianggap efisien tersebut juga memiliki keterbatasan. Antusiasme perusahaan yang semata berorientasi pada keuntungan seolah menutup ruang bagi masyarakat dan mereka yang tidak memiliki modal cukup untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Bagaimanapun juga, perusahaan dimiliki oleh pemilik modal yang jumlahnya sangat terbatas. Pada akhirnya, mereka yang memiliki keterbatasan modal melacak ragam cara untuk dapat menaklukkan ekonomi.

Di momen itulah koperasi relevan mengatasi keterbatasan kapitalisme, pasar, dan perusahaan. Di sisi lain, pengalaman negeri-negeri yang mempraktikkan kapitalisme yang beragam menunjukkan bahwa koperasi mampu menjadi solusi bagi keterbatasan institusi ekonomi arus-utama tersebut. Keduanya, kapitalisme dan koperasi, bisa hidup berdampingan secara seimbang. Hanya dengan keseimbangan, kue hasil pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati secara merata.