Kontradiksi “Global South,”Kontradiksi Kapitalisme Global

BAGIKAN



Berbagai istilah pernah digunakan untuk merujuk negeri-negeri— sebagian besar bekas jajahan—yang terpinggirkan dalam tatanan ekonomi politik global. Penggunaan istilah tersebut sering kali secara eksplisit bertujuan membantu membangun semacam solidaritas di kalangan kaum yang terpinggirkan secara sistemik.

Misalnya, istilah “Dunia Ketiga” pernah amat popular terutama pada masa Perang Dingin, dan dianggap mencakup negeri-negeri yang tidak secara langsung beraliansi dengan blok “Barat” pimpinan Amerika Serikat atau blok “Timur” pimpinan Uni Soviet. Bahkan, sebuah jurnal ilmiah berjudul Third World Quarterly masih bertahan hingga sekarang. Sementara itu, istilah “Asia-Afrika” secara jelas dicetuskan untuk membuka jalan bagi kerja sama di antara negeri-negeri di kedua benua itu lewat sebuah konferensi di Bandung pada tahun 1955 yang sekarang berstatus legendaris.

Di kalangan akademisi, hingga kini, istilah pascakolonial (atau postcolonial) lazim dipakai, demikian juga “periferi” (yang secara harfiah berarti “pinggiran,” yakni pinggiran sistem kapitalisme dunia). Dewasa ini hadir sebuah istilah yang sedang naik daun, baik dalam diskursus umum maupun tersua dalam sebagian kepustakaan ilmiah: “Global South.”

Namun, muncul pertanyaan adakah kegunaan analitis ataupun politik dari penggunaan istilah Global South? Ataukah ia hanya menjadi shorthand, yaitu semacam referensi sederhana dan mudah untuk merujuk semua negeri yang masih terpinggirkan dalam sistem global yang berlaku—khususnya setelah berakhirnya Perang Dingin serta menguatnya dominasi mazhab neo-liberalisme dalam perdebatan pembangunan? Apakah ada manfaat “tambahan” istilah tersebut dalam upaya membangun kembali rasa kebersamaan di antara kaum yang tertindas dalam tatanan ekonomi global masa kini?

Secara analitis maupun politik, semua istilah yang disebut di atas sebenarnya memiliki keterbatasan masing-masing. Demikian pula istilah “Global South” yang tampaknya muncul karena kebutuhan memaknai kondisi geopolitik dan geo-ekonomi global kontemporer; yaitu kondisi setelah neo-liberalisasi telah mentransformasi kehidupan di hampir semua belahan bumi, walaupun dalam derajat dan cara berbeda, serta semakin usangnya sistem pemaknaan yang dahulu lazim digunakan di masa Perang Dingin. Keterbatasan tersebut semakin terasa jika kita menyeberang dari ranah akademis ke ranah politik praktis. Kita bisa bertanya atas dasar apa begitu banyak negeri dengan profil ekonomi, politik, sejarah, demografi dan kultural yang sangat berbeda bisa diharapkan bersatu untuk mengejar sebuah agenda bersama?

Selama puluhan tahun, keanekaragaman hakiki berbagai negeri “Dunia Ketiga,” “periferi” atau “Global South” menyediakan rintangan utama bagi munculnya kolaborasi berarti di antara mereka, yang melampaui retorika manis belaka. Karena itulah, barangkali, Gerakan Non-Blok (istilah lain), Dunia Ketiga ataupun Asia-Afrika tidak pernah benar-benar mengambil sebuah bentuk yang berarti. Ia pun segera ditelan oleh seluk-beluk pembentukan aliansi politik dan ekonomi masa Perang Dingin dan sesudahnya. Apalagi, elite negeri-negeri yang menjadi motor gerakan tersebut tampak mudah tergoda oleh aliansi dengan elite negara adikuasa jika ini dinilai menguntungkan mereka—termasuk dalam hal membantu menindas bangsa atau rakyatnya sendiri.

Walaupun demikian, bisa saja ada argumen bahwa dewasa ini sudah mulai berkembang semacam “Perang Dingin Kedua”; kepentingan blok Barat (yang jauh lebih besar ketimbang sebelumnya) berseteru dengan kepentingan Rusia dan/atau RRC (Republik Rakyat Cina). Argumen tersebut menyiratkan bahwa diperlukan suatu sistem pemaknaan baru merujuk pada bagian-bagian dunia yang akan tertimpa dampak perseteruan tersebut.

Sudah umum diketahui bahwa pengaruh dan kekuatan ekonomi RRC telah berdampak nyata pada evolusi tatanan global, sementara Rusia sedang terlibat konflik langsung dengan aliansi Barat baik dalam perang terbuka di Ukrainia maupun perang lebih tertutup di tempat-tempat lain, seperti di Afrika. Argumen tersebut bisa saja tetap berlaku, meski sifat perseteruan mutakhir ini telah dibuat semakin pelik dan tak menentu sejak naik kembalinya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat pada 2025.

Namun, banyak sekali persoalan lama masih bertahan yang merintangi munculnya solidaritas Global South, terlepas dari perubahan-perubahan di tingkat global yang cukup dahsyat selama beberapa dekade terakhir ini. Hal yang pasti, di antara perubahan tersebut adalah naiknya pamor RRC secara global beserta segala ambisinya yang mengejawantah lewat skema Belt and Road Initiative, peranannya dalam memperluas BRICS (yang sekarang mengikutsertakan Indonesia), serta kemampuannya dalam menyediakan sumber dana pembangunan alternatif bagi negeri-negeri miskin. Tujuannya adalah supaya negeri-negeri miskin tersebut tidak lagi sepenuhnya bergantung pada badan-badan internasional lama yang dikuasai kepentingan Barat.

Belum lagi menyusul kebangkitan ekonomi India, yang belakangan menjadi pusat perhatian dunia bersamaan dengan semakin maraknya kecenderungan anti-demokratis dan anti-pluralisme di negeri tersebut. Di tambah lagi berkembang dan runtuhnya visi “Imperium Amerika Serikat” versi yang pernah dicetuskan pada masa George W Bush—setelah krisis-krisis ekonomi global, terutama pada tahun 2008-2009—serta pengalaman di Afghanistan yang sungguh meninggalkan bekas luka mendalam (walaupun tidak sebesar luka pengalaman Perang Vietnam pada tahun 1960-1970-an).

Perubahan terakhir yang bisa disebut adalah kemungkinan munculnya versi awal semacam visi Imperium Amerika Serikat jilid baru cetusan Donald Trump, yang bahkan jauh lebih koersif dan lebih tegar dalam mengejar tujuan-tujuan ekonomi amat sempit. Guncangan yang disebabkannya sudah terasa di seantero dunia, termasuk dalam menciptakan kesimpangsiuran dan kebingungan di kalangan sekutu tradisional Amerika Serikat di Eropa.

Konteks global boleh berubah, tetapi persoalan utama bagi yang dijuluki “Global South” tetaplah keanekaragaman internalnya. Di antara negeri-negeri yang termasuk di dalamnya ada yang secara ekonomi masih amat tertinggal bahkan oleh sejawatnya, tetapi ada juga—seperti Indonesia—yang berambisi menjadi kekuatan ekonomi yang lebih berarti di masa mendatang. Di antara mereka ada yang memandang diri sebagai demokratis, tetapi ada pula yang dikuasai berbagai macam elite monarkis (seperti di Timur Tengah), atau bahkan rezim diktatorial dan militer. Ada yang kaya dengan sumber daya alam dan ada yang justru amat miskin dalam segala hal.

Mengambil contoh konkret: banyak negeri Global South yang kaya sumber alam dan menyumbang secara signifikan emisi karbon yang sangat berdampak pada perubahan iklim. Mereka seakan tidak peduli bahwa negeri-negeri kepulauan mini di Samudera Pasifik terancam tenggelam dan punah akibat naiknya air permukaan laut. Sebaliknya, para pemimpin negeri “Global North” seperti Australia minimal harus berpura-pura peduli dengan nasib negeri tetangga mereka di Samudera Pasifik karena khawatir dan takut mereka ini akan ramai-ramai menoleh pada RRC untuk meminta segala jenis bantuan.

Kenyataannya, daftar perbedaan internal di kalangan Global South bahkan menjadi lebih panjang seiring dengan semakin kompleksnya tatanan ekonomi politik dunia dibandingkan masa setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua serta periode dekolonisasi di Asia dan Afrika tahun 1950-an dan 1960-an. Dalam konteks masa kini, tokoh inspiratif seperti Sukarno, Nkrumah, Kenyatta, dan lain-lain, apa pun kekurangan mereka, sesungguhnya akan sulit ditemukan. Xi Jinping bukanlah Zhou Enlai dan Modi jelas bukan seorang Nehru. Lebih absurd lagi bila mengharapkan Prabowo Subianto untuk menjadi Sukarno baru hanya karena dia mampu berpidato secara berapi- api.

Di dalam keanekaragaman di antara mereka, negeri-negeri Global South pada umumnya lebih banyak mempunyai kaitan ekonomi dengan kekuatan-kekuatan besar di dunia daripada di antara mereka sendiri. Memang, di antara kekuatan besar tersebut sekarang adalah Cina, yang biasa dihitung sebagai bagian dari Global South, bahkan mungkin dianggap pemimpinnya. Namun, ada masalah-masalah struktural yang sudah lama membuat para pengamat cemas tentang kebertahanan model pembangunan di sana (yang amat bergantung pada kapasitas negara untuk, misalnya, melindungi perusahaan real estate, manufaktur atau bank yang jatuh bangkrut). Di luar kekhawatiran tersebut apakah suatu Global South yang mesin pendorong utamanya adalah RRC—yang menikmati cadangan devisa lebih dari 3 triliun dolar AS dan berstatus sebagai “pabrik dunia”— akan mampu memenuhi impian-impian tentang masyarakat yang berdaulat dan berkeadilan sebagaimana dikumandangkan dalam Konferensi Asia- Afrika di Bandung 70 tahun silam?

Pada saat ini, hasil utama dari model kolaborasi dengan RRC adalah kemampuannya yang meningkat dalam memengaruhi kebijaksanaan ekonomi berbagai tempat di dunia. Misalnya, lewat program bantuan pembangunan infrastruktur di negeri-negeri miskin Afrika—yang berlimpah kekayaan sumber daya mineral—RRC mampu menguasai pasokan bahan mentah yang diperlukan untuk pengembangan berbagai industri. Kita juga perlu mencatat adanya hubungan erat antara partai berkuasa dan pengusaha di RRC, kendati terkadang muncul ketegangan antara Xi Jinping dan beberapa miliarder setempat (yang jumlahnya semakin banyak).

Yang menarik buat para penguasa di negeri miskin tersebut: RRC tidak akan pernah, bahkan secara berpura-pura, memedulikan masalah ketaatan pada protokol internasional mengenai perlindungan lingkungan hidup, apalagi soal demokrasi dan hak asasi manusia. Di Indonesia, program pembangunan infrastruktur serta hilirisasi sektor pertambangan juga sudah amat bergantung pada investasi dari RRC yang mempunyai modal berlimpah. Apakah harga yang harus dipikul nantinya adalah lingkungan hidup yang hancur lebur, dislokasi komunitas lokal, serta penganiayaan hak-hak buruh?

Lebih jauh lagi, ada masalah bahwa Global South—kalau diidentikkan dengan kaum terpinggir atau tertindas dalam tata kelola ekonomi politik global—ternyata hadir juga di banyak tempat yang disebut bagian dari Global North. Sebagai contoh, kontradiksi dalam kapitalisme global, dalam perkembangannya, telah menentukan bahwa banyak sekali wilayah di Amerika, Eropa, juga Australia, yang telah mengalami berbagai jenis de-industrialisasi, sehingga menciptakan kaum terpinggirkan baru.

Karena itu, di tempat-tempat di “wilayah” Global North dengan sektor jasa atau lainnya belum mampu menggantikan industri manufaktur akan ditemukan kantong-kantong besar kemiskinan a la Global South. Tengoklah kota Detroit di Amerika Serikat yang pernah menjadi pusat industri mobil dunia atau juga banlieu miskin di sekitar Paris, tempat orang berdarah Timur Tengah atau Afrika Utara hidup dengan cara yang jauh berbeda dari para sheik dan pangeran wilayah Teluk yang memiliki tempat tinggal dan gemar berbelanja di sekitar Champs Elysee, di pusat kota.

Dengan kata lain, istilah Global South mungkin berguna sebagai penanda sebuah aspirasi untuk mencapai dunia yang lebih adil dengan perbedaan dan kesenjangan antara negeri-negeri kaya dan negeri miskin hendaknya diperkecil. Dalam hal ini, ia merupakan istilah baru yang mempunyai fungsi serupa dengan beberapa istilah popular sebelumnya, namun digunakan dalam konteks internasional yang sudah jauh berubah. Walaupun demikian, kita jangan sampai melupakan bahwa setiap masyarakat, baik di Utara maupun di Selatan--mempunyai golongan atau kelas penguasa dan penindasnya sendiri. Mereka bisa saja saling berkait kelindan kepentingan dalam alam neo-liberalisasi.

 

EDISI

Mengenang Konferensi Asia Afrika, Menentang Kapitalisme Global | 44 | 2025-03-25

BAGIKAN


Beli Prisma Cetak

Dapatkan prisma edisi cetak sekarang dengan klik dibawah ini

Webstore

Berlangganan Newsletter