Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Koperasi vs Kapitalisme: Bisakah Hidup Berdampingan?

Rustam Ibrahim

Konon, pada 15 Agustus 1844, dua puluh delapan orang buruh tenun tangan di kota kecil Rochdale, Inggris, yang mengalami proses pemiskinan dampak revolusi industri, sepakat untuk melawan dominasi dan eksploitasi kaum kapitalis. Revolusi Industri menghasilkan pengangguran, kelaparan, dan kemiskinan bagi para penenun, namun melahirkan orang kaya baru, para produsen tekstil tenun mesin, dan pemilik toko swalayan yang memiliki modal besar. Dalam The Industrial Revolution and Its Impact on European Society, Bab 20, halaman 584, disebutkan bahwa sejak ditemukannya alat tenun mesin oleh Edmund Cartwright pada 1787, alat ini secara bertahap menggantikan alat tenun tangan. Jika pada 1813 hanya ada 2.400 alat tenun mesin yang beroperasi, pada 1850 sudah mencapai 250.000. Di sisi lain, pada tahun 1820-an di Inggris terdapat 250.000 orang penenun dan tersisa sekitar 3.000 penenun saja pada 1860.

Revolusi Industri telah mengubah wajah kapitalisme. Industri manufaktur memungkinkan produksi barang secara melimpah untuk diperdagangkan. Terjadi peningkatan produktivitas yang menghasilkan keuntungan sangat besar. Pada pertengahan abad ke-19, Inggris telah menjadi negara terkaya di dunia, dengan struktur masyarakat yang berubah secara fundamental. Muncul kaum kapitalis, kaum produsen, dan pedagang kaya raya serta kaum buruh yang hidup miskin; dua kelas sosial utama dalam kapitalisme yang menggantikan dua kelas sosial utama dalam feodalisme, yakni lord dan serf (tuan dan budak).

Para penenun tersebut sepakat bekerja sama dalam sebuah gerakan saling membantu untuk menolong diri sendiri dengan membentuk koperasi yang diberi nama Rochdale Society of Equitable Pioneers. Pemilihan nama itu dipengaruhi oleh Robert Owen (1771-1858), seorang pemikir sosialis dan kelak disebut bapak gerakan koperasi yang berperan besar sebagai ideolog perkumpulan Rochdale. Menurut Owen, dengan berkoperasi kaum pekerja dapat melakukan pertukaran barang dan jasa antarsesama anggota tanpa melibatkan para majikan dan pedagang perantara. Bagi Owen, menurut Brett Fairbair dalam The Meaning of Rochdale: The Rochdale Pioneers and the Co-operative Principles, 1994, halaman 5, masyarakat akan melenyapkan eksploitasi gaya kapitalis dengan bertukar barang dan menghargai tenaga kerja secara adil. Terciptanya komunitas koperasi dengan berbagai jenis kegiatan melalui akumulasi modal secara bertahap adalah impian besar Robert Owen.

Ternyata, untuk melawan eksploitasi dan dominasi kaum pemodal dibutuhkan modal yang memadai. Dalam statuta pendiriannya, koperasi itu menerapkan aturan kepada setiap anggota untuk menyetor iuran atau simpanan wajib sebesar 1 poundsterling yang akan dimanfaatkan untuk membereskan kondisi sosial-ekonomi rumah tangga anggotanya. Setelah bersusah payah selama empat bulan, terkumpul 28 pounds. Pada 21 Desember 1844, dengan modal sebesar itu mereka membuka sebuah toko di Toad Lane 31, Rochdale, sebagai tempat menjual barang-barang kebutuhan pokok, termasuk pakaian, dalam jumlah sangat terbatas.

Siapa menyangka Koperasi Rochdale kemudian menjadi awal gerakan koperasi di dunia, sumber inspirasi nilai-nilai dan prinsip serta model tata kelola koperasi. Koperasi Rochdale, menurut Morris Altman, “Cooperatives, History and Theories,” dalam International Encyclopedia of Civil Society, 2010, merumuskan tujuh prinsip utama, yaitu kontrol demokratis (satu anggota, satu suara); keanggotaan terbuka; bunga modal yang terbatas; distribusi surplus sebanding dengan kontribusi anggota terhadap koperasi; transaksi tunai; mendidik anggotanya tentang prinsip-prinsip koperasi; dan netralitas dari politik dan agama. Dalam perkembangannya, nilai-nilai dan prinsip itu beberapa kali direvisi dan dimodifikasi. Pada 19 Agustus 1895, International Cooperative Alliance (ICA) didirikan di London untuk menyatukan, mewakili, dan melayani kepentingan koperasi. Tujuan utamanya adalah memperjuangkan gerakan koperasi serta melindungi nilai-nilai dan prinsip koperasi. Satu abad kemudian, pada 1995, ICA yang sekarang telah menjadi salah satu non-governmental organization (NGO) terbesar di dunia dengan jumlah anggota sekitar 307 federasi koperasi dari 107 negara merumuskan nilai-nilai koperasi yang didasarkan pada keswadayaan, tanggung jawab sendiri, demokrasi, persamaan, kesetaraan dan solidaritas.

Koperasi kemudian berkembang luas di Eropa, Amerika Serikat, Kanada, dan ke seluruh dunia. Menurut situs ICA, sekarang ada tiga juta koperasi dengan 300 koperasi terbesar menghasilkan omzet 2,146 miliar dolar AS sambil menyediakan layanan dan infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat. Koperasi juga berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan lapangan kerja yang stabil dan berkualitas bagi 280 juta orang di seluruh dunia atau 10 persen dari populasi pekerja di dunia.

***

Bagaimana dengan kapitalisme? Kapitalisme sering ditafsirkan sebagai sistem ekonomi yang mengakui setiap individu mempunyai hak milik dan boleh menggunakannya untuk kepentingan dan keuntungan sendiri melalui mekanisme pasar dengan permintaan dan penawaran terjadi melalui persaingan yang bebas dan kompetitif. Ketika individu-individu itu mengejar keuntungan sendiri, hal ini ternyata mengarah pada kebaikan dan kemakmuran bersama. Adam Smith (1723-1790) yang dijuluki bapak “penemu” kapitalisme, dalam buku The Wealth of Nations yang menjadi “kitab suci” penganut kapitalisme pasar bebas, berpendapat bahwa perdagangan bebas akan menghasilkan kekayaan lebih besar karena mengalokasikan sumber daya secara lebih efisien daripada pemerintah. Karena itu, pemerintah tidak perlu campur tangan mengurus perekonomian.

Adam Smith percaya bahwa dengan mengejar kepentingan sendiri, maka individu akan lebih efektif memajukan kepentingan masyarakat. Ia dibimbing oleh tangan tidak terlihat (invisible hand). Namun, perkembangan kapitalisme di masa Revolusi Industri jauh dari yang dibayangkan Adam Smith. Dalam praktik, usaha individu dalam mengejar kepentingan masing-masing dengan memaksimalkan keuntungan melalui persaingan, perdagangan, dan pasar bebas justru melahirkan keserakahan kapitalisme yang memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi. Meminjam kata-kata Karl Marx, terjadi penindasan oleh kaum borjuis yang menguasai modal dan alat-alat produksi terhadap kaum buruh; kaum proletar yang sengsara dan melarat karena tidak punya apa-apa lagi selain tenaganya.

Pemikiran tentang pasar dan perdagangan bebas Adam Smith kembali mendapatkan tempat dengan munculnya paham neoliberal pada paruh kedua abad ke-20. Menurut paham ini, kesejahteraan manusia dapat ditingkatkan dengan cara memberi kebebasan dan keterampilan kewirausahaan individu berdasarkan pengakuan atas hak milik pribadi yang kuat, pasar bebas, dan perdagangan bebas. Neoliberalisme tidak menginginkan tindakan dan intervensi negara (baca: pemerintah) dalam perekonomian, termasuk dalam perdagangan internasional. Intervensi negara terhadap pasar harus dicegah dan atau dikurangi semaksimal mungkin. Satu-satunya alasan yang dapat diterima untuk mengatur perdagangan internasional adalah demi melindungi perdagangan bebas. Menurut paham neoliberal, negara harus mendukung kebijakan deregulasi, privatisasi, dan pemotongan pajak.

Sistem kapitalisme itu digunakan dan dikendalikan pihak swasta sesuai dengan kepentingannya. Memaksimalkan keuntungan merupakan satu-satunya prinsip setiap perusahaan, termasuk korporasi multinasional, dengan cara mengalokasikan modal, sumber daya, dan faktor produksi lainnya melalui persaingan, pasar, dan perdagangan bebas. Hal demikian berbeda dengan koperasi yang mempunyai tujuan ganda: ekonomi dan sosial. Koperasi diharapkan dapat memaksimalkan keuntungan, tetapi juga wajib memberi manfaat pada kesejahteraan anggota. Koperasi sarat dengan nilai dan prinsip. Tidak mengherankan, dari segi skala ekonomi, capaian koperasi jauh berada di bawah kapitalisme. Menurut data yang dihimpun dari internet, kekayaan bersih usaha swasta di seluruh dunia mencapai 454,4 triliun dolar AS pada 2022. Tingkat kekayaan 1 persen orang-orang terkaya menguasai 45,8 persen total kekayaan global. Operasi perusahaan-perusahaan raksasa multinasional memang menghasilkan pertumbuhan ekonomi di tingkat nasional maupun global. Namun, keserakahan kapitalisme juga telah menimbulkan kerusakan lingkungan hidup yang luar biasa, termasuk perubahan iklim, karena eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.

Walaupun demikian, kapitalisme tidak menghalangi koperasi untuk berkembang. Di sejumlah negeri yang menganut ekonomi pasar bebas dan sistem politik demokrasi, koperasi justru tumbuh subur. Berdasarkan data Committee for the Promotion and Advanced of Cooperatives (Copac) awal milenium baru, koperasi menyumbang 80-99 persen produksi susu di Norwegia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Koperasi menyumbang 71 persen produksi perikanan di Korea, 40 persen sektor pertanian di Brasil, 25 persen tabungan di Bolivia, 24 persen sektor kesehatan di Kolombia, 55 persen pasar ritel di Singapura, 36 persen di Denmark dan 14 persen di Hongaria. Koperasi juga tumbuh pesat di negara berkembang seperti Kenya, yang menurut data The National Cooperative Business Association CLUSA International tahun 2019, tercatat ada 22.000 koperasi dengan anggota lebih dari 14 juta jiwa dari sekitar 50 juta penduduk. Koperasi-koperasi tersebut tersebar di semua sektor perekonomian dengan mobilisasi tabungan lebih dari 48 persen dari tabungan nasional.

***

Sistem politik demokratis yang menghargai kebebasan berserikat dan berkumpul juga memungkinkan lahirnya koperasi pekerja yang dimiliki dan dikendalikan sepenuhnya oleh kaum pekerja. Riset yang dilakukan US Federation of Worker Cooperative, misalnya, mencatat ada 465 koperasi pekerja di Amerika Serikat. Ada “Mondragon Cooperatives,” sebuah federasi koperasi kaum pekerja terbesar di dunia saat ini yang berkantor pusat di wilayah Basque, Spanyol. Koperasi Mondragon terdiri atas 95 koperasi yang terpisah dengan sekitar 80.000 anggotanya ter sebar di berbagai negara. Sharryn Kasmir dalam makalah “The Mondragon Cooperatives and Global Capitalism: A Critical Analysis,” dalam New Labor Forum 2016, Volume 25, halaman 53, menulis bahwa saat ini banyak optimisme mengenai koperasi milik pekerja. Para pendukungnya berpendapat bahwa koperasi menjamin lapangan kerja, memberikan kendali kepada pekerja, dan menjadi landasan perekonomian berbasis masyarakat. Banyak akademisi dan aktivis keadilan sosial berpendapat bahwa koperasi menjanjikan bentuk kapitalisme dengan “wajah” lebih demokratis dan adil bahkan menabur benih sosialisme dalam masyarakat kapitalis.

Praktik-praktik kapitalisme dalam wujud dominasi perusahaan raksasa multinasional melalui mekanisme ekonomi pasar bebas tampaknya mustahil dihilangkan. Yang wajib dilakukan adalah mengendalikan kapitalisme agar dapat diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Bagaimana caranya agar perusahaan tidak hanya berorientasi pada maksimalisasi keuntungan, tetapi juga harus mempunyai nilai-nilai serta tanggung jawab sosial dan lingkungan hidup? Di sinilah dibutuhkan peran aktif atau visible hand dari negara sebagai pembuat aturan hukum dan kebijakan yang dapat mereformasi kapitalisme agar benar-benar mempunyai efek distributif yang mengarah pada kesejahteraan bersama.

Di sisi lain, koperasi juga membutuhkan campur tangan negara dalam bentuk kebijakan bagaimana mengalokasikan berbagai sumber daya dan peluang untuk mendukung perkembangan koperasi, seperti pengenaan pajak yang lebih rendah, akses terhadap kredit, bantuan teknis dari pemerintah, dan sebagainya. Dalam konteks Indonesia, Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Penjelasan Pasal 33, antara lain, menyatakan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang dan bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Berdasarkan penjelasan itu, negara harus benar-benar menempatkan koperasi, baik dalam kedudukan sebagai saka guru atau salah satu tiang utama perekonomian maupun sebagai bagian integral dari tata perekonomian nasional.

Di dalam UUD 1945, yang oleh ahli hukum tata negara Prof Dr Jimly Asshiddiqie dinamakan sebagai konstitusi ekonomi, pada Pasal 33 dan 34 yang seharusnya menjadi dasar bagi negara untuk mengatur perekonomian nasional: kedudukan koperasi itu setara atau bahkan berada di atas perusahaan swasta dan BUMN. Karena itu perlu dilakukan evaluasi dan kajian menyeluruh serta penataan kembali kelembagaan dan relasi antara koperasi, BUMN, dan sektor swasta melalui peraturan perundangan. Dengan demikian, perekonomian nasional benar-benar diselenggarakan berdasarkan Konstitusi, yakni demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pemerintah juga wajib memberi kesempatan seluas-luasnya bagi berkembangnya inisiatif masyarakat untuk berkoperasi serta bagi LSM dan gerakan sosial untuk menyelenggarakan pelatihan, pendidikan, dan advokasi bagi berkembangnya gerakan koperasi. Jumlah koperasi bisa menjadi lebih banyak, skala kegiatan ekonominya menjadi lebih besar, serta dikelola berdasarkan prinsip demokratis dan good governance. Pada akhirnya, hanya melalui peran aktif negara yang seimbang dalam mengendalikan kapitalisme pasar bebas dan memajukan koperasi, kedua “entitas” ini dapat hidup berdampingan.