Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Refleksi tentang Keadilan Sosial: Aspirasi Tanpa Akhir

Kamala Chandrakirana

Keadilan sosial punya sejarah yang amat panjang dan penuh dinamika. Para filsuf sejak zaman Yunani mempersoalkannya terkait relasi individu dan masyarakat; agama menem- patkannya dalam misi rohani dan keduniawian; gerakan sosial-politik menjadikannya fondasi pengorganisasian dan agenda perubahan; institusi- institusi negara melembagakannya melalui kons- titusi, hukum, dan kebijakan. Perdebatan dan pertarungan-pertarungan besar dan kecil dalam sejarah sosial kita berkisar pada persoalan ini. Dari masa ke masa, fokus dari upaya-upaya menuju ke- adilan sosial terus berkembang mengikuti gejolak- gejolak momentum dunia dan sejalan dengan gugatan-gugatan spesifik dari beragam konsti- tuensi yang mempersoalkan ketidakadilan yang mereka alami. Tak heran, pemaknaan atas keadilan sosial tidak pernah tunggal ataupun statis.

Sejak abad ke-20, secara tersurat dan tersirat, keadilan sosial bahkan menjadi bagian dari ba- ngunan tatanan global dan nasional. Di tingkat global, keadilan sosial pertama kali dijadikan fonda- si bagi kerja sama internasional pada 1919 dalam kaitan dengan fakta ketidakadilan sistemik di du- nia perburuhan. Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization atau ILO) didi- rikan seiring dengan perjanjian damai pasca-Perang Dunia I sebagai penegasan bahwa “perdamaian yang universal dan berlanjut hanya bisa dicapai jika berlandaskan keadilan sosial.” Artinya, sejarah modern keadilan sosial tidak terlepas dari gugatan gerakan buruh melawan sistem ekonomi yang eksploitatif dan desakan untuk menata ulang relasi kuasa yang timpang antara pemilik modal dan pekerja.

Pasca-Perang Dunia II, keadilan sosial menja- di bagian integral dari imajinasi bangsa-bangsa anti- kolonial yang kemudian dirumuskan sebagai tujuan berdaulat dan bernegara. Pada era itu, bukan hanya Indonesia yang menempatkan keadilan sosial se- bagai salah satu landasan negara. Konstitusi India pada tahun 1949 dan Algeria pada tahun 1963, misalnya, juga menyebutkan keadilan sosial seba- gai pijakan bernegara. Artinya, aspirasi keadilan sosial ikut mengisi gerakan anti-kolonial melawan sistem imperialisme dan kapitalisme global dan kemudian mewarnai kontrak sosial negara-bangsa melalui konstitusi-konstitusi nasional.
Gagasan yang HidupKendati keadilan sosial punya relevansi kuat pada paruh pertama abad ke-20 melalui capaian-capaian gerakan buruh dan gerakan anti-imperalisme, daya pengaruhnya hanya bisa tumbuh saat dimaknai secara spesifik oleh kekuatan-kekuatan baru dalam gerakan sosial. Gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat pada tahun 1960-an menegaskan urgensi membumikan aspirasi keadilan sosial dalam realita rasialisme. Sistem perbudakan yang menjadi basis ekonomi perkebunan pada abad ke-19 terus-mene- rus menempatkan orang kulit hitam sebagai warga negara kelas dua, bahkan 100 tahun setelah per- budakan ditiadakan, antara lain melalui kebijakan- kebijakan diskriminatif di tingkat negara bagian.

Hari ini, melalui gerakan Black Lives Matter yang menggelora akibat banyaknya kematian warga kulit hitam di tangan polisi kulit putih, keadilan rasial (racial justice) dijadikan tolok ukur yang mende- sak bagi tercapainya keadilan sosial. Dalam kon- teks tatanan sosial-ekonomi yang sarat rasialisme, keadilan rasial bahkan menuntut adanya penulisan ulang sejarah ekonomi dan sosial di negeri itu dan menggugat rendahnya representasi warga kulit hitam dalam ketiga badan negara—eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Gerakan perempuan dan cara pandang femi- nis lebih lanjut menuntut adanya spesifikasi khu- sus dalam memaknai keadilan sosial karena pemahaman yang bersifat umum dan netral ter- bukti tidak serta-merta bisa mengatasi ketidak- adilan menyejarah yang dialami perempuan. Pa- triarki, sebagai sistem pembenar dan pemelihara relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan pe- rempuan, berkait-kelindan dengan rezim-rezim kuasa lain yang menjadi sumber ketidakadilan da- lam tatanan kehidupan ekonomi dan politik. Bagi perempuan, gerakan buruh, anti-imperialisme, anti- rasisme dan gerakan-gerakan sosial lainnya tidak dapat menghadirkan keadilan yang sejati jika tidak secara khusus ada jaminan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Sebagai contoh, ILO sebagai institusi puncak untuk perlindungan buruh, butuh waktu sangat panjang untuk membuat tanggapan positif dan nyata atas desakan gerakan perempuan agar pekerja rumah tangga (yang kebanyakan adalah perempuan dan yang bekerja di ranah privat) diakui sebagai “pekerja” dan dinyatakan masuk dalam lingkup perlindungan oleh lembaga ini. Di Afrika Selatan, keterlibatan perempuan dalam gerakan anti-apartheid berporos pada aktivisme perempuan kulit hitam yang be- kerja sebagai pekerja rumah tangga pada keluarga kulit putih. Bagi mereka, keadilan rasial tidak terpisah dari keadilan gender. Secara umum, gerakan perempuan mengembangkan konsep keadilan gender (gender justice) sebagai salah satu cara menjelaskan tuntutan atas penegakan kembali martabat kemanusiaan perempuan di hadapanberbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan berbasis gender, termasuk yang bertaut dengan rasisme dan klasisme.

Ketika Tembok Berlin runtuh pada awal tahun 1990an, disertai berakhirnya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, juga berbarengan dengan jatuhnya rezim-rezim militer di beberapa negara Amerika Latin, muncul pertanyaan: Ba- gaimana agar berakhirnya sistem otoritarian bisa menjamin bahwa kekejian, kekerasan, dan keti- dakadilan sistemik yang terjadi di masa lampau tidak akan terulang kembali di masa depan? Ba- gaimana agar perubahan rezim politik tidak se- kadar estafet dari satu elite politik ke elite politik yang lain dalam sebuah persekutuan baru? Apa yang harus terjadi agar perubahan politik punya dampak transformatif atas institusi-institusi yang selama ini menopang rezim otoritarian? Apa yang harus dilakukan agar para korban pelanggaran berat HAM mendapatkan pengakuan atas keber- adaannya sebagai korban, memperoleh pernya- taan maaf atas kejahatan dan kesengsaraan yang dialami dan memiliki keberdayaan untuk memu- lihkan kembali martabat dan kehidupannya? Gagasan tentang keadilan transisional (transitional justice)—yang mencakup proses pengungkapan kebenaran, pertanggungjawaban secara hukum, pembaruan institusi-institusi, reparasi bagi korban, dan rekonsiliasi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah – merupakan jawaban yang dikedepankan oleh komunitas pembela hak-hak asasi manusia dan para penyintas.

Saat gerakan anti-globalisasi menguat, muncul rumusan tentang keadilan global (global justice) yang memberi penekanan pada ketimpangan struktural dalam tatanan ekonomi-politik dunia yang terus-menerus meminggirkan negara-negara belahan Selatan. Ketika gerakan lingkungan hendak menegaskan dimensi sosial dari pengru- sakan alam, lahir gagasan tentang keadilan ekologi (ecological justice). Ada pula yang mengajukan konsep keadilan lintas-generasi yang merujuk pada hak para generasi penerus untuk menikmati manfaat dari sumber daya alam yang diwariskan oleh generasi saat ini. Guna memberi perhatian khusus pada dampak sosial dari perubahan iklim, termasuk meningkatnya kemiskinan, konflik dan migrasi, upaya penajaman terhadap gagasan keadilan sosial juga dilakukan melalui istilah keadilan iklim (climate justice).
Ketangguhan gagasan keadilan sosial dari za- man ke zaman tetap terjaga karena pemaknaan atas konsep ini terus diberi nyawa melalui pikiran kritis dan aksi-aksi kolektif dari kelompok-kelom- pok yang menuntut agar pengalaman ketidak- adilannya mendapatkan pengakuan dan penyi- kapan yang layak. Realita ketidakadilan sosial yang multidimensi dan saling bertaut menuntut adanya pemutakhiran dari pemaknaan tentang keadilan sosial pada hari ini. Kecenderungan fragmentasi berbasis bidang kerja (sektor) dan disiplin ilmu dalam pola pikir dan dalam pembuatan kebijakan serta pengembangan gerakan sosial perlu segera disudahi. Saatnya telah tiba untuk menjabarkan se- perti apa keadilan sosial yang bersifat transformatif.


Upaya Pembumian
Negara memegang peran kunci dalam mereali- sasikan keadilan sosial. Sepanjang pemerintahan suatu negara mendekatkan atau menjauhkan warganya dari keadilan sosial bergantung tidak saja pada arah kebijakan ekonomi dan sosial yang di- kembangkan, tetapi juga pada ruang demokrasi yang memungkinkan ada koreksi arah jika diang- gap perlu oleh rakyat yang berdaulat serta pada terujinya akses pada keadilan bagi korban diskrimi- nasi, kekerasan, dan kejahatan melalui sistem peradilan yang mandiri dan efektif.

Kebijakan ekonomi yang mengutamakan pemerataan pun tidak bisa menjamin tercapainya keadilan sosial bagi semua warga tanpa ada langkah-langkah khusus untuk menyikapi pola- pola diskriminasi yang terus bercokol dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan ber- negara. Warga negara yang terus hidup dalam ke- miskinan tidak hanya demikian karena buruknya akses pada kerja yang layak, misalnya, tetapi juga akibat proses pembedaan dan peminggiran yang berlangsung selama puluhan —bahkan ratusan— tahun yang dialami kaum perempuan, warga desa, komunitas minoritas agama dan ras. Ketimpangan- ketimpangan menyejarah atas dasar kelas, ras, dan gender saling bertaut menciptakan kendala struktural dan kultural yang kokoh dan melang- gengkan ketidakadilan sistemik dari masa ke ma- sa. Kebijakan ekonomi yang dinyatakan bercorak kerakyatan pun, jika tidak menangani praktik- praktik diskriminatif dalam proses pelaksanaannya, tidak akan mengantarkan semua rakyat pada keadilan sosial yang universal.

Menurut hukum internasional, daftar panjang perlakuan diskriminatif yang dilarang mencakupi diskriminasi atas dasar ras, seks, bahasa, agama, pandangan politik, asal usul bangsa atau sosial, har- ta milik, kelahiran serta disabilitas, umur, kewar- ganegaraan, status perkawinan atau keluarga, orientasi seksual dan identitas gender, status ke- sehatan, tempat tinggal, dan situasi ekonomi dan sosial. Sejatinya, mekanisme HAM internasional, yang menekankan kewajiban negara untuk meme- nuhi hak-hak asasi setiap warganya, ikut meno- pang upaya pencapaian keadilan sosial melalui sistem hukum internasional. Mekanisme antar- negara juga menegaskan bahwa tanggung jawab negara mencakup pemenuhan hak-hak asasi dari mereka yang bahkan bukan warga negara di wila- yahnya, seperti mereka yang berstatus sebagai pengungsi, buruh migran tak berdokumen, korban perdagangan manusia dan mereka yang tak punya kewarganegaraan (stateless). Pada hari ini, dengan arus migrasi lintas negara yang sangat besar akibat kemiskinan, konflik dan bencana alam, konsep keadilan sosial perlu dimutakhirkan agar punya relevansi bagi mereka yang paling rentan diabaikan kemanusiaannya.

Jika berhasil diterapkan secara efektif, standar HAM tentang kesetaraan (equality) dan peng- hormatan atas kebebasan dasar (basic freedoms) yang berlaku bagi semua manusia ikut mendorong tercapainya keadilan sosial. Konvensi internasional tentang penghapusan diskriminasi terhadap pe- rempuan (Convention on Elimination of All Forms of Discrimination against Women atau CEDAW) menetapkan kesetaraan yang sejati hanya tercapai jika terpenuhi dalam dua arti: kesetaraan dalam pe- luang dan kesetaraan dalam penikmatan hasil. Tidak cukup untuk mendapatkan akses yang setara pada pendidikan, misalnya, tetapi hasil akhir dari pendidikan yang diperoleh perlu juga punya nilai yang setara. Itulah yang dimaksudkan dengan kesetaraan. Tanpa penghormatan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang dijamin oleh Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights atau ICCPR), misalnya, warga dari komunitas minoritas agama tidak mungkin bisa menikmati realisasi dari prinsip keadilan sosial. Konsep keadilan sosial perlu mengintegrasikan standar- standar HAM dalam pembumiannya.

Sistem HAM internasional mengasumsikan bahwa negara tidak selalu menjadi pemelihara ke- hidupan yang demokratis dan berkeadilan bagi warganya. Melalui rezim hukum internasional, mekanisme HAM yang dikelola oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa memastikan pemantauan interna- sional atas kinerja negara dalam memenuhi kewa- jiban-kewajiban di bidang HAM yang telah mengi- kat secara hukum. Akan tetapi, di tengah krisis global dan disrupsi atas tatanan geopolitik yang ada, sistem hukum internasional sesungguhnya sedang serba canggung. Pengunduran diri oleh berbagai negara dari perjanjian-perjanjian tentang perubahan iklim (Paris Agreement) dan peradilan kejahatan internasional (International Criminal Court), misalnya, menunjukkan upaya pelemahan tatanan hukum internasional pada era penuh gejolak ini. Semakin jelas bahwa misi keadilan sosial membutuhkan visi dan bangunan ekonomi global baru yang mampu mengatasi ketimpangan- ketimpangan besar yang terus melanda dunia.

Saat ini, sebagaimana dilaporkan Oxfam, organisasi nirlaba dari Inggris yang berfokus pada pembangunan penanggulangan bencana dan advokasi, orang terkaya dunia yang menempati 1 persen dari penduduk dunia memiliki kekayaan yang besarnya dua kali dari kumpulan harta yang berada di tangan 6,9 miliar penduduk di muka bumi. Konsentrasi karbon dioksida (CO2) dalam atmosfer bumi sekarang mencapai angka tertinggi sepanjang sejarah manusia dan 11 persen dari emisi gas (global greenhouse gas emissions) yang disebabkan oleh manusia berasal dari pengrusakan hutan. Para pakar ekonomi dan politik pun sudah menyatakan bahwa konsep-konsep ekonomi yang mendominasi sejak Perang Dunia II sudah tidak bisa menjawab tantangan-tantangan zaman ke de- pan. Apa arti keadilan sosial dalam konteks ini dan bagaimana merealisasikannya? Gagasan-gagasan maju tentang ekonomi distributif dan sistem finansial yang inklusif pun harus berhadapan dengan gagasan-gagasan baru dari pemikir-pemikir progresif yang berupaya membayangkan sistem ekonomi alternatif yang ikut merawat kelestarian alam sambil menjawab ketimpangan-ketimpangan sosial yang mengakar dan terus menguak. Kea- dilan sosial untuk masa depan tampaknya menun- tut adanya sistem ekonomi baru yang berkeadilan dalam arti seluas-luasnya.

Di Indonesia, keadilan sosial adalah bagian dari kontrak sosial ketika negara berdaulat didirikan. Lebih dari dua dekade sejak “Reformasi”, semakin tampak jelas titik-titik rentan dan kontradiksi- kontradiksi internal dalam sistem demokrasi dan keadilan sosial yang telah dibangun. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang banyak dielu-elukan ter- nyata disertai dengan tingkat ketimpangan sosial yang semakin tinggi. Seraya kelas menengah Indo- nesia kian tinggi aspirasinya, rasialisme terus menindih orang-orang Papua dalam kemiskinan, kelaparan dan pembungkaman di tengah sumber daya alam yang berlimpah. Demokrasi elektoral yang semarak ternyata juga menciptakan lahan subur bagi tumbuhnya politik identitas yang meningkatkan intoleransi terhadap minoritas dan politik elite yang korup dan oligarkis. Di tengah semua itu dan pada saat pemerintah mulai mem- buat rencana pembangunan menjelang usia kesera- tus Indonesia pada tahun 2045, pemaknaan terha- dap gagasan keadilan sosial untuk konteks Indone- sia pun sudah waktunya diuji dan dimutakhirkan•