Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Reforma Agraria Ditinjau Kembali

Redaksi Prisma

Salah satu problem mendasar dalam kebijakan agraria sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA 1960) adalah bagaimana mengubah struktur ketimpangan kepemilikan/penguasaan tanah dan lahan di Indonesia. Pada dasarnya, pelaksanaan reforma agraria di Indonesia diarahkan untuk men- jamin terwujudnya keadilan dan kepastian hukum dalam penguasaan, pemilikan, peng- gunaan, dan pemanfaatan tanah. Untuk melanjutkan program reforma agraria masa peme- rintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintahan Joko Widodo memperkenalkan program Reforma Agraria, dengan Perhutanan Sosial (RAPS) sebagai program “pendamping.” Reforma agraria menjadi salah satu agenda prioritas pembangunan yang dituangkan dan mengemuka dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pemba- ngunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Setelah lebih dua tahun RAPS dijalankan, beberapa persoalan pokok perlu diajukan untuk menilai seberapa jauh program Reforma Agraria (RA) berkesesuaian dengan UUPA 1960? Apa saja yang dicakup dan tidak dicakup dalam RA? Bagaimana mekanisme pelaksanaan, dasar legislasi, subjek dan objek RA, serta aspek dukungan kelembagaannya? Hambatan apa saja yang dihadapi dalam pelaksanaan RA?

Pertanyaan sentral tersebut dibahas dalam Diskusi yang diselenggarakan Prisma bersama Kemitraan pada Kamis, 11 Juli 2019, yang dibagi dalam dua sesi. Kerena keterbatasan ruang, Sesi Kedua tentang Perhutanan Sosial akan dimuat dalam bentuk Laporan Khusus di dalam website Prisma: www.prismajurnal.com. Sementara itu, diskusi Sesi Pertama mengenai Reforma Agraria yang dimuat dalam rubrik Dialog kali ini dipandu oleh Harry Wibowo (Redaktur Pelaksana Prisma) dengan menghadirkan narasumber dari kalangan akademisi, pengambil kebijakan, serta aktivis organisasi masyarakat sipil. Mereka ialah Dianto Bachriadi (Associate Researcher, Kyoto Univerisity, Jepang); Didik Suhardjito (Guru Besar Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor), Gunawan Wiradi (Sajogyo Institute; SAINS), Hilma Savitri (Peneliti, Agrarian Resources Centre; ARC); Ismid Hadad (Redaktur Senior Prisma); Rahmat Wiguna (Aliansi Gerakan Reforma Agraria; AGRA), Samsudin (Konsorsium Pembaruan Agraria; KPA), Soedarsono Soedomo (Dosen Fakultas Kehutanan IPB), Usep Setiawan (Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden; KSP);

 

Prisma (P): Ada tiga pokok persoalan di dalam Reforma Agraria (RA). Pertama, bagaimana kesesuaian Reforma Agraria yang sebenarnya ada sebelum masa pemerintahan Jokowi dikenal sebagai TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) dengan konsep awal reforma agraria mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA 1960). Kedua, bagaimana perjalanan kebijakan RA yang dicanangkan pemerintah Jokowi. Ketiga, kendala-kendala struktural dan kelembagaan dari kebijakan RA saat ini. Saya persilakan Bapak Gunawan Wiradi memberikan overview seberapa jauh kebijakan RA saat ini sesuai atau tidak sesuai dengan UUPA.


Gunawan Wiradi (GW): Hampir semua kebijakan saat ini serba rancu. Bukan salah siapa-siapa, karena itu merupakan produk dari dinamika sejarah. Kita harus melacaknya dari sana kalau bicara masalah agraria dan ini bukan hal yang mudah. Kita perlu mempelajari sejarah Indonesia yang mengait dengan penjajahan Belanda. Pertanyaan yang tertuang di dalam ToR mengenai “konteks historis dan struktural apa saja yang membedakan penerapan UUPA di masa lalu dengan program RAPS di masa kini” memang sangat bagus.

Namun demikian, saya ragu apakah elite nasional dewasa ini mengerti apa yang dimaksud dengan “reforma agraria.” Ketika saya diundang ke Kantor Staf Presiden (KSP), banyak yang tidak mengerti, atau sengaja menyesatkan, konsep reforma agraria. Saya sendiri mengingatkan generasi muda, “hati-hati jangan terkecoh konsep yang keliru.” Banyak kalangan kerap mencampuradukkan istilah “reformasi” dengan “reforma”, yang artinya sama sekali berbeda.


Dalam berbagai kesempatan, saya memaparkan bahwa reforma agraria adalah “landreform plus”, yaitu plus berbagai program penunjang. Intinya adalah asset reform. Bahwa diperlukan acces reform, tenancy reform, dan sebagainya, itulah yang dimaksud dengan “plus.” Namun, jika hanya plus tanpa intinya, maka itu belum merupakan reforma agraria. Bagaimanapun juga, konteks historis dan struktural UUPA punya kaitan dengan keadaan saat ini. Namun, karena sudah sepuluh tahun tidak mengamati dan berkeliaran ke perdesaan atau instansi-instansi pemerintah, penilaian saya itu mungkin saja keliru.

P: Diskusi ini memang mencoba melihat kembali UUPA yang dapat dikatakan merupakan salah satu masterpiece dalam peraturan perundang-undangan. Semua kebijakan dan pelaksanaan terkait Reforma Agraria yang didiskusikan hari ini mengacu pada prinsipprinsip UUPA 1960.

Dianto Bachriadi (DB): Sebelum membandingkan apa yang terjadi pada tahun 1960an—saat Indonesia punya program landreform— dengan pemerintahan Jokowi lima tahun belakangan ini, saya mulai dari dua hal yang esensial. Reforma agraria itu pada dasarnya adalah persoalan ekonomi sekaligus keadilan. Secara ekonomi, reforma agraria merupakan cara agar terjadi transformasi ekonomi dari semula berbasis pertanian menjadi industri. Pertanian harus didorong agar menghasilkan akumulasi yang cukup bagi industrialisasi. Percepatan akumulasi melalui reforma agraria dilakukan karena adanya ketimpangan di sektor pertanian, baik ekonomi maupun etik. Sasaran reforma agraria memang untuk mengatasi struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan lahan yang timpang. Kalau struktur tersebut dibenahi menjadi lebih equal, maka kemiskinan akibat ketimpangan struktur di atas akan berkurang dan produktivitas meningkat.


Karena itu, sekali lagi, yang disasar program reforma agraria adalah struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan lahan yang selama ini timpang. Pertama, penataan tersebut dijalankan dengan cara redistribusi. Kedua, penataan kepenyakapan, sistem bagi hasil, agar lebih berkeadilan. Kedua hal itu dijalankan lewat sejumlah aturan hukum. Yang paling kuat adalah Undang-Undang No. 5/1960 (UUPA) dan Undang-Undang No.2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH). Mengenai struktur penguasaan tanah yang timpang, maka yang terpenting adalah mencegah konsentrasi penguasaan atau kepemilikan lahan, atau membatasi berbagai peluang mengonsentrasikan lahan di sektor pertanian. Bila tidak dibatasi, hendak didistribusi atau diredistribusi sekalipun, prosesnya tetap akan berujung rekonsentrasi juga.
Jadi, target reforma agraria pada tahun 1960-an adalah meredistribusi lahan berlebih, lahan absentee, tanah-tanah eks-swapraja, dan lahan negara lainnya, agar para petani tak bertanah, buruh tani, petani penggarap lahan kecil, memperoleh kesempatan untuk berekonomi dan berproduksi lebih mandiri, serta mendorong produktivitas mereka. Pada saat yang sama, diterapkan aturan yang mencegah penguasaan tanah berlebih. Tanah-tanah berlebih atau tanah absentee diambil kemudian didistribusikan kembali. Pada tahun 1960-an, yang disasar lebih banyak tanah absentee, tanah kelebihan, dan tanah swapraja. Dalam praktik kemudian, proses redistribusi juga mencakup tanah negara, bahkan jumlahnya lebih besar ketimbang tanahtanah lainnya. Sebelumnya, ketika Jepang masuk dan menduduki Indonesia pada 1942, banyak penduduk desa, petani, buruh tani, buruh perkebunan, mengambil alih dan menggarap tanah-tanah eks perkebunan. Lahan-lahan tersebut kemudian dilegalisasi melalui program landreform tahun 1960-an, sebelum “Genosida 19651966” menghentikan seluruh proses tersebut.
Pelaksanaan program reforma agraria memang terbatas dari segi waktu. Program itu juga harus punya landasan hukum yang kuat supaya tidak menerabas hal-hal lain yang “melanggar hukum”. Karena itu, basis peraturan perundangundangannya harus sama. Pada tahun 1960-an, batas waktunya dua kali lima tahun atau 10 tahun. Namun, rencana tersebut terhenti di tengah jalan setelah 1965. Secara kelembagaan juga harus ada panitia khusus yang menjalankan landreform. Ketika itu, ada panitia landreform yang dibentuk sejak tingkat desa hingga nasional. Keanggotaannya di tingkat desa hingga provinsi diisi oleh perwakilan organisasi-organisasi tani, yang mengidentifikasi subjek-objek landreform sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun, dari proses pengidentifikasian dan pelaksanaan landreform itu, sering kali muncul bermacam konflik dan gejolak politik. Karena itu, dibutuhkan pemerintahan yang kuat untuk menghadapi perlawanan para “tuan tanah.” Program landreform juga harus disokong militer. Itu yang missing di Indonesia pada tahun 1960-an—militer tidak mendukung landreform. Ketika Orde Baru berkuasa, sebagian program landreform tetap dijalankan. Namun, kepanitiaannya dibubarkan, peraturan perundangan yang menjadi dasar pengadilan landreform dicabut, dan seterusnya.
Gagasan reforma agraria muncul kembali dan menguat pada 1998. Pemerintahan SBY mencoba melaksanakan gagasan itu dengan nama Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN).1 Namun, PPAN tidak berjalan lancar karena banyaknya hambatan kelembagaan. Sepengetahuan saya, UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No. 2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, dan UU No. 56/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, sampai hari ini masih berlaku dan belum dicabut. Artinya, dasar hukum untuk melaksanakan landreform sebenarnya lebih dari cukup. Tidak diperlukan dasar hukum baru— tinggal dijalankan saja dengan UU yang ada. Akan tetapi, PPAN berjalan tersendat bahkan tidak menjadi program utama pemerintah. Walaupun namanya PPAN, tetapi bukan program karena tidak ada budget khusus untuk itu. DPR dan Kementerian Keuangan tidak menyetujui dan menyediakan budget untuk itu. Bahkan, ada semacam “perlawanan” dari Kementerian Kehutanan, karena delapan juta hektar yang menjadi target PPAN berasal dari lahan hutan. “Kalau mau bikin Reforma Agraria, harus Reforma Agraria gaya saya,” demikian kata Menteri Kehutanan saat itu.
Presiden Joko Widodo mencanangkan Reforma Agraria kemudian disusul dengan Perhutanan Sosial, sehingga menjadi RAPS. Sejak masa kampanye, Jokowi berencana meredistribusikan 9 juta hektar lahan dengan skema Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), 4,5 juta hektar masuk kategori redistribusi lahan dan 4,5 juta hektar berupa legalisasi aset. Dari 4.5 juta hektar legalisasi aset, sekitar 0,6 juta ha merupakan sertifikasi lahan transmigrasi yang selama ini belum tersertifikat. Setelah diperiksa, ternyata itu adalah proses sertifikasi lahan yang sudah dikuasai dan digarap oleh masyarakat, termasuk juga lahan perkebunan. Lantas tanah redistribusi itu bersumber dari HGU yang hak guna usahanya habis, ditambah tanah telantar 1 juta hektar. Ada 3,5 juta hektar dialokasikan dari pelepasan kawasan hutan. Pemerintahan Jokowi menjalankan reforma agraria pada 2016. Dari keseluruhan legalisasi aset sampai dengan Maret 2019, kurang dari 8 persen yang terimplementasi. Bahkan, untuk kategori redistribusi, hanya terlaksana 4,2 persen dari target 4,5 juta hektar. Pertanyaannya, apakah itu sesuai dengan gagasan dan esensi reforma agraria yang pernah kita coba jalankan pada tahun 1960-an?
Bila kita bicara TORA-nya pemerintahan Jokowi, redistribusi aset program ini saja yang bisa disebut sebagai “pengejawantahan” Reforma Agraria. Sedangkan yang legalisasi aset itu adalah business as usual-nya Badan Pertanahan Nasional (BPN). Mensertifikatkan tanah bukan bagian dari reforma agraria. Bukan bagian dari landreform yang hanya 4,5 juta hektar itu. Kalau ada Perhutanan Sosial yang ditargetkan 12,7 juta ha, mungkin bisa juga disebut reforma agraria, karena di sini ada kesempatan masyarakat untuk menguasai lahan kehutanan dalam kurun waktu lama, meski lahan ini tidak menjadi hak milik mereka. Kalau kita lihat data sampai dengan awal 2018, capaiannya amat sangat rendah. Dari 12,7 juta hektar Perhutanan Sosial, hanya tercapai sekitar 8,8 persen.
Program reforma agraria jelas mengharuskan redistribusi lahan. Akan tetapi, kita harus mengafirmasi kembali kebijakan pembatasan penguasaan tanah. Saya tidak tahu apa alasan politiknya. Pembatasan penguasaan lahan sama sekali tidak muncul, baik dalam retorika maupun program. Selain membiarkan konsentrasi lahan yang sudah berkembang sedemikian rupa, sehingga kemungkinan konsentrasinya justru akan bertambah sesudah program reforma agraria dijalankan. Semestinya, kalau mau kembali pada gagasan landreform tahun 1960-an, bisa diulang dengan jalan mengambil tanah kelebihan dan absentee yang jumlahnya luar biasa besar.
Ismid Hadad (IH): Apa yang tidak dilakukan sekarang?

DB: Membatasi penguasaan tanah, tetapi tidak ada kebijakan pembatasan konsentrasi lahan. Akibatnya, meski kita masukkan, misalnya, 4,5 hektar sebagai redistribusi yang dinilai berhasil, hal ini relatif tidak mengubah rasio gini ketimpangan [penguasaan/pemilikan tanah, red]. Perubahannya sanga kecil. Pertama, kebijakan reforma agraria saat ini tidak berpengaruh pada struktur penguasaan tanah yang timpang. Kedua, hanya terfokus dan terbatas pada redistribusi tanah negara. Tanah negara itu pun dibatasi lagi yang clean and clear, sehingga ada tanah yang, misalnya, sudah digarap masyarakat di lahan-lahan perkebunan yang HGU-nya masih berlaku, tetapi berkonflik dengan masyarakat yang sudah lama mendudukinya. Itu pasti tidak akan dimasukkan ke dalam program RA.

Soedarsono Soedomo (SS): Apa yang dimaksud dengan tanah negara?

DB: Tanah perkebunan bukan tanah kehutanan. Tanah kehutanan masuk ke Perhutanan Sosial yang diredistribusi 4,5 juta hektar. Saya setuju Pak Gunawan Wiradi bahwa pemerintah tidak mengerti apa yang dimaksud reforma agraria. Pemerintah juga tidak berani karena tidak punya “kekuatan” untuk menjalankan reforma agraria. Itu merupakan problem politik di Indonesia hari ini. Akibatnya, Reforma Agraria hanya minimalis saja—apa yang mungkin dan apa yang dapat. Hal yang menarik, bisa menentukan angka 4,5 juta hektar, tetapi tidak tahu berapa dan kepada siapa lahan itu akan diberikan. Proses identifikasi subjek atau penerima manfaat tidak dilakukan pada tahap awal. Yang dilakukan justru mencari tanah lebih dahulu yang mungkin bisa “diredistribusi”, padahal di sana ada masyarakat yang telah menggarapnya sejak lama, hanya tinggal ditingkatkan status legalnya dari tanah negara yang dikuasai rakyat dijadikan tanah hak milik.
Yang membedakan reforma agraria dahulu dan sekarang adalah target utamanya. Walaupun secara retorik disebut “untuk mengatasi struktur penguasaan tanah yang timpang”, tetapi praktiknya reformasi agraria yang sekarang lebih mengarah pada sertifikasi lahan. Sertifikasi dianggap semacam output, bahkan outcome dari program Reforma Agraria. Reforma agraria tahun 1960-an tidak terlalu menganggap penting sertifikat atau tidak bersertifikat. Sertifikasi hanya merupakan sekrup kecil saja dari rangkaian proses panjang reforma agraria, yang esensinya adalah hendak mengatasi atau mengubah struktur ekonomi. Struktur ekonomi Indonesia sudah berubah dan struktur ketenagakerjaanya pun relatif telah berubah. Pertanyaannya, apakah reforma agraria merupakan neccesarry answer bagi transformasi ekonomi Indonesia?


Reforma Agraria Dahulu dan Kendalanya Kini
P: Dianto Bachriadi memicu kita untuk melihat kendala reforma agraria. Pertama, kendala politik apa yang ada di dalam proses penerapan reforma agraria tahun 1960-an dan kini,
 
yang berujung pada persoalan apakah reforma agraria masih relevan untuk mengatasi ketimpangan penguasaan atau pemilikan lahan? Kedua, di tingkat pembuatan kebijakan, termasuk peraturan perundang-undangan yang disusun pada era pasca-Reformasi.

Usep Setiawan (US): Sebagai dokumen politik dan amanat konstitusi, Reforma Agraria dan agenda-agendanya telah dituangkan dalam Nawacita, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, dan Rencaa Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun. Intinya, pelaksanaan Reforma Agraria sebagai upaya menata ulang pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah untuk keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat menjadi prioritas nasional, yang dijalankan pemerintah melalui dua skema, yakni penyediaan TORA dari berbagai sumber dengan target Reforma Agraria sebesar 9 juta hektar dan Perhutanan Sosial melalui berbagai skema dengan target 12,7 juta hektar. Terkait capaian sebagaimana tadi dikemukakan Dianto Bachriadi, capaian legalisasi dan redistribusi per 23 Juni 2019 masing-masing 14.223.763 bidang (setara 3.641.937 hektar) dan
558.700 bidang (418.748 hektar). Yang redistribusi masih di bawah setengah juta hektar. Capaian Perhutanan Sosial seluas 3.135.854,19 hektar yang diterima 697.228 kepala keluarga (KK) melalui 5.758 unit hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan kemitraan, hutan desa, dan hutan adat.
Terkait kritik Pak Gunawan Wiradi, kami menyadari bahwa pemahaman pemerintah mengenai reforma agraria masih sangat minim. Karena itu, sejak 2016, Kantor Staf Presiden perlu memasok sejumlah bahan agar program reforma agraria dipahami oleh seluruh menteri dan kepala daerah. Reforma agraria sebagai program prioritas dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2019 memuat lima hal. Pertama, penguatan kerangka regulasi dan penyelesaian konflik agraria. Kedua, penataan, penguasaan, dan pemilikan tanah TORA. Ketiga, kepastian hukum dan legalisasi atas TORA. Penerbitan sertifikat hak milik atas tanah masyarakat menjadi bagian dari kegiatan Reforma Agraria. Ada kritik bahwa proses sertifikasi tanah sebenarnya di luar Reforma Agraria, tetapi dalam RKP dimasukkan sebagai bagian dari Reforma Agraria. Keempat, pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan, pemanfaatan, dan produksi TORA. Kelima, kelembagaan pelaksana Reforma Agraria di tingkat pusat dan daerah.
Terkait dengan kelembagaan, dalam Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria dicantumkan Tim Reforma Agraria beranggotakan 16 menteri dan kepala lembaga, termasuk Kepala Kantor Kepresidenan. Tim di tingkat pusat dipimpin Menko Perkonomian. Selain itu, di tingkat pusat ada Gugus Tugas Reforma Agraria yang merupakan institusi pelaksana dan diketuai Menteri ATR/Kepala BPN, di tingkat daerah ada gugus tugas tingkat provinsi yang dibentuk melalui SK Gubernur, di tingkat kabupaten/kota melalui SK Bupati dan Wali Kota. Sekarang ini sedang didorong pembentukan gugus tugas di semua kabupaten dan kota, dan sampai dengan Juni 2019, gugus tugas itu sudah terbentuk di 15 kabupaten/kota. Tugas dan fungsinya mirip Badan Otorita Reforma Agraria. Namun, percepatan pelaksanaan berbagai agenda Reforma Agraria pada periode pertama pemerintahan Jokowi memang belum berjalan cepat dan terlaksana utuh, khususnya redistribusi tanah. Idealnya, Reforma Agraria masuk ke dalam rencana kerja pemerintah daerah, sehingga anggarannya bisa dialokasikan dalam APBD.
Sebagai ilustrasi, sejak tahun 2016, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, sudah menetapkan reforma agraria sebagai misi, visi, dan program aksi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan dianggarkan dalam APBD-nya. Secara garis besar ada empat tahapan kegiatan Reforma Agraria yang mencakup persiapan, pelaksanaan, penetapan hak dan penerbitan izin, serta pemantauan dan evaluasi. Bila hendak dilaksanakan serentak secara terpadu, skema dari pengalaman Kabupaten Sigi itu bisa direplika di kabupaten lain. Tentu saja skema tersebut perlu disesuaikan dengan konteks dan tantangan di tingkat lokal. Mayoritas tanah di Kabupaten Sigi berada di kawasan hutan. Pemkab Sigi pun mengidentifikasi tanah dari bekas kawasan hutan dan tanah dari bekas hak guna usaha (HGU) perkebunan, yang kemudian ditetapkan sebagai TORA ke pemerintah pusat. Kini sedang diproses.


P: Tampaknya ada perbedaan substantif antara Reforma Agraria tahun 1960-an dengan program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) kini, yang juga mencakup redistribusi kawasan hutan sebagai objek reforma agraria. Tadi sempat disinggung tentang kebijakan, apa yang telah dikerjakan pemerintah, dan bagaimana tahapan reforma agraria. Saya persilakan Prof Didik Suhardjito memaparkan kendala-kendala dalam pelaksanaan reforma agraria, seperti soal batasan maksimal penguasaan tanah serta legalisasi pasca-redistribusi tanah.


Didik Suhardjito (DS): Secara keseluruhan, saya sepakat dengan yang disampaikan Dianto Bachriadi bahwa RA terfokus pada dua fungsi, yakni ekonomi dan sosial. Fungsi ekonomi, misalnya, lapangan usaha, lapangan kerja, perlindungan golongan ekonomi lemah, sumber ekonomi, dan sebagainya. Dalam UUPA sudah ada pasal-pasal menyangkut soal itu, juga soal pembagian pendapatan, bagaimana agar sumber pendapatan ekonomi menjadi kuat sehingga bisa dilakukan transformasi ekonomi, dan sebagainya. Sedangkan fungsi sosial, misalnya, adalah bagaimana mengurangi ketimpangan. Dalam relasi agraria juga ada soal kerja sama dan tolong menolong. Prinsip seperti itu juga tersua di dalam UU No.5/1960 yang dilengkapi dengan UUPBH, dan sebagainya, supaya relasi di dalam penguasaan sumber daya tanah khususnya agraria akan lebih menjamin keadilan; juga ada prinsip menjaga kepentingan publik. Misalnya, dalam UUPA ditekankan bahwa, “ketika pemerintah atas nama negara membutuhkan tanah untuk kepentingan umum, maka
 
siapa pun, termasuk tanah milik [pribadi, red] tidak boleh menolak.” Artinya, ada kepentingan publik yang diutamakan. Yang menjadi problem, sering kali atas nama pembangunan, tetapi sebenarnya dikuasai perusahaan. Pesan di dalam UUPA sangat tegas, meski hak milik [pribadi, red], namun hak kekuasaan negara jauh lebih besar. Itulah konteks kepentingan publiknya. Di dalam UUPA juga ada yang dinamakan fungsi ekologis, yakni menjaga lahan pertanian supaya produktivitas terus terjaga, soal biodiversitas ditambah budi daya tanaman, juga pengendalian kualitas dan kuantitas air yang sangat relevan dalam konteks saat itu.
Akan tetapi, kalau mengacu pada peraturan perundang-undangan sekarang, angka pembagiannya tidak persis seperti itu. Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian membatasi tanah yang boleh dikuasai maksimum 20 hektar, sedangkan sekarang batas maksimum luas tanah yang dapat dimiliki adalah 5 hektar. Untuk menjaga tingkat kecukupan penghasilan, batas minimum harus ada. Dalam Perpres Nomor 56 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, istilahnya adalah penataan akses yang melengkapi penataan aset 2 untuk mendampingi pembibitan dan lainlain, luas tanah yang dikuasai cukup untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agar lahan menjadi produktif, harus ada pemeliharaan kondisi tanah dan tidak boleh ditelantarkan, karena banyak HGU yang telantar kemudian “diduduki.” Monopoli tidak boleh. Orang luar dan orang asing tidak boleh memiliki tanah absentee. Semua itu diatur dengan jelas di dalam UUPA.

2 Pasal 1 Perpres No. 86/2018 mendefinisikan penataan aset sebagai “penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dalam rangka menciptakan keadilan di bidang penguasaan dan pemilikan tanah”; dan penataan akses adalah “pemberian kesempatan akses permodalan maupun bantuan lain kepada Subjek Reforma Agraria dalam rangka meningkatkan kesejahteraan yang berbasis pada pemanfaatan tanah, yang disebut juga pemberdayaan masyarakat.” (red.)
 
P: Sekarang, batasan penguasaan tanah tersebut menjadi tidak jelas?
DS: Benar. Bahkan, soal penguasaan lahan tidak banyak dikritik. Coba lihat Perpres No.86/2018. Tujuan utamanya adalah mengurangi ketimpangan struktur penguasaan agraria (kepemilikan tanah), sehingga menciptakan keadilan sekaligus mennangani sengketa dan konflik agraria. Tadi sudah disampaikan Usep Setiawan tentang subjek dan objek RA, misalnya, subjek reforma agraria tidak boleh menguasai lahan terlalu luas. Hal yang menarik, misalnya, buruh atau tentara yang tidak punya tanah dianggap sebagai subjek reforma agraria. Penataan akses sesungguhnya merupakan pendamping penataan aset. Maksudnya, akses masuk kawasan hutan berupa permodalan, peningkatan keterampilan masyarakat, kerja sama berbagai pihak untuk teknologi, dan sebagainya.
Penanganan sengketa dan konflik agraria
juga masuk dalam Perpres No.86/2018. Tadi telah disebut kelembagaannya, seperti gugus tugas, pendampingan, dan sebagainya. Namun, koordinasi dan sinergi antar-kementerian dan lembaga sangat kurang. Seharusnya dimasukkan ke dalam RPJMD, tetapi praktiknya sangat minim. Saya pernah tanya ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), selaku koordinator gugus tugas, “Kenapa capaian TORAnya sangat rendah?” Menurut saya, reforma agraria di dalam Perpres 86/2018 itu sebenarnya sebuah konsep tentang TORA itu sendiri, Perhutanan Sosial, dan masyarakat adat. Adalah sangat signifikan kalau kita bicara soal masyarakat adat. Kalau capaiannya rendah, sebenarnya ini hanya berbicara soal TORA saja, bukan soal Perhutanan Sosial atau masyarakat adat. Jadi, tadi dicantumkan TORA sebesar 9 juta hektar, tetapi 4,1 juta hektar berupa kawasan hutan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan 4,9 juta hektar merupakan kawasan non-hutan di bawah Kementerian ATR.
Capaian TORA masih sangat lambat, karena sebagian besar dibebankan kepada daerah.
 
Sedangkan daerah tidak punya program itu. Saya kira bagus kalau kebijakan di tingkat daerah mulai didorong. Namun, proses pelepasan tanah sangat susah. Banyak kawasan hutan sudah lama diduduki dan dikelola masyarakat, baik untuk lahan pertanian, perkebunan, ataupun daerah transmigrasi. Kalau untuk lahan transmigrasi yang sudah ada, intinya hanya tinggal legalisasi saja. Akan tetapi, ada beberapa kasus yang proses transmigrasinya sejak tahun 1980-an, tetapi pelepasan tanahnya belum terjadi. Sudah dibangun, tetapi ternyata belum dilepas. Menurut pengakuan beberapa kawan di Kementerian KLH, “Kami tidak bisa melepaskan kalau tidak ada permohonan dari Kementerian ATR. Kami tidak tahu bahwa tanah itu harus segera dilepas.” Persoalan administrasi tampaknya tidak berjalan lancar. Banyak kantor pemda sudah berubah menjadi desa. Itulah yang kemudian menjadi TORA. Faktanya, banyak pemodal dari luar daerah yang kemudian menguasai ratusan hektar tanah. Kalau itu dijadikan TORA, tetapi tidak ada proses penataan sebelumnya, maka kita akan melegalisasi penguasaan yang sangat luas. Itu berarti pelanggaran terhadap aturan perundang-undangan itu sendiri.
Karena itu, tugas pemda adalah menyiapkan penataan penguasaan dan siapa yang akan memperoleh lahan. Bila ada subjek yang sudah riil menguasai tanah, maka harus ditarik dulu. Kalau tidak, kita melakukan kesalahan karena tidak sesuai dengan program yang ada. Saat masuk ke dalam peta TORA, karena sudah dikuasai, punya hak guna, dan sebagainya, tidak bisa otomatis kemudian lahan dilepas. Kalau kemudian dilepas ternyata pemda keliru dalam soal pencadangan, maka tidak bisa dikendalikan. Mungkin itu yang ramai dibahas dalam RUU Pertanahan, karena pelepasan lahan amat sangat riskan. Kementerian ATR dan Kementerian LHK akan saling menunggu soal kepastian. Kendala-kendala tersebut membuat TORA berjalan sangat lambat, karena program ini belum masuk RPJMD. Memang harus dari bawah, namun tampaknya proses tersebut dari tingkat kabupaten ke provinsi tidak digarap
 
dengan serius. Kabupaten Sigi bisa menjadi contoh, tetapi harus benar-benar dipastikan subjek dan objeknya.
P: Terima kasih Prof. Saya persilakan Bapak Soedarsono Soedomo untuk mengupas lebih dalam problem yang dihadapi reforma agraria secara ekonomi politik. Silakan.
Soedarsono Soedomo (SS): Ada tiga hal
yang perlu saya sampaikan. Pertama, penguasaan tanah di Indonesia memang sangat timpang. Pelopor ketimpangan tersebut adalah kehutanan. Kedua, klaim atas kawasan hutan merupakan problem sentral soal tanah di Indonesia. Ketiga, Reforma Agraria versus Perhutanan Sosial. Penguasaan tanah di Indonesia sekarang ini sekitar 120 juta hektar. Sepertiganya kawasan kota, seperti Jakarta, Palangkaraya, dan lain-lain. Dua pertiga lebih atau 67 persen dari 120-an juta hektar itu diklaim sebagai kawasan hutan. Kita tidak boleh apa-apa di sana. Di situ bukan tempat untuk membangun bandara, kafe, jalan, dan lain-lain. Jadi, kita berebutan sepertiga tanah yang tersisa. Di sepertiga tanah itulah kita berdesak-desakan dan membangun pertanian? Itu dari segi penguasaan lahan. Dari segi produk domestik bruto (PDB), 99 persen berasal dari sektor non-hutan. Hutan hanya punya andil kurang dari 1 persen.
P: Kurang dari satu persen?
SS: Dari sekian persen kawasan hutan itu, sebenarnya banyak yang tidak berguna. Andil kehutanan terhadap PDB hanya 0,7 persen. Dari segi hak penguasaan, dengan memakai terminologi lama, alam dan hutan tanaman itu dikuasai oleh korporasi besar. Di sana juga ada peran negara. Kecuali kelapa sawit, lebih dari 80 persen perkebunan, yang mencakup perkebunan kelapa, kopi, karet, kakao, dan sebagainya, dikuasai oleh non-korporasi. Jika dibandingkan dengan kelapa sawit, sekitar 40 sampai 44 persen lahan dikuasai masyarakat. Sementara hutan hampir 100 persen dikuasai oleh korporasi. Padahal, yang namanya perkebunan itu market oriented dan eksploitatif. Namun, faktanya tidak seperti itu. Justru yang dikuasai rakyat jauh lebih eksploitatif.
Kita sudah telanjur salah kaprah dengan istilah atau definisi kawasan hutan. Terserah apakah mau dikoreksi atau dibiarkan terusmenerus seperti itu sampai hancur. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, kawasan hutan didefinisikan sebagai “wilayah-wilayah tertentu yang oleh Menteri ditetapkan untuk dipertahankan sebagai Hutan Tetap.” Sedangkan pasal 7 UU itu menyebut “penetapan kawasan hutan dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan rencana penggunaan tanah yang ditentukan oleh Pemerintah.”
Namun demikian, proses “penetapan” itu sangat lama dan harus melalui empat tahapan, yakni penunjukan, penataan batasnya, pemetaan, baru kemudian ditetapkan. Akhirnya, yang disebut “kawasan hutan” pun tidak pernah selesai. Dalam Pasal 1 (4) UU No.5/1967 “ditetapkan” merupakan proses akhir dari empat tahapan, sedangkan dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, “ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap” menjadi proses awal dari penetapan kawasan hutan. Keputusan MK No.45
/PUU-IX/2011 kemudian mencoret frasa “ditunjuk dan/atau ditetapkan” itu menjadi “ditetapkan” saja. Jadi, kalau dahulu “ditetapkan” oleh menteri, sekarang oleh pemerintah. Semua proses itu (penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan) dalam UU No.41/ 1999 disebut “pengukuhan” yang harus dilakukan dengan memperhatikan tata ruang wilayah.
Pertanyaannya, siapa yang dimaksud “Menteri” dan siapa yang dimaksud “Pemerintah”? Pasal 1 UU No. 5/1967 tidak mendefinisikan “Pemerintah”, tetapi mendefinisikan “Menteri” ialah menteri yang diserahi urusan kehutanan. Sedangkan dalam UU No. 41/1999 yang disebut “Pemerintah” adalah Pemerintah Pusat. Namun, siapa yang dimaksud dengan
 
Pemerintah Pusat, sedangkan “Menteri” adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan. Dalam UU No.26/2007 tentang Tata Ruang serta UU No.41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, “Pemerintah Pusat” didefinisikan sebagai “Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Lantas, kawasan hutan mana yang telah ditetapkan pemerintah? Belum ada! Jadi, yang disebut “kawasan hutan” itu hoaks. Akan tetapi, kalau hoaks atau dongeng itu diimani ramairamai bisa menjadi “kitab suci” juga. Jadi, yang disebut “kawasan hutan adalah wilayah tertentu” itu hanya sekitar 12 persen yang sudah mantap. Kemudian, soal definisi “kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan wilayahnya sebagai hutan tetap”. Yang “hutan tetap” itu apa? Hutan tetap adalah “kawasan hutan yang dipertahankan keberadaannya sebagai kawasan hutan terdiri dari hutan konservasi dan seterusnya.” Jika “hutan tetap” itu saya ganti “kawasan hutan”, maka bunyinya menjadi “kawasan tetap adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai kawasan hutan yang dipertahankan keberadaannya sebagai kawasan hutan.” Itulah yang terjadi. Salah kaprah tersebut sudah berjalan puluhan tahun. Saya pun tidak yakin apakah usai diskusi ini akan ada perubahan.
P: Bagaimana dalam pelaksanaannya?
SS: Perlu diluruskan dulu pengertiannya atau kita tetap seperti ini. Silakan saja kalau definisinya tetap mau ruwet seperti itu? Begitu pula soal Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial. Sepintas memiliki kemiripan, misalnya, soal hak terhadap manfaat lahan. Namun, sebetulnya keduanya bertolak belakang. Reforma Agraria itu menganut rezim domein
 
verklaring,3 yang artinya kurang lebih “yang tidak dimiliki oleh masyarakat adalah punya negara, yang punya masyarakat diakui oleh negara.” Akan tetapi, Undang-Undang No. 41/ 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menganut rezim grabbing: “rampas dulu, baru berikan izin.” Mahkamah Agung kemudian memberi kebebasan: kalau kita mendapatkan lahan, silakan dimanfaatkan. Sementara untuk Perhutanan Sosial harus begini dan tidak boleh begitu. Pak Didik, apakah ketentuan soal hutan adat itu masih berlaku?
DS: Masih.
SS: Hutan adat dilarang menanam kelapa sawit. Hutan adat itu bukan hutan negara, tetapi negara malah ingin ikut mengaturnya. Biarlah rakyat memilih jalan hidup mereka sendiri.
Sasaran Reforma Agraria adalah mengubah struktur melalui perubahan cara berproduksi untuk mengurangi kemiskinan. Sekarang, dengan luasan lahan per kapita yang rendah, maka kapital yang digunakan pasti rendah. Padahal, nisbah antara kapital dan labour itulah yang menentukan produktivitas. Petani memiliki banyak kekurangan; tidak punya tanah, tidak punya modal, tidak punya pengetahuan, dan seterusnya. Dengan status kawasan hutan seperti itu ibarat “kartu balak” (banyak ditolak) yang tidak bisa diagunkan dan “dimanfaatkan.” Kalau statusnya hak milik, maka itu bisa menjadi agunan dan dikapitalisasikan. Bagaimana dengan Perhutanan Sosial? Tidak bisa! Tanah tidak boleh dipindahtangankan dan sebagainya. Sebenarnya, Reforma Agraria di Indonesia lebih mudah dilaksanakan karena tidak perlu menempuh tahap yang seolah-olah sulit, seperti tadi dikatakan Dianto Bachriadi, menyita tanah kelebihan kemudian meredistribusikannya. Sulit itu kalau mengambil tanah saya yang banyak. Bila tidak diberikan kemudian
3 Pernyataan yang menegaskan bahwa semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu miliknya, maka tanah itu adalah milik (eigendom) negara (red).
 
saya melawan. Itu tanah negara seluas 46 juta hektar. Kalau hendak memakmurkan rakyat sesungguhnya sangat mudah. Namun, kalau merebut kelebihan tanah saya, pasti saya akan melawan. Bagaimana kalau yang punya tanah itu adalah negara, tetapi tidak bersedia memberikan kepada petani? Apakah negara akan melawan?
Kegagalan tersebut sudah bersifat “TSM” (terstruktur, sistematis, masif). Tidak selayaknya kegagalan kehutanan ditularkan ke masyarakat melalui Perhutanan Sosial. Penguasaan lahan sebaiknya tidak dipegang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau Kementerian Pertanian, tetapi harus berada di tangan lembaga-lembaga nonteknis. Pada praktiknya, yang menggunakan lahan hanya menggunakan saja. Tentunya repot kalau “pemain” juga merangkap menjadi “wasit.” Kategori lahan dikatakan lebih baik mengikuti tata ruang atau budi daya saja, baru kemudian dilindungi. Hutan lindung atau konservasi harus diamankan dulu, karena sekali rusak tidak bisa pulih. Konservasi, terutama sumber plasma nutfah, itulah masa depan. Jangan sampai rusak. Jaga dan lindungi dengan benar. Selebihnya silakan budi daya. Sektor kehutanan yang mempraktikkan “negara dalam negara” itu harus segera dihentikan bila tidak ingin negara ini berantakan.
.
P: Terima kasih Prof Soedarsono. Selanjutnya saya minta Rahmat Wiguna sebagai aktivis untuk memberikan semacam pandangan dari lapangan dan secara khusus soal gerakan agraria.
Rahmat Wiguna (RW): Kita sepakat bahwa
reforma agraria itu masih dan harus dijalankan di Indonesia. Tidak ada yang menolak reforma agraria. Ketimpangan juga menjadi hal utama yang kita bahas. Tanah di sektor kehutanan hampir 60 persen sudah dikuasai korporasi. Artinya, kalau memang mau menyelesaikan ketimpangan kepemilikan, harus ditetapkan dahulu sasarannya. Namun, di sisi lain, pemerintah “membatasi” dan mengatakan bahwa ketika melaksanakan redistribusi lahan dalam
 
program reforma agraria itu clean and clear. Sementara itu, kita tahu redistribusi lahan ada batas maksimum dan minimumnya. Sertifikasi lahan dikatakan sebagai Reforma Agraria, tetapi ini batas minimum. Pemerintah berdalih bahwa, “Reforma Agraria tidak bisa dijalankan di Jawa. Reforma Agraria hanya bisa dijalankan di luar Jawa. Di Jawa hanya bisa dijalankan Perhutanan Sosial saja. Karena sudah tidak ada lahan.” Namun, kalau faktanya kita periksa, sekitar 1,8 juta hektar lahan kehutanan di Jawa dikuasai oleh Perum Perhutani. Belum termasuk perkebunan sekitar dua koma sekian juta hektar. Itu saja sudah penguasaan lahan yang luas. Dengan pertimbangan, misalnya, penguasaan kawasan hutan tidak boleh kurang dari 30 persen. Itu menjadi pertimbangan utama, bukan karena mayoritas orang miskin berada di Jawa membuat ia berpandangan reforma agraria tidak bisa dilaksanakan di Jawa. Saya tidak tahu apakah benar kawasan hutan di Jawa tersisa kurang dari 30 persen.
SS: Benar.
RW: Belum termasuk hutan masyarakat?
SS: Kawasan hutan legal memang kurang dari 30 persen, tetapi saya tidak tahu apakah ini sudah termasuk hutan negara dan hutan rakyat. RW: Artinya, luasan kawasan hutan di Jawa masih debatable. Namun, untuk hal minimum saja, pemerintah tidak mau menjalankan secara serius. Reforma Agraria bukan hanya untuk orang yang tidak punya tanah saja. Tadi Dianto Bachriadi mengatakan bahwa ada peraturan perundang-undangan yang mengiringi UUPA, tetapi hingga hari ini tidak pernah dijalankan, yaitu UU No. 2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH). Kalau kita lihat Reforma Agraria Perhutanan Sosial (RAPS), maka Perjanjian Bagi Hasil itu mengacu yang mana? Mengacu pada keinginan Kementerian Kehutanan itu sendiri, tetapi tidak mengacu pada UU tersebut. Seenaknya saja dikatakan 70 persen untuk Kementerian Kehutanan, sedangkan untuk petani penggarap hanya 25 persen.
Sementara di dalam UUPBH pembagiannya adalah 50:50.
 
Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah dari mana modal, bibit, dan tenaga kerjanya? Sementara itu, kita tahu kalau Kehutanan selalu menyuruh petani, “kamu bikin ini, tanam ini, kamu siapkan juga hasilnya.” Mereka tidak pernah dibayar, tetapi dia kebagian hasil paling besar. Begitu pula soal harga. Di tengah gencarnya era reforma agraria, pemerintah tidak berani menjamin harga produk pertanian. Bahkan, harga sawit di perkebunan rakyat sekarang ini hanya dihargai Rp 200 per kilogram. Tadi dikatakan 40 persen masih dimiliki kaum tani, tetapi itu sawit bibit. Mereka tidak berdaya saat berhadapan dengan jutaan hektar lahan sawit “milik” berbagai perusahaan besar yang bisa menentukan harga produk. Misalnya, saat menentukan harga sawit di kabupaten atau provinsi, yang diundang hanya pemerintah provinsi, pengusaha sawit, dan koperasi di bawah perkebunan plasma. Sementara itu, nasib petani tidak mendapat perhatian serius. Saat berada di Palembang, Presiden Jokowi kurang lebih mengatakan, “Rakyat sekarang harus gencar menanam sawit. Kita akan dorong itu.” Namun, di Jambi ada yang protes, “Pak Jokowi, harga sawit di sini sama dengan harga jual bibit sawit. Kami sekarang menanam jengkol.” Belum harga karet yang sekarang cuma dihargai Rp 5.000 per kilogram, berbanding terbalik dengan biaya produksinya yang sangat tinggi. Pun seandainya tanah dibagikan ke petani miskin, tetapi karena pupuknya mahal atau tidak ada jaminan harga jual di pasar, dia pasti akan menjual tanah itu.
Tampaknya pemerintah belum menjalankan reforma agraria secara serius. Reforma agraria tidak menyentuh, misalnya, ekonomi agraria yang pada hakikatnya bisa mengurangi “monopoli” penguasaan atau pemanfaatan atas tanah. Mirip seperti keadaan tahun 1960-an. Yang menjadi sasaran utama redistribusi adalah tanah-tanah yang dimiliki kyai. Karena ucapan DN Aidit yang kurang lebih mengatakan, “tujuh setan desa yang ketujuh adalah kyai”, maka yang menjadi sasaran redistribusi tanah pasti tidak akan melawan. Akan tetapi, bila yang
 
disasar perkebunan besar, mereka ini pasti akan melawan. Kalau tanah-tanah Sinar Mas diredistribusi pemerintah, perusahaan ini tentu akan melakukan perlawanan.
RUU Pertanahan dan Masyarakat Adat
P: Prof Soedarsono telah menelusuri secara singkat asal-usul, genealogi, peraturan perundang-undangan tentang kehutanan, dan Rahmat Wiguna menambahkan bahwa saat ini kita jarang mengacu pada UUPA dan UUPBH saat menyinggung isu reforma agraria. Sementara itu, pemerintah dan DPR tengah menggodok dua rencana undang-undang tentang pertanahan dan masyarakat adat. Apakah problem hak-hak masyarakat adat berada pada klaim tentang kawasan hutan seperti Prof Soedarsono katakan bahwa penguasaannya terkonsentrasi pada negara, tetapi sumbangan PDB-nya sangat kecil. Saya mengundang Hilma Savitri untuk menelusuri atau mengkaji lebih dalam apakah kedua RUU tersebut juga “membicarakan” masalah sebagaimana dikatakan Prof Soedarsono tentang definisi kawasan hutan dan berbagai subjek yang ada di dalamnya seperti lingkaran setan?
Hilma Safitri (HS): Saya tidak terlalu ba-
nyak mengikuti perkembangan RUU Masyarakat Adat. Namun, saya cukup pegal membaca isi RUU Pertanahan versi bulan Juni 2019. Tadi kita bicara soal bagaimana pengaturan tanah, kawasan hutan, non-hutan, kemudian disambung berbagai fenomena kawasan perkotaan, ada instansi atau lembaga pemerintah yang berusaha mengakuisisi lahan. Semua itu akan dilegitimasi oleh RUU Pertanahan. Yang paling krusial, “hak negara untuk menguasai tanah” sudah menjadi persoalan setiap pihak untuk mendefinisikannya. Kalau kita pakai UUPA, hak negara seperti itu hanya merupakan “semangat” agar bagaimana seluruh tanah di Indonesia dikuasai lebih dahulu oleh negara sebelum diberikan kepada orang atau pihak yang memerlukan. Terutama pada masa Orde Baru,
 
hak negara menguasai tanah kemudian disalahgunakan seolah-olah negara bisa memiliki semua, misalnya, tanah kehutanan.
Kalau di dalam UUPA “hak menguasai oleh negara”, di dalam RUU Pertanahan menjadi “hak menguasai dari negara”. Sebagai sebuah entitas, negara kemudian bisa menguasai tanahtanah di Indonesia. Dalam RUU Pertanahan, hak tersebut bisa diberikan kepada instansi pemerintah dalam bentuk “hak pengelolaan.” Saya menyoroti bagaimana sebetulnya pemahaman “hak menguasai dari negara” yang kemudian menjadi “pemberian hak pengelolaan kepada instansi-instansi” yang mengatur negara ini. Yang lebih spesifik lagi di dalam RUU Pertanahan adalah mereka yang mendapat hak pengelolaan bisa membagikan kembali hak-hak lain di atas hak pengelolaan tersebut. Jadi, itu bantalan berlebih. Misalnya, kasus di Kota Bandung. Banyak wilayah yang diklaim sebagai tanah pemerintah kota, dahulu kotapraja, kemudian dipindahkan hak miliknya– yang seharusnya sudah selesai di zaman UUPA diterbitkan. Sekarang, itu dijadikan dasar untuk mengusir warga, “karena itu tanah pemerintah kota.” Tampaknya, RUU Pertanahan akan mengesahkan itu semua, sehingga makin kecil peluang warga bisa mengakses tanah yang ada walaupun sudah menduduki, tinggal, dan menggarap tanah itu sekian puluh tahun. Seharusnya mereka diprioritaskan untuk meningkatkan status hak atas tanah itu menjadi hak milik. Yang juga agak membingungkan, UUPA tidak dihapus. Jadi, bagaimana, misalnya, hak guna usaha (HGU) di dalam RUU Pertanahan yang seharusnya menurut UUPA supaya redistribusi tanah-tanah itu bisa lebih produktif, diusahakan oleh mereka yang punya modal kemudian dikembalikan kepada negara dan dilanjutkan lagi oleh warga yang membutuhkan.
Akan tetapi, RUU Pertanahan tidak hanya bertujuan memproduktifkan tanah, melainkan juga mengomersialisasikan tanah. Karena di dalam RUU itu ada satu peruntukan, yang awalnya tidak ada, yaitu HGU untuk kepentingan pariwisata. Jadi, melalui hak guna usaha, para
 
pebisnis pariwisata yang semula tidak ada bisa mendapatkan basis hukum. Menurut saya, RUU Pertanahan bertujuan agar semua orang bisa melakukan apa pun di atas tanah yang ada di Indonesia dengan tidak memperhatikan kepentingan warga di sekitarnya, yang dibungkus dengan istilah “kepentingan umum.” Hal tersebut cocok dengan analisis Prof Soedarsono. Kita tidak perlu membaca RUU Pertanahan karena kerancuannya makin “TSM” (terstruktur, sistematis, masif). Intinya, “hak menguasai negara” yang dahulu diperdebatkan dan sempat “diluruskan” kini berada di jalan yang lebih kacau. Tidak ada lagi kontrol negara. Kekuasaan disalahgunakan, bahkan negara menjadi entitas tersendiri yang bisa memiliki tanah di Indonesia.
IH: Klarifikasi dua istilah saja. Kalau “hak menguasai negara” itu berarti tanah harus dikuasai oleh negara? Bagaimana dengan istilah “menguasai dari negara”?
HS: Yang saya pahami dari istilah “hak menguasai negara”, sebagaimana di dalam UUPA, adalah bukan “oleh”—sekarang menjadi “oleh dan dari.” Rancangan UndangUndang Pertanahan mempertegas kata “dan”, sehingga seolah-olah negara itu entitas yang bisa memiliki tanah. Sementara yang dimaksud dalam UUPA adalah negara sebagai bangsa. Sebagai sebuah bangsa yang menguasai, saat ada yang membutuhkan tanah tentunya akan diberikan.
Mengatasi Ketimpangan dan Hambatan Reforma Agraria
P: Saya mencatat ada beberapa problem pokok dari diskusi kita. Pertama, secara kelembagaan. Meski tidak secara eksplisit, tetapi secara implisit muncul di dalam bagan lebih besar soal reforma agraria terdiri dari Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial  (PS).  Hal  tersebut  mungkin  muncul
sebelum Reformasi 1998. Di sana ada semacam ketegangan antara dua “yurisdiksi”: Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian
 
Lingkungan Hidup (KLH). Misalnya, masalah hutan adat dan posisi hak masyarakat adat. Kedua, bagaimana RUU Pertanahan memandang soal PS, dan bagaimana problem ketegangan sosial yang ada di kawasan hutan. Saya tadi membayangkan PS itu semacam “keinginan” untuk mengatasi problem redistribusi lahan sekaligus tuntutan masyarakat adat atas kawasan hutan mereka. Kenapa RUU Masyarakat Adat sampai sekarang belum bisa disahkan?
Problem lainnya adalah di mana sebenarnya posisi negara dan di tingkat mana masyarakat berhak atas penguasaan tenurial, dan pada saat yang sama berhak memiliki tanah dalam arti sebagai kepemilikan perorangan. Ketegangan itu selalu muncul ketika terjadi konsentrasi lahan dan tanah. Persoalannya, bilamana negara harus memberikan hak atas penguasaan lahan dan bilamana menjadi hak atas pengelolaan? Contohnya di sebagian masyarakat adat. Mereka tidak mengenal konsep pemisahan antara hak legal kepemilikan dan pengelolaan; kami kuasai dan penguasaannya bersifat tenurial. Akan tetapi, di dalam negara modern, ada dua tingkat hak penguasaan tanah, seperti HGU, yang dalam waktu tertentu harus dikembalikan kepada negara, dan pada saat tertentu menjadi benarbenar kepemilikan dalam arti bisa diperjualbelikan melalui mekanisme pasar. Kepemilikan tanah sangat didominasi oleh mekanisme pasar, sedangkan penguasaan tanah masih memungkinkan negara untuk mengambilalihnya. Ketegangan itu akan selalu muncul, terutama dalam sistem kapitalisme global yang berkembang sekarang dengan ekspansi industri sawit dan segala macam land grabbing.
IH: Prof Soedarsono mengatakan bahwa
Perhutanan Sosial sebetulnya tidak ada urusan dengan Reforma Agraria. Namun, kebijakan yang sekarang seolah-seolah dijadikan solusi. Lantas, bagaimana usulannya?
DS: Istilah reforma agraria di dalam Perpres No. 86/2018 sebenarnya fokus pada TORA. Kalau dilihat dari subjeknya, Perhutanan Sosial adalah “kawasan Hutan Negara.” Perhutanan
 
Sosial itu hanya akses, kalau TORA memang nanti bisa sampai pada sertifikasi yang ujungnya Reforma Agraria. Distribusi akan sampai pada pemilikan. Jadi, ada tiga hal yang berbeda. Ada dua objek Reforma Agraria, yakni di kawasan hutan negara yang disebut TORA, namun TORA bukan hanya kawasan hutan. Objek TORA ada yang dua juta hektar, misalnya, perkebunan atau bahkan juga subjek yang menguasai tanah milik, yang sudah disinggung Dianto Bachriadi, tidak terjadi sama sekali. Jika Prof Soedarsono punya tanah puluhan hektar, maka ini seharusnya menjadi objek TORA yang harus diredistribusikan. Ada kawasan hutan dan kawasan hutan negara. Di luar kawasan hutan negara ada dua sisi objek, 4,1 juta hanya untuk TORA. Kawasan hutan negara menyediakan tiga hal: (1) untuk TORA yang memang akan dilepas menjadi bukan kawasan hutan negara;
(2) untuk masyarakat adat, berupa hutan adat; dan (3) perhutanan sosial berupa hak pengelolaan bagi masyarakat yang tak dipertahankan lagi sebagai kawasan hutan negara.
Untuk hutan adat bergantung dari tata ruangnya. Kalau tata ruangnya harus kawasan hutan, maka hutan adat akan tetap sebagai kawasan hutan adat, bukan kawasan hutan negara. Karena pengertian kawasan hutan itu fungsional, maka ia tetap dipertahankan sebagai hutan, terlepas dari kepemilikan atau penguasaannya. Kalau kita punya seribu hektar lalu fungsinya bagus secara ekologis, maka pemerintah wajib menata tanah-tanah yang menurut publik harus dalam bentuk hutan. Di beberapa negara sudah seperti itu. Kita sendiri masih sibuk dengan urusan mengatur hutan negara. Jadi, kalau saya punya tanah hak milik atau masyarakat adat mendaku dan mempertahankannya sebagai kawasan hutan, maka tanah tersebut wajib didaftarkan ke Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan.
Pendek kata, objek TORA itu ada yang di luar dan di dalam kawasan hutan. Yang di luar berarti akan dilepas menjadi kawasan TORA non-hutan. Yang Perhutanan Sosial itu akan dipertahankan sebagai hutan tetap. Kalau yang
 
hutan adat tergantung tata ruangnya. Kalau hutan adat itu ternyata dalam RTWP-nya bukan kawasan hutan tetap, maka masyarakat adat pada dasarnya boleh mengubahnya menjadi fungsi lain non-hutan. Kalau kemudian mereka mengajukan secara sukarela, peraturan perundangan akan memasukkannya sebagai kawasan hutan.
P: Apakah ada contoh kasus pengajuan sukarela?
DS: Ada, di salah satu kabupaten di Kalimantan Timur. Sebenarnya bukan kawasan hutan, tetapi hutan adat yang diajukan melalui permohonan si bupati. Memang belum meluas, tetapi ada kasus-kasus seperti itu. Sebaliknya, berdasarkan Putusan MK No.32 hutan adat dinyatakan sebagai hutan negara. Itu bukan kewenangan Menteri Kehutanan belakangan yang sekarang peta indikatifnya baru sekitar 400 yang merupakan kawasan milik masyarakat adat. Nanti bisa dilihat di Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). Kalau diminta untuk menjadi kawasan hutan, meski yang kelola masyarakat adat, hutan itu akan menjadi kawasan hutan tetap. Kawasan hutan bukan berarti milik negara. Kawasan hutan boleh saja dimiliki oleh individu atau masyarakat.
P: Jadi, siapa instansi terakhir yang menentukan dan memutuskan itu kawasan hutan atau bukan?
DS: Melalui proses RTRWP. Hutan adat
sudah dimasukkan dalam RTRWP, tetapi prosesnya berada di masyarakat. Itulah yang membuat semua penetapan RTRWP belum selesai, karena problem yang berkait dengan kepentingan tertentu.
DB: Sedikit menanggapi Prof Didik. Fungsi hutan adat itu memang dikehendaki sebagai hutan. Pemiliknya adalah masyarakat adat. Idealnya seperti itu. Masalahnya, seperti tadi diungkap Prof Soedarsono, jumlah yang ditetapkan sebagai kawasan hutan negara itu sangat sedikit; termasuk yang potensial menjadi hutan dan mungkin juga hutan adat. Ketika belum
 
ditetapkan semestinya sebagai hutan, meminjam istilah Prof Soedarsono, berarti ilegal. Karena itu, sebaiknya dibebaskan saja. Terserah masyarakat adat hendak mengelolanya seperti apa, termasuk menjadikannya sebagai hutan. Problem yang menyusul ketika belum ditetapkan oleh pemerintah, maka pengaturan fungsionalnya sudah imperatif di situ, sehingga masyarakat adat kehilangan otonomi atas tanahnya. Belum lagi soal legalisasi yang bergerak sangat lambat, bila pakai rujukan putusan MK. Karena itu, Kementerian LHK lebih senang memasukannya ke dalam skema Perhutanan Sosial, karena sudah jelas secara imperatif itu kawasan hutan. “Kami pinjamkanlah 35 tahun untuk dikelola,” tetapi fungsinya mengikuti aturan penatagunaan lahan hutan: konservasi, lindung, dan sebagainya. Dengan kata lain, soal hutan adat atau tanah masyarakat adat memang sangat mendasar. Apakah negara mau sungguh-sungguh memberikan atau mengembalikan kedaulatan kepada masyarakat adat?
Secara faktual jauh lebih problematis. Di situ sudah beroperasi berbagai macam perizinan. Konflik pun ada di situ. Ketika “digarap” korporasi untuk macam-macam izin dan sebagainya, kemudian dikatakan “this is not clean and clear,” maka semuanya menjadi macet dan buntu. Artinya, memang harus dimulai dari tataran paling bawah, baik niatan politiknya, legal base-nya, maupun praktiknya dalam jangka panjang. Hal tersebut sama seperti Reforma Agraria yang tidak akan bergerak jauh, kecuali yang selalu dikaitkan pemerintah dengan jumlah sertifikat. Secara teoretis-konseptual, hendak dianalisis dari sudut pandang mana pun, jumlah sertifikat this is not agrarian reform.
Kalau mau reforma agraria, maka struktur penguasaan tanah yang timpang harus dipecahkan. Namun, banyak sekali kepentingan dan keinginan politik dalam tubuh pemerintah yang menghambat pelaksanaan reforma agraria. Orang yang berhak mendapat tanah, seperti petani tak bertanah atau penggarap tanah kecil, justru tidak mempunyai kedaulatan atas tanah. Kalau di dalam UUPA, pensiunan buruh bisa
 
mendapat tanah telantar dengan asumsi kehidupannya setelah pensiun bisa lebih baik. Akan tetapi, redistribusi aset seperti itu bukan jalan keluar. Kebijakan RAPS yang sekarang sudah “mengunci”: tanah harus clean and clear. Dengan demikian, dia atau mereka tidak akan mendapatkan jumlah seperti yang diharapkan dalam TORA, yakni 4,5 juta hektar atau lebih. “Pertarungan” untuk menetapkan tanah telantar memang sangat sengit. Banyak korporat yang tidak menggarap tanah, tetapi dikerjakan pihak lain dengan cara sewa, agar tidak dikatakan tanah telantar. Seharusnya HGU-nya dicabut, sehingga menjadi objek landreform. Jadi, pemerintah sendiri mempersempit ruang gerak atas sebuah cita-cita yang besar. Kesenjangan itulah yang membuat Pak Gunawan Wiradi menyimpulkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir tidak ada Reforma Agraria. Meminjam penjelasan Prof Soedarsono, ruang geraknya bermain di wilayah hutan yang masih ilegal. Sebagai contoh, konsep Areal Penggunaan Lain (APL) di dalam kawasan hutan sebetulnya merupakan keinginan untuk tidak melepas kawasan hutan. Boleh digunakan untuk kebun dan sebagainya, tetapi bila sudah selesai dihutankan lagi. Itulah makna kawasan hutan tetap yang tidak dilepas.
P: Padahal seharusnya dilepas?
DB: Dilepas, kemudian digunakan untuk aktivitas non-kehutanan. Akan tetapi, harus dikembalikan lagi bila aktivitas non-kehutanan itu sudah selesai. Sebagaimana dikatakan Prof Soedarsono , kita harus memeriksa yang sudah dikukuhkan sebagai kawasan hutan. Ternyata jumlahnya kecil dan tidak jelas; masih pseudo forest. Kalau dia atau mereka tidak mau “main” kawasan yang besar, karena banyak perizinan, korporasi, dan sebagainya, maka ruangnya menjadi sempit. Negara seharusnya memperbesar ruang itu. Namun, kenyataan politik setelah Reformasi, rezim itu sendiri tidak mau memperbesar kapasitas ruang politik pelaksanaan Reforma Agraria. Pemerintah mengikuti situasi faktual di luar kontrol, sehingga tidak
 
punya kuasa lagi. Korporat atau tuan tanah justru yang lebih berkuasa. Belum lagi kepentingan global lewat Bank Dunia dan sebagainya yang bertujuan menciptakan pasar tanah. Pemerintah sendiri tetap bermain di wilayah yang paling aman: bagi-bagi sertifikat.
Kalau dari 4,5 juta hektar baru tercapai sekitar satu juta hektar, atau malah kurang, maka redistribusi lahan seluas 4,5 juta hektar itu sama sekali tidak mengubah rasio gini ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah rumah tangga petani yang angka moderatnya 0,56. Saya dan Pak Gunawan Wiradi punya dua angka ketimpangan penguasaan tanah. Yang dikuasai petani untuk lahan pertanian 0,56. Kalau petani tak bertanah dimasukkan sebagai faktor pembagi, maka rasio gininya 0,7. Jika petani tak bertanah dikeluarkan dari simulasi model, lantas kita masukkan TORA 4,5 juta hektar, sehingga mencakup petani pemilik tanah di bawah setengah hektar, angka ketimpangannya sedikit bergeser menjadi 0,48. Kita bisa buat bermacam skenario, tetapi tetap tidak signifikan mengurangi ketimpangan. Mereka yang mendapat tanah kecil akan melepas tanahnya, sehingga kembali terjadi konsentrasi kepemilikan.
GW: Tanah yang kecil-kecil itu dijual ke pemilik tanah besar?
DB: Pada praktiknya seperti itu. Bahkan, ada yang sudah menjual sebelum tanah itu dibagikan. Dengan kata lain, selain modal tanah terlampau kecil, ruang politik yang seharusnya dibuka sebagai prasyarat RA supaya bisa masuk ke wilayah yang sensitif dalam soal penentuan objek reforma agraria, yang juga krusial adalah menentukan subjek penerimanya. Saat ini, dengan berbagai macam tinjauan, analisis, bongkar ini-itu, hitung sana-sini, tidak lantas terlaksana Reforma Agraria. Itu cuma bahasa politik yang populis.
SS: Jadi, kita mau seperti apa? Sepenuhnya terikat pada hak atas kepemilikan tanah yang bisa dijual atau hak yang dibatasi seperti HGU yang bersifat sementara? Hak guna usaha pun sebenarnya juga bisa berpindah tangan. Seba-
 
gai orang yang belajar “ekonomi kapitalis”, sebaiknya pilih hak milik saja. Namun, yang terjadi di lapangan agaknya tidak seperti itu. Sebagai contoh Malaysia. Kita sulit memindahtangankan perkebunan sawit yang didapat dari pemerintah kepada orang lain. Kita harus meminta izin hingga ke perdana menteri. Jika hendak dipindahtangankan, saya pasti sulit untuk mendapatkan izin.
Kalau saya berpatokan pada konsep HGU dengan lahan seluas 5-10 hektar, negara masih punya kontrol. Namun, ada semacam ketidakpastian seperti misalnya di Taman Nasional Tesso Nilo, Provinsi Riau. Ada perluasan kawasan, tetapi di sana sudah ada masyarakat setempat yang tidak hadir di lapangan. Ada lahan, tetapi kosong, kemudian diklaim sebagai Taman Nasional Negara. Di situ muncul ketidakpastian. Ketika ada ketidakpastian, yang berani masuk ke kawasan itu adalah orang yang berani ambil risiko, yakni mereka yang kuat dan punya duit berlebih. Ketidakpastian justru menguntungkan mereka.
P: Terimakasih Prof Soedarsono. Saya persilakan Gunawan Wiradi memberikan pendapat dan pandangan.
GW: Kita mau mengambil kebijakan agraria
apa saja silakan. Namun, jangan mendaku itu Reforma Agraria, karena klaim ini akan menyesatkan generasi muda. Ciri Reforma Agraria itu banyak. Referensinya, antara lain, dari hasil Konferensi FAO 1979 di Porto Alegre, Brasil. Pertama, tujuan reforma agraria adalah restrukturisasi kepemilikan/penguasaan tanah. Kedua, punya time-frame dan bertahap. Karena itu, badan pelaksananya bersifat ad hoc, bukan dilaksanakan oleh kementerian ini atau itu yang permanen. Keliru! Begitu pula dengan redistribusi yang merupakan istilah statistik, bukan bagi-bagi tanah. Istilah statistik “meninjau ulang atau menata ulang sebaran” adalah redistribusi. Ketiga, sertifikasi merupakan langkah terakhir dari reforma agraria. Di balik sertifikasi biasanya ada semacam political trick. Umpamanya, saya seorang investor. Kalau saya mengambil tanah
 
begitu saja pasti akan dihukum. Karena itu, tanah yang akan saya rebut harus dilegalkan lebih dahulu dengan sertifikat.
Sekarang ini kita sedang menghadapi “tekanan” tiga arah, yakni dari atas berupa globalisasi ekonomi, dari samping privatisasi, dan dari bawah otonomi daerah. Sumber ketiganya sama: neolib. Pada 2003, saya menyumbang tulisan untuk Konferensi Ikatan Sosiologi Indonesia menanggapi amandemen keempat UUD 1945. Kita, negara Indonesia, sedang dalam keadaan bukan lagi Republik Proklamasi. Sistem tata negaranya rancu. Hukum dan dunia pendidikan tidak jelas. Saya pernah mengatakan di Mahkamah Konstitusi, “Saya bukan ahli hukum. Saya tidak bicara pasal, tetapi saya tahu. Saya pernah membaca karya tulis seorang ahli hukum dari Barat yang mengatakan bahwa ‘undang-undang itu dibuat kalau diperlukan’.” Lantas, bagaimana kita tahu diperlukan atau tidak? Harus melakukan penelitian! Sekarang tidak seperti itu. Rancangan peraturan perundang-undangan cenderung diproyekkan. Sepuluh tahun ke depan mungkin saja ada “undangundang orang batuk.” Pasal 1, batuknya ke kiri. Pasal 2, batuk ke kanan. Semua amanat para pendiri republik diingkari. Perhutanan Sosial hanya sebagian saja dari TORA. Tanah berada di Kalimantan, tetapi orang yang akan diberikan tanah itu ada di sini. Seharusnya tidak seperti itu. India, misalnya, memakai batas maksimumminimum kepemilikan/penguasaan tanah, tetapi diterapkan berbeda-beda karena diatur sesuai dengan jumlah penduduk .
Nawacita-nya Jokowi memang bagus, tetapi agak “menyimpang” ketika dijabarkan, Bahkan, bank tanah terjun ke agribisnis. Semestinya sewa-menyewa atau transaksi jual beli hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Karena butuh uang, seorang petani mengagun-
 
kan tanah miliknya di bank. Saya bukan petani tetapi punya banyak duit. Saya tidak boleh sertamerta mengambil tanah yang diagunkan itu. Dahulu, setahun setelah Indonesia merdeka, Bung Hatta berpidato. “Kalau kita merdeka apa yang dibenahi lebih dulu? Agraria.” Bagi bangsa Indonesia, tanah bukan barang dagangan. Namun, pada zaman Orde Baru, salah seorang menteri mengatakan bahwa, “Tanah adalah komoditas strategis.” Untuk memfasilitasi kepentingan modal, khususnya modal asing. Jadi, kini memang sudah banyak terjadi penyimpangan. Bung Hatta pernah mengatakan, “Perkebunan-perkebunan besar itu dulu tanahnya milik rakyat, tetapi jatuh ke modal Belanda karena kongkalingkong dengan para sultan.” Pada 1958, semua perkebunan besar dinasionalisasi. Militer masuk dan menjadi administrator perkebunan-perkebunan tersebut.
Jadi, tugas generasi muda sekarang yang ingin tetap lurus dan setia pada cita-cita Proklamasi memang sangat berat. Sudah terlalu banyak penyimpangan. Sebagai contoh, amandemen UUD 1945 pasal 28H, ayat 4, “setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.” Itu membawa implikasi pada hak atas tanah, yang pada zaman kolonial disebut hak eigendom. Di sisi lain, UUPA pasal 6 menegaskan bahwa “semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial.” Arti hak milik mempunyai fungsi sosial itu adalah hak milik yang dipunyai seseorang tidak boleh digunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau perseorangan, melainkan juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat umum. Pertanyaannya, bagi bangsa Indonesia, tanah itu milik siapa? Milik Tuhan. Kalau milik Tuhan, kita tidak perlu diskusi. Menurut saya, tanah adalah milik bersama bangsa Indonesia!•