Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Kenormalan Baru: Keteguhan pada Pancasila

Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri

Pandemi Covid-19 yang menjalar ke seluruh penjuru dunia telah menyadarkan banyak orang bahwa masalah kesehatan masyarakat sangat erat berkait dengan sistem ekonomi-politik global dan mau tak-mau telah mengubah tatanan kehidupan global menuju apa yang dalam beberapa bulan terakhir disebut new normal–kenormalan baru. Tidak ada satu pun negara bisa menghindar dari pandemi itu, namun penanganannya sangat bergantung pada kapa- sitas dan kekhasan setiap negara. Secara normatif, sebagai sebuah negara-bangsa modern, Indonesia memiliki pandangan hidup Pancasila, yang tidak hanya berwatak nasionalis, namun dalam konteks perjuangan umat manusia juga berwatak internasionalis. Pertanyaannya, apa relevansi Pancasila dalam menghadapi problem seperti krisis ekonomi yang mengarah pada resesi global dan pandemi saat ini? Apa sumbangsihnya bagi keadilan sosial global dan kerja sama internasional, terutama dalam konteks mengatasi pandemi Covid-19 saat ini? Bagaimana seharusnya Indonesia menghadapi semua itu? Untuk itu Prisma mewawancarai Megawati Soekarnoputri, Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, menjelang peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2020. Berikut petikan wawancara tertulisnya.

 

Prisma (P): Dalam dunia yang terus mengglobal terutama melalui sistem komu- nikasi dan perdagangan internasional, tak ada satu pun negara lolos dari pandemi Covid-19. Meskipun berbagai upaya untuk mengatasinya telah dilakukan, Indonesia termasuk negara yang paling terdampak, baik dari segi kese- hatan maupun perekonomian, dan kewalahan mengatasinya. Tanggapan Ibu?


Megawati Soekarnoputri (MS): Wabah Covid 19 bukan hanya melanda Indonesia, tetapi terjadi pula di banyak negara. Covid 19 telah menjadi pandemi global. Virus ini memang tidak hanya memakan korban jiwa, tetapi juga mengu- bah tatanan kehidupan, termasuk sistem ekono- mi. Virus ini tidak pilih-pilih orang, kaya atau mis- kin bisa saja terjangkit. Negara miskin, berkem- bang, hampir maju atau bahkan negara maju pun tidak dapat menghindar dari Covid 19. Negara yang menganut sistem kapitalis, komunis, so- sialis, kesejahteraan atau teokratis sama-sama menjadi sasaran Covid 19. Saya tidak akan mengajak menelisik indikasi adanya konspirasi perang dagang yang diduga sebagai pemicu lahirnya Covid 19. Saya akan mengajak pembaca untuk melihat dari sudut pandang berbeda.
 

(P): Pemerintah Indonesia belum lama ini mengumumkan dan menyatakan kemungkinan kita hidup dalam kondisi new normal, kenor- malan baru. Apa yang dimaksud, arti dan maknanya bagi Indonesia?


(MS): Salah satu akibat dari pandemi Covid- 19 adalah lahirnya suatu istilah baru, yaitu new normal, kenormalan baru. Menarik! Covid-19 telah memaksa kita untuk masuk pada suatu definisi “kenormalan” yang baru. Normal bukan berdasarkan persepsi mayoritas, tetapi normal yang tidak disekat oleh perbedaan suku, agama, kelompok, golongan, pandangan politik, atau sistem ekonomi. Normal yang harus bisa bersi- fat dan berlaku secara universal. New normal berarti juga new world, dunia baru. Dunia baru yang membutuhkan tata dunia baru.


(P): Berbagai analis menyimpulkan bahwa ketimpangan global saat ini terus meningkat, meski jumlah penduduk miskin, baik global maupun nasional, terus menurun. Secara rata- rata pendapatan per kapita beberapa negeri berkembang, seperti Indonesia, terus mening- kat. Namun demikian, salah satu sebab utama- nya karena rezim neo-liberalisme yang mem- buat ketimpangan tersebut semakin melebar. Satu persen elite global menguasai kekayaan dunia. Bagaimana posisi Indonesia meng- hadapi situasi saat ini? Bagaimana dengan relasi antar-bangsa dalam era normal baru dan new world?


(MS): Saya teringat pada pidato Bung Karno dalam Sidang Umum PBB, 30 Septem- ber 1960, yang berjudul To Build the World Anew (Membangun Tata Dunia Baru). Bung Karno telah mengajarkan kepada kita, bangsa Indonesia yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan bangsa yang egois dan individualis, tidak boleh mencari untung dan aman sendiri. Barangkali ada yang bertanya, bagaimana mungkin kita akan memperjuangkan umat manusia jika kita tidak terlebih dahulu memperjuangkan rakyat kita sendiri. Saya bertanya hal sebaliknya, dalam kondisi dan situasi yang tercipta sebagai dampak Covid 19, bagaimana caranya bangsa Indonesia dapat bangkit tanpa bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain? Lantas, apakah bekerja sama dengan bangsa lain berarti menyerahkan kedaulatan bangsa kita kepada bangsa lain? New normal tentu saja bukan berarti Indonesia menyerahkan nasib bangsa ke tangan orang lain, yang artinya menyerahkan kedaulatan kita pada bangsa lain. Karena itu, new normal bagi NKRI harus kita pastikan sebagai momentum berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila, new normal yang berpedoman pada haluan ideologi Pancasila. Bangkit dari akibat pandemi Covid-19 bukan dalih Indonesia masuk pada perangkap liberalisasi politik dan ekonomi, yang pada akhirnya justru menjauhkan rakyat Indonesia dari keadilan dan kesejahteraan sosial, men- jauhkan Indonesia dari Pancasila.


Covid -19 telah membuka mata kita, meng- gedor kesadaran kita: tidak ada satu bangsa pun di muka bumi ini yang dapat mengisolasi dan menjauhkan diri dari pergaulan antar-bangsa! Semua bangsa dituntut untuk masuk pada solidaritas tanpa batas. Namun demikian, agar kerja sama antar-bangsa tidak berujung pada eksploitasi bangsa yang kuat terhadap yang lemah, saya kembali mengingatkan gagasan Bung Karno dalam Sidang Umum PBB Sep- tember 1960. Kerja sama antar-bangsa harus memiliki pegangan, nilai-nilai Ketuhanan, ke- manusiaan, persatuan, demokrasi untuk men- capai kesejahteraan sosial yang terkandung dalam Pancasila. Saya yakin amanat tersebut masih sangat relevan dalam konteks new nor- mal, new world pasca-pandemi Covid 19. Bagi NKRI, relasi kerja sama antar-bangsa harus berpedoman pada haluan ideologi Pancasila.
Saya sengaja mengutip utuh nilai-nilai Pancasila yang disampaikan Bung Karno dalam pidato berjudul To Build the World Anew, agar kita memiliki keyakinan bersama bahwa kerja sama dengan bangsa lain bukan berarti kehilangan nasionalisme kita.

“Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Bang- sa saya meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama: ada yang Islam, ada yang Kristen, ada yang Buddha dan ada yang tidak menganut sesuatu agama. Meskipun demikian, untuk delapan puluh lima persen dari sembilan puluh dua juta rakyat kami, Bangsa Indonesia terdiri dari para pengikut Islam. Berpangkal pada kenyataan ini dan mengingat akan berbeda-beda tetapi persa- tuannya bangsa kami, kami menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai yang paling utama dalam filsafat hidup kami. Bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhan pun, karena toleransinya yang menjadikan pemba- waan, mengakui bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa merupakan karakteristik dari bangsanya, sehingga mereka menerima sila pertama ini.


Kemudian sebagai nomor dua ialah Nasionalisme. Kekuatan yang membakar dari nasio- nalisme dan hasrat akan kemerdekaan mem- pertahankan hidup kami dan memberi ke- kuatan kepada kami sepanjang kegelapan pen- jajahan yang lama, dan selama berkorbannya perjuangan kemerdekaan. Dewasa ini ke- kuatan yang membakar itu masih tetap me- nyala-nyala di dada kami dan tetap memberi kekuatan hidup kepada kami! Akan tetapi, na- sionalisme kami sekalipun bukanlah Chauvi- nisme. Kami sekali-kali tidak menganggap diri kami lebih unggul dari bangsa-bangsa lain. Kami sekali-kali tidak pula berusaha untuk memaksakan kehendak kami kepada bangsa- bangsa lain. Saya mengetahui benar-benar, bahwa istilah “Nasionalisme” dicurigai, bahkan tidak dipercayai di Negara-negara Barat. Hal ini disebabkan karena Barat telah memper- kosa dan memutarbalikkan nasionalisme. Padahal, nasionalisme yang sejati masih tetap berkobar-kobar di Negara-negara Barat. Jika tidak demikian, maka Barat tidak akan menan- tang dengan senjata Chauvinisme Hitler yang agresif.


Tidakkah nasionalisme –sebutlah jika mau, patriotisme– mempertahankan kelangsungan hidup semua bangsa? Siapa yang berani me- nyangkal bangsa, yang melahirkan dia? Siapa yang berani berpaling dari bangsa, yang menjadikan dia? Nasionalisme adalah mesin besar yang menggerakkan dan mengawasi semua kegiatan internasional kita: nasionalisme adalah sumber besar dari inspirasi agung dari kemerdekaan.


Nasionalisme kami di Asia dan Afrika tidak- lah sama dengan yang terdapat pada sistem Negara-negara Barat. Di Barat, nasionalisme berkembang sebagai kekuatan yang agresif yang mencari ekspansi serta keuntungan bagi ekonomi nasionalnya. Nasionalisme di barat adalah kakek dari imperialisme, yang bapaknya adalah kapitalisme. Di Asia dan Afrika, dan saya kira juga di Amerika Latin, nasionalisme adalah gerakan pembebasan, suatu gerakan protes terhadap imperialisme dan kolonialisme, dan suatu jawaban terhadap penindasan Nasionalis- me-Chauvinis yang bersumber di Eropa. Nasio- nalisme Asia dan Afrika serta nasionalisme Amerika Latin tidak dapat ditinjau tanpa mem- perhatikan inti sosialnya.


Di Indonesia, kami menganggap inti sosial itu sebagai pendorong untuk mencapai kea- dilan dan kemakmuran. Bukankah itu tujuan baik yang dapat diterima oleh semua orang? Saya tidak berbicara hanya tentang kami sendiri di Indonesia, juga tidak hanya tentang saudara-saudara saya di Asia dan Afrika serta Amerika Latin. Saya berbicara tentang seluruh dunia. Masyarakat yang adil dan makmur dapat merupakan cita-cita dan tujuan semua orang.


Mahatma Gandhi pernah berkata: “Saya se- orang nasionalis, akan tetapi nasionalisme saya adalah perikemanusiaan”. Kami pun berkata demikian. Kami nasionalis, kami cinta kepada bangsa kami dan kepada semua bangsa. Kami nasionalis karena kami percaya sekarang ini, dan kami akan tetap demikian, sejauh mata dapat memandang ke masa depan. Karena kami nasionalis, maka kami mendukung dan menganjurkan nasionalisme, di mana saja kami jumpainya.


Sila ketiga kami adalah Internasionalisme. Antara nasionalisme dan internasionalisme tidak ada perselisihan atau pertentangan. Memang benar, bahwa internasionalisme tidak akan dapat tumbuh dan berkembang selain di atas tanah yang subur dari nasionalisme. Bukankah organisasi Perserikatan Bangsa- Bangsa itu merupakan bukti yang nyata dari hal ini? Dahulu ada Liga Bangsa-Bangsa. Kini ada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Nama-nama itu sendiri menunjukkan bahwa kedua-duanya tidak akan bisa berdiri tanpa adanya bangsa- bangsa dan nasionalisme. Justru adanya kedua organisasi itu menunjukkan bahwa bangsa- bangsa mengingini dan membutuhkan suatu badan internasional, di mana setiap bangsa mempunyai kedudukan yang sederajat. Inter- nasionalisme sama sekali bukan kosmopolitanis- me, yang merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme, yang anti-nasional dan memang bertentangan dengan kenyataan.

Sebetulnya internasionalisme yang sejati adalah pernyataan dari nasionalisme yang sejati, di mana setiap bangsa menghargai dan menja- ga hak-hak semua bangsa, baik yang besar maupun yang kecil, yang lama maupun yang baru. Internasionalisme yang sejati adalah tanda, bahwa suatu bangsa telah menjadi dewasa dan bertanggung jawab, telah mening- galkan sifat kekanak-kanakan. Mengenai rasa keunggulan nasional atau rasial, telah mening- galkan penyakit kekanak-kanakan tentang chauvinisme dan kosmopolitanisme.

Sila keempat adalah Demokrasi. Demokrasi bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat. Lebih tegas, demokrasi tampaknya merupakan keadaan asli dari manusia, meski- pun diubah untuk disesuaikan dengan kondisi- kondisi sosial yang khusus. Selama beribu-ribu tahun ini dari peradaban Indonesia, kami telah mengembangkan bentuk-bentuk demokrasi Indonesia. Kami percaya, bahwa bentuk-ben- tuk ini mempunyai pertalian dan arti interna- sional.
Akhirnya, sila yang menghabiskan dan yang terutama ialah Keadilan Sosial. Pada kedilan sosial ini kami rangkaikan kemakmuran sosial, karena kami menganggap kedua hal ini tidak dapat dipisah-pisahkan. Benar, hanya suatu masyarakat yang makmur dapat merupakan masyarakat yang adil, meskipun kemakmuran itu sendiri bisa bersemayam dalam ketidaka- dilan sosial.

… Demikianlah Pancasila kami. Ketuhanan Yang Maha Esa. Nasionalisme, Internasionalis- me, Demokrasi dan Keadilan Sosial. Itulah dasar-dasar yang telah diterima sepenuhnya
 
oleh bangsa saya dan yang dipergunakannya sebagai pedoman bagi segala kegiatan politik, ekonomi dan sosial…. Akan tetapi, saya sung- guh-sungguh percaya, bahwa Pancasila mengandung lebih banyak daripada arti nasional saja. Pancasila mempunyai arti universal dan dapat digunakan secara internasional.”

Coba kita resapkan dalam batin bersama untaian kalimat di atas. Bung Karno telah mele- takkan fondasi Indonesia menjadi bagian dari perdamaian, kemerdekaan, keadilan dan kese- jahteraan sosial bangsa-bangsa. Di sisi lain, kita harus pula menyadari bahwa Indonesia dapat berperan dalam kancah internasional hanya apabila Indonesia maju. Untuk menjadi negara maju, konsekuensinya perkuat riset dan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi nasional. Pan- demi Covid-19 membuktikan bahwa riset men- jadi tonggak penting dalam penanganan secara terintegrasi di berbagai bidang.

(P): Dalam posisi dan peran Indonesia tersebut dan dalam rangka memperingati 75 tahun lahirnya Pancasila 1 Juni dan Kemer- dekaan RI, dalam situasi krisis saat ini, baik karena sebab struktural maupun karena pan- demi yang telah menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan global, sebagai pandangan hidup bangsa apakah Pancasila masih relevan?


(MS): Saya menegaskan new normal bagi NKRI adalah NKRI yang pembangunannya berbasis pada riset dan inovasi nasional yang berpedoman pada haluan ideologi Pancasila. Tidak mungkin cita-cita Pancasila, yaitu mewu- judkan keadilan dan kesejahteraan sosial, tercapai tanpa riset dan inovasi nasional yang kokoh.
Sejak awal saya telah mengingatkan pen- tingnya riset dan inovasi nasional sebagai basis pembangunan di segala bidang kehidupan. Pembangunan yang terencana, terukur, ter- arah, tepat guna dan tepat sasaran tidak mung- kin lahir tanpa riset yang matang, tentu saja termasuk dalam menghadapi Covid-19 dan untuk bangkit dari keterpurukan akibat dampak
 
Covid-19. Bagi saya, Pancasila bukan sekadar diskursus yang bertengger di menara gading. Bagi saya, nilai-nilai Pancasila wajib diimple- mentasikan dalam kebijakan pembangunan nasional yang berorientasi pada kepentingan nasional dalam taman sari internasional. Pan- casila bagi saya bukan ideologi tertutup. Panca- sila adalah ideologi yang membawa pencerahan bagi kehidupan. Atas dasar pemikiran itulah maka implementasi Pancasila tak mungkin tanpa beriringan dengan pemajuan dan pe- nguatan riset ilmu pengetahuan dan teknologi nasional.

Pada pengujung tahun 2019 lahir Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek). Dalam undang-undang itu dite- gaskan peran dan kedudukan ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu: (1) menjadi landasan dalam perencanaan pembangunan nasional di segala bidang kehidupan yang berpedoman pada haluan ideologi Pancasila; (2) meningkatkan kualitas hidup dan mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat; (3) meningkatkan ketahanan, kemadirian dan daya saing bangsa;
(4)    memajukan peradaban bangsa yang berda- sarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjaga nilai etika sosial yang berperikemanusian; dan
(5)    melindungi seluruh wilayah NKRI, serta melestarikan dan menjaga keseimbangan alam. Selain itu, diamanatkan pula pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional, serta kerja sama Iptek dengan negara lain harus berpegang pada prinsip politik luar negeri bebas aktif dan menjamin adanya alih teknologi. Bagi saya, UU Sisnas Iptek ibarat peta jalan menuju keadilan sosial.

Bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945 yang diperingati di tengah pandemi Covid-19, saatnya NKRI masuk pada new nor- mal, yaitu NKRI yang penyelenggaraannya teguh berpedoman pada haluan ideologi Panca- sila. Menurut saya, Covid-19 menjadi momen- tum bagi bangsa Indonesia untuk bergegas bersama menjalankan amanat UU Sisnas Iptek. Bangkit dari keterpurukan, berlari mengejar segala ketertinggalan dan keterbelakangan. Saatnya Indonesia menyusun langkah dan stra- tegi mengoptimalkan potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi yang terencana, terukur dan terarah pada kepentingan nasional, untuk mam- pu berperan aktif dalam pergaulan antar-bangsa. Keadilan dan kesejahteraan sosial hanya dapat terwujud jika bangsa Indonesia berjuang ber- sama dalam semangat persatuan. Pupus segala pertentangan dan kebencian akibat perbedaan suku, agama, ras atau golongan. New normal: bersihkan hati, jiwa dan pikiran, bergandengan tangan, bahu-membahu memeras keringat bersama, membanting tulang bersama untuk kemajuan bersama. Itulah New Normal NKRI. New normal bagi NKRI adalah ketika Pancasila bukan lagi sekadar wacana, pada saat itu pula keadilan dan kesejahteraan sosial niscaya terwujud!•