Bentuk komunikasi verbal yang dipertahankan sebagai penafsir tindakan tampaknya selalu menandai bidang inti kebudayaan yang sangat dilembagakan. Di sisi lain, dinamika komunikasi dalam masyarakat Jawa yang disebut pelesetan mungkin merupakan sebuah penafsir baru kebudayaan. Sebagai sebuah bentuk konsolidasi perlawanan, kata dan bahasa seperti itu tidak “bermain” dihamparan tuturan langsung, tetapi ia adalah “pemain” utama yang baik dalam tuturan simbolik. Namun demikian, tanpa pemahaman yang memadai terhadap substansi “Jawa”, bukan tidak mungkin konstruksi inferensi pelesetan akan kehilangan signifikansinya.
Kata Kunci : anekdot, komunikasi verbal, pelesetan, simbolik, tradisi
Analisis kebudayaan setidak-tidaknya harus relevan terhadap pemahaman pelbagai dimensi yang senantiasa berubah. Seseorang sering kali terpaku pada kelangsungan gagasan, meski ia selalu berhadapan dengan perubahan, tempat yang bisa diharapkan munculnya gagasan baru pengganti gagasan yang ada. Akibatnya teramat jelas, seseorang atau komunitas tersebut dipastikan tidak akan menemukan “banyak hal” (misalnya, humor, komentar politis, sosial ataupun “pernyataan-pernyataan” arif tentang situasi tertentu).
Gagasan atau bahkan bentuk-bentuk komunikasi verbal yang tetap dipertahankan sebagai pedoman dan penafsir tindakan, kendati berlangsung perubahan struktural dan perkembangan global, akan menandai bidang-bidang inti kebudayaan yang sensitif dan selama ini amat sangat dilembagakan. Tulisan ini berupaya memahami bagian inti semacam itu, terutama melalui dinamika komunikasi Jawa yang disebut pelesetan.1
Pemikiran Filosofis
Bagi dunia Jawa, pelesetan bisa jadi merupakan gagasan kesemestaan manusia yang sedang mengalami perkembangan dari keadaan ketika ia diterima sebagai fakta inferensi (pemikiran logis) yang tidak tepisahkan dari eksistensi kejawen,2 dan kesanggupan masyarakat Jawa dalam mengembangkan akal budi secara penuh, serta keharusan beradaptasi biologis terhadap alam.3 Bahkan, bahasa pelesetan Jawa secara halus—yang tentu saja tidak kasat mata—merupakan semacam “konsolidasi” perlawanan secara simbolis.
Konsolidasi perlawanan melalui simbol justru sangat penting dan menentukan. Simbol merupakan dunia batin (inner-world), bukan dunia wadak (outer-world). Simbol-simbol bahasa adalah salah satu aspek dari puncak kesadaran diri budaya Jawa yang sangat kuat, terlebih bila hal itu untuk melaksanakan integritas dan kemampuan menemukan “jalan” dalam menyesuaikan diri dengan dunia modern dan perubahan sosial.4
Bahasa pelesetan adalah soal budaya manusia Jawa. Ia memungkinkan munculnya pemikiran filosofis dari kandungan sintaksis gramatikal bahasa, luasnya kemungkinan bahasa sebagai sarana berpikir, baik wahana ungkapan maupun ideologis. Namun, penggunaan bahasa yang amat khas itu tidak mungkin dapat dipahami dengan baik tanpa pengertian konsepsi bahasa itu sendiri secara tepat. Bagaimanapun juga, bahasa pelesetan merupakan bahasa yang mampu “membina” model tentang dunia nyata yang memengaruhi dan menguasai kehidupan sebagian individu dan masyarakat.5
Banyak contoh sederhana bidang jiwa dan masyarakat tempat sistem bahasa menunjukkan dayanya: nama warna, sistem kekerabatan, sistem tense dan gender, sistem aktif-pasif, dan lain-lain.6 Karena itu, dapat dikatakan bahwa budaya-bahasa pelesetan adalah “fenomena kelakuan” sangat khas orang Jawa—mereka yang selama ini dituding oleh para javanis tidak menyukai perubahan budaya dan enggan berinisiatif.7 Namun, dengan merebaknya budaya pelesetan, harus diakui bahwa anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar.
“Rekaman” serta bukti tersebut ada dalam catatan Umar Kayam.8 Pelesetan-pelesetan Kayam adalah semacam “sketsa” yang dapat dilihat sebagai suatu komentar sosial. Pelesetannya merupakan “harapan-harapan” yang akan menyertai orang Jawa dalam memasuki perubahan sosial yang menghadang. Bukankah susunan masyarakat Jawa sudah tidak “tertutup” lagi? Seandainya masih ada, bagaimanapun ketertutupan itu tetap tidak dapat bertahan menghadapi “gempuran” nilai-nilai modern.9 Budaya pelesetan ibarat musik beraliran new age (zaman baru) yang kental dengan dentingan “bunyi” bersumber dari alam. Atau mungkin budaya Jawa tersebut bisa dikatakan sebagai comedy of error, bermain-main karena “salah pengertian”.10 Walaupun demikian, pelesetan tetap memiliki “spesifikasi kinerja” yang berguna menyusuri struktur sosial bersifat ritualistis: perubahan dan kejadian baru harus dimasukkan secara formal ke dalam struktur keadaan yang sudah ada.
Pengibaratan dengan new age dan comedy of error seolah-olah memberi perlindungan pada pelesetan itu sendiri. Artinya, penyimpangan yang selalu dihasilkan oleh bahasa-budaya pelesetan diupayakan tidak terlampau jauh melangkah (kadohan penjangkah). Perlu diingat, yang menonjol dalam nilai-nilai Jawa adalah ikhtiar menjaga harmoni dan menghindari konflik, baik dalam dimensi hierarkis maupun dimensi komunal. Cara utama mencapai keadaan itu adalah dengan “mengembangkan” toleransi pasif terhadap orang lain—tetangga, rekan sedesa atau kerabat dekat lainnya. Tekanan new age selalu bermuara pada penyesuaian diri terhadap katentreman. Demikian pula dengan pelesetan yang selalu merupakan pengungkapan diri secara tidak langsung—demi menjaga katentreman alam. Praktik-praktik pelesetan selalu bersembunyi di balik sopan-santun dan tingkah laku éthok-éthok (kepura-puraan). Hal itu penting bagi individu untuk menjaga diri dari tekanan masyarakat.11
Pada dasarnya, pelesetan mencerminkan moderation (penengah) tatkala sistem norma dan harapan dalam masyarakat dilanda kekacauan atau saat hubungan antara rakyat biasa dengan elite penguasa menjadi “kabur” dan tidak jelas. Namun demikian, pelesetan masih mengandung pesan moralis, seperti disampaikan pujangga Yasadipura “samubarang ana kang kardi, lamun waniya ing gampang, wediya ing pakewuh, sabarang nora tumeka” (segala seuatu yang dikerjakan, jika hanya berani dengan hal yang mudah, takut dengan kesukaran, sesuatu itu tidak akan didapat).
Anekdot Politis
Setiap jenis bahasa manusia mengandung daya pembebasan dan revolusioner. Bahasa mempunyai kekuatan emansipatoris dan dimensi transformatif, tidak terkecuali dalam bahasa pelesetan Jawa. Namun, seperti halnya ilmu pengetahuan dan teknologi umumnya, sesungguhnya bahasa Jawa adalah suatu yang bersifat netral dan bebas nilai (werfrei).12
Kata-kata Jawa yang dipelesetkan senantiasa terbuka terhadap dua arah kemungkinan penilaian moral etis. Bahasa pelesetan bisa menjadi “jahat” atau “buruk” (deformasif) bila dipakai untuk menindas, membelenggu, dan menjajah kesadaran orang. Bahasa tersebut menjadi buruk kalau dipakai sebagai media kolonisasi kesadaran manusia. Sebaliknya, bahasa tadi bisa menjadi baik (formasif) kalau dipakai sebagai sarana meningkatkan kesejahteraan manusia serta membebaskan kesadaran manusia dari keterbelengguan.13
Bahasa pelesetan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang Jawa untuk mendengar, mengatakan, dan merasakan sendiri kisah anekdotis. Anekdotis semacam itu juga memberi kesempatan kepada masyarakat untuk melihat “semacam kepincangan.” Kepincangan itu ditatap dari sudut humor. Tentu saja anekdot yang muncul tidak semata-mata berisi sinisme, karena biasanya dunia pelesetan mengandung unsur kejutan, tak disangka-sangka, di luar dugaan, dan menyimpang dari logika umum.14
Djoko Saryono dan Herlinawati Syaukat menjelaskan bahwa pemelesetan kata atau kalimat bahasa Indonesia—terutama istilah dan akronim politik—merupakan gejala arus bawah. Mekanismenya lebih banyak dijumpai dalam bentuk kasak-kusuk atau pembicaraan tak resmi dan berlangsung di kalangan terbatas.15 Misalnya, singkatan posyandu di tengah masyarakat dipanjangkan (baca: dipelesetkan) menjadi “pos doyan duit.” Oleh masyarakat, kantor atau lembaga-lembaga tertentu yang dilanda korupsi lazim disebut posyandu. Padahal, pemerintah mengartikan istilah posyandu sebagai pos pelayanan terpadu yang senantiasa berkait dengan soal kesehatan. Begitu pula akronim Korpri yang kepanjangan bakunya adalah Korps Pegawai Republik Indonesia, namun oleh rakyat bawah dianggap kependekan dari “koruptor pribumi”, karena masyarakat melihat banyaknya korupsi dan koruptor yang tidak mampu tertangani.
Salah satu contoh pepatah Jawa terkenal yang dipelesetkan adalah jer basuki mawa bea (kebahagiaan memerlukan pengorbanan).16 Ungkapan itu sebenarnya bermakna sangat adiluhung dan biasanya disejajarkan dengan etika kebatinan sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu bayuning buwono (tidak mementingkan diri, giat bekerja, memelihara keindahan dunia). Sepi ing pamrih merupakan salah satu ungkapan kunci gaya hidup Jawa. Ungkapan itu menjadi titik tolak bagi usaha sadar untuk melawan hawa nepsu dalam upaya mencapai ketenangan hati dan kebijaksanaan. Akan tetapi, rumusan etika kebatinan itu pun “bernasib” sama dengan jer basuki mawa bea, karena setelah dipelesetkan pihak yang harus terkena sepi ing pamrih rame ing gawe sekali lagi adalah rakyat kecil. Susunan katanya kemudian kerap diubah menjadi rame ing pamrih sepi ing gawe. Akibat kondisi sosiologis tersebut, bobot keadiluhungan agak terdiferensiasi ke arah kerakyatan. Artinya sedikit “kasar”, profan, kurang berbobot intelektual dan terkadang vulgar. Namun, bila ditinjau dari “teori superioritas”, pelesetan semacam itu mampu membentuk keseimbangan mental masyarakat kelas bawah dari pengapnya himpitan kebutuhan hidup yang selalu menekan.
Karena itu, “teori superioritas” pelesetan pantas disejajarkan dengan kinerja opini. Secara sederhana, opini adalah tindakan mengungkap sesuatu yang dipercayai, dinilai, dan diharapkan seseorang dari objek situasi tertentu.17 Tindakan itu bisa merupakan pemberian suara, pernyataan verbal, dokumen tertulis, atau bahkan diam. Dengan kata lain, tindakan apa pun yang bermakna adalah ungkapan opini.
Istilah kuningisasi, misalnya, saat ini telah menjadi konstruksi politik dalam rangka pengidentifikasian unsur yang biasanya bersinggungan dengan organisasi sosial-politik terbesar di Indonesia. Kata kuningisasi melibatkan jauh lebih banyak hal daripada sekadar menuliskan kata di atas kertas atau menyuarakan pandangan orang tentang warna kuning itu sendiri. Bahasa apa pun, tidak terkecuali bahasa dalam pembicaraan politik, merupakan saling pengaruh yang kaya di antara lambang signifikasi, baik yang diskursif maupun non-diskursif.18
Karikaturis dalam catatan kaki di atas berhasil mengaburkan makna komponen situasi bahasa instrumentalities19 dalam wacana politik yang sedang berlangsung.20 Bayangkan apa yang akan terjadi seandainya seorang anak mengartikan “imunisasi” sama dengan “kuningisasi.” Padahal, dalam tradisi Jawa, seorang anak tidak lumrah dibiarkan bergerak bebas ke sana ke mari; ia harus selalu digendong, yang secara harfiah berarti gerak dan kenyamanannya tergantung pada orang di sekelilingnya.21 Sebelum berusia delapan bulan, seorang anak dijaga agar kakinya tidak menyentuh tanah dan sesudah tedhak siten dia baru boleh menyentuhkan kaki ke tanah.22
Untuk masyarakat “awam”—yang digambarkan melalui contoh anak balita itu—pemelesetan “imunisasi” menjadi “kuningisasi” merupakan sebuah fenomena kepanikan moral (moral panic).23 Dalam pandangan dunia dan mistik Jawa, moral panic adalah bagian dari wacana tentang “zaman edan.” Orang Jawa tahu tentang zaman edan ketika keteraturan, keamanan, ketertiban, norma dan sejumlah harapan mengalami gangguan, atau sekurang-kurangnya ditunda untuk sementara.24 Ciri-ciri zaman edan pernah diperinci seorang cantrik Mataram dalam analisisnya mengenai peran “ramalan Jayabaya” dalam revolusi nasional melawan Belanda. Ada 48 tanda zaman yang dipaparkannya, antara lain, bahwa orang yang berjasa akan menderita, tata krama menghilang, orang melupakan agama, pemalas menjadi kaya, penipu menjadi makmur, normalitas merosot, kerja keras tidak dihargai, hukum yang tidak adil, manusia tidak saling percaya, janji perkawinan tidak lagi dihormati. Singkat kata, zaman edan adalah zaman tempat orang bodoh beruntung justru karena kepandirannya dan orang pandai menderita justru karena kebijaksanaannya.25
Cara wong cilik menyikapi fenomena zaman edan adalah dengan melakukan—salah satu “permainan” yang diterapkan dalam “laku” —othak-athik kata yang bisa juga gathuk (cocok).26 Biasanya, othak-athik gathuk bersifat guyonan dengan arti yang sudah dipelesetkan.27 Orang Jawa memang punya sejumlah kata yang saling berkontradiksi. Kadang-kadang bukan dalam arti harfiah, tetapi lebih dalam arti kiasnya. Arti kias itu merupakan transformasi ke arah upaya mistik. Dalam melakukan “laku” mistik, manusia harus mengatasi segi badani, seperti emosi dan naluri, nafsu dan rasionalitas duniawi, agar batinnya bebas untuk bersatu kembali dengan asal muasal dan di dalam hatinya mengalami “kemanunggalan”.28
Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam wacana pelesetan politis terdapat suatu daya ke arah perubahan; faktor yang senantiasa hendak menyesuaikan wacana itu dengan masalah-masalah baru yang dihadapi. Komunitas Jawa yang hidup dalam era “peralihan dan perubahan” ini senantiasa berharap agar pembaruan dalam kerangka pembangunan tetap berakar pada vitalitas kebudayaan yang njawani.29
Sudah menjadi hakikat sebuah kebudayaan bahwa domestikasi hendak mempertahankan sifat dan pribadi sendiri serta sejauh mungkin menolak hal-hal dari luar yang akan mengubah sifat dan pribadi itu. Bertambah meningkatnya integrasi suatu kebudayaan dan masyarakat, bertambah kuat pula daya penentang perubahan itu.
Budaya pelesetan Jawa dalam komunitas masyarakat Jawa bukan saja wajar, tetapi perlu sepanjang implikasinya mengandung prinsip “tidak berbuat buruk” (non-maleficence) dan prinsip “berbuat baik” (beneficence). Bagaimanapun juga, etika pelesetan Jawa memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral ataupun politik.
Mekanisme budaya pelesetan Jawa mengarahkan atau menghubungkan penggunaan akal budi individual dengan objektivitas untuk menentukan “kebenaran” atau “kesalahan” tingkah laku seseorang, kelompok, dan birokrasi terhadap komunitas yang lain. Tanpa pemahaman yang memadai terhadap substansi “Jawa” itu sendiri, bukan tidak mungkin konstruksi inferensinya akan kehilangan signifikansi. Tampak “menjamurnya” pemelesetan kata, kalimat, bahkan idiom Jawa yang bernada politis, biasanya berangkat dari sebuah proses ideologis bersifat marginal-parsial. Bahasa pelesetan Jawa bukan “bermain” di hamparan wacana tuturan langsung (direct speech), tetapi ia adalah “pemain” yang baik dalam tuturan simbolik (symbolic speech)•