Manusia tak mungkin hidup tanpa makan. Makanan kita sehari-hari bukan sekadar kebutuhan untuk hidup, tetapi juga menandai budaya, pengetahuan, sejarah, bahkan identitas suatu bangsa atau daerah. Bahan-bahan pangan, kebiasaan, dan cara makan serta bagaimana mengonsumsi makanan yang baik dan sehat menjadi ilmu pengetahuan yang disebut gastronomi. Sedangkan kuliner merupakan hasil kegiatan mengolah bahan pangan, seni masak memasak dan menghidangkan berbagai jenis bahan olahan yang enak dan siap untuk disantap. Maka gastronomi dan kuliner merupakan elemen penting dari perangkat budaya dan upaya manusia untuk hidup bukan sekadar mengisi perut, namun mencakup semua fungsi dan daya upaya untuk menghadirkan, memproduksi, distribusi dan konsumsi bahan pangan sampai ke tingkat perorangan.
Makanan bukan hanya soal resep masakan atau bagaimana mengolah bahan pangan menjadi hidangan siap saji. Ia juga memiliki kisah dan cerita bahkan filosofi dan sejarah di baliknya yang unik. Di dalamnya melekat identitas budaya bangsa. Karena itu, makanan juga menjadi bagian penting dari pergaulan internasional antar-bangsa dan antar-negara. Dalam beberapa tahun terakhir, gastro-diplomacy (diplomasi-gastro) atau culinary-diplomacy telah menjadi fokus perhatian. Secara umum, di beberapa negara termasuk Indonesia, ia juga dianggap sebagai bagian dari promosi wisata.
Dialog Prisma kali ini coba menggali lebih dalam diplomasi gastro, bagaimana sebuah negara memperkenalkan makanannya, dan bagaimana posisi diplomasi gastro Indonesia serta pengalaman beberapa duta besar Indonesia dalam upaya memperkenalkan Indonesia melalui makanan. Karena bahan pangan dan pengolahannya merupakan proses yang membutuhkan energi yang meninggalkan jejak karbon, maka pangan/makanan juga menjadi salah satu klaster dariupaya internasional untuk menanggapi perubahan iklim dan tujuan pembangunan berkelanjutan. Apa saja kekuatan dan kelemahan Indonesia dalam diplomasi gastro? Bagaimana peluang menjawab tantangan soal diplomasi gastro yang dihadapi kantor perwakilan dan para duta besarIndonesia di mancanegara?
Dipandu oleh Ismid Hadad (Pendiri dan Redaktur Senior Prisma) diskusi yang diselenggarakan awal September 2020 ini menghadirkan narasumber: Indrakarona Ketaren (Pendiri dan Ketua pertama IGA - Indonesian Gastronomy Association); Nur Hassan Wirajuda (Menteri Luar Negeri RI, 2001-2009 dan Ketua Yayasan Rempah Indonesia); Tantowi Yahya (Dubes RI untuk Selandia Baru dan Negara-negara Kepulauan di Pasifik); Agus Trihartono (Associate Professor di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Jember dan co-founder Pusat Studi Gastrodiplomasi [Centre for Gastrodiplomacy Studies, CGS] Universitas Jember); Dr Amanda Katili Niode (Pendiri Yayasan Nusa Gastronomi, Ambassador for Wallacea, World Food Travel Association, dan Manager The Climate Reality Project Indonesia); dan Diennaryati Tjokrosuprihatono (Dubes RI untuk Republik Ekuador, 2016-2020). Berikut petikan dialog tersebut.
Tak dapat disangkal lagi, krisis Covid-19 telah mengakibatkan disrupsi besar dalam kehidupan manusia di dunia. Di tengah kehilangan jiwa yang menyedihkan serta akibat isolasi dan pembatasan sosial yang luas, pandemi ini menyingkapkan kelemahan signifikan dalam sistem kesehatan masyarakat,1 rapuhnya ekonomi, serta rendahnya resiliensi sistem pangan kita.3 Inilah sistem tempat kita hidup saat ini, yakni sebuah sistem yang didasarkan pada ketimpangan, ekstraksi sumber daya alam tak terbatas, dan konsumsi yang tidak berkelanjutan. Sistem yang membawa kita kepada krisis yang dipicu oleh pandemi global virus korona.
Tingginya ketimpangan ekonomi merupakan salah satu tantangan yang kini dan masih akan terus dihadapi Indonesia. Kinerja ekonomi memang mampu menurunkan rasio penduduk miskin dan tingkat pengangguran, namun dampak positifnya belum dirasakan secara merata. Ketimpangan yang tidak ditanggapi dengan upaya transformasi dan dibiarkan berkembang dapat menimbulkan akibat serius, yakni pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan yang lebih lambat serta peningkatan risiko konflik sosial. Di sisi lain, sistem Ekonomi Pancasila dibangun untuk menentukan arah dan pedoman bagi perekonomian Indonesia. Sistem ekonomi itu digali dari nilai-nilai luhur bangsa dan pemikiran yang dikembangkan oleh para pendiri bangsa, sehingga penerapannya diyakini akan memperkuat tata nilai dan budaya Indonesia dalam mencapai tujuan bersama, yakni keadilan dan kemakmuran.
Kata Kunci: akses, keadilan sosial, ketimpangan, pembangunan, Sistem Ekonomi Pancasila
Dalam proses transisi demokrasi pasca-Reformasi 1998, Indonesia mengalami semacam pergeseran dari sistem pemerintahan presidensial ke parlementer. Melalui serangkaian amandemen UUD 1945, kekuasaan parlemen didayagunakan. Walaupun Presiden dipilih langsung melalui pemilihan umum, namun karena electoral threshold dengan sistem multipartai, presiden hanya dapat menjalankan kekuasaan pemerintahan secara efektif dan membentuk kabinet jika mendapat dukungan mayoritas fraksi di DPR dalam koalisi antarpartai politik. Bagaimana sebenarnya latar belakang dan wujud ketatanegaraan sekarang? Apa sumber masalah dari situasi “semi-presidensialisme” itu? Seberapa jauh partai politik mampu menjalankan fungsinya yang bukan sekadar meraih kekuasaan? Bagaimana membandingkan dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dengan pemerintahan Joko Widodo, dan masa depan ketatanegaraan kita? Apakah UUD 1945 perlu diamandemen kembali? Untuk membahas persoalan tersebut, akhir Juli 2016, Harry Wibowo, Redaktur Pelaksana Prisma mewancarai Bivitri Susanti, peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) serta pengajar pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STHI).
Desentralisasi dianggap sebagai gejalayang wajar dari sebuah negara yang menerapkan sistem demokrasi. Proses semacam itu merupakan kecenderungan yang tak terhindarkan dari demokrasi politik yang menghendaki adanya perluasan partisipasi dan pemberian otonomi bagi masyarakat lokal. Dalam konteks Indonesia pasca pemerintahan Suharto, desentralisasi yang muncul bersamaan dengan Reformasi 1998 itu menjadi salah satu unsur pembeda paling elementer dibanding era Orde Baru. Struktur ekonomi-politik Orde Baru yang tertutup dan terpusat segera berubah dan berganti menjadi lebih terbuka dan terdesentralisasi. Desentralisasi tidak saja telah menjadi "kata kunci" dalam perumusan kebijakan publik saat ini, tetapi juga menjadi "mantra suci" dalam dunia politik. Agaknya, terdapat semacam kesamaan cara pandangdi kalangan mereka yang menamakan diri"kaum reformis" bahwa upaya mewujudkan demokrasi pasca-Suharto memerlukan pembukaan ruang lebih luas bagi tumbuhnya prakars amasyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.
Dengan menggunakan kerangka teoretis peran masyarakat sipil di Indonesia, tulisan ini mempertanyakan eksperimen gerakan relawan dalam Pilpres 2014 dapat memperbaiki representasi politik dan mendorong transformasi ke arah substantif. Selain itu, dipaparkan kebaruan politik dibanding eksperimen sebelumnya yang dilakukan oleh gerakan sipil. Studi ini menemukan bahwa gerakan para relawan hanya capaian terbatas dalam mengusung dan memenangkan Joko sebagai Presiden Republik Indonesia, namun tidak cukup berhasil dan mengawal Nawacita yang dikampanyekan selama pilpres bertempur melawan oligarki dan kartel.
Orang kaya, bangsawan, selalu menjadi pengetua masyarakat mana pun, dan kapan pun, di Nusantara. Orang kaya berarti pemilik tanah, para tuan tanah. Dengan memiliki tanah mereka dengan sendirinya memiliki apa saja yang bisa diusahakan di atas tanah itu. Dengan begitu orang kaya adalah mereka yang memiliki hasil ladang dan sawah berlimpah dengan memanfaatkan tenaga kerja tak berbayar, yaitu para budak hasil keturunan atau budak belian.
Khusus mengenai budak belian semuanya tidak bisa berlangsung sebelum negara dan konsep negara dipakai semestinya. Salah satu bentuk kegiatan negara adalah mengumpulkan pajak. Yang tidak bisa membayar pajak menggadaikan diri, dan dari sanalah berasal budak belian yang biasanya dibedakan dari budak turunan. Para budak tidak berhak atas tanah. Dengan sendirinya, dia dikucilkan dari turut mengambil bagian dalam pertemuan adat, perundingan, dan juga memerintah dalam pengertian yang sangat asli, yaitu memberikan perintah tentang apa saja yang harus dilaksanakan dalam suatu persekutuan adat—menjaga ladang dan sawah, memelihara ternak, menjalankan pernikahan, dan sebagainya.
“Bonus demografi” digadang-gadang memberi peluang bagi percepatan pertumbuhan ekonomi. Bung Karno sempat menginisiasi reforma agraria dan industrialisasi domestik untuk membangun perekonomian nasional yang koheren. Sementara tujuan utama pertumbuhan ekonomi sejak pasca- Soekarno mendorong inkoherensi pertanian dan industri dengan berlimpahnya “pekerja rentan” di sektor informal. Tanpa perubahan strategi pembangunan di sektor pertanian dan industri, bonus demografi hanya akan menjadi bonus bagi kapital dengan membludaknya buruh murah.