Dari Ranah Pribadi ke Negara

BAGIKAN



Sebelum tegaknya negara-bangsa modern di abad ke-19, korupsi dianggap sebagai problem privat (swasta), bukan urusan publik (negara). Sejak Aristoteles hingga Machiavelli, korupsi identik dengan fraud, perilaku menyimpang, tidak pada tempatnya. Tentu saja pendirian moralisme tersebut bisa ditelusuri akar filsafatnya pada soal etika, baik-buruk dalam kehidupan pribadi.

Mapannya kapitalisme di abad transisi besar dari corak produksi feodal ke kapitalis di Eropa itu; cikal bakal negara-bangsa modern telah melahirkan pemahaman baru tentang “korupsi politik.” Ketika politik dalam gagasan republikan dianggap merupakan kontestasi dan konflik berbagai kepentingan yang saling bersaing beserta identitas yang menyertainya, maka cara pertama dan utama mempertahankan anggapan tentang negara sebagai mewakili “kepentingan umum” dan memisahkannya dengan “ranah pribadi,” memilah antara kuasa dan harta, lantas membedakan antara yang “normal” dan yang “patologis.”

Pertanyaannya, mengapa istilah korupsi hadir mewakili gagasan subversi kepentingan publik oleh kepentingan pribadi? Padahal, dalam pemahaman tradisional “kita” tentang korupsi, muncul gambaran kuat soal pembusukan dan kemerosotan, tentang sesuatu yang menjadi semakin tidak mampu, tidak tangguh, atau tidak bajik; atau merosotnya kemampuan mencari yang berbudi luhur; kerusakan pikiran, moral, dan kehendak baik. Tolok ukur moralnya jelas antara yang baik dan yang buruk.

Sebaliknya, dalam pemahaman modern kita tentang korupsi tidak ada pembagian berdasarkan sesuatu yang dengan sendirinya baik atau diinginkan dengan sesuatu yang buruk atau tidak diinginkan. Kepentingan pribadi tidaklah buruk pada dirinya. Justru sebaliknya, misalnya, seluruh garis argumen Weber tentang “etos kerja Protestan dan semangat kapitalisme” dalam arti ekonomis, disambut sebagai hal positif. Bagaimana kepentingan publik dan pribadi yang dengan sendirinya dipandang layak dan baik, kalakian menjadi sesuatu yang buruk dan tidak patut?

Tampaknya gagasan tentang kemurnian dan kebersihan tidak serta-merta berkait dengan sesuatu yang dengan sendirinya kotor atau cemar. Kotoran atau pencemaran paling baik dipahami sebagai sesuatu yang tidak pada tempatnya. Sepatu tidak kotor pada dirinya sendiri, tetapi kotor ketika meletakannya di meja makan. Makanan itu sendiri tidak kotor, tetapi kotor saat kita meninggalkan peralatan masak di kamar tidur, atau makanan berceceran di pakaian, sampah berada di teras rumah, dan seterusnya.

Singkat kata, kepentingan pribadi dan kepentingan publik keduanya tampak baik-baik saja jika berada di tempat yang tepat (baca: seharusnya). Begitu kita mencemari kepentingan publik dengan kepentingan pribadi para politikus atau bisnis swasta, maka politik itu sendiri menjadi kotor, tercemar, terinfeksi, dan dengan demikian korup. Sebaliknya sama benarnya. Begitu terjadi invasi publik ke ranah pribadi—misalnya, otoritas publik mengatur keyakinan beragama atau pilihan berpasangan—maka kita sampai pada kesimpulan sama buruknya mengenai pencampuradukan antara ranah pribadi dan ranah publik.

Karena itu, dalam pandangan liberal tersebut, korupsi perlu didefinisikan “ulang” lebih ketat sebagai “kepentingan pribadi yang merugikan negara”; sebuah perilaku menyimpang dari tugas atau peran resmi aparat publik demi keuntungan bagi kepentingan pribadi (termasuk keluarga dekat, kelompok pribadi); atau suatu pelanggaran aturan terhadap pelaksanaan jenis pengaruh pribadi tertentu yang kini dimaknai spesifik sebagai “perdagangan pengaruh” (trading influence).

Gagasan modern tentang korupsi politik tampaknya lebih dekat dengan gagasan korupsi sebagai “pemalsuan,” ketimbang sebagai kerusakan dan kehancuran. Pengonsepan korupsi politik modern itu selaras dengan makna korupsi yang menggambarkan hilangnya kemurnian satu zat oleh zat lain; susu murni dapat dirusak kadarnya oleh air, anggrek dapat dirusak gulma; berkas digital diretas virus.

Dengan pemilahan lebih tegas antara ranah pribadi dan ranah publik serta penempatannya, fokus korupsi kini berpusat pada birokrasi negara. Korupsi dianggap sebagai opacity yang bertentangan dengan transparansi; basis perburuan rente yang bertentangan dengan persaingan pasar yang bersih/sehat demi tata kelola pemerintahan yang baik.

Dalam reformasi birokrasi di Indonesia pasca-1998, korupsi dirangkum dalam satu tarikan napas dengan kolusi dan nepotisme: KKN. Lantas, korupsi dan pencucian uang hasil korupsi dikodifikasi dalam hukum pidana kita. Namun, kolusi dan nepotisme tetap tertinggal pada tataran etika normatif bernegara serta hanya dianggap sebagai moral politik yang buruk. Persis di situlah kodifikasi subtil pemidanaan hukum liberal menyisakan masalah.

 

EDISI

Sejarah Terbarukan, Korupsi Berkelanjutan | 43 | 2024-07-25

BAGIKAN


Beli Prisma Cetak

Dapatkan prisma edisi cetak sekarang dengan klik dibawah ini

Webstore

Berlangganan Newsletter