Tujuh puluh tahun dalam rentang sejarah perkembangan peradaban umat manusia bukanlah waktu yang singkat. Sejak berlangsungnya Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung, 18-24 April 1955, dunia mengalami perubahan-perubahan besar dalam geopolitik dan geo-ekonomi, pertumbuhan ekonomi, kemakmuran bangsa, perkembangan demokrasi dan revolusi teknologi komunikasi dan informasi.
Tujuh puluh tahun lalu dunia baru saja keluar dari Perang Dunia Kedua. Negara-negara Sekutu yang menang perang serta Jerman dan Jepang yang dikalahkan baru membangun kembali ekonomi mereka yang hancur. Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di Eropa Barat menempuh jalan kapitalisme, sedangkan Rusia serta negara-negara satelitnya di Eropa Timur bereksperimen dengan sosialisme. Keduanya membangun blok ekonomi dan politik yang disebut “Blok Barat” dan “Blok Timur” serta saling berebut pengaruh di negara-negara baru merdeka bekas jajahan mereka di Asia dan Afrika.
Konferensi yang diikuti 29 pemimpin negara-negara Asia-Afrika itu dimaksudkan sebagai upaya menggalang solidaritas dan kerja sama politik dan ekonomi dalam melawan imperialisme dan neokolonialisme. Enam tahun kemudian (1961) 120 negara Asia, Afrika dan Amerika Latin mendeklarasikan lahirnya “Gerakan Non-Blok.” Dunia terbagi menjadi tiga blok. Blok Barat, yakni Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, Blok Timur Uni Soviet dan satelit-satelitnya, serta negara-negara Non- Blok. Blok-blok itu disebut juga dengan Dunia Pertama, Dunia Kedua, dan Dunia Ketiga.
Runtuhnya komunisme Uni Soviet (1989) kembali mengubah konfigurasi geopolitik maupun geoekonomi global. Negara Uni Soviet yang terpecah menjadi 15 negara ditambah negara-negara Eropa Timur beralih ke jalan kapitalisme. Istilah Dunia Pertama, Dunia Kedua, dan Dunia Ketiga mulai kehilangan relevansi analitis dan politisnya. Istilah Dunia Ketiga berubah menjadi Global South yang secara luas merujuk wilayah Amerika Latin, Asia, Afrika dan Oseania yang terletak di bagian selatan bumi. Negara-negara itu digambarkan sebagai negara berkembang yang secara politik, ekonomi, dan sosial masih terbelakang akibat penjajahan di masa lalu, dibanding negara-negara maju di Amerika Utara dan Eropa yang disebut sebagai Global North. Global South muncul sebagai kritik terhadap gagasan globalisasi yang dinilai hanya menguntungkan negara-negara maju di belahan bumi utara.
Pada 2009, muncul organisasi ekonomi baru bernama BRICS yang awalnya menghimpun negara- negara seperti Brasil, Rusia, Cina, India, dan Afrika Selatan yang merupakan kekuatan-kekuatan ekonomi baru untuk menantang dominasi ekonomi negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. BRICS semakin mengaburkan pengelompokan negara berdasarkan geopolitik maupun geo-ekonomi. Kelima negara itu bukan negara miskin. Cina merupakan kekuatan ekonomi kedua, India kelima, dan Brasil kesepuluh. Cina adalah penghasil emisi karbon terbesar di dunia, diikuti Amerika Serikat, India, dan Rusia.
Walhasil, perubahan-perubahan dalam konfigurasi geopolitik global, yang menjadi esensi dari pengelompokan tetaplah kepentingan yang berbeda. Perbedaan kepentingan paling menonjol adalah dalam ekonomi dan lingkungan hidup. Perkembangan kapitalisme global yang menguras sumber daya alam membuat kesenjangan kian lebar antara kemakmuran negara maju dengan negara berkembang yang dilihat sebagai ketidakadilan globalisasi.
Keserakahan kapitalisme yang didukung “ideologi” neoliberal dan free trade sebagaimana diperlihatkan perusahaan-perusahaan multinasional yang ditopang penuh oleh kebijakan negara, menghasilkan ketimpangan kemakmuran luar biasa. Berdasarkan laporan OXFAM Tahun 2025, Global North meski hanya mewakili 21 persen populasi dunia, memiliki 69 persen kekayaan global. Di pihak lain, negara-negara yang ekonominya maju itu bersama-sama adalah penghasil gas karbon dioksida terbesar yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim berupa pemanasan global.
Penerapan ekonomi pasar, persaingan bebas dengan minimum campur tangan pemerintah, yang menghasilkan keserakahan kapitalisme seperti sekarang barangkali tidak pernah dibayangkan Adam Smith dengan teorinya tentang “tangan tak terlihat (invisible hand). Bahwa ketika para kapitalis mengejar keuntungannya sendiri, ada tangan tak terlihat yang mengatur untuk manfaat bersama. Perkembangan kapitalisme memang menghasilkan barang-barang massal lebih murah untuk konsumen, lapangan kerja yang luas, atau penerimaan negara lebih besar yang dapat digunakan untuk kesejahteraan bangsa. Namun, keuntungan yang diperoleh kapitalis, baik sebagai individu maupun sebagai negara, tetap jauh lebih besar. Celakanya, kaum kapitalis tetap mencari celah agar keuntungan yang diperoleh lebih besar lagi dengan menghindari pajak, menyogok penguasa, menguras sumber daya alam, menciptakan dan melanggengkan oligarki, termasuk menjatuhkan pemerintahan yang demokratis.
Barangkali relevansi dari KTT Asia-Afrika 1955 telah dirumuskan dengan baik oleh bapak bangsa Presiden Sukarno dalam pidatonya di depan Majelis Umum PBB pada 30 September 1960 yang diberi judul To Build the World Anew, Untuk Membangun Dunia Baru, tempat Bung Karno menyerukan dibangunnya tatanan dunia baru berdasarkan perdamaian, keadilan, dan kesetaraan menuju kemakmuran bersama antarbangsa.