Kerentanan dan Kelompok Rentan

BAGIKAN



Sebagai sebuah konsep deskriptif, kerentanan berawal dari dunia medis, yang sering diungkap sebagai “rentan terhadap.” Dari perspektif komunitas maupun perorangan, kerentanan bisa muncul karena faktor internal pada diri individu atau akibat lingkungan alam atau sosial di luar dirinya mencakup bidang kesehatan tubuh, jiwa, dan sosial, ataupun sebagai tanggapan atas keterbatasan bahkan kelangkaan sumber daya.

Apa pun itu, kerentanan (vulnerability) merujuk pada soal serupa. Dalam kerangka hak asasi manusia, istilah tersebut mengacu pada berbagai kelompok atau pengelompokan yang berada dalam situasi atau kondisi yang membuat mereka menghadapi “kemungkinan risiko bahaya, cedera, dan kemalangan yang akan segera terjadi atau selalu ada.”

Pada dasarnya, kerentanan dapat menimpa semua manusia dengan jenis dan keragaman yang bisa dipilah-pilah. Kini semakin disadari bahwa keterbatasan dan sebaliknya kemampuan pada diri seseorang tidaklah diskrit, hitam putih, melainkan sebuah spektrum berlanjut yang nyaris sulit ditarik garis batasnya. Sebagai manusia, kita dapat menjadi “subjek rentan” yang berpotensi mengalami diskriminasi maupun yang “secara alamiah” mesti dilindungi. Bahkan, beberapa ahli teori menganggapnya mendasar bagi konsep normatif hak asasi manusia.

Diskriminasi bisa dialami sebagian populasi di suatu atau beberapa negeri atau keseluruhan negeri di muka bumi yang kemudian dikategorikan sebagai kelompok minoritas: agama, ras, etnik, non-warga negara, dan sebagainya. Kaum perempuan menjadi rentan karena hampir di semua masyarakat selalu dibedakan, dinomorduakan, terhadap laki-laki.

Penyandang disabilitas mengalami diskriminasi karena tubuh, fisik, atau mental/intelektual yang berbeda dengan orang kebanyakan [sic] dipandang tidak normal dan dianggap cacat. Pekerja migran dibedakan hak-hak dan kesempatan kerja dan upahnya karena warga “asing,” bukan warga negara tuan rumah. Karena dianggap tidak lagi produktif dan renta, para lanjut usia semakin dibatasi aksesnya pada dunia kerja. Mereka yang entah karena determinasi “genetik” ataupun lingkungan psikososial tertentu mengidentifikasi diri berbeda gender dan orientasi seksual-nya selalu dianggap aneh, tidak normal, sehingga mengalami perundungan, dan pelecehan.

Di sisi lain, ada kelompok-kelompok sosial yang mesti dilindungi, seperti anak-anak, masyarakat adat, kaum buruh, serta anak-anak korban kekerasan, dan sebagainya. Anak-anak, niscaya mesti dilindungi karena dipandang belum mampu secara psikologis atau dianggap belum dewasa secara legal untuk, misalnya, mengambil keputusan sendiri dan mengurangi beban risiko sendirian. Demi perlindungan tersebut, negara memilah hukum dan menyelenggarakan sistem peradilan bagi anak dan orang dewasa.

Masyarakat adat perlu dilindungi dalam menghadapi terpaan modernisasi yang secara ontologis dan historis membahayakan eksistensi, kehidupan, dan akses pada sumber kehidupannya, tanah. Negara mesti menghormati kehidupan mereka.

Kaum buruh perlu dilindungi hak-haknya karena menghadapi keniscayaan eksploitasi kapitalisme atas nilai dan hasil kerja mereka. Hukum perburuhan dibuat untuk menghormati hak berserikat dan menjamin mereka menerima upah yang layak.

Baik dari sudut pandang sosial dan ekonomi maupun politik, kelompok rentan juga merujuk pada kelompok yang berada dalam posisi kuasa yang lebih lemah tak berdaya. Itu mencakup, misalnya, mereka yang hidup dalam kemiskinan, tunawisma, perempuan korban kekerasan, anak-anak jalanan, lansia yang hidup seorang diri, atau kelompok-kelompok lain yang terpinggirkan karena tidak memiliki akses yang setara terhadap sumber daya dan kesempatan akibat corak pembangunan yang merampas akses dan menjarah sumber daya kehidupan mereka secara semena-mena. Mereka, dalam situasi tertentu, secara khusus sangat mungkin mengalami diskriminasi berlapis, berulang kali: perempuan dalam masyarakat adat dan etnis minoritas, atau misalnya pekerja migran perempuan.

Baik kelompok rentan yang mengalami diskriminasi maupun yang perlu dilindungi sering kali hak-haknya diabaikan. Mereka memiliki akses sangat terbatas terhadap hak-hak dasar, perlindungan hukum, layanan ataupun keamanan sosial. Upaya pemberdayaan dan kebijakan afirmatif diperlukan untuk memastikan hak-hak mereka diwujudkan oleh negara. Etika politiknya, demi kesetaraan dan keadilan, negara mesti menunaikan kewajibannya untuk menghormati dan melindungi hak-hak semua orang tanpa diskriminasi berdasarkan apa pun.

Kini, semakin besar dan meluas berbagai gerakan sosial maupun lembaga-lembaga penelitian di luar atau di dalam perguruan tinggi yang mendukung dan memberdayakan kelompok rentan, menjembatani kesenjangan sosial, memperjuangkan kesetaraan dan keadilan dalam krisis multidimensi yang kita hadapi. Pada momen itulah kita punya asa untuk tetap berharap masa depan Indonesia yang lebih baik.

EDISI

Kerentanan dan Keadilan | 43 | 2024-12-03

BAGIKAN


Beli Prisma Cetak

Dapatkan prisma edisi cetak sekarang dengan klik dibawah ini

Webstore

Berlangganan Newsletter