Hakikat pemikiran Abdurrahman Wahid, biasa disapa Gus Dur, adalah humor. Gus Dur dan hu­mor bagai dua sisi mata uang yang sama. Memisahnya dia dari lelucon ibarat mencoba me­milah rasa manis dari gula atau membagi rasa asin dari garam. Sejak tahun 1970-an, dia dikenal piawai menciptakan, mengadaptasi, mengumpulkan, dan menyampaikan humor. Bahkan, sesungguhnya Gus Dur komedian yang punya profesi sam­pingan sebagai presiden, kyai, budayawan, dan penggerak sosial. Dia berhasil meman­faatkan lelucon untuk menyemai demokrasi dan keberagaman kepada masyarakat luas. Na­mun, saat menjadi Presiden Republik Indonesia dan tetap menggunakan humor untuk berko­mu­ni­kasi politik dengan masyarakat, lelucon yang disampaikannya ibarat bumerang yang balik menghantam.

Kata Kunci : Abdurrahman Wahid, humor, kepemimpinan, komika, komunikasi politik

Bertold Brecht boleh mengatakan“Sengsara, hidup di negara yang tidak memiliki humor, tetapi lebih sengsara lagi hidup di negara yang membutuhkan hu­mor.” Namun, bangsa-bangsa yang berpera­dab­an tinggi cenderung memiliki humor yang baik. Persia mempunyai Abu Nawas (756-814), penyair dan sosok bijak nan kocak. Turki memi­liki Nasrudin Hodja, figur sufi satritikal yang me­ninggal pada abad ke-13. Inggris melahirkan Charlie Chaplin (1889-1977). Rusia dan negara-negara Eropa Timur melahirkan cerita-cerita humor yang getir. Tak dapat disangkal, humor merupakan bagian penting dari kebudayaan dan peradaban bangsa. Bagaimana Indonesia? Siapa tokoh humor kita?

Abdurrahman ad-dakhil atau Abdurrahman Wahid, lebih dikenal sebagai Gus Dur, adalah sosok yang unik dan kontroversial. Humor yang dilontarkannya sering mengundang gelak-tawa, dan gagasan-gagasan­nya kerap mengejut­kan serta memicu perde­batan. Namun, semua itu seolah makin me­ngu­kuhkan kecerdasan, wawasan, serta visinya yang jauh ke depan.

Gus Dur itu seperti meteor kaum nahdliyin yang sulit dicari bandingnya. Lelaki kelahiran Denayar, Jombang, itu tidak hanya menguasai khazanah pemikiran Islam, tetapi juga akrab dengan khazanah Barat. Gus Dur menguasai bahasa Arab, Inggris, dan Perancis dengan baik. Fasih membaca kitab kuning, namun juga ak­rab dengan ilmu sosial dan buku-buku Kiri, pe­candu sastra, musik, serta sepak bola. Masa re­majanya dipenuhi gabungan tiga hal: kegilaan atas sepak bola, kecintaan akan buku, dan kegandrungan terhadap musik.

Pada saat santri-santri Nahdlatul Ulama (NU) masih tenggelam dengan tafsir, hadits, dan ushul fiqh (kitab kuning), Gus Dur sudah membaca Das Kapital-nya Karl Marx, What is to be Done-nya Lenin dan Prison Notebook-nya Antonio Gramsci, serta bergumul dengan novel-novel­nya John Steinbeck, Hemingway, Tolstoy dan Dostoevsky. Ketika warga NU hanya me­nge­­nal rebana dan kasidahan, dan para kiai masih ber­selisih paham soal hukum sejumlah alat mu­sik, Gus Dur sudah khusuk dalam ke­mer­­duan suara Ummi Kultsum dan kemegahan kar­ya Ludwig van Bethoven dan Johan Sebastian Bach, serta entakan Janis Joplin lewat lagunya Summertime dan Me and Bobby McGee.

Di antara presiden-presiden Indonesia yang memiliki banyak gelar doktor Honoris Causa, tampaknya hanya Kiai Haji Abdurrahman Wahid yang layak juga mendapat gelar doktor Humoris Causa. Gus Dur identik dengan hu­mor. Hakikat pemikiran Gus Dur adalah humor. Karena itu, Gus Dur dan humor bagai dua sisi dari mata uang yang sama. Memisahkan Gus Dur dari lelucon ibarat mencoba memisahkan rasa manis dari gula atau memisahkan rasa asin dari garam. Dia piawai menciptakan, mengadap­tasi, mengum­pul­kan, dan menyampaikan hu­mor. Tak heran, putri bungsu Gus Dur, Inayah Wahid1, suatu sa­at mengatakan, “Gus Dur itu sesungguhnya ada­lah komedian yang punya profesi sampingan sebagai presiden, kiai, buda­yawan, dan pengge­rak sosial,” Sebelum stand up comedy menjadi tren sekarang ini, Gus Dur telah memulai de­ngan ceramah-ceramah sam­pai pidato-pidato saat menjadi orang nomor satu di negeri ini.

Gus Dur tidak hanya mumpuni dalam men­cip­takan, mengadaptasi, mengumpulkan, dan menyampaikan humor, melainkan juga paham teori-teori humor dari perspektif psikologi, so­sio­logi, antropologi, sampai poli­tik. Keahlian Gus Dur dalam teori-teori humor bisa kita lihat pada tulisannya berjudul “Melawan Melalui Lelucon” (Majalah Tempo, 19 Desem­ber 1981) dan kata pengantar buku Mati Ketawa Cara Rusia (Pustaka Grafitipers, Maret 1986). Selain itu, saat presentasi pada diskusi “Suksesi dan Humor: Mengintip Demokrasi dari Lubang Humor”, September 1992, yang dise­leng­gara­kan Yayasan Pijar, Lembaga Humor Indonesia, dan Majalah Humor. Ketiganya membuktikan Gus Dur mumpuni dalam teori dan praktik humor. Bahkan, pada sebuah acara di TIM, September 1992, Emha Ainun Nadjib memban­dingkan Gus Dur dengan Asmuni, pela­wak Srimulat. “Gus Dur dan Asmuni itu berasal dari desa yang sama, Ndiwek, Kabu­paten Jom­bang, Jawa Timur. Sebenarnya Asmuni yang layak menjadi Ketua NU dan Gus Dur yang Srimulat.

 

Gus Dur dan Teori Humor

 

Humor itu serius. Demikian dikatakan Arwah Setiawan, pendiri dan tokoh Lembaga Humor Indonesia (LHI) pada ceramah di Ta­man Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 27 Juli 1977. Makna “serius”, antara lain, pada proses pencip­taan karya, pesan moral yang ingin di­sam­paikan, dan kei­nginan humor sejajar dengan seni sas­tra, teater, dan lain-lain. Arwah Setiawan juga me­nu­lis, hu­mor adalah rasa atau gejala yang merang­sang kita untuk tertawa atau cenderung tertawa secara mental. Rangsangan bisa berupa rasa atau kesa­daran di dalam diri kita (sense of hu­mor); bisa beru­pa suatu gejala atau hasil cipta da­ri dalam mau­pun dari luar diri kita. Untuk da­pat menga­ma­ti, merasakan, atau mengungkap­kan humor, seseorang memer­lukan kepekaan terhadap humor.2

Sementara Leiber (dalam Mulyana, 2008: xiv) berpendapat bahwa: “lelucon sering dibuat mengenai hal-hal paling ditakuti, dan bahwa tertawa memungkinkan penjagaan jarak, mele­paskan tegangan dan sekaligus kelegaan”.3 Demi­kian pun humor merupakan sebuah akti­vitas komunikasi, tidak sepenuhnya mampu di­je­las­kan melalui teori-teori komunikasi lainnya. Humor merupakan sebuah peristiwa yang kom­pleks dan rumit. Karena itu, humor dikaji dengan berbagai sudut pandang, mulai dari sudut pandang filsafat, psikologis, sosiologis, dan komunikasi.

Rocky Gerung, sahabat Gus Dur, menje­laskan tentang humor dan filsafat4, “Paradoks adalah alat berpikir yang jitu untuk mengeks­ploitasi humor. Di sisi lain, humor juga menga­jarkan konsep 'relativitas' (bahwa posisi ada­lah soal sudut pandang), 'dialektika' (bahwa yang baik berasal dari yang buruk), 'nihilisme' (bahwa setiap makna mengandung kontra­diksi). Filsafat tak pernah berseberangan de­ngan humor. Mereka memakai jembatan yang sama, yaitu, reasoning (penalaran). Bedanya, bila filsafat menjaga keutuhan penalaran, hu­mor justru memorakporandakannya. Jadi, dua-dua­nya adalah aktivitas kecerdasan. Untuk memo­rakporandakan logika, seseorang harus memi­liki kecerdasan tinggi. Humor adalah filsafat yang mendialektisasi dirinya sendiri.

“Filsafat berurusan dengan argumen, Ha­nya dalam argumentasi pikiran diloloskan. Bukan dengan doa atau ultimatum. Argumen­tasi diuji dalam koherensi penalaran. Humor adalah filsafat yang mengekstremkan pena­laran ke batas daya dukung argumen. Pada ekstrem itu, paradoks muncul sebagai tacit knowledge. Adalah transaksi kecerdasan inter­subjektif yang melumerkan keketatan argu­men demi menghasilkan 'suasana.' Humor adalah filsafat yang 'bersuasana.' Kita dapat membawa soal itu dalam kelas psikoanalisa, dan memahaminya sebagai 'pelepasan' sek­sual dalam format Lacanian, yaitu subjek men­capai kelengkapan. Itulah pengalaman kebe­basan. Jadi, humor adalah suatu peristiwa politik dalam upaya manusia menyelesaikan konfrontasi dengan institusi-institusi pera­daban: agama, istana, dan kapital. Negara yang kekurangan humor tak punya alasan untuk merdeka. Negara merdeka yang menyensor humor adalah negara yang kekurangan IQ. Kecerdasan politik terbaca dalam kemampuan seseorang menghumorkan suasana tanpa ke­hi­langan fokus kritik.”

Mohamad Sobary pada simposium humor nasional September, 2016,5 mengatakan, “Pada umumnya, humor ‘dicipta’ oleh humoris tulen untuk mengundang gelak tawa yang segar, dan sehat, sehingga misi humor terpenuhi dan misi kita ‘mampir ngguyu’ tak begitu sia-sia.” Orang yang punya kemampuan seperti itu biasanya juga bukan pelawak. Dia hanya berkata secara rileks, apa adanya, dan ketika orang lain ter­bahak-bahak, dia sendiri tak ikut ketawa. Gus Dur jelas termasuk jenis itu, tetapi ada sedikit bedanya: ada kalanya—meskipun tidak seperti Eddy Sud atau pelawak lain yang tak lucu—Gus Dur suka ikut ketawa dan muncullah humor-humor berikutnya.

Jaya Suprana—pembelajar humor sebab tidak mengerti apa sebenarnya yang disebut humor itu—dalam Kata Pengantar buku Humor Politik karya Milo Dor dan Reinhard F,6 menga­takan humor biasanya tumbuh di suasana yang kontradiktif dan munafik, tempat realita tidak sesuai bahkan bertolak belakang dengan apa yang diidamkan. Maka, tak heran bila salah satu masalah yang sering menjadi bulan-bulanan humor adalah politik.

Politik menciptakan konstelasi hierarkis da­lam struktur kehidupan manusia, tempat kelom­pok yang berkuasa dan kelompok yang dikuasai. Kesenjangan kekuasaan itu, secara langsung atau tidak, dalam kadar tertentu sering menim­bul­kan tegangan dan tekanan, terutama pada pihak yang dikuasai. Humor merupakan salah satu cara un­tuk membebaskan diri dari beban te­kanan. De­ngan humor seolah jenjang beda kekuasaan le­nyap. Tertawa memang me­rupakan sarana de­mo­kratisasi yang paling ampuh. Karena terta­wa penguasa memang tak banyak beda dengan tertawa mereka yang dikuasai. Hanya mungkin yang satu bisa tertawa lepas secara terbuka, se­men­tara yang lain secara sembunyi-sembunyi.

Di samping politik dihumorkan, ternyata juga bisa dipolitikkan. Humor bisa menjadi sen­jata agitasi politik yang ampuh. Jaya Suprana, misalnya, mengutip film “The Great Dictator”. Dalam film itu Charlie Chaplin tampil konyol dengan kostum dan gaya persis Adolf Hitler. Film itu disambut gelak-tawa di seluruh dunia, kecuali di Jerman. Humor juga bisa dimanfaat­kan untuk merobohkan suatu pemerintahan. Contohnya adalah lelucon-lelucon yang mene­lanjangi nepotisme serta keserakahan Fer­dinand dan Imelda Marcos, kaum oposisi ber­hasil menggalang persatuan dan mengobarkan semangat juang. Pada 1986, Marcos jatuh, lari ke Hawaii.

Humor politik lebih menggebu dalam sua­sana diktatoris, tidak demokratis. Karena itu, tidak heran bahwa George Orwell sampai memperingatkan: “Hati-hati terhadap lelucon politik. Di dalam setiap lelucon politik selalu terselip sebuah revolusi kecil!”

Menurut Arwah Setiawan7, ada enam man­faat humor dalam kehidupan manusia dan ma­sya­rakat. Pertama, hiburan, katarsis atau pe­ngen­duran ketegangan. Kedua, tolok ukur se­kaligus pendorong intelegensi. Ketiga, ung­kapan seka­ligus perangsang kreativitas. Ke­empat, sarana informasi yang enak diterima. Kelima, kritik so­sial atau social corrective yang masih akseptabel. Keenam, sarana pende­wasaan jiwa manusia, penunjang faktor mental “ketahanan personal” maupun “ketahanan nasional.”

Dalam berbagai ceramah dan tulisan, me­nun­jukkan Gus Dur paham teori-teori humor. Dia mampu menjelaskan teori humor sekaligus memberi contoh lelucon yang sesuai. Gus Dur juga piawai menjelaskan humor politik. Salah satu tujuan humor politik adalah protes terse­lubung. Ia juga sebagai wadah ekspresi politis yang kegunaannya minimal akan menyatukan bahasa rakyat banyak dan mengidentifikasi masalah-masalah yang dikeluhkan dan di­re­sahkan. Tidak muluk-muluk, lelucon memiliki kemampuan untuk menggalang kesatuan dan persatuan, minimal dengan jalan mengidentifi­kasi “lawan bersama.” Lelucon juga dapat ber­fungsi sebagai kritik terhadap keadaan tidak menyenangkan di tempat sendiri. Protes ter­hadap penyalahgunaan wewenang oleh tokoh-tokoh yang berkuasa sering kali dituangkan dalam bentuk lelucon. Selain itu, terkadang lelucon berfungsi sebagai pelepas kejengkelan orang banyak kepada penguasa yang dianggap sudah bertindak terlalu jauh membohongi dan menyakiti hati rakyat.

Bagaimana humor yang baik menurut Gus Dur? Lelucon yang baik jika memiliki unsur-unsur “humor yang mengena.” Unsur surprise atau kejutan pada akhir cerita mesti ada. Juga ada sindiran halus, yang mengajukan kritik atas hal-hal yang salah dalam kehidupan, tetapi tanpa rasa kemarahan atau kepahitan hati. Tak lupa unsur rasionalitas dalam cerita dan unsur kearifan dalam penyelesaian atau semacam solusi.

Bagi Gus Dur8, lelucon merupakan pro­tes terselubung. Meski kurang efektif, le­lucon sebagai wahana ekspresi politis sebenarnya memiliki kegunaan tersendiri, minimal menyatu­kan bahasa rakyat banyak dan mengidentifikasi masalah-masalah yang dikeluhkan dan dire­sahkan. Seperti lelucon Gus Dur di bawah ini. Pada saat kampanye pemilu era Orde Baru, se­orang pejabat berpidato di depan ribuan massa. “Saudara-saudara siapa yang membangun jalan dan jembatan?” tanya pejabat itu. “Golkaaar” jawab massa. “Siapa yang membangun sekolah dan pasar?” tanya pejabat lagi. “Golkaaar” jawaban massa menggema. “Begitu kok di­bilang korupsi. Siapa yang korupsi,” gerutu pejabat itu lirih. Lagi-lagi massa menjawab,” Golkaaaar.”

Ekspresi politis yang menunjukkan kebo­sanan masyarakat terhadap suatu pemimpin juga diceritakan Gus Dur ke publik—termasuk saat ceramah di TIM, September 1992—mela­lui lelucon. Ada seorang pemimpin yang setiap tiga bulan sekali pergi ke tukang cukur lang­ganannya. Setiap pemimpin itu cukur rambut, si tukang cukur selalu bertanya tentang suksesi. “Bagaimana pak suksesi, sudah ada penggan­tinya?” tanya tukang cukur. “Belum,” jawab pe­mimpin itu lalu bicara soal lain.Tiga bulan ke­mudian pemimpin itu cukur lagi. “Bagaimana suksesi, sudah ada penggantinya pak?” tanya tukang cukur. “Belum,” jawab pemimpin itu dan berlanjut bicara topik lain. Tiga bulan berikutnya terjadi dialog antara pemimpin dan tukang cukur. “Bagaimana suksesi, sudah ada penggan­tinya belum?” tanya tukang cukur. “Kamu ini ba­gaimana sih selalu tanya soal pengganti saya. Kamu tidak suka dengan saya tetap menjadi pe­mimpin ya?” jawab sang pemimpin dengan nada tinggi. Dengan tenang tukang cukur itu menja­wab, “Bukan begitu pak, kalau saya tanya bapak sudah ada penggantinya atau belum, bulu ku­duk bapak berdiri. Jadi saya gampang motongnya...”

Cerita lain, masih mengenai kebosanan terhadap sebuah rezim, yang sering diceritakan Gus Dur merupakan adaptasi dari humor Barat. Ada seorang pemimpin yang sudah lama me­mimpin. Pada suatu hari, dia berkeliling di pinggiran hutan dengan berkendara kuda. Ke­tika akan menyeberang sebuah jembatan, kuda yang dinaikinya terkejut melihat derasnya arus sungai di bawah jembatan itu. Sang pemimpin terjatuh dari kudanya dan terperosok ke dalam sungai, serta hanyut terbawa arus deras. Na­mun, setelah hanyut cukup jauh, dia ditolong oleh seseorang yang pekerjaannya setiap hari mengail ikan di tempat itu. Dengan rasa terima kasih sangat besar, dia menyatakan kepada pengail miskin itu siapa dirinya, dan betapa be­sarnya jasa pengail itu kepada negara, de­ngan menolong dirinya. Ditanyakannya kepada pe­ngail tersebut, apa hadiah yang diinginkan sebagai imbalan atas jasa sedemikian besar itu. Dengan kelugasan orang kecil, pengail itu menjawab: “Satu saja, Paduka. Tolong jangan ceritakan kepada siapa pun bahwa sayalah yang menolong Paduka.”

Masih tentang lelucon yang menunjuk­kan kebosanan. Pada suatu hari di era Orde Baru yang saat itu menteri penerangan dijabat oleh Harmoko—dulu sering dipelesetkan “Hari-hari Omong Kosong—terjadi dialog antara pembeli dan pedagang elektronik di kawasan Glodok, Jakarta. “Silakan bang pilih merek TV yang mana?” tanya pemilik toko. “Ada nggak merek TV yang siarannya nggak ada Harmoko-nya?”

Mengutip Gus Dur pada kata pengantar buku Mati Ketawa Cara Rusia9, rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua ke­pa­hitan dan kesengsaraan. Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebu­tuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain. Kepahitan akibat kesengsaraan diimbangi oleh pengeta­huan nyata akan keharusan menerima keseng­saraan tanpa patahnya semangat untuk hidup. Dengan demikian, humor adalah sublimasi dari kearifan sebuah masyarakat.

KH. Mustofa Bisri, atau Gus Mus10, bersama Amang Rahman dan Zamawi Imron menga­dakan pameran lukisan. Mereka mengundang Gus Dur untuk membuka pameran lukisan itu. Dalam sambutannya, Gus Dur, antara lain, me­ngatakan, “Sudah tahu orang tidak bisa melihat, kok disuruh membuka pameran lukisan...” Ma­sih cerita Gus Mus, suatu ketika Gus Dur me­nelepon dari Kuba dari forum pertemuan para kepala negara. “Wah saya baru saja dapat giliran pidato dan mendapat aplaus yang gegap gem­pita dari hadirin”, katanya seraya tertawa. “Wah, apa yang sampeyan omongkan kok sam­pai mendapat sambutan begitu meriah?” tanya Gus Mus. “Bukan soal apa yang saya omong­kan, tetapi saya diberi tahu bahwa karena banyak pemimpin negara yang harus pidato, maka masing-masing dibatasi hanya boleh berbicara 5 menit. Untuk itu disiapkan di atas mimbar lam­pu merah-hijah-kuning kayak di MTQ itu lho. Kuning artinya siap-siap, merah berarti sudah 5 menit, harus berhenti. Lha, saya tidak melihat, kok bisa pas 5 menit. Itu yang membikin mere­ka bertepuk tangan.”

Humor lain yang menertawakan diri sendiri pernah diceritakan Gus Dur berikut ini. “Pak Harto dulu presiden new order. Pak Habibie, presiden in order, boleh juga out of order. Gus Dur sendiri?” “Saya presiden no order,” kata­nya.11 Atau yang satu ini. Saat banyak tuntutan mundur sebagai presiden terhadap Gus Dur yang dituduh terkait skandal Brunaigate, de­ngan enteng Gus Dur menjawab, “Sampeyan ini bagaimana, wong saya ini maju saja susah, harus dituntun, kok disuruh mundur...”

 

Gus Dur dan Pratik Humor:

 

Jauh sebelum menjadi presiden. Gus Dur adalah aktivis yang rajin dan kreatif membuat humor untuk menyindir penguasa. Sebagian besar lelucon itu terlihat jelas merupakan adaptasi dari lelucon serupa dari mancanegara, terutama Eropa Timur. Dalam salah satu teori humor politik, makin tertindas masyarakat, makin kreatif mereka mencipta humor untuk meledek penguasa, sebab mereka tahu pasti: mengkritik secara terbuka adalah bunuh diri. Satu sindiran halus pernah disampaikan Gus Dur kepada penguasa Orde Baru. “Kalau anak orang kaya ulang tahun atau menikah dibelikan TV. Kalau anak penguasa ulang tahun atau menikah dibelikan stasiun TV,” ujar Gus Dur. Tentu publik mengetahui setelah TVRI, menyu­sul TV swasta RCTI dan TPI yang dimiliki keluarga Presiden Soeharto.

Pasca-Reformasi 1998, bermunculan ba­nyak partai termasuk yang dari kalangan warga nahdliyin. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dibesut Gus Dur adalah satu dari sekian partai yang mengasosiasikan diri sebagai “partainya NU.” Namun, dengan cerdas Gus Dur mengatakan, “NU itu seperti induk ayam. Dari pantatnya keluar telur dan juga tai. Nah, PKB adalah telur yang lain tai ayamnya...”

Gus Dur tak sempat mengurus negara, karena sibuk mengumpulkan lelucon. Komentar Arief Budiman PhD12 itu salah satu sahabatnya,  tampaknya tidak dimaksudkan un­tuk melucu. Ketika kritik dari “tukang kritik” itu disampaikan ke Presiden Gus Dur, tang­gapan­nya biasa saja. “Biar saja Arief Budiman ngomong begitu. Nanti toh kalau negaranya makin tertib, ekonominya makin baik dan ma­sya­rakatnya makin sejahtera, semuanya pada seneng. Nanti toh orang tahu, biar saya melucu-lucu begini, tapi bisa ngurus negara. Arief itu kadang-kadang bagus juga, kok...kadang-kadang...”

Arief Budiman dan sebagian lainnya mung­kin cenderung melihat kegemaran Gus Dur berlelucon yang makin menjadi-jadi saat menja­bat presiden sebagai kelemahan ketimbang kekuatan. Sementara itu, banyak yang melihat justru kegemaran berhumor itu merupakan kekuatan Gus Dur daripada kelemahannya. Bahkan, ada yang meyakini sebagian sukses Gus Dur selama ini, baik dalam mencapai dan menjalankan kepemimpinan di Nahdlatul Ula­ma maupun kepresidenannya, cukup ba­nyak disumbang oleh bakat yang luar biasa dalam memanfaatkan humor.

Jika saja urusan perhumoran itu dibuat tanda kepangkatan lengkap dengan bintangnya seperti pada institusi TNI, Gus Dur pasti sudah menyandang jenderal alias bintang empat. Akan tetapi, banyak orang percaya, dia tak terlalu gem­bira dengan pangkat bintang empat. Bu­kankah selama ini Gus Dur adalah pemimpin sebuah organisasi Islam terbesar dengan logo bintang sembilan?

Tidak seperti para kandidat presiden Ame­rika Serikat yang menyewa penulis humor untuk memasok lelucon kepadanya, bagi Gus Dur penulis humor adalah dirinya sendiri. Gus Dur pernah mengutip joke tentang tiga calon kuat presiden Amerika Serikat kandidat dari Partai Demokrat. “Saya tadi malam mimpi diberkati Tuhan”, kata Adlai Stevenson kepa­da dua calon lainnya, Hubert Humphrey dan Lyndon Baines Johnson. “Aneh, saya juga ber­mimpi yang sama, sehingga kans kita tam­pak­nya sama”, sahut Humphrey. Yang “menang” adalah Johnson, yang keheranan dan berkata, “Lho, bagaimana mungkin? Saya kok tidak merasa memberkati kalian?”

Cerita Gus Dur yang juga mengutip joke Barat pernah disampaikan pada diskusi suk­sesi dan humor pada September 1992 di TIM, Ja­karta. Pada suatu ketika di sebuah penjara Havana, Kuba, ada tiga orang dalam sebuah sel. Ketika itu Kuba dalam keadaan darurat militer. Terjadi dialog di dalam sel itu. “Saya ditahan karena demo mendukung Che Guevara,” kata seorang tahanan. “Lho kok aneh, saya dijeblos­kan ke penjara ini karena aksi menentang Che Guevara?’ jawab tahanan lainnya. Mereka bi­ngung lalu sepakat bertanya kepada sese­orang yang diam di pojok sel. “Kami yang mendukung dan menentang Che Guevara sama-sama di­tahan penguasa, Anda ditahan karena apa?” Dengan kalem orang ketiga itu menjawab, “Saya Che Guevara!” Itulah contoh humor tentang kebingungan atau kekacauan pada suatu bang­sa.

Ketika Gus Dur menjadi presiden, sebagian rakyat turut menikmati lelucon-leluconnya melalui pidato maupun cerita di balik cerita. Saat dilantik menjadi presiden, misalnya, Gus Dur sudah mulai melucu dengan menyamakan DPR seperti Taman Kanak-kanak (TK). Sebagian anggota dewan yang terhormat tersengat, sebagian santai, woles saja. Pasangan Presiden Gus Dur dan Wakil Presiden Megawati juga menjadi bahan lelucon bagi Gus Dur. Mengejek diri sendiri atau self-mockery itu pula yang dilakukannya dalam pertemuan besar bisnis internasional di Bali akhir 1999. Di depan ratusan peserta dari berbagai negara, dengan rileks Gus Dur bicara dalam bahasa Inggris yang fasih. “Presiden dan wakil presiden kali ini adalah tim yang ideal,” katanya. “Presidennya tidak bisa melihat, dan wakilnya tidak bisa ngomong...”

Mengejek diri sendiri adalah salah satu ciri kedewasaan seseorang. Itulah yang pernah dilakukan Gus Dur pada acara gelar wicara (talk show) dengan Jaya Suprana di stasiun televisi TPI. “Apakah Gus Dur ini adalah presiden yang paling kocak di dunia? Ada enggak presiden lain yang lebih lucu?” tanya Jaya Suprana. “Wah, soal itu saya enggak tahu. Yang jelas, saya ini nyasar. Mestinya jadi pelawak kok malah jadi presiden.” (Menurut Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, kadang-kadang Gus Dur lupa bahwa dirinya se­orang presiden). Lantas, Gus Dur mengemu­ka­kan perbedaan dirinya dengan presiden-pre­siden RI sebelumnya. Presiden pertama kita itu disebut gila wanita, Presiden kedua gila harta, Presiden ketiga gila beneran. “Dan, presiden RI keempat, membikin rakyatnya gila...”

Kisah berikut ini benar-benar terjadi. Gus Dur ingin menunjuk Mahfud MD (MD ada yang menyebut singkatan dari Madura) sebagai menteri pertahanan. Mahfud menyangka diri­nya diminta menjadi menteri pertahanan kare­na masih ada kaitan dengan masalah hukum, keahliannya selama ini. Saat bertemu Presiden Gus Dur, Mahfud mengatakan, “Pak Presiden terima kasih atas penunjukan saya sebagai men­teri pertahanan, tetapi saya ini tidak berpenga­laman di bidang pertahanan.” “Wis antum te­nang saja. Bisa tanya-tanya ke Pak Yudhoyono. Kalau soal pengalaman, lha saya juga tidak berpengalaman menjadi presiden kok...”13

Kebiasaan Gus Dur membuat pernyataan kontroversial sempat membuat kegaduhan yang tak perlu.14 Saat Ambon dilanda keru­suhan bernuansa SARA, Gus Dur menyatakan bahwa provokator kerusuhan adalah seorang petinggi tentara bernama “Mayjen K”. Siapa pula orang itu? Seperti biasa, Gus Dur tak men­jelaskannya. Akan tetapi, Mayor Jenderal Kivlan Zein yang merasa “terserempet” segera me­nemui di rumahnya untuk minta penjelasan. Setelah bicara beberapa waktu, keduanya ke­luar dan menyampaikan keterangan kepada pers. Menurut Gus Dur, yang dimaksud “Mayjen K” itu bukan Kivlan Zein. Dia minta supaya ma­salah itu tidak usah diperpanjang lagi. Namun, orang masih penasaran. Kalau begitu, siapa yang dia maksud dengan “Mayjen K”? Sambil terkekeh, Gus Dur menjawab, “Mayjen K itu maksudnya Mayjen Kunyuk (monyet). Habis, apa namanya kalau kerjanya jadi dalang kerusuhan….” Masih terkait soal kerusuhan Ambon, Gus Dur dide­mo di depan istana oleh ribuan orang yang hendak berjihad di Ambon. Dia lantas menyata­kan bahwa pemerintah akan bertindak tegas. “Saya tidak peduli. Yang Kristen kek, yang Islam kek, kalau mengganggu keamanan akan kita tindak. Mau jihad kek, mau jahit kek, kalau mengganggu akan ditangkap.”

Seno Gumira Ajidarma menulis tentang pernyataan GM Sudarta.15 Karikaturis Kompas itu mengatakan pemimpin bangsa ini sikapnya selalu seperti siklus yang berulang. Setiap sam­pai ke puncak kekuasaan, sepertinya si presi­den enggan menerima kritik pers. Soekarno melemparkan tuduhan kontrarevolusi, antek imperialis, atau Manikebu. Presiden Soeharto menggunakan Surat Izin Terbit (SIT), Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), dan ancaman pembredelan. Presiden Abdurrahman Wahid menuduh pers suka memelintir berita. Presiden Megawati Soekarnoputri merasa dipojokkan oleh pers. Terakhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengimbau pers jangan memper­olok bangsa. Pernyataan tersebut ditulis GM Sudarta dalam bukunya yang berjudul 40 Tahun Oom Pasikom: Peristiwa dalam Kartun Tahun 1997-2007. GM Sudarta sendiri mengakhiri kariernya di Kompas pada 2007.

GM Sudarta terkadang menerima ancaman dan teror. Pernah suatu hari dia ditelepon se­seo­rang yang kurang senang dirinya mengari­ka­turkan Gus Dur. Si penelpon bertanya dalam nada retoris sekaligus mengandung makna implisit, “Pak GM, apa sampeyan (kamu) per­nah merasakan rendang bom?” Pengalaman GM Sudarta, pernah juga dialami Miing Bagito dan redaksi Jawa Pos yang digeruduk massa pendukung Gus Dur, karena lawakannya dan beritanya dianggap menyinggung Gus Dur. Namun, tentu belum bisa dipastikan upaya pembungkaman itu datang atas “perintah” Gus Dur atau inisiatif dari para pendukung Gus Dur belaka.

 

Gus Dur dan Komunikasi Politik

 

Sebagai presiden, sosok Abdurrahman Wahid sangat unik. Seperti Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, tingkah laku Gus Dur cukup sulit dipahami. Amien Rais, doktor ilmu politik dari Universitas Chicago, Amerika Se­rikat, misalnya, pernah mengatakan bahwa ada tiga hal yang tak seorang pun dapat memasti­kan, yaitu “jodoh, ajal, dan apa yang akan dila­kukan Gus Dur.” Presiden Gus Dur hampir setiap minggu menggulirkan isu politik yang, menurut Amien Rais, kerap mengguncang masyarakat. “Di kalangan elite politik saja membingungkan, apalagi di kalangan rakyat kecil. Mereka jauh lebih sulit lagi memahami manuver politik Gus Dur, yang memang tidak ada substansinya”, tambah Amien Rais.16 Begitu pula kebiasaan lama Gus Dur sebelum terpilih menjadi presiden. Publik mengenalnya sebagai tokoh yang sering mengeluarkan pernyataan kontroversial. Dia bisa memainkan banyak pe­ran. Publik terkadang sulit memahami apa­kah dia berbicara dalam kapasitas sebagai se­orang ulama, intelektual liberal, atau pemimpin se­buah organisasi massa.

Amien Rais adalah tokoh Poros Tengah yang mempunyai andil besar terpilihnya Gus Dur menjadi presiden. Hasil pemilihan umum 1999 mencatat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) keluar sebagai pe­memang. Saat itu, Ketua Umum PDI Per­juangan Megawati Soekarnoputri sebenarnya sudah di atas angin terpilih menjadi presiden. Namun, manuver Amien Rais melalui Poros Tengah-nya kemudian memilih Gus Dur dan Megawati masing-masing sebagai presiden dan wakil presiden. Menurut Gus Dur, menanggapi terpilihnya dirinya menjadi presiden, “Saya menjadi presiden itu cuma modal dengkul. Itu pun dengkulnya Amien Rais.”

Gebrakan Gus Dur setelah terpilih menjadi presiden adalah membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial. Dia meng­ang­gap kedua departemen itu membebani dan memboroskan anggaran negara. DPR kemudian menggunakan hak bertanya terkait pembu­baran dua departemen itu. Dalam Sidang Pari­purna DPR, 18 November 1999, Presiden Gus Dur melakukan dialog dengan para wakil rakyat dalam suasana informal. Penjelasan presiden yang disiarkan oleh televisi secara langsung itu sesekali ditingkahi gurauan serius. Presiden Gus Dur bahkan sempat menyamakan DPR dengan Taman Kanak-kanak (TK).17

Salah satu bentuk komunikasi dan pe­nyebaran informasi yang dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid secara rutin adalah meng­­ge­lar dialog terbuka dan langsung de­ngan jamaah masjid usai salat Jumat. Format tanya jawab dipandu oleh seorang moderator yang memberi kesempatan kepada tiga orang (yang bukan wartawan) untuk bertanya ten­tang ber­bagai macam isu. Namun, pernyataan kon­tro­versial kerap dikeluarkan Gus Dur dalam dialog Jumat. Gus Dur agaknya tidak merasa kehi­langan apa pun (nothing to lose) dengan menge­luarkan pernyataan yang oleh sebagian ka­langan dinilai “kontroversial.” Ber­bagai per­nya­taannya, baik disadari maupun tidak disa­dari, justru bisa menjadi bumerang terhadap peme­rintahannya. Menteri Luar Negeri Alwi Shihab pernah menyarankan Gus Dur agar komunikasi setiap hari Jumat itu se­baiknya diadakan dua minggu sekali atau di­muat off the record. Na­mun, Gus Dur, menurut Alwi, “Saya harus ber­bi­cara kepada rakyat. Saya harus ber­komu­nikasi dan harus men­de­ngar.” Dialog Jumat tetap diteruskan. Sayang­nya, kata mantan Ketua Juru Bicara/Tim Media Presiden RI Wimar Witoelar, keterbu­kaan dalam dialog usai salat Jumat itu kerap “disalahgunakan” pers.

Bentuk lain dari komunikasi yang dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid adalah dialog interaktif yang disiarkan televisi. Pada mulanya, gelar wicara interaktif di TVRI dengan judul “Secangkir Kopi” (belakangan diganti Secangkir Teh, karena Gus Dur tak minum kopi). Acara berdurasi 45 menit itu mirip dialog Jumat, na­mum bisa ditonton dan diikuti secara interaktif di seluruh Tanah Air. Pada “Secangkir Teh”, 14 Maret 2000, Presiden Abdurrahman Wahid meminta maaf kepada para korban G30S yang menurutnya banyak dilakukan oleh anggota NU. “Dari dulu pun, ketika masih menjadi Ke­tua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, saya sudah minta maaf. Bukan sekarang saja, tanyakan kepada teman-teman di lembaga swa­daya masyarakat (LSM). Saya sudah me­minta maaf atas segala pembunuhan yang terjadi terhadap orang-orang yang dikatakan sebagai komunis.”

Setelah TVRI, acara serupa muncul di TPI. Kali ini yang menjadi pemandu adalah Jaya Suprana, acaranya bernama “Jaya Suprana Show.” Acara semacam itu lebih sebagai pelem­paran wacana yang sangat membuka peluang untuk diperdebatkan dan didiskusikan.

 

Komunikasi Tanpa Manajemen

 

Pada bagian awal tulisan ini, Arief Budiman cenderung melihat kegemaran Gus Dur ber­lelucon yang makin menjadi-jadi saat menja­­bat presiden sebagai kelemahan ketimbang ke­kuatan. Gus Dur juga tak jarang mengung­kap­kan sinisme yang keras terhadap orang-orang yang membuatnya jengkel karena berbagai alasan. Sinisme itu tentu tak lucu karena me­mang bukan dengan maksud melucu. Dalam perbincangan publik, dia membungkus humor politiknya dengan rapi. Humor dalam negara otoriter, sebagaimana fungsi sastra dalam ma­sya­rakat Jawa lampau, menurut Goenawan Mohamad, adalah pasemon, untuk menyamar­kan pesan. Dalam hal pasemon, Gus Dur istimewa: dia memang sudah lucu dari “sono”-nya. Ketika dia me­nanggapi suatu peris­tiwa, misalnya, dia sering jenaka, meski sama sekali tanpa berniat me­lucu. Itu terutama me­nyang­kut pilihan kata (diksi) yang digunakan, yang terutama dipe­tiknya dari khazanah Jawa­timuran,

Hobi berhumor terus dipupuknya saat dia menjadi presiden. Hal tersebut memang sulit dilepaskan Gus Dur yang, menurut Cholil Bisri, kelucuannya memang gawan bayi, bawaan se­jak lahir. Ditambah tradisi di kalangan para kiai NU, khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah, me­mang kaya dengan hu­mor, Rapat-rapat mereka pun banyak diwarnai saling ledek dengan kocak. Namun, setelah lewat setahun menjabat presiden, perlahan-lahan kekocakan Gus Dur hilang. Para pemirsa televisi malah lebih sering menyaksikan dia berkata keras dalam menanggapi pelbagai peris­tiwa politik di Tanah Air. Setelah DPR mela­yangkan Memo­randum I, Februari 2001, humor Gus Dur benar-benar lenyap tak berbekas, setidaknya di depan publik.

Hilangnya lelucon Gus Dur makin lengkap dengan munculnya rekaman di depan kamera televisi. Dia seolah mengancam. “Kalau saya sampai dipermalukan di Sidang Istimewa, maka sejak hari pertama turun (dari kursi presiden) saya akan terus berkampanye sampai tahun 2004.” Gus Dur mengingatkan kepada lawan-lawan politiknya bahwa dirinya masih sangat populer dan patut diperhitungkan pada pe­milihan presiden secara langsung pada 2004.

Hilangnya humor Gus Dur membuat se­jum­lah kawannya, termasuk Darmanto Jatman, Franz-Magnis Suseno, Garin Nugroho, Greg Barton, Jaya Suprana, Mudji Sutrisno, dan Sujiwo Tedjo, merasa perlu mendatanginya di Istana Negara menanyakan kemana gerangan perginya “aksesori” Gus Dur yang menyegar­kan dan ampuh bahkan secara politik. Menu­rut Jaya Suprana, seusai pertemuan selama dua jam pada Jumat 8 Juni 2001, Gus Dur mengatakan sebenarnya dia ingin terus bersikap humoristis, tetapi beberapa pihak menyarankan bahwa presiden tidak boleh melucu. “Tetapi Gus Dur berusaha mulai besok, Sabtu, akan melucu lagi,” tambah Jaya Suprana.

Menurut mantan Sekretaris Presiden Abdurrahman Wahid, Ratih Hardjono18, Gus Dur memiliki sejumlah kelemahan. Salah satu di antaranya, Gus Dur tidak bisa membedakan komunikasi yang bersifat privat dengan komu­nikasi bersifat publik. Indra penglihatannya memang tidak sempuna. Dia juga nyaris tidak bisa membedakan antara komunikasi formal dengan komunikasi informal. Bila berkomu­nikasi dengan wartawan atau pakar, misalnya, Gus Dur menganggap sama, semua serba ter­buka, semua pembicaraan menjadi informal sebagaimana forum modus operandi di pe­santren.

Gus Dur sering menanggapi pertanyaan serius dengan jawaban sederhana, kadang-kadang diimbuhi ucapan: “Gitu aja kok repot.” Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa Gus Dur selalu ingin mempermudah persoalan yang sebenarnya mungkin rumit. “Kalau bisa diper­mudah, mengapa sih dipersulit. Kayak kurang kerjaan aja.” Yang kerepotan justru para staf pre­siden. Sebaliknya, para wartawan bisa setiap saat berkomunikasi langsung dengan dia,

Mohamad Sobary19 juga menilai watak da­sar sebagai Ketua Umum PBNU terus dibawa Gus Dur sampai ke Istana. Dia menggunakan komunikasi nyaris tanpa manajemen. Gus Dur membeberkan semua informasi. Hampir tidak ada informasi yang bersifat rahasia. Sebagai presiden, Gus Dur sudah seharusnya me­nuang­kan pemikiran dan membahas suatu persoalan dengan jelas. Gus Dur harus lebih membuka diri untuk dipahami banyak orang. “Gus Dur itu membikin dirinya sebagai dirinya, seolah-olah ada suatu perasaan mau ngerti syukur, nggak ngerti juga nggak masalah, Itu masalah! Presiden kok nggak masalah, gimana?”

Salah satu faktor yang menyebabkan krisis kepemimpinan politik Gus Dur adalah ketidak­mampuan melakukan komunikasi politik. Gaya komunikasi politik Gus Dur nyleneh, sulit di­duga, kontroversial, dan kontradiktif (semacam plintat-plintut). Gaya komunikasi seperti itu merupakan kendala dan tidak menguntungkan bagi terselenggaranya administrasi negara atau manajemen pemerintahan yang efektif (demo­kratis, berwibawa, dan efisien). Menghadapi gaya komunikasi Gus Dur seperti itu, para men­terinya sulit menerjemahkan visinya ke dalam berbagai kebijakan dan tindakan konkret. Itu sebabnya mengapa kebanyakan menteri Gus Dur seperti ragu dan “linglung” dalam meng­hadapi pekerjaan mereka, selain juga tampak tidak kompak.

Gaya komunikasi Gus Dur dipengaruhi budaya Jawa dan pesantren yang–meminjam dan menggunakan kategori Edward T Hall20 (1976)—termasuk dalam komunikasi konteks tinggi, sebagaimana umumnya budaya Timur. Dalam komunikasi konteks tinggi, kebanyakan pesan implisit, terdapat dalam konteks fisik atau terpendam dalam benak para pesertanya. Menurut Hall, budaya konteks tinggi punya kecenderungan lebih besar untuk membeda­kan orang dalam dari orang luar daripada budaya konteks rendah.

Komunikasi efektif jelas bukan komunikasi yang pesan-pesannya penuh humor dan kiasan seperti gaya Gus Dur. Bukan pula yang polos dan terlalu lugas seperti gaya Amien Rais. Humor tetap penting sebagai salah satu cara berkomunikasi bagi seorang presiden. Masalah­nya, seorang presiden harus mampu meman­faat­kan humor demi kepentingan komunikasi, bukan menggunakan humor demi humor itu sendiri. Sebab, seorang presiden bukanlah ko­mika yang mengundang tertawa saat open mic,21 melainkan membuat tertawa rakyat melalui ke­bijakan publik yang menyentuh mereka•

EDISI

Humor yang Adil dan Beradab | 38 | 2019-01-01

BAGIKAN


Beli Prisma Cetak

Dapatkan prisma edisi cetak sekarang dengan klik dibawah ini

Webstore

Berlangganan Newsletter