Humor dalam Kajian: Membongkar Penanda Zaman

BAGIKAN



Dalam keterbungkaman kritik semasa Orde Baru, humor berfungsi penting bagi kehidupan politik, meski kajian humor terbata-bata mengungkapnya. Setelah Reformasi 1998, gairah penelitian humor meningkat pesat, termasuk dari berbagai bidang ilmu yang terkesan jauh dari dunia humor. Para pakar memperlihatkan obsesi teoretis dengan sejumlah kajian yang berusaha menukik dan menunjukkan keberdayaan praktik humor. Perkembangan humor; secara global membutuhkan perbincangan serius, karena makin mengancam kemanusiaan. Humorologi di Indonesia, yang diperjuangkan oleh Arwah Setiawan sejak 1977, selayaknya didorong dan dikembangkan.

Kata Kunci : globalisasi, humor, kajian, komoditas politik, kritik

Seberapa jauh humor bisa menjadi tanda-tanda zaman? Tentu sejauh pembongkaran humor dapat menunjukkan tanda-tanda itu. Dalam konteks Indonesia, misalnya, Ben Anderson pernah mengungkap bentuk-bentuk komunikasi politik dalam kartun karya Augustin Sibarani (Srani) tahun 1950-an dan 1960-an, maupun Johny Hidayat AR di tahun 1970-an, ketika fungsi yang sama tidak dapat berlangsung dalam dunia politik pada masanya masing-masing.1 Humor, tidak hanya dalam kar­tun, menampung fungsi kritis yang dibu­tuh­kan oleh kebudayaan, termasuk di dalamnya buda­ya poli­tik, agar terus berlangsung dengan keberda­yaan optimal. Tantangan setiap zaman yang tidak selalu sama akan melahirkan tang­gapan humor yang juga berbeda.

Antara Prisma nomor 1, Januari 1996, berte­ma “Kartun atau Pamflet Politik?” yang merupa­kan edisi tentang humor dan Simpo­sium “Humor yang Adil dan Beradab” yang diselenggarakan oleh Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) pada Kamis 8 September 2016 bukan hanya terentang jarak 20 tahun saja, me­lainkan juga secara spe­sifik melewati mo­men­tum Reformasi 1998. Fakta tersebut cukup untuk menduga bahwa Prisma 1996 itu me­mung­kinkan dipandang sebagai sebuah refleksi mengenai kedudukan humor semasa Orde Baru, dan dari Simposium Humor 2016 dimung­kinkan pemeriksaan atas berbagai pemikiran tentang humor setelah reformasi berjalan selama delapan belas tahun. Seberapa jauhkah telah terjaring tanda-tanda yang menun­jukkan zamannya?

Perlu dilaporkan, simposium humor 2016 di­awali oleh suatu prelude pada 11 Maret 2016 de­ngan gelaran diskusi tentang budaya humor ber­tajuk “Humor Masa Kini.” Dalam diskusi terse­but, Deddy Gumelar yang lebih dikenal se­bagai Mi’ing Bagito, humoris tersohor sema­sa Orde Ba­ru, mengisahkan penderitaannya keti­ka harus melawak di depan Presiden Soeharto, dan bagai­mana kelompok Bagito memanfaatkan paranoia mereka sebagai bahan lawakan de­ngan sukses.

Penceritaan kembali yang sangat lucu seka­li­gus mengungkap fakta serius: kekuasaan yang se­mula tampak begitu angker, menjadi objek terta­waan yang sangat menghibur bukan sebagai rumor, melainkan dalam diskusi publik yang res­mi. Tentunya bukan hanya jarak waktu, tetapi refor­masi politik telah mengubah pende­katan humor. Apa yang telah berubah maupun tidak berubah?

 

Kajian Humor Pra-Reformasi: Membongkar Kritik Tanpa Objek

“Wacana Kartun dalam Bahasa Indonesia” yang ditulis I Dewa Putu Wijana sebagai pembu­ka Prisma edisi humor 1996, memiliki bobot sebuah buku teks ilmu linguistik. Humor di situ diuraikan sebagai fenomena bahasa. Nyaris merupakan penjelasan teknis yang tidak teru­tama membahas aspek sosial-politis humor dengan menunjukkan fungsi kritisnya, melain­kan sebagai contoh dari konsep-konsep humor dalam konteks bahasa.

Secara umum tentu disebutkan karakter hu­mor yang agresif, tetapi dengan format akademis ketat justru ditekankan bahwa hu­mor sebenar­nya merupakan permainan ba­hasa, yang dengan caranya sendiri membuat kritik bisa diterima. Dengan kata lain, itu sebuah pengantar teoretis yang berjuang untuk objek­tif, meski contoh kar­tun yang digunakan bisa sangat kritis. Tentu kare­na memang bukan tujuan tulisannya, kritik terse­lu­bung maupun terbuka macam apa yang dapat di­tengok dari kartun-kartun itu tidak dibahas.

Adapun “Pelesetan Jawa dan Anekdotis Politis” oleh Christanto P Rahardjo, alih-alih membahas pelesetan sebagai fenomena kebu­dayaan “Jawa”, keberadaannya sebagai “kajian tentang pelesetan” itu sendiri sudah seperti satir tentang kuasa wacana yang nyaris mutlak. Setelah menunjuk berbagai contoh kasus, di­ung­kapkan konteks budaya Jawa dalam adab pelesetan, yang menganggapnya perlu untuk menilai perilaku—tetapi hanya yang paham “Jawa” bisa ikut bermain, karena jika tidak akan luput dalam pembermaknaannya. Pelesetan dianggap “berangkat dari sebuah proses ideo­logis yang bersifat marginal-parsial”.

Pembahasan berikutnya, “Humor Sarat Ru­mor dan Humor Penuh Tumor” oleh Pipit R Karta­widjaja,2 meloncat ke Jerman era pra-Reuni­fi­kasi dan langsung berbicara tentang sebuah situasi: humor politik justru dilahirkan iklim politik yang tertutup dan represif. Na­mun, ketika humor politik yang menyebar penuh rumor, sebetulnya menunjuk kepada kualitas kemanusiaan yang patut dipertanya­kan. Pipit memisahkan antara humor politik dan satir politik. Dalam konteks Jerman Timur, humor politik yang penuh rumor adalah pe­nan­da keti­dakberdayaan, seperti mem­be­nar­kan penin­dasan. Sedangkan satir di Jerman Barat yang selalu berdasarkan fakta adalah se­baliknya.

Setelah itu, seperti kembali ke awal, esai Jaya Suprana adalah pendekatan ensiklopedis terhadap humor, tetapi dengan sudut pandang khas Jaya, yakni apa yang berlangsung dengan keliru. Pengertian humor berproses sesuai dengan kebutuhan zaman, di berbagai tempat berbeda, sehingga pengertiannya tidak pernah sama, yang dalam bahasa Jaya Suprana “simpang-siur” adanya. Catatan Jaya, humor selalu diperjuangkan dalam olah pemikiran dengan serius, meski kesepakatannya tidak pernah tercapai. Jaya sendiri memilih untuk mencatat tak kurang dari 15 kegunaan humor daripada merumuskannya.

Lantas diwawancarai sembilan kartunis media massa yang tersebar di berbagai kota, Jakarta, Bandung, Gombong, Semarang, dan Yogyakarta. Para kartunis itu, yang sebagian kini telah almarhum, dengan berbagai variasi menyatakan hal yang sama: kritik dalam kartun tidak perlu langsung, tajam, dan frontal, karena dengan cara itu tujuan kritik tidak akan tercapai. Tidak dibicarakan perihal humornya, bahwa kartun yang paling keras, selama masih kartun, adalah humor itu sendiri bukan?

Namun, tampaknya lingkungan menentu­kan wacana. Dalam hal kartunis T Sutanto, mi­sal­nya, pengalaman di media mahasiswa se­masa pergolakan 1974-1978 dan agak lebih longgarnya pengawasan atas media berbahasa Inggris seperti The Jakarta Post, membuat kartunnya terbebaskan untuk tampil keras.

Selain kartunis, tiga pakar bicara tentang humor dalam konteks bidang masing-masing. Djamaludin Ancok, pengajar psikologi, menye­butkan terdapatnya budaya kritik dalam masya­rakat tradisional, dan di sanalah humor me­ngambil tempat. Namun, dalam situasi aktual, yakni masa Orde Baru waktu itu, disebutnya tak dapat diketahui humor macam apa yang pas bagi penyaluran kritik.

Bondan Nusantara, aktivis ketoprak, merasa perlu membedakan antara dagelan yang hanya mencari efek tawa dan humor yang menawar­kan renungan serius, sebelum masuk ke dalam topik pele­setan dan menyatakan bahwa dalam Keto­prak Pelesetan yang dijaganya adalah jangan sampai dilarang. Akibatnya, ketoprak pelesetan menjadi lebih banyak berisi dagelan daripada humor, sehingga tiada pula tema perebutan ke­kua­­saan yang rawan terhadap tafsiran sensitif. Namun, mengutip pernyataan Ashadi Siregar dan Emha Ainun Najib, Bondan menyebut ketoprak pele­setan telah berfungsi sebagai “terminal kesum­pekan”, yang dimaksud barangkali adalah katarsis.

Sedangkan dalang sohor Ki Manteb Sudar­sono, sementara menyatakan terlalu banyak humor dalam adegan itu tidak baik, membenar­kan bahwa dalam pementasannya lebih banyak aspek tontonan daripada tuntunan, karena mem­beri tuntunan saja akan berkesan menggu­rui. “Orang sekarang makin pintar,” katanya, “jangan digurui.” Perihal kritik dalam wayang kulit, Ki Manteb tampaknya memiliki resep istimewa, ketika Rahwana sebagai representasi kekuasaan jahat dibuatnya insyaf dan bertobat, bahkan mengaku dosa, yang ternyata membuat Dewi Sinta sangat terharu.

Tampak serius, lakon seperti ini bisa juga ditafsir sebagai “humor tingkat tinggi”, sekali­gus menandai kecenderungan nglulu (berbuat baik, tetapi sebagai sindiran) dalam budaya Jawa, yang rupanya masih difungsikan dalam keterbungkaman kritik. Siapakah yang disindir? Agaknya bukan pada siapa, tetapi mengapa sikap kritis terpaksa dijalankan dengan cara seperti itu yang lebih menarik untuk dijawab. Namun, jawabannya akan menjadi perbincangan nanti, ketika situasi humor 1996 seperti yang dapat ditengok dari Prisma, terbandingkan dengan Simposium humor 20 tahun kemudian.

 

Kajian Humor Pasca-Reformasi: Keberdayaan Nalar Humor

 

Dalam Simposium “Humor yang Adil dan Beradab” pada 2016, usaha mengenali humor dike­rah­kan dari segala penjuru. Praktisi seperti Deddy “Mi’ing” Gumelar berada satu forum de­ngan para pakar yang berusaha “menemu­kan” makna keberadaan humor melalui bidang ma­sing-masing.3 Dalam pemaparan kemudian terung­kap bahwa humor juga memiliki fungsi kritis di sam­ping peran formalnya sebagai hiburan.

Edi Sedyawati, sebagai arkeolog, menun­juk­kan bahwa pada zaman Jawa Kuna, istilah yang memiliki arti terkait dengan humor sudah dike­nal. Menurutnya, tradisi berlelucon telah lama hidup dalam masyarakat kita.4 Misalnya, bebe­rapa relief di Candi Borobudur, seseorang yang dengan sengaja menyalahkan gerakan (tari) tungkai tangan dan kaki yang disilang ber­lawanan, sehingga orang di sekitarnya menjadi tertawa atau seseorang dengan perut gendut, sementara yang lainnya tidak, seolah-olah ingin melucu.

Mengungkap yang berbeda dapat ditafsir sebagai sikap kritis terhadap dominasi nor­mali­tas. Seperti sekadar sisi humor, tetapi mena­tah­­kan sikap mengejek pada batu agar abadi, me­ngan­dung sikap kritis dan politis yang jitu sebagai antisipasi pertarungan semiotik di masa depan.

Rocky Gerung, dari sudut pandang filsafat, menyampaikan betapa bobot humor sangat ter­gantung dari kecanggihan falsafi para pelaku­nya, karena filsafat, seperti humor, mengandal­kan penalaran—meski tujuan dan hasilnya sungguh berbeda. Melalui relativitas, dialektika, dan nihilisme, jika filsafat mengutuhkan pemi­kiran, maka humor dengan cara berpikir para­doksal menjungkirbalikkannya. Jadi, meski humor bu­kanlah filsafat, terdapat filsafat dalam humor yang memberdayakan instrumen logika untuk mem­bolak-balik dunia.

Dalam bahasa Rocky, “Humor adalah fil­safat yang mengekstremkan penalaran ke batas daya dukung argumen. Pada ekstrem itu paradoks muncul sebagai tacit knowledge. Adalah transaksi kecerdasan intersubjektif yang melumerkan keketatan argumen demi menghasilkan ‘suasana.’ Humor adalah filsafat yang ‘bersuasana.’” Dari yang definitif, lantas ternyatakan peran sosialnya, “Humor adalah suatu peristiwa politik dalam upaya manusia menyelesaikan konfrontasi dengan institusi-institusi peradaban: agama, istana, dan kapital”.5

Mohamad Sobary, dari sudut pandang aga­ma, mengajukan spiritualitas humor melalui pe­lesetan atas spiritualitas Jawa, bahwa hidup ini hanyalah seperti persinggahan sementara un­tuk minum saja (urip mung mampir ngombe), menjadi untuk tertawa (urip mung mampir ngguyu). Tampak seperti lelucon itu sendiri, Sobary sungguh serius dengan keberdayaan humor dalam kehidupan, dan sungguh pri­hatin dengan kegagalan pelawak komersial masa kini dalam membahagiakan manusia.

Catatan penting Sobary, humor jenial men­ce­rahkan tidak jarang muncul dari non-pela­wak, apakah itu kepala kepolisian, bahkan juga pre­siden. Tidak diingkarinya betapa pelawak-pelawak masa lalu sungguh hebat. Humor dahsyat di­mung­kinkan oleh mereka yang disebut Sobary sebagai “humoris tulen”. Mung­­kinkah mak­sudnya orisinalitas? Di ba­gian lain tuli­sannya tampak bahwa kecerdasan­lah kunci hadirnya humor berkualitas, sembari dengan se­gera diingatkannya peran bias dalam humor baik bias gender, etnis, kelas, maupun generasi.6

Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno melaku­kan riset sistematis untuk sampai kepada sim­pulan: humor itu membebaskan sekaligus membahayakan. Membebaskan diri dari kate­go­risasi pakar gender, Toeti memeriksa ma­teri 20 kartun Majalah Tempo, dan mengujinya dengan tiga kriteria: emosi-agresi; logika-kon­tradiksi; humor, kritik, tragik. Hasilnya, meski­pun agresi jelas tujuannya, ketika kontra­diksi seharusnya menimbulkan tawa ternyata tidak, karena yang terdapat adalah deskripsi.7

Pengujian lain adalah pembandingan puisi Wiji Thukul yang menyerang negara dan Fadli Zon yang menyindir Joko Widodo (Jokowi). Puisi Thukul tidak lucu, dan karenanya tragik; puisi Zon akan lucu jika Jokowi menang atau kalah lawan Prabowo dalam Pilpres 2014 itu? Riset belum berakhir, pindah ke topik gender, dan terbukti bahwa memang terdapat sosok perempuan sebagai pemancing tawa. Betapa­pun, menjadikan perempuan bulan-bulanan dalam humor tentulah tidak adil dan beradab. Namun tujuan riset ini menguji posisi humor di antara ilmu pengetahuan dan kesenian.

Sementara itu, Sarlito Wirawan Sarwono, sebagai psikolog, melihat humor sebagai diso­nansi kognitif—artinya bahwa situasi tidak wajar, tidak biasa, yang menimbulkan kebim­bangan itulah yang memicu tawa, sampai titik ketika disonansi kognitif itu tidak disonan lagi. Namun, disonansi kognitif pun tidak selalu memancing tawa apabila yang disonan bu­kanlah harapan tak sampai dalam konteks humor, melainkan horor. Dengan situasi itu, menurut Sarlito, seorang pelawak atau humoris dituntut untuk selalu kreatif.8

Adalah para pekerja humor ini yang men­jadi perhatian Daniel Dhakidae, yang menggo­longkan mereka sebagai cendekiawan, dengan kelas sosial yang terbentuk oleh relasi modal, pengetahuan, dan kekuasaan. Sebagai kelas baru, para pekerja humor disebut berada di bawah “kelas berharta yang masih ingin mem­pertahankan hartanya” dan memakai kaum cendekiawan untuk mempertahankan dominasi. Tanpa daya kritiskah kelas cendekiawan baru ini? Dinyatakan bahwa jenis dan sistem penge­tahuan yang membentuk kelas itu hadir demi kepentingan rekonstruksi sosial. Jadi, kritis juga, tetapi yang kritis ini—dalam konteks ke­dik­tatoran Soeharto—masih harus dibong­kar setelah reading between the lines.9

Sudut pandang Pipit R Kartawidjaja dalam “Raden Baron Politik dan Humorannya”,10 jika berpadan dengan tulisan tahun 1996,11 me­miliki lapis dimensi unik: bukan hanya (1) sebelum dan setelah Reformasi, tetapi juga dalam posisi (2) sebelum dan setelah dirinya bebas dari penin­das­an Orde Baru, itu pun tentang (3) hu­mor politik di Jerman, sebelum dan sesudah reunifi­kasi. Jadi, ba­gaimana kon­disi keindone­siaan tercer­min, lang­sung tak langsung, dari perbincangan tentang hu­mor di Jerman.

Jika dalam tulisan 1996 ditunjuk perbedaan karakter dan kualitas humor politik Jerman Barat dan Jerman Timur, baik berdasarkan perbedaan sistem pemerintahan maupun ideo­logi kenega­raan­nya, dalam tulisan 2016 diper­kenalkan terle­bih dulu bahwa literasi makna “politik” bagi ka­nak-kanak dan remaja Jerman tidaklah mengha­dir­kan politik sebagai momok. Disebutkan, poli­tik bukan cuma urusan dengan penguasa, teta­pi juga segenap usaha realisasi tuntutan dan tujuan, atau usaha memengaruhi dan memben­tuk se­sua­tu, baik dalam wilayah privat maupun publik.

Masuk ke urusan humor politik, dibeber­kan wacana akademik tentang humor di Jer­man, sebagai hasil pengamatan Katharina Kleinen-von Königslöw, yang membagi humor politik dalam enam kategori. Kelengkapannya bisa diikuti nanti. Untuk sekarang yang perlu disampaikan adalah simpulannya: dari sisi integrasi dan informasi, humor kritis atau satir adalah top markotop-nya humor politik, karena keberdayaannya dalam melakukan pencerahan, membentuk kesadaran baru, menyampaikan ajaran, dan mengarahkan perubahan.

Bagaimana dengan humor kritis di Indo­nesia?

Meski secara teoretis bisa subur setelah Re­for­masi 1998, Pipit menjawab dengan kata wu­ku alias sistem paranormal Jawa tentang Republik Indonesia. Betapapun, tidakkah ter­dapat konsep yang menyatakan bahwa justru kekuasaan re­presif, dan bukan kebebasan, menjadi penyebab suburnya satir paling jenial? Deddy “Mi’ing” Gumelar, praktisi yang pernah merambah dunia legislatif, menulis “Humor dalam Komunikasi” yang menyampaikan ber­bagai macam manfaat humor, antara lain, dapat berfungsi sebagai katar­sis bagi kepengapan iklim politik.

Jika diurut kembali ke masa klasik abad ke-7 sampai ke-9 di Jawa, sebagaimana dinyatakan Edi Sedyawati, terdapat kosa kata lokal (bukan serapan dari bahasa Sansekerta) amirus dan abanyol yang masing-masing berarti “pelawak” dan “seniman lawak”: keduanya adalah bagian dari nama-nama profesi yang dalam prasasti dibebaskan dari pajak.

Kemerdekaan para humoris, dalam per­kem­bangan kebudayaan feodal selanjutnya, dipisah­kan dan dijauhkan secara resmi dari lingkungan istana, karena citra lucu sebetulnya juga berarti buruk rupa. Politik identitas istana untuk tampak anggun tidak cocok dengan peri­laku humoris kuna, yang bukan saja melanggar segala tatanan, melainkan bila perlu merebut kekuasaan.12

Namun, seperti juga istana membutuhkan kha­layak untuk mempertahankan kekuasaan, kaum abanyol selalu dibutuhkan kembali dalam situasi krisis. Tidak selalu krisis politik yang terba­tas, melainkan terutama untuk mengantisi­pasi krisis sosial yang meluas. Arswendo Atmowiloto dalam dua artikel ekstra-simposium tentang Semar dan Mukidi, jelas menyarankan itu.13

Dalam “Peran Humor dalam Profesi ‘Serius’”, Danny Septriadi menunjukkan bagaimana hu­mor sebagai bentuk permainan (kreatif), tidak bisa ditolak keberadaannya dalam “dunia se­rius”, bahkan berperan menentukan dalam abad ke-21 sebagai conceptual age.14 Sementara itu, apa yang ditulis Darminto M Sudarmo dalam “Berpikir Edan, Bertindak Elegan” menunjuk potensi hu­mor dalam karakteristiknya yang selalu berang­kat dari ketidaklaziman.15 Pembi­cara kunci Jaya Suprana, yang artinya pula seperti Pipit, hadir-mikir 20 tahun kemudian, masih mengemukakan pendapat betapa de­ngan segala keunikannya humor itu mustahil dirumuskan.

 

Dari Rasa Satir ke Obsesi Teoretis

 

Sampai di sini, mungkin sudah bisa mulai diperbandingkan, apakah yang masih sama, apakah yang kemudian berbeda, dan apakah yang menjadi sebab perbedaan dalam 20 tahun pemikiran humor dari tahun 1996 sampai 2016?

Seperti bisa dilacak, pada 1996, mungkin juga sebagai edisi pertama Prisma tentang humor, perbincangan tentang humor menukik kepada usaha menggali, menunjukkan, dan merumuskan apakah sebenarnya humor itu, bahkan sampai kepada liputannya atas para kartunis dan pakar. Jika ditengok topik redaksi, “Kartun atau Pamflet Politik?”, arah tujuan se­benarnya sudah jelas. Namun, ibarat me­man­cing, umpan sudah dilempar tiada yang me­makannya. Para kartunis, misalnya, sibuk me­ngung­kap soal “kritik tanpa menyinggung”, seolah-olah kritik yang berdampak adalah tabu—yang seperti benar adanya semasa Orde Baru.

Dalam kajian Putu Wijana mungkin dapat dipertanyakan, apakah kartun lebih dimanfaat­kan sebagai contoh konsep-konsep linguistik dalam praktik, dan bukan sebaliknya menggu­na­kan konsep-konsep linguistik untuk menun­juk bagaimana humor dipekerjakan sebagai alat kritik atau hiburan. Setiap kali sifat kritis, bah­kan agresif, dari humor diperbincangkan, tidak pernah secara eksplisit disebut pemerin­tah Orde Baru sebagai sasaran, meski bayang-ba­yang “kekuasaan yang dimaksud” tampaknya tidak mungkin lepas dari pembacaan. Itulah yang membuat kajian terasa satire. Perbin­cang­an ilmiah tentang “pelesetan” tanpa apa yang dipelesetkan, meski sudah menyertakan istilah “anekdotis politis”, hanyalah bisa dimak­lumi dalam konteks Indonesia pra-Reformasi.

Tulisan Pipit tampak berbeda, tetapi selain pengaruh domisili di Berlin, topiknya pun me­nempatkan dirinya di luar tempurung kekua­saan, karena membandingkan posisi humor di bawah dua kekuasaan, yang kedua-duanya ti­dak me­ngua­sainya. Seperti “kritik terhadap kritik (dalam humor)”, tulisan ini sungguh be­bas dari bayang-bayang Orde Baru, meski tetap bisa berfungsi sebagai “satir utopian” tentang bagaimana negara menjadi tempat subur tum­buh­nya humor, baik yang sehat maupun tidak sehat.

Dua puluh tahun kemudian, dalam Simpo­sium “Humor yang Adil dan Beradab” 2016, obsesi teoretis tentang apa itu humor belum berlalu, seperti terbawa oleh arahan untuk memandang humor dari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Namun, setelah 18 tahun penga­laman reformasi, perbincangan yang tetap berlandaskan spesialisasi bidang ilmu itu tidak terjebak dalam gaya buku teks, karena sebagian besar terarah pada potensi humor dan bukan kepada daya kritisnya saja. Keunikan humor sebagai saluran kritik hanyalah salah satu dari potensi humor yang dianjurkan untuk terus dikembangkan. Ibarat kata, pada 1996 tertindas, pada September 2016 eforia pembebasan su­dah berlalu, digantikan oleh pendalaman segala bidang ilmu.

Masalahnya, benarkah dalam 20 tahun hanya Prisma 1996 dan Simposium 2016 itu saja yang menjadi ajang pemikiran humor? Untuk ini, penelitian Mikhail Gorbachev Dom, “Humor di Kalangan Insan Akademik Indo­ne­sia” yang termuat di katalog simposium menjadi penting. Mengerahkan 23 relawan untuk me­meriksa situs perpustakaan 51 perguruan tinggi yang bisa diakses secara daring, terdapatlah 667 judul penelitian tentang humor antara tahun 1967 sampai 2015. Tentu saja itu kejutan.

Pada 1967, terdapat satu penelitian, setelah sepuluh tahun kosong, baru terdapat 1 pene­li­tian lagi pada 1977. Setelah itu, penelitian ten­tang humor berlangsung sporadis dari tahun 1983 sampai 1999. Artinya, rata-rata satu peneli­tian per tahun, terkadang melonjak menjadi delapan atau sebelas, seperti yang terjadi pada 1990 dan 1995. Pada tahun 2000 dan seterus­nya grafik mengalami kenaikan, meski tidak berada dalam garis lurus. Angka tertinggi 93 penelitian berlangsung pada 2014.16

Dari hasil statistik, tampak betapa gairah penelitian humor meningkat pesat setelah Reformasi 1998. Namun, tanpa melihat produk penelitiannya, belum dapat diketahui bagaimana wacana penelitian ini telah mengisi jarak dua puluh tahun antara 1996-2016, kecuali variasi topik dari berbagai bidang ilmu, tentu menjadi bukti beragamnya kemungkinan humor itu sendiri.

Terdapat indikasi hubungan antara tum­bang­nya rezim Orde Baru yang represif dengan berkembang variatifnya penelitian tentang hu­mor, seperti yang dimungkinkan oleh kemer­dekaan kolektif. Dom sendiri lebih melihat pe­ran globalisasi, urbanisasi, dan era teknologi informasi, yang dengan analisis tren serta modeling prospektif linear akan mencapai 4.000 buah penelitian pada dasawarsa 2010-2030.

 

Humor dalam Empat Keseriusan

 

Penelitian tentang humor datang dari ber­bagai bidang ilmu. Terdapatnya penelitian tentang humor pada 1967 menunjukkan sudah adanya pemikiran humor pada masa pra-Arwah Setiawan (1935-1995), yang untuk kali pertama menulis “Yang ‘Pop’ dan ‘Tinggi’ dalam Humor” sebagaimana tersua dalam Prisma edisi Juni 1977, disusul ceramah fenomenalnya, “Humor Itu Serius”, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 26 Juli 1977.17

Meski tak harus bermakna literer, “Humor Itu Serius” dapat diibaratkan sebagai genesis pe­mikiran tentang humor, bukan dalam arti selalu menjadi rujukan, melainkan sebagai kon­sep yang pertama dan menyeluruh, seperti dapat dibaca dari ringkasannya sebagai berikut:

Apakah kiranya yang dianggap sebagai se­rius oleh Arwah Setiawan dalam makalahnya itu?

Pertama, humor di Indonesia masa itu seba­gai komoditas tidak bermasalah, yakni ter­dapat cukup banyak humoris dari yang tradisional sampai kontemporer, dari yang oral, tekstual, maupun visual. Tetapi, secara kualitatif jalan di tempat karena modal lawakan yang masih sama, yakni menertawakan kelainan dan main jorok seperti kentut.

Kedua, yang boleh menertawakan dan ditertawakan hanyalah “kelas pembokat”. Aki­batnya, dalam kebudayaan Indonesia pun hu­mor hanya hadir sebagai “unsur pembantu”, seperti bumbu ceramah dan hanya ilustratif, sehingga bisa disebutkan ada humor dalam komunikasi atau sastra atau teater, misalnya, tetapi tidak pernah sebaliknya. Tidak terdapat analisis, meskipun yang ringan, tentang humor sebagai konstruksi mandiri.

Ketiga, Arthur Koestler (1905-1983) mem­buktikan bahwa kedudukan humor itu setara belaka dengan ilmu pengetahuan dan seni da­lam tiga wilayah kreativitas, karena ketiganya sama-sama mencari analogi tersembunyi. Per­be­daannya adalah pada landasan emosi dan akibatnya. Ilmu pengetahuan dengan emosi berjarak membuat orang paham. Seni dengan keterpesonaan membuat orang terharu. Hu­mor dengan emosi agresif membuat orang tertawa. Dengan logika humor yang disebut bisosiasi, terbukti bahwa proses kreasi humor merupakan proses intelektual.

Keempat, humor itu berdaya guna, mes­ki­pun dalam khalayak “tanpa hati” seperti di Uni Soviet (baru runtuh pada 1991, makalah Arwah Setiawan, “Humor Itu Serius” di­buat pada 1977). Kebergunaannya langsung dan tak lang­sung. Yang langsung: hiburan dan kritik sosial. Mung­kin karena ditulis semasa Orde Baru, perlu dije­laskan oleh Arwah bahwa kri­tik sosial sebagai humor justru akan menye­lamatkan pe­nguasa, karena dua fungsi kritik sosial: (1) mem­perbaiki kekeliruan; (2) menya­lurkan gan­jalan. Menurut Arwah, dalam psiko­logi, humor adalah peng­ganti kekerasan.

Jadi, memang menarik direnungkan. Mung­­kin­kah Orde Baru masih berjaya se­karang jika keran kritik sosial politik ekonomi semasa kekuasaannya terbuka selebar-le­barnya? Kritik sosial dalam teater dan puisi Rendra termasuk yang digolongkan Arwah sebagai humor kon­tem­porer, dan toh Rendra tetap “diamankan.”

Masih dalam kebergunaan langsung, hu­mor itu sangat bagus untuk menyampaikan informasi. Bahkan, pada tahun 1970-an itu in­formasi sudah dianggap membeludak dengan potensi besar menjenuhkan khalayak. Humor sangat mungkin membungkusnya dengan kese­garan yang mencerahkan.

Dalam kebergunaan tak langsung, Arwah menunjuk kemungkinan humor sebagai ca­bang ilmu tersendiri. Disebutnya, watak bang­sa ter­pantul dari humor yang hidup di da­lam­nya. Akan tetapi, meski penelitian dari segala segi dan sudut telah dilakukan, humornya tidak per­nah dipertimbangkan. Karena itu, jika ilmu penge­tahuan dan kesenian sudah diakui secara resmi, misalnya, dengan berdirinya per­gu­ruan tinggi negeri maupun swasta untuk menam­pung ke­seriusan pendalamannya, humor se­per­ti diang­gap tidak ada. Sekali lagi, ini berbanding terbalik dengan maraknya humor sebagai ko­mo­ditas maupun gejala kebudayaan.

Pada akhir “Humor Itu Serius”, dengan se­rius Arwah mengajak pembaca berpikir, me­ngapa di Indonesia yang budaya humornya kaya harus tidak ada Lembaga Penelitian dan Pengembangan Humor, Pengantar Ilmu Hu­mor, maupun Sarjana Humorologi? 18

 

Persoalan Etis Humor Anarkis

 

Sampai titik ini, meski bidang studi humo­rologi belum tercantum dalam kurikulum mana pun di Indonesia, tetapi Arwah Setiawan sudah boleh merasa lega dengan hasil penelitian Mikhail Gorbachev Dom, bahwa tren penelitian humor dengan berbagai variasi topik terus-menerus meningkat. Di luar dunia penelitian, humor juga makin disadari kemaslahatannya, dan eksplorasi bagi pengembangan dunia ma­nusia dari politik, pendidikan, kesehatan, sam­pai bisnis, juga di Indonesia, seperti tidak akan pernah mundur lagi.19

Namun, apakah memang semua persoalan humor sudah dibicarakan? Pada masa kini, feno­mena humor dominan tidak dihadirkan oleh humoris profesional, melainkan oleh para amatir yang selalu menyebarkannya tanpa tujuan meng­hibur sama sekali. Disebut amatir karena me­mang tidak bekerja sebagai abanyol, tetapi sung­guh profesional dalam pengelolaan media sosial sebagai wahana humor yang me­lecehkan, baik untuk mengadu domba maupun menghina demi tujuan politis. Dalam tahun-tahun politik, efektif­nya penghinaan sering terbukti dengan mening­katnya suhu kebe­rangan massa—tepatnya mas­sa yang berhasil dipermainkan. Sementara itu, apa pun yang menjadi kebersalahan dalam ketak­sengajaan dengan segera akan menjadi komo­ditas politik terlaris.

Dengan kata lain, humor terletak antara tawa dan bahaya, sebagaimana terungkap da­lam ketiga preseden berikut:

Pertama, peristiwa kartun Nasib Si Suar Sair yang dimuat harian Sinar Indonesia Baru (SIB) pada 24 Oktober 2004 di Medan. Kartun yang bersikap kritis terhadap fakta “korupsi tapi puasa” ini menimbulkan tindak kekerasan ter­hadap kantor SIB, dengan tuduhan berbau pemutarbalikan sebagai penghinaan agama. Itu sebuah peristiwa lokal, tetapi adanya unsur “kepentingan para pengganyang”, yang bisa memutarbalikkan humor, yang dalam dirinya sendiri sudah jungkir balik, membutuhkan intervensi humorolog—yang berbeda dengan psikolog atau kriminolog, memang belum di­ang­gap lazim. Meskipun bersifat lokal, itu meru­pakan embrio preseden yang harus di­tangkal.

Kedua, peristiwa “kartun Nabi”, yang sebe­tulnya terdapat di koran lokal Kota Aarhus, Jylland Posten, Denmark, pada September 2005, karya Kurt Westergaard. Berbeda de­ngan kasus Medan, yang dari “sononya” tidak secara khusus terdapat sentimen keagamaan, dalam kasus Denmark kartun tersebut ternyata meru­pakan bagian sebuah proyek “kartun Nabi”, yang melibatkan 11 kartunis. Ketidak­pekaan itu, yang sangat mungkin lahir dari “kepincangan etis” karena jarak, telah mengaki­batkan huru-hara demonstrasi di seantero bumi dengan kor­ban jiwa setidaknya 139 orang. Sumber perkara­nya memang memprihatinkan, namun manuver untuk menjadikannya komo­ditas politik yang telah meningkatkan suhu kegemparan adalah perkara yang tak kalah penting.

Ketiga, peristiwa kartun tabloid Charlie Hebdo di Paris, lagi-lagi “kartun Nabi”, yang membuat seisi kantornya diberondong peluru pada Rabu 7 Januari 2015. Bahwa pembantaian itu tidak dapat dibenarkan, tentu akan banyak orang menyetujuinya. Akan tetapi, pendapat bahwa kartun adalah representasi kebebasan berekspresi haruslah diimbangi sikap etis bah­wa taraf kebebasan itu berbanding sama de­ngan taraf kemampuan bertanggung jawab.20 Aksi teror yang meningkat setelah peristiwa itu me­ru­pakan bagian dari “masalah humor” yang sa­ngat berbahaya jika terus diabaikan.21

Segenap perbincangan tentang humor ini menyisakan masalah etis lanjutan: jika tingkat bertanggungjawabnya para humoris adalah rela dibunuh atas nama ideologi, bagaimana menem­patkannya secara etis ketika sengaja menghina dengan daya merusak setinggi-tingginya? Media sosial jelas menjamin keber­gandaan bom hu­mor bunuh diri untuk meledak tanpa henti, se­ba­­gai pembantaian spiritual manusia masa kini.22

Tertawa tampaknya memang tidak gratis. Keberadaan humor kontemporer memiliki konsekuensi politik23, saat berperan sentral dalam dunia yang dikuasai media, dan menjadi imperatif bagi kualitas keutuhan manusia.24 Humor adalah elemen yang paling luas menye­bar dalam budaya publik, berlangsung di sege­nap media kontemporer, dalam segenap perbe­daan format institusional, selain juga menjadi aspek sentral kehidupan dan hubungan dari hari ke hari.25

Teori humor klasik seperti teori keganjilan dan teori superioritas telah digugat relevan­sinya dalam membongkar gejala, tetapi teori-teori mu­takhir belum cukup dipekerjakan me­ngatasi bom-bom humor ofensif yang ber­ledakan me­ren­dah­kan kemanusiaan. Artinya, peningkatan daya kajian humor, atau humoro­logi seperti dibayangkan Arwah Setiawan, demi penelitian maupun penciptaan, merupa­kan salah satu kunci

EDISI

Humor yang Adil dan Beradab | 38 | 2019-01-01

BAGIKAN


Beli Prisma Cetak

Dapatkan prisma edisi cetak sekarang dengan klik dibawah ini

Webstore

Berlangganan Newsletter