Humor dalam Sistem Totaliter dan Otoriter Membandingkan Uni Soviet dan Orde Baru

BAGIKAN



Penulis memusatkan perhatian pada humor di tingkat tertinggi, yaitu pengolahan bahasa yang penuh dengan segala perlengkapan fonetik, gramatikal, dan pemaknaan, yang juga berarti logika, psikologi, sosiologi, dan politik, sebagai bahan pengolahan humor. Bahasa menunjukkan inteligensi persis se­bagaimana pekerja humor yang mengolahnya. Semakin tinggi humor semakin tinggi pula teknik bahasa yang pada gilirannya mengangkat posisi para pelaku humor, baik dalam tingkat inteligensi maupun posisinya di dalam kelas sosial. Dengan mengatakan itu, para pelaku humor tidak lain dari para cendekiawan di dalam setiap sistem sosial dan politik di mana pun. Penulis juga mengambil risiko dengan membandingkan pelaku humor di Uni Soviet, yang sudah runtuh berkeping-keping tahun 1989, dan Orde Baru Indonesia yang secara teoretis pun sudah runtuh pada 1998, meski tidak ber­keping-keping kira-kira sepuluh tahun berselang. Keduanya adalah sistem yang sangat berbeda. Apakah humor mampu menghubungkannya?

Kata Kunci : Ekonomi-Politik; Fenomenologi; Humor; Orde Baru; Uni Soviet

Humor adalah gejala masyarakat manusia sepanjang masa sejak kepurbaannya sampai zaman mutakhir. Demi berbagai fungsi psikologis, psiko-sosial, sosio­logis, dan ekonomi-politik humor tidak mungkin lepas dari manusia dan masyarakatnya, karena humor selalu dan hanya berhubungan dengan inteligensi homo sapiens untuk menjalankan fungsi-fungsi sosial seperti menyatukan, tetapi bisa juga disfungsional untuk memecah belah. Selama masih ada homo sapiens, humor pun selalu hadir. Salah satu kegiatan homo sapiens adalah menciptakan dan memberi makna ke­pada humor menurut kemampuan kognitif yang bertingkat-tingkat, dari yang sederhana sampai yang paling kompleks. Manusia sederhana dalam masyarakat sederhana hanya bisa men­cip­takan dan menikmati humor sederhana. Namun, apa yang oleh suatu masyarakat diang­gap lelucon oleh masyarakat pada waktu, za­man, dan tempat lain mungkin dianggap peng­hinaan. Karena itu, humor sangat terikat pada situasi, situationsgebunden.

 

Fenomenologi Humor

Humor paling sederhana bersifat onoma­topeik, peniru bunyi, seperti bunyi burung, kodok, kuda, kerbau, dan sebagainya yang sangat disukai anak-anak; tangisan orok, bayi, dan nada bicara berdasarkan kebiasaan etnik dan lain-lain untuk saling memperolok antara kelompok etnik menjadi bahan humor dalam masyarakat mana pun.

Kedua, slapstick yaitu pengolahan gerak eks­trem konyol yang menimbulkan tawa se­perti perempuan bergaya lelaki dan laki-laki berga­ya perempuan dengan seluruh ke­ke­nes­an­nya, dengan busana, dandanan, dan seluruh per­leng­kapannya. Itulah dua dasar humor pa­ling utama, mungkin juga yang paling awal, sebelum ber­kembang ke humor yang lebih canggih dalam model dan struktur. Gabungan keduanya bisa menjadi humor yang menggemparkan.

Des Alwi dalam tulisannya di Prisma me­merikan secara bagus tentang Bing Slamet untuk menjadi contoh yang baik demi pe­mahaman fenomenologi humor versi slapstick sebagai berikut:

 

Bing yang sejak kecil sudah terbiasa menger­nyit­kan kening, menggerakkan alis, mengedip­kan mata, yang membuat dia tampak lucu seakan mendapat polesan ketika bertemu dengan kedua pelawak yang sudah terlebih dulu punya nama besar itu. Keahliannya mem­­per­­mainkan wajah secara lucu ... dikembangkan­nya dalam grup lawak Trio Los Gilos.1

 

Mengernyitkan kening, menggerakkan alis, mengedipkan mata, dan semuanya disusun dalam suatu struktur—seperti “Cepot gila”, Udel yang “lebih gila”, dan Bing Slamet yang “paling gila”—menciptakan suatu “dunia ter­tutup” yang pada gilirannya membuka diri dan mengambil posisi sebagai dunia “orang-orang gila.” Dunia “orang gila” seperti itu justru ber­hasil merebut hati penonton, terutama lewat acara kabaret RRI Jakarta.2

Humor onomatopeik, hanya memerlukan telinga, dan yang kedua hanya memerlukan mata. Karena itu, inilah jenis humor yang paling primitif, visual atau auditif, meski dalam per­kembangan lebih lanjut menjadi audio-visual yang kelak dikembangkan hampir tanpa batas dengan dukungan teknologi yang juga hampir tidak mengenal batas. Semua bisa dijadikan bahan humor dari orang ke orang, dari masya­rakat ke masyarakat lain, dan dari masa ke masa.

Humor yang dibicarakan di sini boleh dibi­lang jenis ketiga dan berada dalam tingkat “tertinggi”, yaitu pengolahan bahasa, sehingga sifatnya lebih linguistik dalam kecanggihan ideologis. Karena itu, tidak saja pemakaian kosa­kata, sintaksis, tetapi juga melibatkan pro­duksi makna tersirat dan tersurat dalam hubungan­nya dengan asosiasi dan konotasi dalam ikatan pemahaman ideologis. Tanpa itu, humor jenis ini bukan saja tidak bisa dipahami, namun, kalaupun dipahami, akan melenceng karena tergerus dari asosiasi dan konotasi yang di­mung­kinkan oleh upaya pemaknaan.

Lelucon yang dikutip pada awal tulisan ini tidak bisa dipahami dengan semata-mata me­ngetahui bahasa, tetapi adanya kepekaan ter­ha­dap asosiasi, konotasi, dan makna, yang ter­kan­dung di dalamnya. Semua hanya bisa dinikmati setelah mempelajari ideologi kapi­talisme dan komunisme, dan sejarah perkembangan kedua­nya. Tanpa itu, kata-kata tersebut di atas hanya menjadi gumpalan alfabetis, atau kumpulan fonetik tak bermakna: Well, you see, in capi­talism man exploits man, in communism its vice versa.

Untuk bisa tertawa siapa pun harus me­ngerti pertama, apa artinya seorang mengisap orang lain dalam sistem kapitalis dan apa artinya seorang mengisap orang lain dalam sistem komunis. Kedua, memahami vice versa sebagai urutan sebaliknya, bahwa vice versa bukan antonim, lawan kata. Yang terakhir dan terpenting, ketiga, yaitu tidak-cocoknya, incongru­ity, antara pertanyaan tentang per­bedaan dan jawaban tentang kesamaan. Ada sesuatu yang “tidak beres” antara pertanyaan “perbedaan kapitalisme dan komunisme”, ka­rena jawabannya bukan tentang perbedaan, tetapi kesamaan bahwa keduanya sama saja dalam mengeksploitasi manusia di dalam sis­tem ekonomi-politiknya. Pertanyaan tentang “perbedaan” dan jawabannya malah “kesamaan” merupakan titik inti yang juga merupakan titik kritis lelucon, critical point of a joke, dalam pengertian tanpa mencapainya lelucon itu tidak mendapatkan gema.

Dengan demikian, ucapan yang kelihatan sederhana tersebut pada dasarnya sangat kom­pleks untuk meledakkan tawa, karena humor itu sendiri memang kompleks dan tergantung dari jutaan ... jutaan asosiasi yang dijalin secara subjektif—complex and dependent to a myriad of subjective associations.3

Karena itu, sangat bisa dipahami sejak zaman purba humor menjadi bagian penting dari pendidikan. Dalam sistem pendidikan yang menggabungkan sistem pendidikan Romawi yang menekankan praktik, dan karenanya prag­matisme, serta Yunani yang bertumpu pada ke­mampuan reflektif dan karena itu filsafat Cicero mengembangkan jenis pendidikan tempat hu­mor, lelucon, menjadi salah satu jenis pelatihan utama, dengan pertimbangan pe­mahaman dan penghayatan humor menentu­kan kepenuhan perkembangan kepribadian seseorang atau yang disebut sebagai humanitas.

Hanya dengan itu manusia mengembang­kan diri untuk mencapai kepenuhan, “im Sinne des vollendeten, wahrhaft menschlichen Mensch­seins”, dalam arti menjadi manusia yang penuh dan sungguh manusiawi—dengan kata lain mencapai tingkat humanitas, suatu istilah khas Romawi-Ciceronian yang berarti ke­pe­nuhan hidup dan harkat hidup.4 Cicero sendiri dikenal sebagai pengolah humor politik yang terampil dan berkelas tinggi. Bahkan, kema­tiannya pun dihubungkan dengan humor yang diucapkan bagi calon kaisar dalam sistem dik­tator kekaisaran Roma yang akhirnya mem­bu­nuh Cicero dan dengan demikian mengakhiri republik Roma yang pada saat bersamaan menggantikannya dengan kekaisaran.

Alkisah, untuk terjun ke dalam politik Ro­ma, demikian nasihat para sahabatnya, Cicero diharuskan memberi kesan baik kepada Senat dan jangan sampai memberi kesan bahwa Cicero seorang pengacau dan, untuk itu, salah satu yang harus dia perbuat adalah menguasai istrinya. Dialog berikut ini menjelaskan apa yang dimaksud:

 

Servius:”You will never conquer Rome, Cicero, if you cannot rule your wife.”

Cicero:”Conquering Rome would be child’s play … believe me, compared with ruling my wife”.5

 

Menguasai Roma perkara enteng, percaya saya, dibanding dengan menguasai istriku. Dengan demikian, dalam satu pernyataan di­berikan kontras secara drastis antara urusan domestik dan urusan publik, membandingkan dua tingkat kesulitan yang berada di luar dugaan para pendengarnya dengan membalikkannya secara total.

 

Ekonomi-Politik Humor

 

Humor dalam segala jenis memiliki kom­pleksitas tersendiri, sehingga secara teoretis tidak bisa dikatakan humor onomatopeik dan pantomime lebih rendah daripada humor ber­dasarkan bahasa, lisan dan tertulis. Semua tidak menunjukkan rendah/tingginya, tetapi perbe­daan jenis dengan penggunaan indra manusia secara berbeda pula dan, karena itu, mem­bangkitkan rangsangan dan kesadaran berbeda. Humor onomatopeik menuntut pe­nguasaan bunyi yang pada gilirannya me­mer­lukan kelen­turan seluruh organ penghasil bunyi di dalam rongga mulut manusia dan yang terpenting mengetahui serta mengalami ke­khasan suara manusia dan binatang. Slapstick menuntut kelenturan tubuh, mengolah gerak ekstrem, dan mencapai puncaknya dalam pan­tomime yang tanpa mengeluarkan suara sedikit pun mengo­lah episode kehidupan. Walaupun demikian, humor berdasarkan bahasa, dalam pementasan, percakapan pribadi, atau tertulis, adalah sesuatu yang paling kompleks karena mengandalkan kemampuan kognitif berting­kat-tingkat dan penguasaan rasa bahasa secara subtil, logika, dan dari sana penyelewengan logika. Dalam hal itu, seluruh khazanah literary style diolah dalam perpaduan dengan gerak dan lain-lain.

 Ada aspek lain yang mencakup semua jenis humor di atas, yaitu playfulness, bermain-main. Tanpa bermain-main, mereka tidak bisa bersungguh-sungguh. Mereka hanya bisa ber­sungguh-sungguh ketika mereka bermain-main. Untuk memahami konsep playfulness, mari perhatikan serial film televisi tahun 1990-an, yang secara populer disebut sinetron, Si Doel Anak Sekolahan, yang merupakan pe­ngolahan radikal baru dari film layar lebar yang disutradarai Sjumandjaja, Si Doel Anak Betawi. Sinetron itu mungkin bermanfaat untuk men­jelaskan soal di atas. Ketika tamat dari salah satu Universitas, ayah si Doel tidak me­ngatakan “anak gue jadi cendekiawan” atau “anak gue jadi budayawan” atau “anak gue jadi ilmuwan”, tetapi dia bergegas keliling kam­pung sambil berteriak-teriak dan di tengah kegirangan anak dan istrinya, dia wartakan “anak gue jadi tukang insinyur”.6

Coba perhatikan kata tukang yang dipakai dengan penuh kesengajaan dan sama sekali bukan “silap lidah”, lapsus linguae, sebagai­ma­na diperkirakan penonton karena di sana ada unsur main-main dan keseriusan makna. De­ngan itu sebenarnya diciptakan the critical point of joke, sehingga semuanya menjadi objek tertawaan hampir semua yang menonton film televisi tersebut. Di samping itu, ada hal lain yang juga menarik perhatian. Pertama, pe­ma­kaian kata tukang yang sangat penuh te­kanan makna. Kedua, gabungan dua hal yang sangat menggemparkan—tukang dan insinyur. Yang menarik perhatian di sini adalah “tukang” tidak lain dari “orang yang mempunyai kepandaian dalam suatu pekerjaan tangan, dengan alat atau bahan tertentu”, begitu kata Kamus Besar Ba­hasa Indonesia. Namun, gabungan antara tu­kang yang rendah dan insinyur yang tinggi adalah kegemparan yang tidak bisa tidak me­rang­sang tawa.

Ketika tindak-tutur “aku jadi tukang insi­nyur” menjadi bahan tertawaan maka “tukang insinyur” ditempatkan di dalam dua dunia dan paham itu sendiri dimasukkan ke da­lam “dunia-antara”, yakni antara kesung­guhan dan dunia main-main, terutama ketika “tukang insinyur” mempertontonkan kedu­nguan di satu pihak, yaitu “dunia cemooh” dan mewakili dunia sa­ngat sungguh-sungguh di pihak lain, yaitu lembaga akademik yang mem­berikan “surat keperca­yaan”, kredensial, untuk memainkan pe­ran dalam masyarakat dengan kata-kata “sakral” yang menjadikannya warisan dunia akademia sepanjang masa ketika meluluskan seseorang.

Kaum pelawak, penulis lelucon, para pe­lukis karikatur, justru berada di dalam dunia sema­cam ini: sungguh-sungguh dan main-main. Ketika me­ngerjakan hal itu, mereka menempatkan diri dalam suatu posisi kebudayaan sebagai sebuah kelompok yang mengambil posisi dalam selu­ruh hamparan medan sosial yang terdiri dari masyarakat sastra, masyarakat politik, dan ma­syarakat ekonomi. Di situ terjadi transaksi ketika mereka dibayar oleh masyarakat eko­nomi dari segala tingkatan; mereka dinilai da­lam hubungan kekuasaan oleh masyarakat politik, dan mereka dihormati atau dikutuk oleh masyarakat budaya. Mereka mengambil posisi terhadap semuanya: meningkatkan mutu dalam pasar sebagaimana dinilai dan dituntut oleh masyarakat ekonomi, meningkatkan kekuasaan dalam pasar politik, dan meningkatkan otoritas dalam pasar budaya. Sambil melakukan hal-hal tersebut, mereka sebenarnya sedang meru­mus­kan bagaimana mengambil posisi, position taking/prise de position, kalau Bourdieu boleh dikutip di sini untuk melihat persaingan antara kelompok dengan kelompok lain, antara genre sastra dengan genre lainnya. Apakah orang lebih suka menonton langsung, atau di televisi, radio, dan sebagainya.7

Dari apa yang sudah dikemukakan, bisa diketahui betapa para pekerja humor, yang selalu dikatakan sebagai “tukang banyol”, ada­lah kaum cendekiawan dalam kelasnya sendiri. Secara politik, mereka adalah penantang ke­kuasaan, terutama dalam kasus Uni Soviet. Secara sosial, mereka bukan sekadar penghibur sebagaimana selalu dianggap, dan tentu saja tidak salah, tetapi mereka muncul terutama dengan mengajak masyarakat untuk berpikir lain, berpikir alternatif untuk menggelapkan apa yang selama ini dianggap terang dan jelas, memperjelas apa yang selama ini dianggap gelap dan misterius.

Pada titik ini, ekonomi-politik humor itu bekerja. Semua itu hanya mungkin berlangsung ketika bersentuhan dengan para penikmat/penonton/pendengar/pembaca atau audiens pada umumnya yang secara ekonomis disebut sebagai pasar. Ekonomi pasar yang dibuka pada masa Orde Baru membuka pula pasar humor. Industri surat kabar yang berkembang pesat pada masa Orde Baru menyebarluaskan kartun dan karikatur. Semua itu makin memperkukuh perannya di dalam kehidupan masyarakat se­cara umum.

Dalam hubungan itu, lagu jenaka “Malam Minggu” Benjamin Sueb yang dipopulerkan Bing Slamet memasuki medan itu dari sisi lain tatkala mengejek kaum petit bourgeouis pada masa awal pembangunan Orde Baru tahun 1970-an dengan gaya hidup baru, karena per­kembangan ekonomi consumer goods sebagai hasil pembangunan import substitution Orde Baru yang mempropagandakan new life style mengajak masyarakat yang baru keluar dari keketatan gaya hidup Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin menilai musik pop seba­gai musik “ngak...ngik...ngok” dan memenjara­kan para pelakunya, sambil mempropagandakan masyarakat kembali kepada kepribadian In­donesia dengan “menari lenso” dan menyanyi “Mari Kita Bergembira” karena siapa bilang Indonesia lapar.

Humor melihatnya dari sisi lain ketika “Malam Minggu” menunjukkan adanya suatu perkembangan lain di bidang ekonomi-politik:

 

Malam minggu aye pergi ke bioskop

Bergandengan ... ama pacar nonton koboi

Beli karcis, tau tau kehabisan

Jaga gengsi ... terpaksa beli catutan

 

Aduh emak asiknye

Nonton dua-duaan

Kayak nyonya dan tuan di gedongan

Mau beli minuman ... kantong kosong glondangan

Malu ame tunangan… kebingungan

 

Film abis.. aye terpaksa nganterin

Masuk kampung jalan kaki kegelapan

Sepatu baru ...baru aje dibeliin

Dasar sial ... pulang-pulang nginjek gituan

... Apaan itu?

... Ada deh ... 8

 

Konsumerisme awal Indonesia pada tahun 1970-an mendapatkan karikatur hampir lengkap dengan lagu “Malam Minggu” di atas: pen­da­patan tidak mendukung gaya hidup; ber­ke­senian tingkat konsumeristik di bidang per­filman dengan tatawarna yang mulai mengganti film hitam-putih, lenong/wayang; sepatu baru bermerek harus dipakai untuk jalan kaki—yang seharusnya dipakai saat menyetir mobil atau kendaraan mewah lainnya. Semua menggam­bar­kan social and economic mismatch secara mengagumkan.9

Begitu juga Uni Soviet dalam humornya memperlihatkan soal yang jauh lebih keras daripada Orde Baru Indonesia; lebih pahit dan menyangkut hal-hal mendasar seperti po­pu­lis­me, state apparatus, kegagalan central plan­ning, frustrasi sosial, dan lain-lain yang dengan kontrol kebebasan pers superketat hanya mung­kin mengalir ke rakyat biasa mela­lui humor yang beredar secara anonim.

Demi kepentingan intelijen, sebagian besar humor rakyat itu dicari dan dikejar dan di­sim­pan dinas rahasia KGB. Dinas rahasia ne­gara tersebut mewariskan ironi terbesar dalam se­jarah ketika hasil rampokan dinas intelijen itu yang disimpan baik demi pelaksanaan keke­rasan terhadap siapa saja yang menciptakan dan menyebarluaskannya menjadi dokumen terbaik bagi penyelidikan humor masa Uni So­viet; dan KGB menjadi museum paling cang­gih penyimpan bahan-bahan tersebut untuk diteliti dan diperiksa pada masa pasca-Uni Soviet.

Bagi politisi dan kaum birokrat yang sering menjadi sasarannya, mereka adalah momok dan, terutama bagi rezim otoriter, “setan” yang ha­rus dihabisi hidupnya. Uni Soviet membuat dan memberlakukan aturan perundangan yang meng­hukum para pekerja humor dengan hu­kuman bervariasi dari 10-15 tahun sampai 25 tahun. Setiap lelucon yang menertawakan dan menghina Lenin akan mendapat hukuman mati, vishki.10 Tidak ada catatan yang menunjukkan contoh penghukuman para pekerja humor Indonesia, meski ada catatan bahwa kelompok band Koes Bersaudara dihukum penjara oleh Demokrasi Terpimpin Soekarno pada tahun 1960-an.

 

Para Pekerja Humor sebagai Kelas Sosial

 

Ekonomi-politik humor justru memper­soalkan apakah para pekerja humor itu suatu kelas tersendiri? Tidak mudah mengatakan demikian, sebagaimana buruh dan kaum ka­pitalis. Namun, bila kita memperhatikan po­sisinya yang unik dalam hubungan dengan kapital, penggolongan itu sama sekali bukan tanpa alasan. Mereka bukan saja dibayar, tetapi dikontrak jangka panjang dan pendek untuk membanyol, menjadi bagian tak terpisahkan dalam kapital pertelevisian, perfilman kalau dilihat dari begitu laris produk yang dihasilkan kelompok-kelompok lawak. Kasus kelompok pembanyol seperti kelompok “Srimulat”, “Warung Kopi (Warkop) Prambors, Dono-Kasino-Indro” boleh dikatakan terikat rapi da­lam dan dengan modal media pertelevisian, perfilman, dan lain-lain. Hampir tidak mungkin membayangkan mereka bukan sebagai suatu kelas tertentu yang dibentuk dalam hubungan­nya dengan modal. Stand-up commedy menjadi acara penting televisi sekarang tidak mungkin dipahami di luar konsep itu.

Dengan itu mulai dipersoalkan apa kontri­businya dalam kapital. Pertama adalah pengua­saan pengetahuan dan sistem pengetahuan yang kekuatannya dibentuk secara historis, dan justru karena itu dalam dirinya mengandung sekaligus batas-batas dan juga patologi. Me­ngolah patologi adalah kemampuan khusus para pelaku humor sebagaimana ditunjuk Uni Soviet. Karena pengetahuan terikat pada kekuatan sejarah, maka wujud artistik dari pengetahuan itu muncul dalam bentuk yang berbeda-beda. Di Uni Soviet dalam bentuk humor anonim karena bayarannya adalah kerja paksa di Siberia. Masa Orde Baru, misalnya, menjadi “pengocok perut” akan mengandung akibat paling tinggi dalam bentuk larangan tampil di media publik. Ke­lompok “Warkop Prambors” terbentuk tahun 1980-an saat Orde Baru menjalankan kedikta­toran Soeharto dalam arti sesungguhnya, ketika kekuasaan benar-benar berada di tangannya dan keluarganya, personalization of power. Bebe­rapa judul film kelompok lawak itu hanya bisa dipahami dengan reading between the lines: “Mana Tahan”, “Pintar-pintar Bodoh”, “Setan Kredit”, dan lain-lain. Dalam hubungan itu pun sulit dibedakan apakah “mereka” tertawa­ kare­na lelucon Warkop Prambors atau menertawa­kan sistem ekonomi yang berlaku.

Cendekiawan, termasuk kaum pelawak di sini, sebagai kelas baru juga bisa dilihat sebagai sebuah momen baru dalam suatu rentetan pan­jang sirkulasi elite historis. Kelas baru cende­kiawan tersebut juga bisa muncul sebagai aliansi kelas lama, as old class ally, seperti para puna­kawan istana dalam tradisi Jawa. Mereka terdiri dari kaum “profesional” penuh dedikasi yang akan mengangkat kelas berharta lama, old moneyed class, menjadi elite yang berorientasi kolektif. Kelas baru kaum cendekiawan terse­but bisa juga terdiri dari mereka yang menjadi budak kekuasaan. Kelas baru itu berada di bawah kelas berharta yang masih ingin mem­pertahankan harta dan hanya memakai kaum cendekiawan itu untuk mempertahankan do­minasinya di dalam masyarakat. Dengan ke­kecualian yang hanya sedikit jumlahnya, se­bagian besar kelompok lawak menjadi aliansi Orde Baru dalam modal dan kepentingan negara.

 

Humor Negara Totaliter dan Otoriter

 

Salah satu spekulasi mengapa humor tam­pak sangat subur di Uni Soviet adalah keke­rasan dalam sistem totaliter yang menguasai teknologi, organisasi, dan sistem brain washing yang begitu total, sehingga tidak ada ruang yang memungkinkan gerak-lawan di pihak ma­syarakat. Psikologi akan mengatakan humor menjadi letupan kejiwaan dalam penderitaan sosial yang tak tertahankan. Politik mengatakan bahwa humor adalah senjata kaum lemah, weapon of the weak.

Namun, Uni Soviet tentu tidak bisa dipukul rata begitu saja karena adanya berbagai periode penting di sana. Berbagai tingkat perkem­bangan pernah dialami Uni Soviet seperti, per­tama, war communism, di sini saat kaum Bolshevik merebut kekuasaan (1917-1921); kedua, masa New Economic Policy (1921-1928), ketika sistem produksi suatu bangsa dibongkar dari dasar, dan menuju masa ketiga, “the reign of terror and forced industrialization” di bawah Stalin (1928-1955). Stalin memberi penekanan pada industri berat ketimbang industri barang konsumsi. Karena itu, kemiskinan dan kela­paran menjadi gejala sehari-hari. Diskriminasi dan kekerasan dipraktikkan hampir tidak me­ngenal batas. Hak individu sama sekali dilang­kahi dan tidak menjadi pertimbangan dalam setiap kebijakan negara. Beberapa lelucon yang dikutip di sini berasal dari zaman Stalin.11

Kalau semua buku ilmiah tentang Uni Soviet memberikan struktur besar negara ter­sebut, catatan harian gadis kecil berusia 13 tahun, Nina Lugowskaja (baca Lugowskaya), seorang siswi sekolah menengah memberikan darah dan daging tentang apa artinya berada di bawah negara totaliter.12 Dalam diri Nina hidup kebencian dan di pihak lain ketakutan patetik akan rezim Stalin. Untuk membiayai rumah tangga, ayahnya harus bekerja. Namun, semua penduduk dewasa harus memiliki surat izin agar bisa bekerja di kota besar seperti Moskow, Leningrad, Kiew, atau Minsk, yang harus dilaporkan kepada polisi. Ayahandanya, untuk suatu alasan dan sangat mungkin seorang anti-Stalin dan karena itu dianggap pengkhianat, tidak diberikan surat izin kerja itu. Ketika ayahnya ditolak, dia menulis dalam catatan hariannya, 24 Maret 1933, sebagai berikut:

 

Akhirnya mereka menolak memberikan izin kerja kepada Papa. Betapa terguncang jiwa­ku. Aku tak tahu apa yang harus kubuat. Amarah menguasai diriku, amarah yang tak berdaya. Tangisku pecah, aku berlari ke sana ke mari dalam kamar, lantas keluar dari sana, dan mengambil keputusan bahwa Bangsat ini harus dibunuh. Memang menggelikan akan tetapi bukan lelucon. Sepanjang hari aku merenung bagaimana aku membunuhnya. Diktator ini terus saja memberikan janji, bina­tang (dieser Unmensch), kadal, manusia jelata dari Georgia, yang menghancurkan Rusia. ... Akan kubunuh dia secepat mungkin membalas dendam untuk diriku dan Papa.13

 

Ketika membayangkan bagaimana tangan halus gadis 13 tahun mampu membunuh diktator besar, dengan catatan tambahan yang hanya 10 tahun berselang akan memenangkan Perang Dunia Kedua, Nina hanya tersenyum kecut dan menulis: “wie lächerlich das klingt, aber das ist kein Spaß”, betapa menggelikan kedengarannya, tetapi sungguh tidak lucu.

Catatan harian sang gadis cilik itu memberi kesaksian tentang betapa ajaib suasana pekat dengan ketakutan dan kebencian di tengah tekanan kekerasan mampu melahirkan humor-humor politik Uni Soviet. Justru di sanalah humor mengingkari penguasaan total itu dan menjalankan fungsi sebagai pipa kapiler yang menyalurkan energi ke semua lapisan tertindas dengan jalannya sendiri melalui pamflet, surat-surat gelap kelompok pelaku protes sosial:

 

Lelucon itu sungguh-sungguh lelucon rakyat, lelucon rakyat autentik, karena semuanya tidak masuk ke dalam media massa. Lelucon-lelucon tersebut “lelucon berbisik” (whisper­ing jokes) yang tidak bisa diterbitkan di negeri tempat mereka diceritakan. Semuanya adalah produk kolektif, karena lelucon itu tak mengenal pengarang dan tidak ada seorang pun yang tahu dari mana asalnya.14

 

Humor dan lelucon yang beredar berbeda jauh dari humor di negeri demokrasi bebas karena risiko tinggi dikandungnya untuk di­buang ke Siberia, dibunuh dinas rahasia negara, dan lain-lain. Itu hanya untuk mengatakan bahwa humor adalah senjata kaum lemah yang sangat kuat melawan sistem totaliter yang begitu masif tak tertembus. Dalam kasus Uni Soviet, kalau Christie Davies bisa dijadikan pegangan, adalah kaum tertindas yang belum tentu proletar; boleh jadi mereka kaum pemilik modal yang hartanya dirampas Stalin demi pertanian kolektif dan lain-lain. Namun, satu hal pasti mereka adalah kaum cendekiawan pe­tarung.

Orde Baru sangat berbeda dalam arti tidak memiliki teknologi dan organisasi kontrol se­masif Uni Soviet, karena itu ruang terbuka jauh lebih besar. Mahasiswa, kampus per­gu­ruan tinggi, kaum cendekiawannya, wartawan, dan lain-lain, memiliki peluang untuk melancar­kan protes terang-terangan melawan Orde Baru. Karena itu, protesting humor sama sekali tidak berkembang. Baru pada akhir Orde Baru, ke­tika kekuasaan Soeharto mulai tampak me­lemah, ada semacam slapstick atau jenis ono­matopeik dengan meniru suara Soeharto se­perti nada suara, batuk-batuk kecilnya untuk menertawakan sang diktator. Dengan demikian, membandingkan keduanya adalah perban­ding­an dua sistem yang tidak seimbang.

Namun demikian, dari segi modal “tukang banyol”, Indonesia menempati posisi sangat penting dalam perkembangan modal media, radio, dan televisi hingga hari ini. Dalam hu­bungan dengan jenisnya sebagai cendekiawan, dan posisi sosial mereka sebagai sebuah kelas baru dalam hubungannya dengan modal—hampir tak terbayangkan kelompok pelawak Indonesia tanpa adanya hubungan dengan mo­dal pertelevisian, radio, dan media lain—penulis mencoba melihat beberapa momen ketika yang disebut sebagai critical discourse itu dikerjakan.

 

Humor Uni Soviet

 

Dalam hubungan itu, lelucon Uni Soviet yang dikemukakan di sini lebih memberikan kesaksian zaman Stalin, Brezhnev, dan masa Glasnost dan Perestroika Gorbachev. Pertama, adalah populisme pada saat dijalankan kolkhoz, pertanian kolektif. Tanah milik pribadi sudah disita dan dijadikan milik bersama serta diolah bersama. Produksi langsung turun dan kela­paran mewabah di mana-mana dan beredarlah lelucon (1950-an) sebagai berikut:

 

Petani: Kamerad Stalin, kentang kita begitu banyak diproduksi, sehingga kalau disusun satu di atas yang lain bisa naik terus sampai ke hadapan Allah.

Stalin: Tapi Allah kan tidak ada!

Petani: Oh ya… Kentang juga tidak ada!15

 

Dinas rahasia adalah organ utama rezim otoriter dan totaliter seperti Uni Soviet, begitu juga Orde Baru. Kerja dinas rahasia Orde Baru adalah “nguping” aktivitas mahasiswa di kam­pus-kampus sedemikian rupa, sehingga dinas ra­hasia Orde Baru tidak pernah berkembang kemampuannya. Begitu juga dinas rahasia Uni Soviet KGB, Komitet gosudarstvennoy bezo­pasnosti, Komite Keamanan Negara, selalu kalah dengan CIA. Agen-agennya malah lebih banyak terlibat dalam aneka jenis korupsi. Semua itu bisa dilihat dari perbincangan berikut:

 

Dua kawan kelas bertemu di jalan:

+ Di mana kerja?

= Saya guru sekolah. Dan Anda?

+ Saya bekerja untuk dinas rahasia KGB

= Oh… apa yang Anda kerjakan di KGB?

+ Kami mencari orang yang merasa tidak         puas (dengan negara sosialis, DD).

= Maksud Anda ada orang yang puas?

+ Mereka yang puas ditangani “Divisi Pem­bas­mi Penggelapan Harta Negara Sosialis.”

 

Central Planning yang dijalankan Uni Soviet tidak pernah memberikan hasil selayak­nya bagi kemakmuran rakyat. Yang makmur dan hidup bermewah-mewah adalah elite partai komunis Uni Soviet. Di tengah ketidakmam­puan mengu­rus ekonomi, dalam suatu kun­jungan kenegaraan, Ketua Brezhnev mendapat pertanyaan tidak terduga dari tamu seorang menteri RRT tentang bagaimana keadaan eko­nomi bangsanya.

 

“Sebaiknya saya jawab begini saja”, kata Brezhnev. “Reagan punya 100 penasihat eko­no­mi dan salah satunya adalah seorang agen mata-mata (Soviet, DD), tetapi dia tidak tahu yang mana. Mitterand punya 100 kekasih se­ling­kuhan dan salah satunya mengidap AIDS, tetapi dia tidak tahu yang mana. Saya punya 100 ekonom dan salah satunya brilian, tetapi saya tidak tahu yang mana.”

 

Suatu lelucon getir tentang kegagalan eko­nomi akibat sistem central planning komu­nisme Soviet. Gorbachev memelopori gerak reformasi Uni Soviet dengan membuka dan membebaskan masyarakat. Sistem produksi berubah dari yang didasari Stalin, boleh bekerja lagi seperti di negara kapitalis. Semua berjalan terlalu cepat melebihi kesiapan masyarakat. Ketika “Glasnost dan Perestroika”/Keterbuka­an dan Restrukturi­sasi memberikan dampak besar, keadaan men­jadi kacau balau karena sistem pasar belum bekerja dan sebagainya. Masyarakat yang dibuat bergantung pada ne­gara kehilangan arah ketika semua itu dihilang­kan dan ekonomi dikembali­kan menjadi peker­jaan individu. Semuanya menghasilkan frustrasi sosial yang dengan gam­blang dilukiskan seba­gai berikut:

 

Dua orang antre membeli Vodka (minuman keras; red). Setelah satu jam, dua jam, baris antrean tidak bergerak. Semua menjadi tidak sabar. Akhirnya, salah satu di antara mereka tidak kuasa menahan diri: “Sudah cukup! Saya muak dengan hidup begini. Di mana-mana orang antre, tidak ada yang bisa dibeli, laci toko kosong-melompong. Semua ini gara-gara Gorbachev dengan perestroika konyol itu. Sekarang, saya akan ke Kremlin untuk membunuhnya.” Sesudah dua jam orang itu kembali, masih marah-marah, dan berkata:

“Bajingan! Di Kremlin baris antrean orang untuk membunuh Gorbachev lebih panjang lagi dari ini.”16

 

Menurut penulis Nikolai Zlobin, Gorbachev sangat suka dengan lelucon di atas tentang dirinya, yang selalu diceritakannya sendiri dalam berbagai pertemuan, dan diulang-ulang dalam berbagai kesempatan.

 

Humor Orde Baru

 

Sebaliknya, tidak banyak humor terbuka yang bisa dikumpulkan tentang Orde Baru. Butet Kertaradjasa, saat-saat terakhir ketika Orde Baru sudah hampir jatuh, membuat ba­nyolan onomatopeik dan sangat berhasil me­niru suara Soeharto dalam monolog yang memukau dan semua pendengar beramai-ramai menerta­wa­kan sang diktator. Namun, humor tertulis sebagaimana di Uni Soviet tidak banyak bisa ditemukan. Kalaupun ada, banyak yang dibuat setelah Orde Baru jatuh.

Namun demikian, sesuatu yang tidak di­mak­sudkan sebagai humor, bahkan suatu poli­tical statement, sungguh-sungguh menjadi humor politik à la Uni Soviet dalam peristiwa berikut. Untuk mencari dana, Orde Baru mem­perkenalkan lotre sejenis judi dengan nama SDSB (sumbangan dana sosial berhadiah). Direktur lembaga swadaya masyarakat PIJAR, Nuku Suleiman, yang memimpin demonstrasi untuk menghapus perjudian memelesetkan akronim itu menjadi Soeharto Dalang Segala Bencana yang memecahkan kotak pandora dan mengeluarkan seribu satu setan. Nuku ditang­kap dan diadili. Di pengadilan, Nuku menja­lankan aksi diam seribu basa dan menolak menjawab semua pertanyaan jaksa atau hakim. Dia hanya mengatakan tidak akan memberikan jawaban, karena pengadilan itu sendiri sudah tidak adil dari awal. Amar keputusan bagi Nuku berbunyi sebagai berikut:

 

Bahwa terdakwa telah menghina Presiden Soeharto, Presiden RI yang dikenal sebagai ke­pala negara senior atau dikenal sebagai ne­gara­wan oleh kalangan politisi dunia. Du­nia menga­kui keberhasilan Presiden Soeharto, tapi ter­dakwa justru menunjukkan sikap antipatinya.17

 

Coba perhatikan amar keputusan Nuku Suleiman. Pengadilan tidak mampu membuk­tikan tidak kriminal Nuku, selain memuja orang yang diwakili penuntut umum negara. Bila dibandingkan dengan amar keputusan Nina Lugowskaja, sang gadis cilik Uni Soviet, hampir sama. Buah pikiran hasil frustrasi anak remaja putri dianggap tindak kriminal yang membuat­nya menjadi pengadilan pikiran yang tidak diperkenan­kan dalam sistem hukum di mana pun di negara merdeka.

Perbedaan sangat mendasar antara kedua bangsa terutama dilihat dari segi intellectual courage dalam arti kemampuan dan kesiapan menerima risiko yang berujung maut. Sebagian besar humor yang beredar secara resmi mela­lui media arus besar seperti televisi adalah humor sosial yang tidak berisiko tinggi.

Nuku membuat pernyataan publik keras meski dengan efek humor politik, sedangkan Cak Lontong membuka tabir lain lagi. Diktator Soeharto tanpa mengumumkan diri menjadi presiden seumur hidup menjalankan kepresi­denan seumur hidup dan tidak pernah diprotes kecuali oleh mahasiswa 1974-1978, dan ter­akhir ketika menjatuhkannya pada 1998. Alki­sah, Cak Lontong, setelah jatuhnya Soeharto, dalam suatu pertemuan ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hadir di ge­dung pusat Nahdlatul Ulama di Jalan Kramat, Jakarta Pusat, membanyol sebagai berikut.

 

+ Gus Dur itu Presiden RI kesembilan kan ...?

-  Presiden keempat—sela tamu-tamu secara serempak sambil tertawa.

+ Oh bukan ... Presiden pertama kan Soekarno, kedua Soeharto, ketiga Soeharto, keempat Soeharto, kelima Soeharto, keenam Soeharto, ketujuh Soeharto, kedelapan Soeharto!

Nah ... kesembilan baru Gus Dur ... !

 

Seperti dikatakan di atas, selalu terjadi penelikungan tak terduga, seperti dengan memakai kronologi yang sama dari “peng­angkatan/pemilihan” Soeharto menjadi presiden. Dia membelokkan kronologi dan mengubah seluruh makna urutan waktu ter­sebut dan menjadikannya konsep statistikal. Jarak dari Soekarno ke Soeharto yang me­mang pendek secara nominal diperpanjang dengan menjadikannya frekuensi/repetisi/tally, menjadi delapan kali. Di sana, “frekuensi” menjadi “orang”/ “presiden”—”jarak nominal” Soekarno-Soeharto dijadikan “jarak kekua­saan” panjang, atau tepatnya “bentangan jarak dalam ruang kekuasaan” itu menjadi panjang dan lantas ditarik sampai jauh ke bilangan delapan, dan kalau perlu karena dia menjadi “presiden seumur hidup” ditarik lebih jauh lagi ... akhirnya ke “laut” ... sampai sang diktator hilang dari peredaran, dan terutama dalam peredaran lem­baran mata uang “seratus ribu rupiah” yang menampung dan menampilkan wajahnya. Se­bagai koruptor, wajah itu diang­gap tidak pantas terpampang dalam lembaran mata uang negara yang dipakai seluruh bang­sa. Dengan itu Cak Lontong berhasil mencip­takan the critical point of joking nan dahsyat, dan meledakkan tawa.18

Dengan pembelokan itu, dia mengungkap­kan soal mendasar dalam suatu sistem otoriter, yaitu kekuasaan tidak terkekang, yang tanpa mengumumkan dan malah dengan jalan “demokratis pemilihan umum” menjadikannya diktator dan presiden seumur hidup, the un­declared president-for-life. Dengan humor, Cak Lontong mengungkapkan soal itu secara ge­milang, bahkan dalam hal menyentuh rasa melebihi ahli ilmu sosial mana pun.

 

Beberapa Catatan Penutup

 

Tulisan ini berusaha membuat studi ban­ding antara negara totaliter Uni Soviet dan negara otoriter Orde Baru. Sejak awal sudah diduga, bahkan diketahui, bahwa keduanya tidak bisa dibandingkan. Dari segi rasial sudah berbeda, demikian pula kultur dan sivilisasi, dua hal perumus utama gejala humor dalam masya­rakat manusia dan terutama basis ekonomi-politik yang berbeda total.

Perbedaan paling hakiki totalitarian state dengan authoritarian state berada pada titik kontrol ekonomi-politik yang hampir mutlak dalam negara totaliter. Sistem pertanian kolektif mengubah secara radikal cara produksi kapitalis dengan kepemilikan pribadi, dan dengan itu kontrol terhadap masyarakat berlangsung dari akar-akarnya, yaitu economic base dari kehi­dupan itu sendiri. Kaum buruh secara teoretis menguasai politik dan dengan itu ekonomi. Seluruh sistem soviet yang tidak lain berarti council/dewan dari berbagai tingkat dan go­longan masyarakat berpuncak pada the Su­preme Soviet—-organ tertinggi semacam MPR, atau malah MPR sebagai Supreme Soviet—-bangsa ini dan mengambil keputusan buat nega­ra secara keseluruhan.

Partai, dalam hal ini Partai Komunis Uni Soviet (PKUS), menjadi pusat dari segala kehi­dupan politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Dari sana juga berlangsung kontrol dari orang ke orang, dari keluarga ke keluarga, murid memata-matai guru dan sebaliknya, anak me­mata-matai orangtua, dan sebagainya. Semua berindukkan KGB, pusat dinas intelijen Uni Soviet yang juga menjadi sasaran pelbagai lelucon. Golongan Karya (Golkar) menjadi partai utama Orde Baru dan mungkin juga berusaha ke arah itu, meski menemukan per­lawanan keras. Protesting humor tidak ber­kembang pada masa Orde Baru karena aksi lawan terbuka cukup berkembang dari maha­siswa, pers, dan lain-lain.

Di tengah masifnya kekerasan di Uni Soviet, humor mencari jalan sendiri seperti air mencari celah-celah di antara batu hitam yang teranyam rapat di kali—itulah kira-kira yang bisa dibayangkan betapa humor sangat heroik menjalankan misi dan dengan itu membangun harapan, dan dalam harapan humanitas itu mekar. Kemampuan membuat orang terse­nyum di tengah siksaan kegetiran hidup de­ngan mengambil risiko nyawanya sendiri me­layang adalah heroismus in optima forma.

Uni Soviet jatuh pasti bukan karena humor; namun humor menggali lubang demi lubang dari dinding hitam pekat Uni Soviet. Orang Roma purba mengatakan hal berikut ini: titik-titik air melubangkan batu bukan dengan keke­rasan, tetapi dengan menimpanya berulang-ulang, ribuan dan triliunan kali, di atas per­mukaannya. Humor pun seperti butir-butir air itu menimpa batu hitam Uni Soviet.19

Perbedaan lain negara totaliter menjadi satu blok tersendiri, blok sosialis, Blok Timur, dalam menghadapi blok kapitalis, Blok Barat. Negara otoriter, seperti Orde Baru, menjadi negara “pembantu”/negara klien bagi negara induk seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang yang menjadi sumber penyedia bantuan eko­nomi. Namun, dua-duanya sama dalam bentuk kediktatoran, meski secara kualitatif jauh ber­beda, yang merangsang munculnya humor.

Dengan alasan itu, perbandingan antara keduanya sama sekali tidak seimbang. Namun demikian, di sana juga letak keajaiban bahwa humor bisa menghubungkan keduanya, justru karena humor menyentuh kedalaman yang paling dalam demi mencapai humanitas, meski senyum getir di Uni Soviet tidak bisa diban­ding­kan dengan “ketawa ngakak” di Jakarta. Se­nyum getir di Uni Soviet adalah senyum maut, di sini adalah ketawa lebar karena perutnya sudah “terkocok.”

Persambungan ajaib itu terjadi ketika le­lucon Uni Soviet diterjemahkan dan diterbit­kan di Indonesia dan diberi pengantar oleh Abdurahman Wahid, yang 12 tahun berselang menjadi presiden terpilih pertama hasil pemi­lihan umum setelah Orde Baru tumbang.20 Buku tersebut laris terjual seperti pisang go­reng pada 1986, tahun puncak kediktatoran Soeharto—karena menjadikan Golkar seperti partai keluarga, menguasai ABRI sebagai cen­teng pribadi, menguasai birokrasi sebagai ma­najer kekayaan hasil korupsinya—maka humor menjadi tali pengikat untuk menunjukkan dan memberi kesaksian bahwa humanitas Uni Soviet tidak berbeda dengan Nusantara, dan yang dirasa getir di sana di sini pun getir•

EDISI

Humor yang Adil dan Beradab | 38 | 2019-01-01

BAGIKAN


Beli Prisma Cetak

Dapatkan prisma edisi cetak sekarang dengan klik dibawah ini

Webstore

Berlangganan Newsletter