Humor sebagai Ramalan ataukah Ramalan sebagai Humor?

BAGIKAN



Hal yang tampil dominan dalam teori filsafat humor pada 2016 adalah superiority, relief, dan incongruity. Dalam psikologi, humor dapat diukur melalui Humor Styles Questionnaire (HSQ) untuk bisa menetapkan “gaya humor”. Di bidang psikologi pula humor bisa di-training guna dimanfaatkan sebagai pengobatan. Kesibukan terhadap humor melahirkan ilmu gelotologie. Di bidang politik, fungsi humor klasik tetap tak berubah. Indikatornya adalah pelbagai peristiwa yang terjadi dan bisa menjadi peramal yang pada masa lalu pernah dimanfaatkan oleh badan intelijen Jerman Barat untuk mengoleksi humor politik mantan Jerman Timur.

Kata Kunci : filsafat humor, gelotologie, intelijen, psikologi, teori

Ngakak, pasti bila mendengar satu lelucon yang pas. Reaksi seperti itu ternyata telah menyibukkan para pemi­kir raksasa, seperti Plato, Aristoteles, Hobbes, Kant atau Freud. Sampai-sampai Plato pun pri­ha­tin, sebab objek tertawaan itu sesuatu yang bodoh dan salah, serta bisa membuat orang la­lai mengen­dalikan diri. Maka, katanya, “The ideal society‘s guardians, should not be too fond of laughtern”.1

Lantas kenapa kok humor dapat bikin terta­wa? Banyak teori yang berusaha menjelaskan­nya. Dalam posisi aktual, secara filsafat, humor terbagi dalam (1) Humor´s Bad Reputation, (2) The Superiority Theory, (3) The Relief Theory, (4) The Incongruity Theory, (5) Humor as Play, Laughter as Play Signal, dan (6) Comedy.2 Namun, sampai saat ini yang laris hanya tiga: (1) The Superiority Theory, (2) The Relief Theory, dan (3) The Incongruity Theory.3

 

Meremehkan Bulan-bulanan Martabat

Kita ngakak mengungkapkan perasaan su­perio­ritas atas orang lain, atau membedakan diri antara kami dengan kalian, menertawakan diri sendiri, yang bertumbalkan korban itu digo­longkan ke dalam teori superioritas, satu teori yang konon tertua. Aristoteles dan Plato men­catat bahwa “orang merasa menggauli objek leluconnya, dan karenanya merasa menjadi lebih bergembira dan tenteram”, ujar Barbara Wild, dokter neurologi dan psikiatri serta pe­nulis buku Humor in Psychiatrie und Psycho­therapie: Neurobiologie, Methoden, Praxis.4

Christie Davies, pensiunan Profesor Sosio­logi di Universitas Reading, Inggris, penulis buku Jokes and Targest, adalah salah seorang begawan peneliti humor. Dalam wawancara dengan majalah Jerman WELT, dia mengatakan bahwa setiap negara memiliki dumb jokes, bersifat meremehkan atau menghina.

Pusat gemar membuat lelucon tentang ping­giran. Misalnya, lelucon di Jerman tentang Friesen Timur, dan sejak reunifikasi tentang Saxon. Di Amerika Serikat tentang keturunan pendatang asal Polandia. Di Inggris sudah sejak 300 tahun tentang Irlandia. Kemudian, Irlandia tentang Kerrymen. Sedangkan balasan Kerrymen cuma sebatas rapopo.

Menurut Christie Davis, alasannya sangat beragam. Jika kita pergi ke pinggiran satu ne­ge­ri, akan dijumpai masyarakat yang berba­hasa aneh. Di Friesen Timur, Plattdeutsch (Low-German). Bahasa Inggris Irlandia ber­beda de­ngan British. Di Kerry, Inggrisan-nya amat su­kar dimengerti. Selain itu, masyarakat di ping­giran umumnya petani, sedangkan ke­giatan inte­lek­tual berada di perkotaan.5 Sebagai contoh:

(1)   Berapa orang Friesen Timur yang diperlu­kan buat memasang bohlam? Lima. Seorang berdiri di kursi dan memasukkan bohlam ke dalam soket, dan empat orang lainnya memutar kursi.6

(2)   A Kerryman went to London and found himself in the Underground late one night. See­ing a notice “Dogs Must Be Carried On The Escalator”, he moaned to himself, “And where am I going to?”.7

 

Menurut Christie Davis, umumnya lelucon pusat tentang pinggiran cuma ditemui di ka­wasan demokratik. Lelucon seperti itu tidak didapati, misalnya, di Eropa Timur di bawah kekuasaan Uni Soviet.8 Sementara itu, sosiolog asal Belanda, Giselinde Kuipers, mengatakan bahwa humor dapat menunjukkan garis pem­belah masyarakat. Siapa ketawa dengan siapa? Siapa yang terganjal dengan humor “primitif”? Membandingkan peran humor di Belanda de­ngan di AS, Giselinde Kuipers, antara lain, berkesimpulan bahwa humor dipakai buat membangun atau mendobrak hambatan sosial. Contohnya, “di tanah Belanda, kesuperioritasan intelektual mesti didemonstrasikan–juga dalam humor. Sebaliknya di Amerika Serikat”.9

Jika Karl Marx tahu, maka teori perten­tangan klasnya bukan berangkat dari sisi eko­nomi melulu, tetapi juga dari humor, maka mungkin bakal lahir Partai Komunis Humor yang tak segalak Partai Komunis Palu Arit.

 

Mengurangi Beban Batin (Mental)

Tergugahnya kegembiraan yang membuat ketenteraman itu memancing Sigmud Freud dalam karyanya Jokes and their Relation to the Unconscious guna mencermati humor dari sudut psikologi. Teorinya disebut Relief: ter­tawa akibat merasa senang itu buah ngeblong-nya psychical energy yang risau terpendam.10 Energi itu oleh Herbert Spencer disebut seba­gai nervous energy.11

Secara umum, teori Relief dijelaskan oleh John Morreall, begawan peneliti humor dan penulis buku Comic Relief: A Comprehensive Philosophy of Humor, dengan mencontohkan satu sajak karya Harry Graham:

 

I had written to Aunt Maud

Who was on a trip abroad

When I heard she’d died of cramp,

Just too late to save the stamp.

 

Bila membaca tiga alinea pertama, kita akan merasa iba kepada sang keponakan yang ber­duka. Akan tetapi, alinea terakhir memaksa kita memahami ulang tiga alinea sebelumnya. Kon­trasannya anggapan ihwal orang yang berduka, ternyata sang keponakan adalah sosok sangat pelit. Dengan demikian, nervous energy seperti kesedihan kita yang menjadi sia-sia lantas di “release” menjadi ketawa. 12

 

Ketakcocokan Penggugah Keterkejutan:

 

Lelucon dan akibatnya pada umumnya bertolak dari mekanisme yang gampang: Incong­ruity alias ketaksesuaian, kedisharmonisan, atau keganjilan, sehingga menimbulkan kejutan, kata Werner Wicki, Professor pada Sekolah Tinggi Pedagogik Luzern, Swiss. 13

John Morreall memberi contoh sebagai berikut:

 

The heir of a rich relative wished to ar­range for an imposing funeral, but he lamented that he could not properly succeed; ‘for’ (said he) ‘the more money I give my mourners to look sad, the more cheerful they look!’.

 

Letak ketakcocokannya: “the perception of something incongruous—something that violates our mental patterns and expectations”.14 Akan tetapi, bagaimana dengan lelucon konyol bebas berketerjutan bisa cocok dengan teori itu? Prinsipnya sama. Lelucon bertentangan dengan harapan, jelas Werner Wicki.15 Saat ini, teori Incongruity mendominasi penelitian humor.16

Oleh sebab pemahaman tentang Incong­ruity, tutur John Morreall, maka tidak ada aturan substansial untuk humor. Humor juga bisa berarti menertawakan lelucon buruk. Ring­kasnya, “segenap bentuk komunikasi bersifat menghibur.” Alhasil, menurut John Morreall, tidak ada manfaatnya membedakan humor dengan lelucon.17

 

Humor tak Harus Selalu Lucu

 

Apakah satu lelucon bernuansa Relief, Superioritas, atau Incongruity, tergantung pada kelompok sasaran dan kulturalnya. Humor laki-laki agresif, perempuan kebalikannya, jelas Werner Wicki. Laki-laki menyukai lelucon beraroma esek-esek, perempuan sebaliknya. 18 Hasil penelitian Willibald Ruch, Profesor Psi­kologi Universitas Zürich, Swiss, terhadap anak-anak kembar memperlihatkan bahwa lelucon bernuansa esek-esek sebagian besar berasal dari gen, sedangkan humor omong-kosong umum­nya diperoleh dari perjalanan hidupnya.19

Begitu pula perbedaan humor dalam pro­fesi, golongan, ras, budaya, waktu, dan seba­gainya. Kepala Institut Humor Jerman di Leip­zig, Eva Ullman, menuturkan bahwa di Jepang lelucon yang bersifat menghina diri sendiri atau yang agresif sukar diterima. 20 Christie Davies menceritakan bahwa sudah sejak 20 tahun mendiskusikan tentang Jepang, termasuk upa­yanya dan koleganya mencoba mengajari le­lucon. Kesimpulannya, penghambat humor di Jepang adalah aturan-aturan yang rumit dan canggih.21

Berdasarkan catatan, paling intensif adalah penelitian humor dari sisi psikologi. Hal itu bisa dimaklumi, sebab humor dikaitkan dengan pemanfaatannya. Humor juga bergantung pada perkembangan kepribadian seseorang. Anak-anak, misalnya, bakal plonga-plongo bila diceri­takan lelucon-lelucon yang telah disodorkan di atas. Menginjak usia tujuh atau delapan tahun, ironi bisa mereka mengerti, ujar Barbara Wild. Pada usia itu, anak-anak belajar memosisikan diri sebagai orang lain yang berbeda pandangan dan tujuan. Mengetahui seperti itu dibutuhkan buat memahami beberapa lelucon. Hal penting lain yang tak dimiliki anak-anak adalah know-how politik.22

Dari sisi psikologi, kata Willibald Ruch, humor adalah personal characteristic yang bisa diukur.23 Sementara itu, menurut Rod Martin, begawan humor berkacamata psikologi, kepri­ba­dian seseorang bersifat multidimensional (a cognitive ability, an aesthetic response, a ha­bitual behavior, an emotion-related tempe­ra­ment trait, an attitudde, and a coping stra­tegy/defense mechanism). Dia mencetuskan se­buah alat pengukur berupa Humor Styles Question­naire (HSQ). Dari situ, humor dibagi ke dalam (a) adaptive humor styles yang terdiri dari affiliative humor (amusing other people an enhancing social relationships) dan self-enhanc­ing humor (having a humorous perspective on life, even when faced with stressful events), dan (b) maladaptive humor styles yang terdiri dari aggressive humor, which is sarcastic humor that puts other down and self-defeating humor, which is characterized by excessive self-ridicule to gain others´approval”.24

 

Banyak Ketawa, Hidup Boleh Berlama-lama

 

Tak hanya sebatas pada penelitian saja, psikologi juga berusaha memanfaatkan humor sebagai pengobatan: hiburan menggelikan terjadi usai horor berbanjir darah bertumbalkan tujuh jiwa ulah teroris Islam radikal di London, Juni 2017. Di tengah-tengah kesemrawutan orang-orang yang berlarian ke segenap penjuru angin, tampak seorang British yang berjalan lambat dan teratur. Konsentrasinya dipusatkan pada genggaman gelas bir di tangannya, agar tak menetes. “Apalah artinya teror, prioritas adalah penyelamatan bir” atau “Kita harus menetapkan prioritas. Kita ini masih bangsa British” adalah leluconannya.

Tentu saja, sebagian orang tak akur dengan perbuatan sang penenggak bir di tengah-tengah perkabungan tersebut. “Tak seorang pun melu­pa­kan banjir darah, tetapi humor memberikan satu kekuatan kepada mereka yang berjuang, yang terluka, dan yang gugur”, tangkis para pembelanya. Celotehan senafas mengingatkan bahwa kaum teroris memang sengaja mencip­takan “suasana ketakutan.” Karena itu, peneng­gak bir yang “sama sekali enggan meneteskan birnya gara-gara perbuatan pengecut itu, mung­kin adalah pahlawan akbar tahun ini.”

Alhasil, komentar-komentar yang humoris tersebut berubah menjadi pendapat yang kian dianjurkan oleh para psikolog. Bahwa humor memperkokoh resistensi rohani dan satu alat yang berharga guna melawan segenap mala­petaka, ujar Willibald Ruch, yang telah 40 tahun melakukan penelitian tentang akibat keriangan. “Emosi positif memperluas wawasan. Keta­kutan, kejengkelan, dan kemarahan sebaliknya. Banyak studi memperlihatkan bahwa dalam situasi yang sulit, manusia dapat sukses menga­tasinya bila humor digunakan.”

Kini, pesan tersebut telah diterima di bebe­rapa klinik psikiatri. Di Stutgarter Fliedner Klinik, Jerman, misalnya, selain obat-obatan dan terapi, para penderita yang selalu merasa ke­takutan, depresi, atau stres, ditawari “pelatihan” (training) humor. Jurus-jurusnya adalah (a) humour is tragedy plus time (hal-hal yang menjengkelkan hari ini, esok dapat digo­reng jadi lelucon); (b) perubahan sudut pandang (sesuatu itu memiliki tiga sisi: positif, negatif dan aneh); (c) perubahan orientasi ego ke orientasi makna (menganggap posisi diri sendiri tak penting); dan (d) mencari rekan pen­dam­ping. 25

Menurut neurologis Swiss, Jürg Keseeling dari Pusat Rehabilitasi Valens, tertawa bagi kesehatan itu afdol. “Ngakak mengaktifkan sistem sirkulasi jantung”. Menurutnya, “Dua puluh detik ketawa sama dengan olahraga tiga menit mendayung cepat.” Sementara itu, ujar psi­kiater Volker Faust dari Ravensburg, Jer­man: “siapa ketawa, hidupnya lebih lama”–orang-orang yang optimis dan humoris memiliki sistem imun yang stabil. Bahkan, imbuhnya, dalam ketawa, tersembunyi obat ajaib yang sanggup melawan kanker, Aids, penyakit jan­tung, sakit kepala, ketakutan kronis, dan depresi.

Dampak tertawa terhadap tubuh dan rohani akhirnya menciptakan ilmu pengetahuan baru, yaitu “gelotologie” (bahasa Yunani, gelos = tertawa). Istilah itu ditanamkan oleh psikiater asal AS, William F Fry, yang sejak tahun 1964 melakukan laughter research pada Universitas Standford. Di Jerman, psikolog Michael Tietz, 65 tahun, tergolong top-nya selebriti gelo­to­logie. Selain mengajar, dia juga pendiri “HumorCare Deutschland”, sebuah organisasi yang mendorong humor mengembara di bi­dang-bidang terapi, perawatan, pedagogik, dan konsulting”.26

 

Humor sebagai Ramalan?

 

Uni Soviet yang selama sekitar 70 tahun bersistem otorian itu, ternyata produsen lelucon politik terbanyak. Amat menakjubkan adalah lelucon tahun 1985:

 

Question: „Where were you born?”

Soviet Citizen: „St Petersburg”.

Question: „Where did you go to school?”

Answer: „Petrograd.”

Question: „Where do you live?”

Answer: „Leningrad.”

Question: „Where would you like to live?”

Answer: „St Petersburg.”

 

St Petersburg adalah kota di Rusia masa pra-Revolusi Oktober 1917. Gara-gara “St” ber­nafas­kan religius dan non-kompatibel de­ngan ideo­logi Komunis Palu Arit, maka Petro­grad mau­judannya St Petersburg. Setelah itu, disihir menjadi Lening­rad, sebagai penghor­matan ter­hadap pemimpin besar revolusi “kawan” Lenin. Pada akhir Peres­troika dan dengan kiamatnya Uni Soviet, kota itu balik ke muasal­nya, St Petersburg.27

Pada tahun 1980an, di Jerman Timur bere­dar lelucon sebagai berikut:

 

Erich Honecker, the last President of the GDR, whose nickname was Honni, comes back from a trip abroad. He finds nobody around. In the end he arrives at the Berlin Wall. There he finds a big hole and a note: “Honni, you are the last–switch off the light.”

 

Realitasnya, pada musim gugur 1989 tem­bok Berlin runtuh. Orang-orang Jerman Timur membuat lubang besar di sana.28 Apa yang dihumorkan jadi kenyataan.

 

Ramalan sebagai Humor?

 

Menjelang pilpres kedua tahun 2004, dalam acara diskusi akademik dan ilmiah di Hotel Accacia, Menteng, Jakarta, saya diminta mem­prediksi tentang kans capres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mengutip majalah supra­natural Misteri bermetoda akaldemit alamiah gaib, saya menjelaskan bahwa SBY dilahirkan pada 9 September 1949, berwuku Bala, bershio Kerbau Virgo. Wuku Bala di­naungi Bethari Durga, tukang ngrusak. Sedang­kan Kerbau Virgo: apa yang dia perbuat akan selalu meru­sak. Para hadirin tertawa, mengang­gap saya ber­humor. Dua tahun kemudian, beberapa pen­dengar tertentu mengontak saya dan menga­ta­kan bahwa ramalannya benar. Saat SBY menja­bat presiden, Aceh dilanda tsunami dan bumi Yogyakarta diguncang gempa.

 

Humor Radarnya Badan Intelijen

 

Hal lain yang juga mencengangkan kun­jungan Kanselir Jerman Barat Willy Brandt ke Erfurt, Jerman Timur, pada Maret 1970. Di sa­na, dia bertemu dengan Erich Honecker, inisia­tor kunjungannya29, yang saat itu menjabat Se­cre­tary of the National Security and Defence Coun­cil (setara Menteri Pertahanan dan Kemanan).30 Humorannya di Jerman Timur:

 

Willy Brandt kepada Honecker, “Saya me­ngum­pulkan lelucon buat koleksi pribadi.”

Honecker menjawab, “Itulah perbedaan­nya. Saya mengumpulkan para pembuat lelucon tentang saya”.31

Tujuh tahun kemudian, akhir 1977, Bun­des­nachrichtendienst (Badan Intelijen Jerman Barat) mengoleksi lelucon dengan blusukan di Jerman Timur. Demikian pemancar radio dan televisi Central German Broadcasting MDR memberitakan akhir Desember 2016. Selain diperoleh dari para pelarian mantan Jerman Timur, Badan Intelijen Jerman Barat juga me­ngirim korps pengais lelucon yang dididik secara khusus. Lewat lelucon, Badan Intelijen Jerman Barat mencoba mengorek rahasianya Real-Sosialisme, seperti sikap masyarakat Jerman Timur terhadap Honecker & Co atau isi benak kepala orang-orang di sana. Dalam tem­po 14 tahun, ribuan lelucon Jerman Timur ber­hasil dikumpulkan. Sekitar 657 diseleksi, secara rahasia terdampar di meja Kanselir Jerman Barat. Terakhir, tahun 1990.32

Badan Intelijen Jerman Barat mengendus bahwa humor politik dalam tatanan berlangit mendung itu bisa menyingkap rahasia keadaan Jerman Timur, “Paling tidak, humor politik dalam sistem yang totaliter sanggup mengung­kap kebobrokan keadaan secara tajam dan segera ketimbang analisis-analisis yang cang­gih”, ujar Hans-Georg Wieck, Kepala Badan Intelijen Jerman Barat 1985-1990.33

Di situ tidak dijelaskan bekal korps “pengais” humor buat bisa beroperasi. Apakah mereka dikuliahin tentang teori humor ataukah disisipi Humor Styles Questionnaire (HSQ). Yang jelas, “Humor politik dapat dijadikan indikator terhadap apa yang terjadi dalam suatu masyarakat, topik atau hal-hal yang tabu yang sedang diperbincangkan, dan harapan terhadap perubahan. Oleh sebab humor bersifat infor­mal, maka humor dapat menyampaikan segala macam pesan jauh sebelum muncul sebagai berita utama media yang “serius” atau tak tampil akibat penindasan”.34

 

Humoris Bagian dari Kebinekaan

 

Dengan perkembangan penelitian dan pe­nga­laman humor di mancanegara, maka ter­bentanglah masa depan yang menjanjikan bagi kaum humoris Nuswantoro. Badan Intelijen Negara (BIN), misalnya, bisa membentuk laskar humoris guna menandingi horor radi­kalis­me atau terorisme, minimal mengusir iklim yang kian otoriter, umpamanya, berkat kepretan penistaan agama dan sejenisnya.

Lantas, pembentukan Partai Humoris Indo­nesia dapat diwacanakan, sebab dapat mem­bantu meredam caci-maki masa kampanye Pilpres dan Pemilu 2019 demi kebinekaan NKRI. Jika Partai Humor mBoyolalian dan ngOjekan, kemudian perbuatan itu dituding sebagai penistaan amarah, maka secara teoretis akan bebas keonaran. Alasannya, sasaran ber­humor bukanlah kesempurnaan, melainkan kegagalan atau ketaksempurnaan. Seorang badut yang tak terpeleset, bukanlah badut. Termasuk ke dalam lelucon adalah risiko disa­lah­pahami.35

Setidak-tidaknya hal tersebut bisa diman­faatkan untuk mengobati pasien yang depresif dan orang-orang gila, yang juga bagian dari kebinekaan. Perlu pula digarisbawahi bahwa jika kita rajin menggali-gali, maka kita akan tahu bahwa ilmu gelotologie sesungguhnya sudah lama mengakar di tanah Pasundan lho! (gelo= gila)•

EDISI

Humor yang Adil dan Beradab | 38 | 2019-01-01

BAGIKAN


Beli Prisma Cetak

Dapatkan prisma edisi cetak sekarang dengan klik dibawah ini

Webstore

Berlangganan Newsletter