Tulisan ini menganalisis bagaimana aturan-aturan hukum pidana mengenai penodaan agama di Indonesia bekerja dan aktif digunakan pada era demokrasi. Pendekatan kultural melihat keberadaan aturan-aturan tersebut sebagai refleksi atas semakin menguatnya konservatisme keagamaan. Sementara itu, perspektif institusionalis menjelaskannya dalam kaitannya dengan kapasitas kelembagaan, baik terkait dengan kualitas aturan hukum maupun kapasitas penegakan hukum. Kedua penjelasan tersebut mengabaikan analisis hubungan kekuasaan yang mendasari masalah pembentukan hukum dan kasus-kasus penodaan agama. Bertolak dari pemahaman tersebut, tulisan ini berpendapat bahwa hukum pidana terkait penodaan agama, telah dan terus menjadi salah satu arena penting yang menyokong politik identitas. Aturan penodaan agama membuka ruang penafsiran yang luas, yang dapat memberi jalan bagi politisasi sentimen keagamaan untuk memobilisasi dukungan politik dari masyarakat yang semakin konservatif dalam kontestasi kekuasaan.
Kata Kunci : demokrasi, hukum dan politik, Islam, penistaan, penodaan agama