Liberalisasi ruang publik pasca-Soeharto sejak 1998 awalnya memberikan sinyal bahwa eksistensi masyarakat dalam menyelenggarakan komunikasi akan lebih terbuka dan egaliter. Namun, alih-alih menjadi alat publik untuk memperjuangkan kepentingannya, komunikasi berikut seluruh perangkat kerasnya justru tunduk di bawah genggaman modal sambil secara perlahan bergerak ke arah birokratisasi. Dilihat dari perspektif Habermasian—salah seorang eksponen aliran filsafat kritis Frankfurt—kecenderungan ini tidak lain dari apa yang dinamakan refeodalisasi public sphere yang menggunakan komunikasi sebagai sarana untuk “memelintir” kepentingan publik. Situasi ini jelas tidak melahirkan masyarakat komunikatif yang bebas dominasi, melainkan penaklukan massa melalui komunikasi dengan mengatasnamakan keterbukaan ruang publik.
Kata Kunci : None