Wacana Kartun dalam Bahasa Indonesia

BAGIKAN



Humor memiliki peran sentral dalam kehidupan manusia, yakni sebagai sarana hiburan dan pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas hidup manusia bersangkutan. Di sisi lain, humor tidak selalu bersifat agresif dan radikal yang memfrustrasi sasaran agresinya dan memprovokasi perubahan, serta mengecam sistem sosial kemasyarakatan. Sementara itu, bahasa yang termasuk di dalamnya bunyi, kata, dan struktur merupakan refleksi realitas sosial budaya amat khas. Hal tersebut membawa konsekuensi berupa sulitnya humor diterjemahkan ke bahasa lain dan dinikmati oleh mereka yang berlatar belakang budaya berbeda.

Kata Kunci : gambar, humor, kartun, verbal, wacana

John Searle dalam buku Speech Acts mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang mungkin diwujudkan oleh seseorang pe­nutur di dalam berbahasa, yakni tindakan untuk mengungkapkan sesuatu (locutionary act), tin­dakan untuk melakukan sesuatu (illocutionary act), dan tindakan untuk memengaruhi lawan bicara (perlocutionary act).1 Secara berturut-turut, ketiga jenis tindakan tersebut disebut “the act of saying something, the act of doing some­thing, dan the act of affecting someone.” Kalimat “ikan paus adalah binatang menyusui” cende­rung diucapkan oleh penuturnya untuk mengin­formasikan sesuatu, yakni termasuk golongan binatang apakah ikan paus itu. Se­mentara kali­mat “maafkan, kemarin saya tidak bisa hadir” diucapkan bukan untuk tujuan membe­rikan informasi, karena besar kemungkinan lawan bicara sudah mengetahui ketidakhadiran penu­tur. Kalimat itu diucapkan untuk melaku­kan sesuatu tindakan, yakni memohon maaf. Dilihat dari segi pertuturan (speech act), kalimat terse­but sejajar dengan kalimat “ambilkan buku saya” atau “saya akan melamarmu bulan depan”, dan sebagainya, yang secara berturut-turut dimak­sud­kan oleh penuturnya untuk menyuruh dan berjanji. Memohon maaf, me­nyu­ruh, berjanji, dan beberapa jenis tindakan lain memang hanya mungkin dilaksanakan lewat bahasa, bukan dengan sarana yang lain. Sementara itu, kalimat “ada anjing gila selain diutarakan guna meng­informasikan sesuatu, juga dipergunakan untuk memengaruhi lawan bicara/pembaca, yakni memberi peringatan agar berhati-hati.

Dilihat dari fungsinya untuk memengaruhi pembaca atau pendengar, wacana2, baik lisan maupun tertulis, dibedakan menjadi wacana interaktif, seperti phatic communion (wacana fatis), wacana informatif, seperti wacana ilmiah, wacana persuasif, seperti wacana iklan, pidato kampanye, dan sebagainya.3 Penggolongan tersebut tidak mengingkari bahwa sering kali sebuah wacana menampakkan beberapa fungsi perlokusioner. Wacana ilmiah populer, misal­nya, di samping bersifat informatif juga meng­hibur untuk menarik dan mempertahankan minat pembaca. Wacana humor4, termasuk kartun yang menjadi bahan kajian artikel ini5, cenderung merupakan wacana hiburan. Pencip­taannya ditujukan untuk menghibur pembaca di samping sebagai wahana kritik sosial terhadap segala bentuk ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat karena efektif di saat saluran kritik lainnya tidak dapat menjalankan fungsi masing-masing.6

Humor adalah salah satu bentuk per­mainan. Sebagai homo ludens, manusia gemar bermain. Bagi orang dewasa, bermain adalah rekreasi. Namun, bermain bagi anak-anak adalah bagian dari proses belajar.7 Permainan merupakan ba­gian mutlak dari pribadi seorang anak. Melalui permainan, kreativitas anak dibangkitkan dan dirangsang. Melalui permainan, anak diper­siapkan menjadi anggota masyarakat. 8

Dengan kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa humor memiliki peran sentral dalam setiap sendi kehidupan, yakni sebagai sarana hiburan dan pendidikan dalam rangka pening­katan kualitas hidup manusia. Hal itu tidak jauh berbeda dengan pendapat James Danandjaja yang mengatakan bahwa di dalam masyarakat, humor, baik yang bersifat erotis maupun protes sosial, berfungsi sebagai pelipur lara.9 Hal itu disebabkan humor dapat menyalurkan kete­gangan batin menyangkut ketimpangan norma masyarakat yang dapat dikendurkan melalui tawa. Lebih jauh dikemukakan bahwa tawa akibat mendengar humor dapat meme­lihara keseimbangan jiwa dan kesatuan sosial dalam menghadapi keadaan yang tidak ter­sangka-sangka atau perpecahan masyarakat. Per­nya­taan itu sejajar dengan pandangan Christopher Wilson, bahwa humor tidak sela­manya bersifat agresif dan radikal yang mem­frustrasikan sa­saran agresinya dan memprovo­kasi­ perubahan, serta mengecam sistem sosial kemasyarakatan, tetapi dapat pula bersifat konservatif yang memiliki kecenderungan mempertahankan sistem sosial dan struktur kemasyarakatan yang ada.10 Sehubungan de­ngan ambivalensi sifat humor, kritik tajam yang diungkapkan kartun (1) tampak sederhana dan boleh jadi terasa tak begitu “menyerang.”         

 

Dalam situasi masyarakat yang telah mem­bu­ruk, humor akan menampakkan peran yang sangat besar. Humor dapat membebaskan diri manusia dari beban kecemasan, kebingungan, kekejaman, dan kesengsaraan. Dengan demi­kian, manusia dapat mengambil tindakan pen­ting untuk memperoleh kejernihan pandangan, sehingga dapat membedakan apa yang benar-benar baik atau buruk. Dengan humor, seseo­rang dapat menghadapi segala ketimpangan dalam masyarakatnya dengan canda dan tawa. Dengan demikian, humor sesungguhnya dapat dijadikan alat psikoterapi, terutama bagi ma­syarakat yang sedang berada dalam proses perubahan kebudayaan secara cepat seperti Indonesia.11

 

Khusus peran humor yang disalurkan de­ngan media kartun, Benedict Anderson me­ngemukakan bahwa penciptaan kartun sebe­narnya bukan mementingkan naluri untuk meng­kritik, melainkan lebih menekankan fakta-fakta historis bahwa masyarakat telah memasu­ki bentuk komunikasi politik modern yang tidak lagi menggunakan kekuatan atau kekua­saan.12 Kartun adalah salah satu alat untuk menciptakan keadaan kolektif tanpa harus masuk ke dunia birokrasi atau berbagai bentuk kekuatan politik sebagaimana tersua dalam kutipan berikut: Cartoons were a way of creating collective consciences by people without access of bu­reaucratic or other institutionalized form of political muscle.13

Sentralitas peran humor yang cukup pan­jang lebar dipaparkan dalam beberapa alinea di atas merupakan alasan mendasar dijadikannya kartun sebagai objek kajian linguistik tulisan ini, dengan fokus pada penyimpangan aspek prag­matik dan permainan bahasa sebagai refleksi kekhasan budaya, kebiasaan berbahasa, dan sistem bahasa.

 

Kerangka Teori

Konsep humor yang berkembang dewasa ini bertumpu pada tiga teori utama, yakni keti­dak­sejajaran (incongruity theory), pertentangan (conflict theory), dan pembebasan (relief theory). Teori ketidaksejajaran mengemukakan bahwa humor menggabungkan dua makna atau penaf­siran berbeda ke dalam satu objek yang kom­pleks. Ketidaksejajaran atau ketidaksesuaian bagian-bagian itu dipersepsi secara tiba-tiba oleh penikmatnya. Menurut Wilman, sebagaimana dikutip Wilson, ide-ide tidak kongruen tersebut dapat disatukan dengan bunyi yang sama dan dapat pula salah satu diinferensikan dari yang lain atau kedua-duanya dibayangkan dapat ter­jadi dalam kenyataan.14 Wacana (2) yang dilatar­belakangi ketidaksejajaran dalam keindahan irama Melayu sebagai salah satu warna khas budaya Indonesia dengan kegelisahan yang dialami oleh sejumlah orang berlari ke sana kemari mencari pinjaman memadukan dua ide, yakni “nama daerah, bahasa, dan bangsanya” dengan “berlari” dalam permainan homonimi kata melayu.

Penganut paham pertentangan meman­dang fenomena ketidaksejajaran pada wacana (2) sebagai sesuatu yang bertentangan, yakni pertentangan antara keindahan, yang diasosia­sikan Irama Melayu dengan kegelisahan, dan yang diasosiasikan dengan Melayu ngalor, Melayu ngidul Golek utangan. Akhirnya, efek tersolusi­nya ketidaksejajaran atau pertentangan itu, menurut penganut paham pembebasan, akan mampu membebaskan manusia dari ke­adaan telis (telic state) menjadi keadaan para­telis (paratelic state). Seseorang di dalam keadaan telis merasa tertekan atau terdesak oleh kebu­tuhan sosial dan psikologis. Sebalik­nya, dalam keadaan paratelis, seseorang me­rasakan kebe­basan dari tekanan, betapa pun momenter sifat kebebasan itu.

Bila diperhatikan dengan saksama, ada persamaan antara teori-teori psikologi humor di atas dengan penyimpangan kaidah prag­matik berbahasa. Dilihat dari segi pertuturan, penga­cauan dua konsep atau situasi dengan kerangka acuan yang berbeda itu merupakan pengacauan harapan, yakni tidak terwujud­­nya situasi atau hal-hal yang selama ini di­asumsikan secara konvensional. Jadi, secara verbal humor pada hakikatnya adalah ben­tuk penyimpangan aspek pragmatik dalam berbahasa.

 

Penyimpangan Aspek Pragmatik Wacana Kartun

               

Beberapa ini adalah aktivitas sosial. Seperti aktivitas sosial lainnya, kegiatan berbahasa baru terwujud bila manusia terlibat di dalam aktivitas ini. Ketika berbicara, pembicara dan lawan bicara sama-sama menyadari bahwa ada sejum­lah kaidah yang mengatur tindakan, penggu­naan bahasa, dan interpretasi-inter­pretasi terha­dap tindakan dan ucapan lawan bicara. Setiap peserta pertuturan bertanggung jawab atas tindakan dan penyimpangan terha­dap kaidah kebahasaan dalam interaksi lingual itu.15 Jadi, secara ringkas dapat dikatakan ada semacam prinsip kerja sama (cooperative principle) yang harus dilaksanakan oleh penu­tur dan lawan penutur agar proses komunikasi bisa berjalan lancar. Sehubungan dengan itu, H Paul Grice mengemukakan:16

The speaker is commited to the truth and re­levance of his text, the hearer is aware of this commitment and percieves the uttered text as true and relevant by virtue of his recognition of the speaker’s commitment to its truth and relevance.

Menurut Grice, tuturan yang wajar harus mematuhi empat maksim percakapan17, yakni maksim kuantitas (maxim of quantity) yang menghendaki setiap penutur memberi kon­tribusi secukupnya atau sebanyak yang di­bu­tuhkan oleh lawan bicaranya; maksim kua­litas (maxim of quality) yang mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang me­madai; maksim relevansi (maxim of relevance) yang menuntut setiap peserta percakapan memberi kontribusi yang relevan dengan tema pembicaraan; dan maksim pelaksana (maxim of manner) yang menuntut setiap pembicara berbicara dengan cara yang wajar dalam arti tidak kabur, tidak taksa (ambiguous), dan run­tut, sehingga tidak menyesatkan lawan bicara. Dalam wacana humor, termasuk di dalamnya kartun, terjadi hal sebaliknya. Prinsip kerja sama yang dalam tuturan wajar dipatuhi secara ketat oleh para kartunis secara sengaja dilanggar untuk memperoleh efek lucu. Wacana (3) sam­pai dengan wacana (6) secara berturut-turut menyimpangkan maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelak­sanaan, karena kontribusi tokoh (–) yang tidak kooperatif: memberi kontribusi tidak men­cukupi (3), tidak disertai bukti memadai (4), tidak relevan (5) dan taksa (tidak dapat menang­kap makna kata berdiri yang memiliki konteks pemakaian yang jelas).

Bertutur secara wajar tidak hanya berkait dengan hal-hal tekstual, tetapi juga melibatkan aspek-aspek interpersonal. Untuk menjaga keharmonisan hubungan dengan lawan tutur, setiap penutur harus mempertimbangkan de­ngan saksama efek untung rugi yang ditim­bulkan oleh tuturan yang akan diutarakan. Untuk itu, Geoffrey Leech menambahkan prinsip kesopanan (politeness principle) meleng­kapi prinsip pertuturan Grice.18

Prinsip kesopanan mengharapkan setiap penutur mematuhi enam maksim, yakni mak­sim kebijaksanaan (tact maxim) yang meng­hendaki setiap penutur memaksimalisasi keun­tungan dan meminimalisasi kerugian orang lain; maksim kemurahan (generosity maxim) yang meng­haruskan setiap penutur memaksimali­sa­si kerugian dan meminimalisasi keuntungan bagi diri sendiri; maksim penerimaan (approbat­ion maxim) yang menuntut penutur memaksi­mali­sasi rasa hormat dan meminimalisasi rasa tidak hormat kepada orang lain; maksim keren­dahan hati (modesty maxim) yang mengharus­kan penutur memaksimalisasi ketidakhormatan dan meminimalisasi rasa hormat terhadap diri sendiri; maksim kecocokan (agreement maxim) yang menghendaki setiap penutur memaksi­mali­sasi kecocokan dan meminimalisasi keco­cokannya terhadap orang lain; dan maksim ke­simpatian (sympathy maxim) yang menekankan agar setiap penutur memaksimalisasi simpati dan meminimalisasi antipati terhadap orang lain atau lawan tutur.

Dalam wacana humor berlangsung feno­mena sebaliknya. Dalam kartun, misalnya, seorang tokoh atau tokoh-tokohnya lazim mengutarakan tuturan yang secara frontal ber­tendensi memaksimalisasi kerugian, rasa tidak hormat, ketidakcocokan, dan antipati terhadap orang lain atau lawan tutur. Pelanggaran yang dilakukan kerap berupa pelanggaran batas-batas hak yang dimiliki tokoh bersangkutan agar efek humor yang ditampilkan lebih terasa. Wacana (7) sampai dengan wacana (12) adalah contoh pelanggaran maksim-maksim kesopanan de­ngan menampilkan konteks situasi dan profesi khas Indonesia, sehingga membawa konse­kuensi munculnya warna humor yang juga khas Indonesia.   

Dalam kaitan dengan maksim kesopanan, tentu saja penutur tidak bisa semena-mena mengutarakan tuturan yang mengandung ting­kat kesopanan yang juga berbeda-beda. Orang yang berstatus sosial lebih tinggi dapat menggu­nakan kekuasaan (power) dan memaksimalisasi keuntungan dirinya dibanding orang lain dengan memakai bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak (terlalu) santun (polite). Sementara itu, penutur yang berkedudukan sosial lebih rendah, karena prinsip non-reciprocity, tidak dapat melakukan hal serupa. Hanya saja, dalam situasi “men­desak”, dia dapat melakukan hal itu. Seseorang yang mengalami musibah tenggelam di kolam renang tentu saja akan memilih “Tolong!!” ketimbang “Dapatkah Anda menolong saya?” tanpa memandang status sosial lawan tuturnya. Untuk itu, dia tidak dapat dituduh memaksimali­sasi keuntungan bagi diri sendiri atau memak­simalisasi kerugian orang lain, dan sebagainya.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa se­cara pragmatis maksim kesopanan se­sung­guh­­nya relatif bukan absolut. Menurut Penelope Brown dan Stephen Levinson, tingkat kesopanan suatu tuturan harus dihubungkan dengan tiga parameter pragmatik, yakni jarak sosial (distance rating), status sosial (power rating), dan peringkat tindak tutur (rank rating).19 Parameter jarak sosial diukur dari tingkat keakraban penutur dan lawan tutur, perbedaan usia, jenis kelamin, dan latar bela­kang sosio kultural. Parameter status sosial diukur berdasarkan hubungan asimetris kedu­dukan sosial penutur dan lawan tutur dalam situasi pertuturan. Sementara parameter pering­kat tindak tutur didasarkan atas kedudukan relatif tingkat kemendesakan tuturan di dalam suatu percakapan. Wacana humor sebagai wa­cana yang dihasilkan dari proses komunikasi non-bonafide (non-bonafide process of com­munication) jelas mengabaikan berbagai para­meter pragmatik di atas. Untuk menciptakan dialog-dialog humoristis, parameter-parameter pragmatik tersebut justru sering menjadi in­caran penyimpangan para kartunis. Sebagai konsekuensinya, muncul tokoh-tokoh irasional yang bertutur tidak mengindahkan tingkat keakraban dan status sosial dirinya dengan orang yang seolah diajak berbicara (13) atau orang yang dibicarakan (14) dan tokoh-tokoh yang tidak dapat membedakan tingkat kemendesakan tuturan seperti (15) dan (16).

Wacana (17) dan (18) adalah contoh lain penyimpangan parameter jarak dan status sosial. Ujaran tokoh (+) dalam wacana kartun itu khas Indonesia yang lazim diucapkan tuan rumah saat menghormati tamunya, atau oleh seorang tamu dalam menghargai atau pura-pura menghargai tuan rumah yang didatangi, baik dalam suasana serius atau berkelakar.

 

Pemanfaatan Aspek Kebahasaan

               

Tidak terpenuhi atau tidak terealisasinya harapan-harapan yang diasumsikan oleh lawan tutur dalam wacana humor sering kali dilaksanakan dengan memanfaatan aspek-aspek kebahasaan. Bila hipotesis Victor Raskin yang mengemukakan bahwa ketaksaan merupakan sumber humor verbal yang paling penting diterima, maka secara umum dapat diramalkan bahwa bahasa ragam informal yang fleksibel dan tidak terikat aturan-aturan bahasa baku lebih tepat (sesuai) dipergunakan sebagai sarana berhumor.20 Sebaliknya, bahasa ragam formal yang bersifat baku, lengkap, dan jelas kurang atau mungkin tidak sesuai dipergunakan untuk tujuan itu. Kelengkapan, kejelasan, serta keseriusan sifat bahasa ragam formal akan menghambat keleluasaan para kartunis mencip­takan atau memanfaatkan ketaksaan. Hal itu senada dengan Ethel Albert yang mengemu­kakan bahwa:21

 

In many societies with emphasis on linguistic niceties, although a formal diglossia situation may not exist, the least formal talk, sometimes labelled “idle talk” or “frivolous speech” is used for joking and humor primarily because it is flexible and is least burdened with rigid convent­ions, rules of formality, and other similar restrictions.

 

Sejauh berkait humor dengan media ba­hasa Indonesia, pengaruh dialek Jakarta –se­bagai dialek yang secara sosial cukup ber­prestise—dan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu sebagian besar penutur bahasa Indonesia, yang secara horisontal tersebar di berbagai pelosok Tanah Air dan secara vertikal menduduki ber­bagai profesi, terasa sangat dominan sebagai­mana tampak dalam kartun (19), (20), dan (21).22

Berbagai aspek bahasa sebagai sarana humor verbal dapat dimanfaatkan untuk men­cip­ta atau mengkreasi kelucuan. Aspek-aspek yang dimanfaatkan mencakup hampir seluruh tataran kebahasaan, mulai dari aspek ortografis dan fonologis yang terkecil hingga hubungan proporsional, atau bahkan tidak tertutup ke­mung­kinan sampai tataran wacana yang lebih tinggi. Adanya kenyataan bahwa bahasa, terma­suk bunyi, kata, dan strukturnya merupakan refleksi dari realitas sosial yang khas,23 menga­ki­batkan setiap bahasa memiliki kemungkinan berbeda-beda dalam memanfaatkan setiap aspek kebahasaan. Hal itu mengakibatkan sulitnya sejumlah humor diterjemahkan ke bahasa lain. Karena bahasa mewadahi budaya dan setiap masyarakat memiliki pola budaya yang berbeda, maka sebuah humor memiliki kemungkinan kehilangan kejenakaannya bila dinikmati oleh mereka yang memiliki latar bela­kang sosial kultural berbeda.24 Wacana (23) sampai dengan wacana (29), misalnya, secara berturut-turut memanfaatkan aspek ortografis, fonologis, ke­taksaan leksikal, ketaksaan gra­matikal, sinonim, eufemisme, dan hubungan proporsional (analogi) yang bila diterjemahkan ke bahasa lain tidak hanya akan menemui kendala linguistik, tetapi juga hambatan sosio-kultural dalam arti seluas-luasnya.

 

Penutup            

Humor dalam berbagai wujudnya, termasuk dalam kartun, memiliki peran cukup sentral dalam kehidupan manusia karena kehadiran­nya tidak semata-mata hiburan untuk mele­paskan beban psikologis penikmatnya, tetapi juga sebagai wahana kritik sosial bagi semesta ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat si pencipta kartun humor. Ambivalensi sifat humor yang agresif di satu sisi dan konservatif di sisi lain mengakibatkan pemanfaatan sarana kritik itu akan lebih efektif dibanding sarana kritik yang lain, karena kritik tajam yang dilon­tarkan akan dirasa tak begitu melecehkan.

Secara sederhana, humor sebagai rang­sangan yang melahirkan kejenakaan dapat dibe­dakan menjadi humor bersifat verbal dan non-verbal. Sejauh berkait dengan humor verbal, rangsangan itu terbentuk karena ter­langgarnya kaidah pertuturan, baik secara tekstual maupun interpersonal, yang dalam kerangka pragmatis terjabar dalam berbagai maksim, sub-maksim dan parameternya. Di dalam kartun, pelanggaran kaidah pertuturan itu dilaksanakan dengan men­ciptakan tokoh atau tokoh-tokoh irasional yang tidak bersifat kooperatif, sehingga proses komu­nikasi yang wajar tidak berjalan sepenuhnya.

Humor bersifat universal. Namun demi­kian, sesuatu yang dianggap lucu oleh masya­rakat tertentu sering kali, atau bahkan selalu, terikat pada budaya dan bahasa yang mewa­dahinya, sehingga upaya pengalihan dan penik­mat humor secara lintas bahasa dan lintas kultural cenderung akan mengalami hambatan dan tidak akan pernah dapat berjalan secara mudah. Yang dimaksud budaya termasuk se­ga­la peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat bahasa bersangkutan.

Fenomena kian meningkatnya kuantitas penciptaan kartun non-verbal yang titik berat humornya tersua pada gambar-gambar yang menyimpang dari logika dewasa ini di satu sisi dapat mengatasi hambatan bahasa khalayak penikmatnya, namun di sisi lain akan cenderung melemahkan bahasa (Indonesia) dalam menja­lankan peran dan fungsinya sebagai wahana aktivitas itu•

 

EDISI

Humor yang Adil dan Beradab | 38 | 2019-01-01

BAGIKAN


Beli Prisma Cetak

Dapatkan prisma edisi cetak sekarang dengan klik dibawah ini

Webstore

Berlangganan Newsletter