Energi Rahman Tolleng seolah tak pernah padam. Pada 1965-1966, dia ikut menggerakkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kini aktif mendorong kaum muda melakukan perubahan. Mantan Direktur Penerbitan PT Pustaka Utama Grafiti (1991-2006) itu, juga turut membidani kelahiran Partai Serikat Rakyat Independen (2 Mei 2011), namun gagal untuk menjadi peserta pemilihan umum 2014. Berpolitik, menurut putra Bugis kelahiran Sinjai, Sulawesi Selatan, 5 Juli 1937 ini, haruslah dengan tujuan memuliakan kehidupan rakyat.
Dorongan berpolitik datang dari rasa keindonesiaan yang bersemi tatkala dia duduk di kelas 3 sekolah dasar di Watampone, Sulawesi Selatan, pengujung 1945. Hampir setiap petang, bersama teman sepermainan, dia “mengintip” sekelompok anak muda yang tengah berlatih baris-berbaris di jalan raya. Sebagian besar di antara mereka mengenakan pakaian seragam berwarna putih dan di dada masing-masing terpasang emblem merah-putih.
Rahman Tolleng pernah mengenyam bangku Institut Teknologi Bandung, Jurusan Apoteker (1955-1959), namun tidak tamat. Sempat terdaftar sebagai salah seorang mahasiswa Universitas Padjajaran,Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, tetapi juga tidak selesai. Pada era Orde Lama, dia menjadi buronan politik karena menentang rezim Nasakom Soekarno.Sesudah peristiwa Gerakan 30 September 1965, dia bergabung ke dalam KAMI di Bandung. Mewakili
Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Mahasiswa Lokal, dia duduk sebagai salah seorang Ketua Presidium KAMI Pusat.
Pada pertengahan 1966, bersama Riandi dan Awan Karmawan Burhan, dia memprakarsai penerbitan sekaligus memimpin mingguan Mahasiswa Indonesia. Roger K Paget, salah seorang pengamat pers Indonesia ketika itu, sempat berkomentar,“berkat mutu dan sikap radikalnya, Mahasiswa Indonesia dengan cepat memiliki reputasi sebagai koran intelektual yang banyak dibaca.” Pada 1974,Mahasiswa Indonesia diberangus rezim Orde Baru. Menjelang Pemilu 1971, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR, 1968-1971) ini, ikut mengambil bagian dalam proses transformasi Sekretariat Bersama Golongan Karya menjadi Golkar. Dia pun ditunjuk sebagai Wakil Pemimpin
Redaksi, kemudian Pemimpin Redaksi Harian Suara Karya, corong Golkar. Selain anggota DPR (1971-1974), salah satu anggota Dewan Pimpinan Pusat Golkar ini juga menjabat Sekretaris Jenderal DPP Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
Peristiwa 15 Januari 1974 merupakan titik balik bagi dirinya. Dia dituduh terlibat dalam demonstrasi menentang kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Rahman Tolleng, bersama sejumlah intelektual dan pemimpin mahasiswa masa itu, ditahan selama 16 bulan di Rumah Tahanan Militer Boedi Oetomo, Jakarta, tetapi kemudian dibebaskan tanpa melalui proses peradilan. Salah seorang eksponen Angkatan 1966 yang akrab disapa “Boss” oleh
teman-teman dekatnya sejak meringkuk di RTM Boedi Oetomo itu, mulai tersingkir dari panggung politik. Selain di-recall sebagai anggota DPR, dia juga kehilangan jabatan di DPP Golkar dan DPP HKTI.
Pada awal tahun 1990-an, bersama sejumlah intelektual serta aktivis, Rahman Tolleng mendeklarasikan lahirnya Forum Demokrasi (Fordem), yang selama bertahun-tahun menjadi wadah bagi sebagian aktivis prodemokrasi. Fordem mengajukan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai calon presiden alternatif menggantikan Soeharto. Gus Dur akhirnya berhasil menjadi Presiden menggantikan BJ Habibie. Fordem pun lambat-laun menghilang. Namun, Rahman Tolleng tak kenal menyerah. “Perjuangan politik adalah perjuangan nilai,” tandas mantan Ketua Dewan Pertimbangan Fordem ini.