Bencana besar lebih sering menghubungkan manusia dengan makhluk gaib. Ketidakberdayaan, ketakutan, dan kelemahan menjadi dasar keagamaannya. Namun, kehadiran ilmu membuat semuanya jadi soal besar. Letusan gunung api, tsunami, banjir bandang selalu bisa dijelaskan dengan ilmu. Lantas di mana rahasia yang tidak mungkin diketahui manusia?
Semua jalan pikiran ini menunjukkan bahwa pada dasarnya agama tengah berurusan dengan rahasia yang tidak bisa/boleh dibongkar. Ketika rahasia sudah dibongkar, fungsi agama mulai menurun. Pembongkaran besar menurunkan kadar agama besar-besaran.
Namun, di sana juga letak soal yakni agama berurusan dengan dua jenis rahasia, yaitu secretum dan mysterium. Meski jarak antara keduanya kelihatannya tidak jauh, dua-duanya berbeda secara kualitatif. Jawaban ujian nasional para siswa sekolah menengah yang ditutup adalah rahasia, secretum, akan tetapi sama sekali bukan misterium. Namun, proses penciptaan, dan pertanyaan tentang apakah ada sesuatu yang boleh disebut sebagai Sang Maha-Ada, sumber dari segala sumber, adalah misterium.
Rahasia selalu berada dalam pola hubungan kekuasaan, power relations. Rahasia bawahan agar tidak diketahui atasan; rahasia atasan agar tidak diketahui bawahan; rahasia negara agar tidak diketahui rakyat. Justru karena itu rahasia bisa dibuka oleh kekuasaan lain yang lebih besar. Kekuatan ilmu dengan dukungan teknologi yang luar biasa membawa para ilmuwan kepada kesimpulan bahwa proses penciptaan adalah a godless process of creation, berlangsung hampir setiap hari, ketika setiap saat ada saja sistem perbintangan baru yang lahir. Ini mengganggu agama akan tetapi tidak mengganggu iman dan keberimanan.
Misterium tidak bisa dibuka, ia membuka dirinya karena tidak terikat pada pola hubungan kekuasaan apa pun, a-political. Ketika misterium membuka dirinya hanya ada satu syarat, yaitu manusia membuka dirinya juga. Dalam dua keterbukaan terjadi perjumpaan yang hanya berlangsung antara dua kepribadian, antara kepribadian mutlak dan kepribadian fana insani, der ewige Du dan aku yang fana. Ketertutupan tidak memungkinkan perjumpaan itu. Keberimanan selalu berurusan dengan membuka diri bagi misterium. Semakin misterium membuka ia tidak menjadi semakin tohor akan tetapi semakin dalam, dan semakin mendalam ia masuk dalam perjumpaan abadi.
Misterium tidak berhubungan dengan kekuasaan akan tetapi memikat, mengikat, dan menakutkan segala jenis kekuasaan, fascinans et tremendum. Misterium tidak pernah memerlukan birokrasi. Agama, sebaliknya, tidak pernah terlepas dari birokrasi. Ia senantiasa menyembah atau melawan kekuasaan dan rentan terhadap kekerasan.
Karena itu banyak yang melawan agama, namun, meleburkan diri dalam iman yang tidak tampak, tidak dirayakan, sambil melebur dalam kesepian. Sejak zaman purba kaum ateis melawan agama, salah satunya kaum Epikurian kuno, karena kekerasan yang dirangsangnya, tantum religio potuit suadere malorum, sebegitu rupa agama merangsang kejahatan (Titus Lucretius Carus, 50 SM).
Dengan semua yang kita katakan di atas secara tidak langsung dikemukakan bahwa bagi banyak kalangan, agama dan gejala yang menyelimutinya adalah suatu cara-pandang, point of view, titik-tilik untuk melihat soal. Iman bukan titik-tilik, akan tetapi perjumpaan dua pribadi antara “aku” yang fana dan “Kau” yang abadi. Kalau seorang memiliki suatu titik-tilik tertentu dalam jangka waktu yang lama ia akan menjadi habitus, yang memungkinkannya mengambil posisi dalam persaingan titik-tilik, yaitu persaingan memberi makna sisi-sisi kehidupan. Pandangan itu dengan sendirinya mengharuskannya mengambil posisi, pris de position, kata Pierre Bourdieu.
Mbah Maridjan tidak melihat Merapi sebagai gunung semata-mata akan tetapi suatu Mahligai raja yang hidup. Ketika dia harus mengambil posisi terhadap letusan dia tidak lari sebagaimana orang lain. Dia menyongsong Merapi. Tugasnya menjaga, dan bukan meninggalkan, gunung. Menjaga dan menyongsong itulah pris de position yang diambilnya. Penyongsongannya adalah perjumpaan dengan yang abadi, misterium. Dia tidak perduli dengan ilmu karena ilmu yang disembah tidak lain dari a godless religion, agama tanpa Tuhan.•