Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Bumi Manusia

Daniel Dhakidae

Belum pernah dalam sejarah manusia mengatakan bahwa mereka mencintai bumi seperti sekarang. Untuk itu diciptakan “hari bumi”, nama yang aneh dan umurnya pun, dalam takaran global, belum panjang, baru dua puluh tahun—meskipun hari itu sudah meledak di Amerika tahun 1970. Meski aneh, tujuannya tidak aneh: menyelamatkan bumi dari keanehan lain, yaitu perilaku penghuninya yang menganggap bau busuk pembuangan industri sebagai aroma kemewahan.

Bergenerasi kita dengar orang mencintai Tanah Air, bukan cinta bumi sebagai planet, karena itu tanah selalu diidentikkan dengan orang te-dekat, yang membawanya ke bumi, yaitu ibu dan bapak. Tanah selalu menjadi ibu—ibu pertiwi Indonesia, Rossiya-Matushka Rusia, atau bapak—Vaterland Jerman dan vaderland Belanda.

Bila diperhatikan mendekatnya orang ke tanah, seperti terungkap dalam hari bumi, adalah reaksi balik dari gerak lain. Manusia tidak lagi “melanglang buana”, tetapi “melanglang semesta.” NASA mengumumkan bahwa teleskop raksasanya menemukan sekurang-kurangnya seribu lima ratus tata surya dengan tingkat kepastian tinggi.

Kalau ada seribu lima ratus tata surya, mungkinkah ada seribu lima ratus bumi? Kalau ada seribu lima ratus bumi mungkinkah ada kehidupan manusia di ribuan tempat itu? Soal lain juga muncul. Kalaupun teknologi mampu mengidentifikasikan kehidupan di sana, jarak begitu absolut jauhnya sehingga menembusi jarak itu demi berkontak ragawi menjadi kemustahilan yang tak kurang absolut. Kerepotan mencari bumi lain mungkin dipercepat oleh kekhawatiran bumi sendiri akan hancur.

Mengapa keanehan perilaku di atas? Gerak berikut ini mungkin bisa menjelaskannya. Ketika bumi diciptakan serta manusia di dalamnya, salah satu pesan pertama kepada manusia adalah “subiicite terram,” “taklukkan dan kuasailah bumi.”

Namun, yang disebut sebagai “taklukkan dan kuasailah bumi” pada dasarnya berlangsung bertahap. Penemuan teleskop untuk mengintip langit dan memelototi bumi jadi awal penaklukan bumi secara global oleh Barat dalam bentuk kolonialisme yang semakin meningkatkan penguasaan bumi dan penghuni yang ada di dalamnya. Semuanya diungkapkan dalam nama yang menyakitkan seperti “discovery”, menemukan Amerika, Australia, dan Singapura.

Namun, penguasaan dunia sesungguhnya baru berlangsung ketika industri dan industrialisasi bertenaga mesin uap dengan sumber energi batu bara, dan kelak minyak bumi dan nuklir. Sejak itu yang disebut “menaklukkan dan menguasai bumi” dilanjutkan dengan derap-langkah sebegitu rupa sehingga yang terjadi lebih dari penguasaan, dan menjadi “pemerkosaan.”

Industrialisasi memang sampai ke tingkat tertentu memerkosa alam dan manusia sekaligus. Alam diperkosa dengan polusi dan penghancuran lingkungan; manusia diperkosa dengan l’exploitat-ion de l’homme par l’homme oleh suatu sistem sosial yang bukan saja dimungkinkan, akan tetapi diharuskan, oleh proses industrialisasi itu.

Dengan begitu, ibu bumi dan bapak bumi diperkosa dalam dua arti sekaligus, oleh kaum lelaki dan perempuan. Pemerkosaan membuat bumi menjadi semakin tua dan renta. Namun, di sana juga letak paradoks karena bumi yang renta bukan bumi yang diam, tetapi bumi yang “mengamuk” dalam cara paling primitif seperti pada awal bumi diciptakan, yaitu melalui “air, api, dan udara”—air yang meluap, api yang mengamuk, dan udara yang membusuk untuk menghancurkan tanah yang runtuh tak terkendali.

Kalau bumi mengamuk bukan bumi yang hancur, akan tetapi makhluk hidup dan terutama spesies homo sapiens akan punah. Pertanyaan lain akan muncul: kalau manusia hancur, apakah masih ada yang disebut bumi? Karena, hanya manusia, bukan malaikat, yang sadar bahwa itu bumi, dan karena itu bumi ada, dan hanya satu bumi.

Pada masa Perang Dingin kehancuran dimungkinkan oleh armageddon nuklir. Pasca-Perang Dingin kiasan perang di har Megiddon, bukit Megiddon, tidak pernah dipakai lagi—kecuali Amerika yang memelesetkannya menjadi snowgeddon di Washington, yang, masya Allah, menjadi bahan tertawaan orang Moskow, karena yang disebut snowgeddon hanya sekulit luar dari pengalaman Rusia tiap tahun.

Salah satu penjelasannya, mungkin karena manusia tidak berperang melawan musuh lain kecuali perilaku dan dirinya sendiri.●