Pembahasan dalam Simposium Nasional “Humor yang Adil dan Beradab” (IHIK3, 2016),1 semacam deja vu ke masa dua dekade silam, ketika rubrik Dialog” jurnal Prisma Nomor 1 Tahun 1996 mengupas hal ihwal humor dan kartun. Tentunya “kembali ke masa silam” itu juga berarti menapaki “mesin waktu” pengetahuan dan pengalaman historis kita tentang humor dan makna sosial-politiknya yang tak mungkin sepenuhnya sama ataupun berulang dalam masyarakat yang niscaya berubah. Kendati humor sebagai suatu bentuk retorika bisa mereproduksikan diri melampaui zaman dan sering kali masih relevan diterima dalam konteks yang berbeda, bahkan yang lebih universal.
Karena itu, pertanyaan sentral yang muncul, pada saat kehidupan sosial-budaya, bahkan ekonomi politik kita bergerak sangat dinamis dalam milenium baru, abad ke-21, bukan hanya: adakah perubahan atau apa saja yang berubah dalam pendekatan dan pemikiran kita tentang humor—seperti yang sudah dirangkum dan diulas dalam overview Seno Gumira Ajidarma dalam Prisma edisi ini— melainkan lebih pada konteks sosial-politik seperti apa yang mendasari perbedaan bahkan perubahan cara kita memandang humor dan berhumor.
Dalam Dialog Prisma kali ini, di samping menyajikan kembali seluruh wawancara dalam Prisma (1996) terhadap para pakar tentang humor dan terutama terhadap para kartunis yang telah mengisahkan pengalaman profesionlnya sebagai seniman dan peran pentingnya sebagai kritikus sosial melalui karya kartun masing-masing di media massa pada masa otoritarianisme Orde Baru, juga disajikan percakapan yang melingkupi presentasi para narasumber dalam Simposium tersebut. Di dalamnya kita bisa menangkap tidak hanya konten Simposium yang kumpulan makalahnya sudah diterbitkan oleh Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3), melainkan “wacana tersembunyi” di balik pembahasan yang tak lepas dari gurauan serius para narasumber.
Seperti terungkap dalam wawancara Prisma terhadap para ahli (1996): Djamaludin Ancok, “Humor Juga Alat Kontrol Sosial” dan seniman ketoprak Bondan Nusantara, “Humor Berbeda dengan Dagelan”, sebagian besar narasumber Simposium (2016) yang mempresentasikan makalahnya berupaya menggali dan menempatkan kembali serta coba merumuskan humor dari berbagai pendekatan (filsafat, psikologi, agama dan politik) dalam konteks sosial-politik masyarakat dan perannya sebagai salah satu wacana perlawnan (resistensi) di Indonesia, dengan beberapa perbandingan serupa di Jerman oleh kolumnis cum humoris Pipit R Kartawidjaja, “Raden Baron Politik dan Humornya”, dan Daniel Dhakidae, “Humor dan Politik: Pekerja Humor sebagai Cendekiawan” yang membandingkan beberapa jenis humor di Indonesia dengan Uni Soviet.
Kredo klasik bapak humor Indonesia Arwah Setiawan (1935-1995) bahwa “humor itu serius” menjadi landasan untuk memahami dan menggali apa itu humor, bagaimana humor dipahami khalayak, dan bagaimana beroperasi, berperan, dan direproduksi oleh masyarakat, serta bagaimana humor dapat menjadi kritik bahkan senjata untuk berlawan. Tiga teori terkemuka tentang humor: keganjilan (the incongruity theory), keunggulan (the superiority theory), dan teori paparan (the relief theory) mewarnai makalah dan semua pembahasan dalam Simposium Humor 2016. Mengikuti teori keganjilan dan keunggulan, “humor adalah benturan logika yang dapat digunakan sebagai senjata perlawanan, atau setidaknya kritisisme.”
Radhar Panca Dahana, yang bertugas menyimpulkan kedua sesi Simposium tersebut mencatat beberapa simpulan berikut. Dalam dimensi politik, humor memainkan fungsi politis yang kontradiktif antara “emansipasi revolusioner” menghadapi status quo kaum konservatif (Pipit R Kartawijaya). Dalam filsafat, humor menjadi kesadaran alternatif karena ia bukan hanya menjungkirbalikkan, tetapi juga menghina kesadaran mainstream; semacam strategi berkonfrontasi dengan institusi-institusi mapan peradaban dari parlemen hingga jawatan kereta api (Rocky Gerung). Bahkan, juga dalam filsafat, humor melakukan kerja dan memproduksi dirinya melalui berbagai moda yang kontradiktif dan agresif (Toeti Heraty). Secara keagamaan, humor adalah “meriam ampuh” untuk membongkar kesakralan agama yang palsu (Mohamad Sobary). Sementara dalam psikologi, humor berlangsung berbasis pengalaman kognitif, baik yang natural maupun nurtural, di mana hasilnya adalah sebuah disonansi, tentu secara kognitif (Sarlito Wirawan Sarwono). Dalam antropologi, di masa Jawa Kuna, pelaku humor (dalam bahasa Jawa amirus dan abanyol) adalah penghibur utama yang harganya tinggi tapi tidak perlu tax amnesty, honornya tak dikenai pajak, khawatir honor itu cuma humor. Dalam kehidupan ilmu/sains, ia menjadi realitas yang katakanlah excepted-paradoxes, semacam istilah “tukang insinyur”-nya Si Doel (Daniel Dhakidae).
Dari Simposium Humor 2016 dapat disimpulkan bahwa humor itu serius, sekurangnya dalam proses produksinya, setidaknya bukan hanya Deddy “Miing” Gumelar yang menegaskannya, dan karena itu membutuhkan kecerdasan. Tanpa kecerdasan, tetapi tetap ngeyel dan ngelucu, kalau secara politis jadi anggota DPR, menurut Rocky Gerung, atau ngeyel jadi abanyol, maka jadilah ia Eddy Sud, kata Sobary. Bahkan, betapa seriusnya memainkan kesadaran kognitif, atau daya nalarnya, pekerja humor berjalan seiring atau satu tim dalam menciptakan keraguan dengan filsuf. Hanya cara menggunakan nalarnya saja yang berbeda. Boleh jadi, sebagaimana diungkap Rocky Gerung, humor sudah melampaui kerja filsafat, seperti metafilsafat, karena humor tidak lain adalah cara filsafat mendialektikan dirinya sendiri.
Banyak pelawak, Deddy “Mi’ing” Gumelar, misalnya, seperti yang awam mengalami semacam kebingungan akibat “seriusnya” humor, karena tidak mampu membedakan apa bagian, genre atau sub-genre dari dunia lucu ini. Apa beda humor dan komedi, misalnya. Kalau cara mencipta humor menggunakan metafora yang paradoksal, puncak dari ciptaan humor itu adalah satire. Di titik itu, komedi bisa dipilah-pilah sebagai semesta dari satir. Apa yang satiris itu komedis, apa yang komedi itu belum tentu satir; apakah humor itu pasti lucu? Apakah yang lucu itu humor?
Sebagaimana diulas Jaya Suprana dalam esainya (1996) yang dimuat kembali dalam Dialog ini, humor (berasal dari bahasa Latin umor) berarti cairan tubuh yang mengalir sehingga menentukan watak bawaan seseorang. Dalam modernitas, istilah tersebut bermetarmofosis ke berbagai arah, berbagai konteks budaya dan masyarakat yang khas. Sejak pertengahan abad ke-19, pengertian humor bagi orang Inggris atau kawasan dalam tradisi Anglo-Saxon memandang “humor” sebagai suatu kemampuan orang untuk melihat sesuatu hal dari sisinya yang jenaka, sense of humor; sisi yang mengandaikan kecerdasan, kesantunan, dan penghargaan pada harkat manusia.
Tentu saja, sebagaimana dikemukakan seorang peneiliti, Jesicca Milner Davis (2013), humor dapat dipilah dan dibedakan dengan berbagai cara dan sudut pandang dikotomis, misalnya, berdasarkan medium komunikasinya; berdasarkan gayanya seperti lelucon versus komik-tragik; atau berdasarkan struktur formalnya seperti: meme versus stand-up comedy (lawakan tunggal). Kategori-kategori dalam humor verbal berkisar dari lelucon, gurauan, permainan kata-kata, anekdot, hingga yang berskala bak sebuah novel. Humor visual mencakup karikatur, kartun (baik berbingkai tunggal, strip, teks, atau kartun tanpa-keterangan (uncaptioned) dan sebagainya, serta dapukan seni gambar (pictorial pastiche). Wujud humor yang sangat beragam bisa juga disatukan hanya dengan menggunakan teknik dan mengontekstualkan materi lain. Bahkan, ada lelucon yang langsung merangsang indra kita seperti pranks (keisengan), tickling (gelitikan), dan olfactory jokes (lelucon dengan indra penciuman).
Berbagai gaya atau “cita rasa” humor yang berbeda-beda tersebut secara umum dapat menggugah kehangatan, keakraban, dan keceriaan, hingga kegetiran atau kepahitan; dari omong kosong tanpa tawa hingga sindiran berbobot yang sangat tajam menggigit dalam satire. Banyak contoh humor menggabungkan beberapa fitur formal dan gaya yang berbeda. Meskipun memadukan format dan gaya yang berbeda-beda sesuai dengan tema tertentu, kategorisasi humor berdasarkan topik atau muatan (isi)-nya juga sangat beragam. Banyak tema dalam humor bersifat universal, misalnya, soal seks, kisah tukang tipu, sindiran politik, lelucon tentang kekonyolan, atau tentang mertua yang dibenci tetapi dirindu, dan sebagainya.
Wawancara Prisma (1996) menggali salah satu bentuk humor visual paling populer: kartun. Ia bukan hanya berfungsi sebagai pendamping atau sekadar teaser dari suatu topik yang hangat dan perlu disajikan atau topik utama yang diangkat sebuah media massa cetak, namun sering kali mencerminkan pendapat editorial redaksi. Semua kartunis yang diwawancarai dalam Dialog Prisma (1996)—Priyanto Soenarko, T Sutanto (Bandung), Bambang Sugeng (Gombong), Koesnan Hoesie (Semarang), Gerardus Mayela Sudarta, Pramono R Pramoedjo, Dwi Koendoro Brotoatmodjo, dan Alex Dinuth (Jakarta), serta Praba Pangripta (Yogyakarta)—merupakan kartunis yang merapat di media surat kabar harian ataupun majalah berita mingguan pada masa sebelum Reformasi 1998.
Menarik disimak, karya-karya mereka—T Sutanto menjulukinya sebagai “pamflet politik”—merupakan bagian dari kritik sosial dan politik yang dianggap mewakili suara kritis menghadapi otoritarianisme Orde Baru, tempat kritik tertulis atau protes terbuka yang menusuk langsung jantung kekuasaan bakal menjadi bumerang berupa represi, diberedel, atau ditekan untuk melakukan swasensor. Dalam lingkup kebebasan berpendapat yang dikendalikan ketat oleh Orde Baru, dengan sapuan pensil atau pena para kartunis yang khas piawai menuangkan pendapat yang bisa dianggap mewakili pendapat umum ke dalam gambar tekstual. Namun, keterampilan seni itu harus diungkap dengan hati-hati, tetapi tetap mampu menerjemahkan kerisauan publik menjadi kritik yang tepat sasaran dan mudah ditangkap awam. GM Sudarta, misalnya, membagi kiatnya: “bagaimana mengelola kritik dengan menghaluskan kartun” atau dalam ungkapan Pramono R Pramoedjo “menghaluskan sambal” agar tidak terlampau pedas.
Dalam dua hal, segera bisa kita bandingkan kartun pada masa sebelum dan sesudah milenium. Pertama, analisis Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno yang berupaya membongkar paradoks dan agresi tersembunyi dalam kartun di mingguan Tempo (2015-2106). Dia menyimpulkan: “kartun tersebut umumnya berisi kritikan terhadap beberapa sasaran, namun sifatnya lunak dan lembut dengan maksud lebih membuka wawasan ketimbang suatu penyerangan frontal.” Kesimpulan tersebut tampak sesuai dengan pandangan dominan para kartunis masa Orde Baru: kartun di media massa menghaluskan kritik sosial-politik dengan mengundang senyum dan mungkin tawa pemirsanya tanpa membuat sasaran kritiknya tersinggung. Dalam arti itu, sejauh diungkap para kartunis dan analisis terkini, tidak ada yang berubah dalam retorika kartun pada saat kritik atau protes frontal blak-blakan bakal mengundang risiko dipenjara–seperti ungkapan spanduk SDSB (Soeharto Dalang Segala Bencana) yang menjadi ikon perlawanan mahasiswa awal tahun 1990an—dan pada saat berunjuk rasa dan berpolitik menjadi lebih bebas terbuka. Meskipun rezim otoriter dan terpusat telah tumbang, kartun bergeming menjadi humor subtil yang hanya bisa dicerna dan dinikmati dalam inter-subjektivitas antara kartunis, penerbit media, dan pemirsa/ pembaca yang mengandaikan tingkat literasi yang memadai untuk membaca barang cetakan.
Kedua, milenium abad ke-21 ditentukan dengan perubahan revolusioner dalam teknologi informasi dan komunikasi, yang kerap disebut sebagai “abad digital.” Revolusi Industri 4.0 telah mengubah secara mendasar basis produksi dan distribusi informasi dan keragaman cara kita berkomunikasi, mengkritik, memprotes, menggalang dukungan, membentuk pendapat umum, berunjuk rasa, bahkan berpolitik. Media sosial seperti Facebook, Twitter, YouTube, Instagram dan platform digital lainnya menyajikan ruang komunikasi dan interaksi visual ataupun audio-visual antarsubjek nyaris tanpa batas, kecuali dibatasi durasi “tayangan” yang mau tak mau bersaing tampil dalam timeline akun kita di media sosial. Pembesaran ataupun penggelembungan ruang dunia maya, baik dengan medium visual maupun audio-visual, seperti itu memungkinkan berbagai wacana, termasuk humor apalagi kartun, diproduksi, didistribusi, dan direproduksi siapa pun, oleh lebih banyak orang, dalam ruang yang melebar, dalam skala lebih besar, dalam magnitude lebih luas untuk kepentingan apa pun: bukan cuma iklan, tetapi juga propaganda hitam bahkan hoaks dan kebohongan. Kini kreasi candaan, pelesetan, sindiran, meme lucu, bahkan satir, bisa kita temukan dengan mudah di lini masa media sosial, tentu dengan tingkat kecerdasan yang berbeda-beda, derajat kedalaman renungannya, dan kadar humor yang berlapis-lapis, berkelas-kelas dari beragam warga dunia maya (netizen). Inilah abad dengan batas antara produksi/produsen, konsumsi/konsumen, dan reproduksi/reprodusen wacana menjadi kabur.
Jika selama dua dekade terakhir dapat disimpulkan dari penjelajahan dan diskusi kita tentang “humor yang serius” dan “humor yang mestinya adil dan beradab” kita masih terus menggali makna, merumuskan apa itu humor, fungsi dan perannya dalam masyarakat, dalam politik, dalam kebudayaan dan modernitas, kita tampak belum beranjak jauh, misalnya, dengan memperbanyak riset dan kajian tentang humor yang teramat kaya di Indonesia. Namun demikian, satu hal bisa kita pastikan: humor dalam arti kuna sebagai cairan tubuh yang mengalir, sungguh kini tengah mencair di abad digital.•