Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Demokrasi: Antara Kota dan Negara

Harry Wibowo

Jika dimodelkan secara teoretis, demokrasi berwatak ganda: idealis dan realis. Yang idealis, mengacu pada tradisi kuna, pertama-tama polis Yunani, kemudian res publica Romawi. Realisme menguat setelah Revolusi Perancis 1789-1799: liberté, égalité, fraternité (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan). Sebuah revolusi yang menjadi bagian dari transformasi besar Eropa. Dimulai sejak Revolusi Industri seabad sebelumnya berpusat di Inggris, yakni peralihan dari corak produksi feodalisme ke kapitalisme; transformasi dari monarki (demi kerajaan para bangsawan) ke republik (demi kepentingan umum). Epik historis yang meletakkan dasar bagi yang kemudian dikenal sebagai kedaulatan rakyat; kontrak konstitusional antara warga dan negara dalam ranah kewargaan (citizenship).
Pelajaran terpenting dari model klasik yang diidealkan tersebut memungkinkan negara-kota seperti Athena dan Roma menyelenggarakan demokrasi langsung melalui musyawarah-mufakat (deliberasi) untuk kepentingan bersama atau kepentingan umum (publik). Deliberasi langsung dalam proses pengambilan keputusan dimungkinkan karena jumlah warga yang relatif homogen, berskala kota, dan interaksi intens warga sehari-hari

Jika demokrasi klasik berpusat pada kota, maka di zaman negara-bangsa modern yang mulai tumbuh sejak abad ke-16 di Eropa, ia telah kehilangan persyaratannya untuk menyelenggarakan demokrasi langsung. Migrasi penduduk, urbanisasi, ekspansi kapital, perdagangan komoditas, serta kolonialisme ke negeri-negeri terjauh, membuat kota-kota Eropa dan wilayah jajahannya makin terintegrasi dengan wilayah pedalamannya maupun mendunia.

Internasionalisasi tersebut justru mendorong pembentukan nasionalisme seiring dengan kemerdekaan bangsa-bangsa jajahan. Didorong oleh perkembangan kapitalisme cetak—Ben Anderson menyebut penanda kebangkitan nasionalisme sebagai “komunitas terbayangkan” (imagined community)—melampaui realitas hidup dan interaksi keseharian warga kota, menyeberangi batas-batas ikatan primordial dan identitas lama, sehingga terbayanglah sebuah nation (bangsa) bersekutu dalam sebuah negara (state) berdaulat.

Pada aras itulah kota-kota menjadi bagian integral dari kedaulatan suatu negara-bangsa, teritori maupun yurisdiksi. Demi mencakup segenap rakyat berdaulat, demi kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan warga negara, demokrasi dalam negara-bangsa hanya mungkin diselenggarakan melalui sistem perwakilan berjenjang, yang kini dikenal sebagai demokrasi perwakilan dengan sistem pemilihan umumnya dan penetapan standar hak asasi manusia yang universal. Tugas negara berubah menjadi pelayan rakyatnya: untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hakhak perorangan maupun kolektif.

Walaupun demikian, pada hampir sebagian besar konstitusi negara-bangsa pasca-Perang Dunia Kedua—kota-kota atau kawasan perkotaan yang secara administratif bisa diperluas hingga tingkat kabupaten atau provinsi—memiliki derajat otonomi relatif tertentu, tetap mempertahankan tingkat partisipasi warga yang lebih menyeluruh, meskipun skala dan cakupannya meluas. Otonomi relatif terhadap “negara pusat” (nasional) memungkinkan demokrasi tingkat kota menjadi inklusif.

Berbeda dengan negara-kota seperti Monako, Singapura, Hongkong, ataupun Vatikan, dan terlepas dari konteks sosial politik dan historis masing-masing yang khas, banyak kota di dunia—untuk menyebut beberapa contoh seperti Bogota Brasil, Barcelona Katalunia-Spanyol, ataupun negara bagian Kerala, India—mampu menjalankan musyawarah-demokratik (deliberative democracy) dengan derajat partisipasi yang tinggi dari akar rumput (bottom-up). Program ataupun perencanaan pembangunan kota yang disusun melalui musyawarah demokratik dan partisipasi dari bawah memungkinkan “saya” menjadi “kita”, “mereka” menjadi “kami”. Wujud keinklusifan demi merumuskan kebutuhan warga dan kepentingan bersama.

Dari sejarah kita juga bisa belajar, demokrasi kota yang inklusif tempat warga hadir berpartisipasi langsung ketimbang diwakilkan atau didelegasikan: Komune Paris (1871). Model itu lahir dari krisis revolusioner dalam konteks perang Prusia-Perancis dan kegagalan dua Republik sebelumnya. Kaum pekerja mengambil alih kekuasaan “Kota Paris”, mendirikan Komune, yang terdiri dari para anggota dan dewan kota yang dipilih berdasarkan hak pilih universal, dan dapat menarik wakilnya setiap saat diperlukan. Dewan Komune bukanlah parlemen, tetapi sebuah organ yang memadukan legislatif dan eksekutif sekaligus memajukan berbagai program dari, oleh, dan bagi kelas pekerja. Meskipun berjalan kurang dari tiga bulan, Komune Paris merupakan contoh klasik perpaduan demokrasi langsung dan pendelegasian kewenangan. Dalam situasi krisis iklim dan pandemi global saat ini, karena infrastruktur kesehatan publik nyaris lumpuh, bahkan pemerintah Indonesia kalang kabut tidak efektif menyusun kebijakan dan mengatasi dampak pandemi berupa ledakan kematian, pengangguran meningkat, dan segala kelangkaan sumber daya, kita justru menyaksikan bagaimana warga di tingkat komunitas ataupun kota-kota kecil bahu-membahu merawat pasien, menyediakan pangan dan tabung oksigen, ataupun sekadar bersimpati atau berempati pada mereka yang terinfeksi Covid-19.

Tampaknya krisis diperlukan agar kita tidak hanya mampu mengoreksi sistem demokrasi perwakilan, tetapi juga bisa mengubahnya. Dalam setiap krisis selalu ada perlawanan terhadap status quo, dan harapan akan perubahan lebih baik di masa depan.