Ekonomi Politik dalam Peralihan Demokrasi

BAGIKAN



Ekonomi mengatur tentang rumah tangga yang sejahtera melalui pemenuhan semua kebutuhannya. Sebagaimana dijelaskan oleh filsuf Yunani pada masa itu, rumah tangga merupakan sebuah entitas yang mirip dengan kota atau negara. Seseorang atau sekelompok orang akan bahagia jika memiliki kesejahteraan yang diukur dengan pemenuhan kebutuhannya. Walaupun istilah rumah tangga kini memiliki arti yang berbeda, dalam konteks ekonomi mikro, entitas “rumah tangga” masih mampu menjelaskan perilaku konsumen. Dalam ekonomi makro, ia digunalan sebagai satuan agregasi perekonomian pasar di samping negara (pemerintah) dan swasta (perusahaan).
Berbeda dengan ekonomi, politik berarti kesepakatan bersama yang mendeliberasikan kekuasaan demi terciptanya keadilan oleh negara. Kekuasaan direpresentasikan dan terwujud ke dalam negara (state) dalam bentuk perwakilan dan pemerintahan dengan berbagai aturan yang mengatur masyarakat. Karena itu, ekonomi-politik berarti kebijakan yang dibuat negara untuk mengatur dan mengarahkan mekanisme dan prosedur pertukaran barang dan jasa, atau pasar komoditas. Mereka yang memenangkan pertarungan kekuasaan negara bisa membuat aturan dengan “memaksa” maupun “membujuk” yang lain untuk mengikuti aturan tersebut. Menghilangkan dimensi pengaturan kekuasaan sama saja mengurangi esensi keberadaan manusia sebagai makhluk politik.
Berbagai wujud kekuasaan negara kemudian berkembang menuju sistem demokrasi yang dianggap sebagai mesin keadilan paling adil saat ini. Demokrasi dianggap mampu mewujudkan keadilan, karena sumber kekuasaan berasal dari rakyat dan setiap individu ataupun kolektif tertentu memiliki hak-hak dan kebebasan yang setara, baik di bidang sipil, politik, ekonomi maupun budaya. Melalui sistem demokrasi, hak itu bisa diklaim perwujudannya kepada negara, yakni agar negara bukan hanya mengakui hak-hak dan kebebasan asasi tersebut—biasanya pengakuan akan hak ada di dalam konstitusi negara—namun negara juga bertugas dan wajib menghormati, melindungi, memenuhi atau mewujudkan hak asasi tersebut. Karena itulah, terlepas dari berbagai keterbatasannya, sistem demokrasi dianggap lebih baik dibandingkan dengan, misalnya, sistem yang otoriter atau kerajaan tempat mayoritas penduduk bukan raja harus mengabdi dan mematuhi titah sang raja.


Negara dan Keadilan
Para ekonom kerap membahas tentang keadilan, namun tampak agak terbata-bata ketika muncul pertanyaan apa yang dimaksud dengan “keadilan”, karena ternyata tidak semudah itu untuk mendefinisikannya? Walaupun demikian, baik ekonom maupun bukan ekonom, sangat paham tatkala terjadi “ketidakadilan ekonomi.” Misalnya, pada masa ekonomi liberal atau pasar bebas, peran negara diandaikan sudah memperlihatkan tercapainya keadilan di masyarakat. Sebaliknya, jika tidak ada maka muncul ketidakadilan. Namun, jawaban tersebut tidak terlalu memuaskan karena pada saat yang sama negara juga bisa berperan dalam wujud yang tidak berpihak kepada kepentingan umum atau mayoritas rakyat. Padahal, adanya negara di dalam, misalnya, perencanaan pembangunan diharapkan membawa keadilan. Itu merupakan kontradiksi. Ekonomi politik institusional sudah menjelaskan bahwa ada setting kelembagaan di dalam posisi negara dalam pasar, sehingga perencanaan pembangunan dapat mendominasi pasar dan begitu pula sebaliknya.
 
Sejarah politik Indonesia memperlihatkan adanya peralihan rezim politik dari otoriter ke demokrasi. Peralihan tersebut ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto pada Mei 1998. Kejatuhannya menjelaskan anti-klimaks rezim yang otoriter. Di sini, tidak perlu dipaparkan apakah rezim tersebut sungguh otoriter atau tidak. Namun, di balik peristiwa politik itu, ada pesan yang ingin disampaikan, yakni jika kita merasakan ketidakadilan politik, silakan ganti pemimpinnya. Pesan tersebut makin terlihat nyata pada periode berikutnya ketika tidak puas dengan Habibie. Berbagai cara dicari agar dia dapat diturunkan. Begitu pula dengan Abdurrahman Wahid. Intensitas penggantian sedikit reda pada masa Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, namun meningkat kembali pada masa kepemimpinan Joko Widodo, terutama periode yang kedua. Berbagai cara dilakukan, mulai dari penyebaran hoaks hingga semarak kegiatan alumni sejumlah sekolah menengah dan perguruan tinggu untuk mendukung salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden. Begitu fenomenalnya pergantian pimpinan politik tersebut hingga seakan-akan menjadi tujuan dari berpolitik itu sendiri. Hal itu tentunya sah-sah saja, karena demokrasi yang sudah diadopsi. Namun demikian, tetap perlu diperhatikan esensi dari politik, yakni keadilan.
Berbeda dengan politik, ekonomi terlihat
lebih sulit untuk menyampaikan pesan atas solusi terhadap ketidakadilan. Dalam ekonomi, jika merasakan ketidakadilan, mungkin hal yang bisa dilakukan adalah menyalahkan diri sendiri mengapa tidak bekerja lebih giat, bukan menggantikan seorang pemimpin. Meskipun demikian, sejarah Indonesia memperlihatkan bisa saja problem ekonomi dijadikan alasan untuk mengganti pemegang kekuasaan, baik di zaman Orde Baru maupun Orde Lama. Akan tetapi, sangat jarang ekonomi menggunakan politik untuk mengatasi, misalnya, masalah pengangguran. Mungkin di situlah keterbatasan ekonomi dibandingkan politik, sehingga ia masih harus mengembangkan diri dan mengambil politik sebagai penentu arah gerak perekonomian.
Namun, di sisi lain, ekonomi memiliki berba-
gai ukuran mengenai keadilan dan ketidakadilan yang mungkin tidak dimiliki ilmu politik. Ilmu ekonomi dapat menjelaskan, misalnya, tingkat pertumbuhan, tingkat kemiskinan, tingkat kesejahteraan sosial, tingkat pengangguran, tingkat ketimpangan, dan sebagainya. Karena itu, apakah perubahan rezim pemerintahan dari otoriter ke demokrasi yang sudah menjadi penentu arah perekonomian Indonesia sudah memberi dampak pada perubahan ekonomi Indonesia menjadi lebih berkeadilan?
Imaterialitas dan Materialitas Keadilan di Antara Dua Rezim
Kita mungkin dapat mengatakan bahwa setiap rezim politik yang sah pasti memiliki visi, misi, dan tujuan keadilan. Di Indonesia, ada dua rezim— otoriterisme dan demokrasi—yang menuntut adanya keadilan. Sebagai sebuah nilai, keadilan menjadi tujuan pembangunan. Dengan kata lain, pemerintahan dibentuk untuk menghilangkan atau mengurangi ketidakadilan pada era suatu kepemimpinan melalui berbagai kebijakan dan program-program yang biasanya dijanjikan semasa kampanye. Pada era rezim otoriter, kepemimpinan tersebut tunggal dan bersifat jangka panjang memperlihatkan repetisi janji keadilan. Sementara itu, pada rezim demokrasi, kepemimpinan bersifat tidak tunggal dan beralur jangka pendek memperlihatkan rutinitas janji keadilan setiap lima tahun sekali atau maksimal dua periode. Janji-janji kampanye tersebut mengerucut menjadi arah pembangunan untuk mewujudkan keadilan. Pada rezim Orde Baru, kita bisa melihat arah pembangunan tersebut adalah “manusia seutuhnya”, sedangkan pada rezim demokrasi ada revolusi mental.
Untuk menerapkan arah pembangunan terse-
but, rezim otoriter memiliki kekuasaan sepenuhnya dalam membuat aturan perundangan untuk menjamin terlaksananya pembangunan berlandaskan manusia seutuhnya. Rezim demokrasi tidak memiliki kelebihan itu. Namun, ia memiliki legitimasi rakyat yang menjamin pembangunan dalam bentuk aturan perundangan. Di dalam rezim Orde Baru, negara dijalankan dengan konsep l’Etat est moi sebagai dasar interaksi di dalam eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sebaliknya, di dalam rezim demokrasi, interaksi dijamin oleh hak setiap individu atau kolektif untuk, misalnya, bebas berpendapat atau berpolitik. Itu tentu merupakan perubahan yang memperlihatkan perbedaan signifikan untuk mewujudkan nilai keadilan dalam pembangunan. Rezim otoriter dengan konsep l’Etat est moi dinilai mampu memahami keadilan dalam arti kebutuhan masyarakatnya, sedangkan rezim demokrasi menuntut masyarakat yang mampu menyuarakan keadilan tersebut. Singkat
 

EDISI

Keadilan Transisi | 38 | 2019-02-02

BAGIKAN


Beli Prisma Cetak

Dapatkan prisma edisi cetak sekarang dengan klik dibawah ini

Webstore

Berlangganan Newsletter