Berbagai konflik yang berlangsung terus-menerus, dan terkadang disertai kekerasan, mengisyaratkan bahwa bangsa ini tengah menghadapi tantangan kebangsaan yang luar biasa besar. Keputusan-keputusan strategis menyangkut kepentingan dan agenda bersama acap kali menemui jalan buntu. The founding fathers telah memberikan landasan bagi pengaturan hidup berbangsa, namun hingga saat ini — di tengah-tengah frustrasi sosial — bangsa Indonesia masih terus mencari format berbangsa yang lebih stabil. Apa yang sesungguhnya terjadi pada bangsa Indonesia saat ini? Akankah ditemukan jawaban atas persoalan itu? Lantas, bagaimana arah dan masa depan bangsa Indonesia? Untuk mendalami persoalan tersebut, Redaksi Prisma berdialog dengan Prof Dr Franz Magnis-Suseno, SJ, guru besar filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Berikut petikan hasil dialog tim Redaksi Prisma, Rahadi T Wiratama dan MA Satyasuryawan, dengan Romo Magnis.
Prisma: Di era reformasi ini kita belum punya suatu forum yang secara khusus membicarakan tentang manusia Indonesia dengan segala kemelut dan problematiknya. Menurut Romo, bagaimana kita memahami sosok manusia Indonesia dari zaman ke zaman?
Franz Magnis-Suseno: Manusia Indonesia tidak bisa dilihat secara statis. Dia harus dilihat sebagai sebuah entitas dinamis yang tengah berhadapan dengan sekian banyak tantangan. Dalam menyikapi berbagai tantangan itulah jati diri manusia Indonesia terus-menerus dibentuk. Pertanyaannya, di mana posisi nilai-nilai, citacita, dan harapan-harapan yang menentukan manusia Indonesia dalam menghadapai berbagai tantangan itu? Dalam konteks demikian yang harus diciptakan adalah sejumlah kondisi yang memungkinkan manusia Indonesia tidak hanya dapat berjuang untuk survive, sebagai salah satu upaya menyesuaikan diri dengan alam persaingan yang amat keras, tetapi juga kondisi yang memungkinkan terwujudnya keterbukaan, keamanan ekonomis, dan bebas dari rasa takut. Dengan kondisi semacam ini manusia Indonesia berpeluang menjawab seluruh masalah yang dihadapi berdasarkan kerangka kekayaan nilainilai sosial budaya yang ada pada dirinya.
“Orang kecil” yang jumlahnya sekitar 40 persen dari total bangsa Indonesia dan berpendapatan kurang dari 2 dolar AS per hari umumnya selalu terlibat dalam survival of the fittest yang sangat keras. Keutamaan-keutamaan nilai, seperti toleransi, tahu diri, dan memperhatikan sesama, adalah hal-hal yang terlalu mahal bagi mereka. Memang, akibat dari modernisasi dan pembangunan bisa membuat orang menjadi “keras”, picik, preman, atau terjerumus dalam ideologi fanatik. Sebaliknya, jika orang dapat hidup dengan wajar, merasa cukup aman, tidak takut menunjukkan eksistensi diri dan dapat menghidupi keluarga, dengan sendirinya dia mampu meneropong masa depan secara lebih jernih. Hal semacam itu akan memunculkan reaksi yang lebih manusiawi, matang, dan positif, dalam melihat sekaligus mampu memberi jawaban terhadap tantangan modernitas dewasa ini.
P: Menurut Romo, berbagai perubahan sosial-ekonomi berdampak pada perilaku dan sifat masyarakat Indonesia. Bentuk perilaku seperti apa yang perlu dicermati?
FMS: Salah satu perilaku warga masyarakat marjinal yang sering merasa tak berdaya adalah “gemar rebutan”. Mereka tidak berpikir tentang cita-cita, karena tatanan yang ada juga tidak memberi ruang untuk mewujudkan nilai-nilai budaya Indonesia sendiri, seperti gotong royong, misalnya. Dalam situasi seperti itu sikap luhur bangsa menghilang dan tidak bisa berkembang. Tidak ada mutual trust di negeri ini. Orang tidak akan memahami budaya antre kalau tidak ditata dengan baik, misalnya.
Dalam beberapa hal mungkin kita bisa mencontoh Singapura dengan Lee Kuan Yewnya. Di bawah Inggris, pulau itu tidak punya nama seperti sekarang. Negara-kota yang semula merupakan permukiman China itu sekarang tumbuh dan berkembang menjadi kota yang tertib, dan tampaknya banyak orang yang senang dengan keadaan ini. Kita tahu bahwa Indonesia umumnya dan Jakarta khususnya jauh lebih susah ditata daripada Singapura. Namun, tidak adil bila Indonesia atau Jakarta dibandingkan dengan Singapura yang hanya berpenduduk tiga juta orang dan tanpa ada pertambahan penduduk baru. Di sisi lain, kondisi kita sekarang ini juga mulai membaik ketimbang masa-masa sebelumnya.
Fenomena korupsi juga memiliki kontribusi tersendiri pada frustrasi sosial di Indonesia. Korupsi bisa menggerogoti semuanya, termasuk rasa bangga masyarakat atas negeri ini. Jika instansi negara apalagi Dewan Perwakilan Rakyat tidak lebih terlihat sebagai tempat orang melayani kepentingan diri sendiri, maka akan matilah semangat demokrasi, karena semakin banyak orang yang kemudian tidak yakin dengan demokrasi. Kepercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga negara dapat kian meredup, yang kemudian berganti mentalitas membonceng atau mencari patron. Itu semua dapat menggerus rasa kebangsaan. Tamatlah riwayat dan semangat tanpa pamrih.
P: Di tengah situasi itu law enforcement kelihatan tak berdaya. Apa pendapat Romo?
FMS: Di sisi lain, memang terlihat bahwa masyarakat kita juga makin tidak disiplin. Tapi hal ini bersumber dari lemahnya law enforcement. Hukum tidak dapat memberi kepastian, misalnya, dalam perilaku berlalu-lintas atau budaya antre. Orang Indonesia selalu dituding belum bisa menerapkan budaya antre. Persepsi itu mungkin tidak seluruhnya benar. Di stasiun kereta api, misalnya, orang bisa antre dan tertib, tidak perlu ada pengaturan untuk beli karcis.
Hal yang sama berlaku terhadap kekerasan atas nama agama. Negara harus bersikap tegas dalam kasus Ahmadiyah, misalnya. Mungkin Ahmadiyah sesat dari sudut pandang Islam, tetapi negara seharusnya tidak boleh membiarkan kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah, karena mereka adalah warga negara Indonesia yang hak-haknya dilindungi konstitusi. Sudah tiga atau empat masa bulan Ramadhan tidak terjadi sweeping terhadap pusat-pusat hiburan malam di Jakarta. Itu terjadi karena beberapa tahun silam polisi menyatakan bahwa mulai saat ini tidak akan diizinkan segala bentuk main hakim sendiri. Itu satu contoh positif bahwa kesungguhan law enforcement tidak saja menghasilkan ketenangan di masyarakat, tetapi juga kepastian bahwa masyarakat luas memperoleh perlindungan dari negara.
P: Lantas bagaimana dengan soal identitas kultural manusia Indonesia di tengah perubahan sosial-ekonomi dan problematik semacam itu?
FMS: Kembali ke tradisi tidak selalu merupakan jawaban atas problem dan tantangan modernitas. Di sisi lain, tradisi juga tidak mudah hilang; orang Indonesia punya keterikatan mendalam dengan budayanya. Jadi, keindonesian tidak perlu dikhawatirkan akan tergerus. Nasionalisme dengan basis kultural semacam itu juga tidak perlu dikhawatirkan. Contohnya adalah cara hidup masyarakat Jepang sekarang yang sepintas tampak kebarat-baratan. Akan tetapi, orang Jepang tetap orang Jepang. Berbeda dengan Jepang, ikatan sosial bernama keindonesian sering kali tidak memiliki ruang artikulasi cukup memadai dalam deru modernitas. Ilustrasi paling mencolok adalah perilaku berlalu-lintas di Jakarta di mana everybody fight for himself tanpa memedulikan orang lain. Akibatnya, segala nilai budaya itu hampir tidak terasa, karena orang dikungkung logika modernitas: asal bisa lebih cepat. Situasi seperti ini tidak menguntungkan untuk pengembangan manusia Indonesia.
P: Dikaitkan dengan proses kesadaran berbangsa, jika sampai hari ini masih ditemui berbagai gejala menguatnya politik identitas, menurut Romo, apa yang melatarbelakanginya? Apakah menguatnya politik identitas dapat dimaknai proses menjadi nation masih terus berlangsung hingga saat ini?
FMS: Benar. Proses berbangsa memang tidak akan pernah selesai, karena konstruksi kebangsaan itu sendiri tidak bersifat alamiah, melainkan dibentuk oleh gerak dinamika sejarah. Di sisi lain, generasi sekarang tidak memiliki pengalaman yang sama dengan generasi perintis. Dengan demikian, ada dua pengalaman yang jauh berbeda. Generasi perintis memiliki pengalaman ketertindasan dan ketidakbebasan di bawah kolonialisme asing. Faktor inilah yang kemudian melahirkan cita-cita suatu Indonesia yang bebas, adil dan modern. Dalam revolusi kemerdekaan, cita-cita itu diperjuangkan dengan mengangkat senjata dan berdarah-darah. Pengalaman seperti itu jelas sangat berbeda dengan tantangan dan problematik generasi sekarang.
Pertanyaannya, jenis perjuangan macam apa yang dapat mendukung nasionalisme generasi sekarang dikaitkan dengan cita-cita berbangsa yang telah dirumuskan oleh generasi perintis? Persoalan ini tentu saja tidak bisa diatasi dengan mengeluh. Masyarakat Indonesia dewasa ini jauh lebih kompleks dan lebih terstratifikasi. Akibatnya, setiap individu atau kelompok – apa pun dasar pengelompokkannya – memiliki tujuan dan kepentingan spesifik yang boleh jadi kurang nyambung satu sama lain. Kondisi ini memerlukan semacam “proyeksi besar” yang dapat melampaui partikularitas dalam merumuskan cita-cita kemajuan bangsa secara bersama.
Tantangan keindonesian juga muncul dari fenomena menguatnya politik identitas yang cenderung sempit, baik karena alasan kedaerahan, etnik maupun keagamaan. Situasi demikian jelas tidak sehat. Idealnya, meskipun manusia sebagai individu dapat terus-menerus mewujudkan diri ke dalam sebuah identitas sosial tertentu, secara etis manusia dituntut untuk tetap membuka ruang komunikasi dan saling pengertian (toleransi) dengan manusia lain yang tergabung dalam identitas sosial yang berbeda. Individu dapat menjadi anggota dari berbagai identitas sosial secara simultan; ia secara bersamaan adalah anggota suatu keluarga, penduduk suatu kampung, bagian dari etnis tertentu, umat dari suatu agama, dan sebagai warga negara. Akhirnya, ia juga merupakan anggota dari umat manusia. Soal itu sesungguhnya telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, terutama dijunjung tingginya nilai-nilai kemanusiaan universal. Memang, setiap individu hidup dalam kompleksitas identitas. Orang dapat mengambil posisi aktif-konstruktif dalam semua dimensi identitas. Namun, jika muncul gejala eksklusif yang hanya menonjolkan atau mementingkan satu dimensi identitas secara ekstrem, hal ini akan mengancam kebangsaan dan kemanusiaan.
P: Jika bangsa ini memang tengah terpuruk dalam frustrasi sosial dan ketiadaan mutual trust, dapatkah kita mengatakan bahwa Pancasila merupakan ideologi bangsa atau semacam kesepakatan nilai bersama? Sejauhmana signifikansi Pancasila bagi masyarakat Indonesia?
FMS: Pancasila bagi kita lebih dari sebuah ideologi. Ideologi itu sesuatu yang tertutup. Namun, untuk keperluan tertentu yang lebih positif, dapat saja dikatakan bahwa Pancasila merupakan ideologi yang terbuka. Pancasila sebenarnya merupakan sebuah sistem nilai yang senantiasa harus menjadi acuan akhir kebijakan politik. Jadi, penerapan Pancasila, terutama dimensi politiknya, harus mencerminkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Rumusan ini sangat bagus dan mudah dipahami. Demikian pula dengan nilai Ketuhanan Maha Esa yang seharusnya mendorong kita untuk lebih memajukan kehidupan beragama dalam kerangka kebersamaan dan tidak eksklusif. Jadi, nilai-nilai Pancasila sesungguhnya bernilai positif dan sama sekali tidak kedaluwarsa. Substansi yang dikandung Pancasila juga sejalan dengan nilainilai kemanusiaan universal.
Hal yang belum tercakup secara eksplisit di dalam Pancasila adalah soal kesadaran lingkungan hidup. Mungkin diperlukan waktu cukup lama untuk sampai pada tingkat kesadaran publik tentang pentingnya lingkungan hidup. Bagaimanapun juga, era manusia di abad ke-21 ini harus didasarkan pada kesadaran bahwa ia bersikap positif terhadap lingkungan hidup beserta segenap aspeknya. Mungkin isu-isu lingkungan hidup, seperti soal penggunaan energi, misalnya, masih agak jauh dari kesadaran masyarakat kita. Namun soal ini pun masih dapat kita tempatkan dalam konteks Pancasila, terutama sila kemanusiaan yang adil yang beradab serta keadilan sosial. Ini berarti bahwa manusia Indonesia perlu menjaga sikap beradab dalam memandang dan mengelola sumber daya alam demi sebuah keadilan sosial. Dengan demikian, kita tidak mewariskan kerusakan alam dan ketidakadilan sosial untuk generasi Indonesia di masa depan.
P: Pancasila muncul sebagai wacana politik dominan di era Orde Baru. Antara nilai yang dikandung dan penggunaan sebagai instrumen kekuasaan sering kali menjadi persoalan. Bagaimanakah duduk perkara yang sesungguhnya?
FMS: Pendekatan Orde Baru terhadap Pancasila mempunyai dua cacat yang sangat besar. Pertama, bila kita membaca “buku” Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan semua butir yang terkandung di dalamnya, tidak ada yang bisa menyangkal rumusan itu cukup baik. Namun, yang menjadi soal adalah semua rumusan itu “tanpa gigi”. Rumusan-rumusan tersebut tidak bisa digunakan untuk mengkritik dan mengontrol pemerintah. Kedua, lebih gawat lagi adalah wacana Pancasila di era Orde Baru yang selalu digunakan untuk menghantam kekuatan-kekuatan kritis. Pancasila menjadi kata sandi yang sering tanpa disadari digunakan untuk melegitimasi kebijakan Orde Baru yang sebenarnya sama sekali tidak identik dengan nilai-nilai Pancasila.
Jika kita simak pidato para pejabat pemerintah Orde Baru dari pusat hingga daerah, selalu terlihat empat sasaran yang ingin “dipukul”. Pertama, Pancasila digunakan untuk menghantam Partai Komunis Indonesia (PKI) dan berkembang untuk menghantam seluruh gagasan sosialisme. Mungkin sebagian kalangan PKI memang tidak pada tempatnya hidup di negara Pancasila. Akan tetapi, sosialisme dan bahkan Marxisme sebagai perangkat analisis sama sekali tidak bertentangan dengan Pancasila. Indonesia sekarang ini tidak mempunyai kekuatan politik kiri. Kedua, Pancasila dipakai untuk menghantam Islam politik, meskipun Pancasila sesungguhnya tidak melarang orang untuk berpolitik berdasarkan Islam. Bahwa Suharto berbaik hati kepada Islam politik itu adalah persoalan lain. Fakta ini sekaligus juga menjadi bukti bahwa Pancasila benar-benar dijadikan instrumen kekuasaan politik. Jadi, Pancasila ala Orde Baru merupakan wacana politik untuk melawan ekstrem kiri dan ekstrem kanan. Ketiga, Pancasila digunakan untuk menghantam demokrasi dan hak asasi manusia yang dianggap produk liberalisme. Individualisme yang merupakan inti dari liberalisme dinilai bertentangan dengan prinsip kekeluargaan yang ditafsirkan Orde Baru sebagai nilai sentral dalam Pancasila. Ada anggapan bahwa karena kita memiliki Pancasila, hak asasi manusia yang individualistik itu tidak diperlukan. Padahal, akalbudi manusia justru merupakan implikasi tak terpisahkan dari sila Kemanusian yang Adil dan Beradab serta sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keempat, atas nama Pancasila, kelas-kelas bawah dalam masyarakat tidak diizinkan memperjuangkan kepentingan masing- masing. Contohnya, konsep Hubungan Industrial Pancasila yang seolah-olah memperlihatkan nilai kekeluargaan yang terjalin antara pemerintah, pengusaha ,dan pekerja, namun dalam praktiknya menindas buruh.
Penindasan hak-hak politik sekelompok masyarakat di era Orde Baru semata-mata karena Orde Baru merasa terancam. Tindakan itu seakan-akan dilegitimasi atas nama Pancasila. Dampaknya justru membuat nama Pancasila menjadi buruk. Orang kemudian menjadi ragu dan salah paham. Padahal, yang buruk sesungguhnya bukan nilai-nilai Pancasila, melainkan penyalahgunaannya. Di sisi lain, seharusnya juga terbuka kesempatan luas untuk menafsirkan Pancasila maupun UUD 1945. Apa yang dapat kita maknai antara keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan Pasal 33 UUD 1945, misalnya. Keadilan sosial dan Pasal 33 tidak identik dengan sosialisme dalam arti sempit. Apakah itu berarti ekonomi pasar atau ekonomi yang diatur oleh negara? Penentuan sistem ekonomi yang akan dipilih merupakan keputusan politik yang harus dilakukan berdasarkan kaidah demokrasi. Harus pula dipertimbangkan bahwa free market yang ekstrem tidak mungkin menjamin keadilan sosial, sementara sosialisme dalam arti sempit juga sudah gagal. Pilihan yang tersedia, sekali lagi, merupakan ranah perjuangan politik. Dalam konteks ini, perbedaan tafsir memang dimungkinkan.
P: Mengapa perbedaan tafsir dan silang pendapat seperti itu tak kunjung usai? Apakah Pancasila atau UUD 1945 merupakan konsep yang kurang padu, sehingga kerap memunculkan polemik, seperti bagaimana bentuk negara Indonesia? Mengapa persoalan ini terus mengemuka?
FMS: Salah satu penyebabnya adalah masalah-asalah yang ada tidak pernah didiskusikan secara terbuka. Contohnya, orang skeptis terhadap gagasan negara federal, karena —berdasarkan fakta-fakta sejarah — kolonialis Belanda menggunakannya untuk memperlemah dan mendongkel Republik Proklamasi. Padahal, ide dasar federalisme sebenarnya mengandaikan – setidaknya dalam bahasa Jerman, yakni “staatenbund” — adanya semacam serikat dari negara-negara bagian. Konsep ini mengakui identitas khusus yang dimiliki negara-negara bagian. Itu tidak sama dengan konsep provinsi di Indonesia. yang sering kali tidak atau bukan merupakan sebuah identitas yang terbentuk secara historis, sebagaimana wilayah Bavaria atau Saxonia di Jerman. Di Jerman, kedua wilayah itu memiliki latar belakang sejarah sangat kuno, dan karenanya memiliki kekhasan tertentu. Akan tetapi, Provinsi Jawa Barat sebagai sebuah wilayah, misalnya, tidak didasarkan pada tradisi tertentu yang cukup kuat.
Masalah-masalah itu sangat penting bagi Indonesia, namun tidak pernah diperbincangkan secara serius. Desentralisasi, karena selalu dihubungkan dengan Republik Indonesia Serikat (RIS) di masa lalu, selalu gagal diterapkan. Sentralisme sendiri juga terus-menerus menghadirkan sejumlah masalah. Sentralisme pada tahun 1950-an justru yang memunculkan berbagai pemberontakan. Pada era Orde Baru, sentralisme tampil dengan bentuk berbeda. Sentralisme menjadi lebih stabil, karena sistem ini mengikutsertakan penguasa-penguasa lokal dalam merampas hak-hak masyarakat, bukan mengembangkan potensi masyarakat. Semua lapisan yang berkuasa memiliki kepentingan yang sama.
Pada era demokrasi parlementer, sentralisasi pemerintahan memunculkan pemberontakan seperti PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera dan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi. Pemberontakan itu sesungguhnya tidak bertujuan untuk membuat negara tandingan (membuat Negara Sumatera atau Negara Sulawesi Utara) yang lepas dari pemerintah pusat, tapi lebih merupakan perlawanan politik terhadap Jakarta. Suharto agaknya menarik pelajaran dari itu, sehingga di era Orde Baru semua pimpinan militer dan sipil diberi kesempatan untuk mencari keuntungan, dan sebagai imbalannya mereka harus menaati pemerintah pusat.
P: Di era reformasi, soal hubungan pusat daerah menyangkut keadilan dan aspirasi masyarakat lokal telah diupayakan melalui kebijakan otonomi daerah dengan memberi bobot kewenangan lebih luas kepada kabupaten dan kota. Apakah kebijakan ini cukup berhasil “membereskan” warisan buruk yang ditinggalkan oleh ekses-ekses sentralisasi kekuasaan di masa lalu?
FMS: Sekarang ini kita telah menyelenggarakan otonomi daerah. Namun, menurut saya, otonomi daerah kurang berhasil, meski arah umumnya sudah benar. Lagi-lagi, soal itu tidak pernah didiskusikan secara serius. Di bawah Soekarno dan Suharto, diskusi dengan tema desentralisasi atau hubungan pusat-daerah tidak pernah bisa dilakukan, karena khawatir perbincangan itu akan mengarah pada bentuk federasi atau perpecahan (disintegrasi). Kekhawatiran, atau bahkan ketakutan, seperti itu seharusnya tidak perlu ada. Di Jerman, misalnya, secara jelas dibedakan antara bundesstaat yang merupakan federasi antarnegara bagian dan masingmasing negara bagian yang mempunyai otonomi tertentu.
Sekarang kita tiba pada suatu pemikiran bahwa tidak mungkin potensi negeri yang begitu luas dan kaya segala-galanya ini dikembangkan dari pusat. Di sisi lain, ekspektasi masyarakat lokal untuk berkembang juga tidak pernah padam. Karena faktor-faktor itulah, terutama sejak awal reformasi, kita menggulirkan dan menyelenggarakan desentralisasi. Persoalannya, dalam situasi sekarang ini kita memerlukan pemimpin daerah yang mempunyai misi. Otonomi memberi banyak kemungkinan untuk mengembangkan daerah, karena tidak ada lagi hambatan dari pusat. Memang sudah banyak kemajuan, namun tidak sedikit pula tantangan dan problematiknya; masih sangat banyak yang perlu ditata ulang dalam jangka panjang. Misalnya, posisi gubernur yang lebih lemah dibanding bupati atau wali kota. Provinsi juga harus diperkuat, karena merupakan kesatuan ekonomi. Memang, masih ada beberapa hal yang kurang dari kebijakan otonomi daerah yang perlu segera dituntaskan.
Sejak Suharto jatuh, Amien Rais menyodorkan dan mendukung gagasan negara federal. Gagasan itu telah mendorong diskusi publik yang luas. Mungkin sebaiknya kita menghindari istilah federal, karena memang bisa disalahartikan. Namun demikian, apa yang digagas Amien Rais itu penting untuk direnungkan.
P: Dalam beberapa kasus, kebijakan desentralisasi terkesan tidak konsisten dan justru menimbulkan persoalan baru, seperti munculnya ego daerah dan kecenderungan mengabaikan pendatang. Pendapat Romo soal ini?
FMS: Harus diakui bahwa ada masalah dalam desentralisasi. Akan tetapi, jika desentralisasi ditata dengan baik, orang-orang daerah justru akan merasakan manfaat menjadi bagian dari Indonesia, karena daerah mereka tidak dieksploitasi. Tidak akan ada dorongan untuk membawa daerah itu keluar dari bangsa Indonesia. Jadi, desentralisasi bernilai positif, baik dilihat dari segi keadilan maupun efisiensi pengembangan ekonomi, sehingga akhirnya akan mendukung “persamaan”.
Hal yang masih mengganjal dan menjadi persoalan peka dan tidak selalu mudah ditangani adalah masalah antara “pribumi” dan “pendatang”. Memasuki era reformasi ada kecenderungan kuat untuk memilih pribumi sebagai gubernur, bupati atau wali kota. Padahal, prinsip desentralisasi adalah orang yang terbaik, bukan orang yang tinggal di situ. Jika ada orang dari suku lain, tetapi terbaik, maka ia bisa menjadi kepala daerah. Sayangnya, prinsip itu tidak mudah diterima. Menurut saya, soal itu bisa dibantu atau diangkat oleh partai-partai politik, tentu dengan syarat partai politik harus lebih bermutu dan mampu mendapatkan sosok yang dapat diterima masyarakat setempat — sekalipun dia berstatus orang luar (pendatang). Itu memang soal peka dan harus diwaspadai, apalagi jika dicampur-baurkan dengan perbedaan agama antara “pribumi” dan “pendatang”. Soal itu bisa menjadi sangat sensitif dan kerap menimbulkan konflik disertai kekerasan fisik.•