Kalangan terpelajar, kaum cendekiawan dan akademisi selalu mengenal Thomas Hobbes, 1588-1679, kira-kira 100 tahun sebelum Revolusi Perancis, filsuf Inggris, penulis Leviathan, sebagai filsuf modern yang terkenal dengan teori tentang manusia dalam tahap alam dengan kehidupan ganas, karena mengandalkan kekuatan dan menjadikan setiap orang serigala bagi yang lain. Hobbes memberi dasar tentang mengapa harus ada negara kuat untuk menertibkan kegarangan hidup/masyarakat alami itu.
Namun, ada sesuatu yang sedikit di luar dugaan, Hobbes juga seorang filsuf yang dipandang sebagai salah satu pendasar utama teori humor, dan terutama teori tentang a sense of superiority dalam tindak humor yang terungkap dalam tawa. Dengan berpijak pada Hobbes maka bisa dikatakan bahwa humor anak kandung politik, dan politik anak kandung humor.
Dia tidak membahas humor itu sendiri, akan tetapi memberikan semacam fenomenologi humor dari sisi fisikal semata-mata seperti laughter, tawa. Singkatnya, hubungan tawa dan kekuasaan, betapa tawa begitu erat hubungannya dengan power, kekuasaan. Itu semua berlangsung menurut asumsi dasar tentang kekuasaan: kekayaan adalah kekuasaan; berasal dari keluarga berpengaruh adalah kekuasaan; menjadi terpelajar adalah kekuasaan; menaati sesuatu perintah artinya mengakui kekuasaan orang lain. Dalam hubungan ini, tawa, tertawa, ketawa, menertawakan adalah penanda kekuasaan.
Tawa tidak lain “mengeluarkan suara meledak-ledak karena rasa suka, geli, atau menghina (KBBI).” Kamus Oxford mengatakan tidak jauh berbeda, hanya dengan nuansa halus, sebagai “an ugly, twisted expression on a person’s face expressing wry amusement”—manusia menunjukkan muka jelek, mencong dalam dirinya dan mengungkapkan kegirangan dingin-masam. Dengan kata lain, ketika tertawa, manusia tidak berbeda dari binatang—seperti singa, harimau, anjing, kucing, dan lain-lain ketika menguap—yang mengekspresikan kegirangan sambil mengeluarkan suara seperti gelegar petir.
Hidup ini adalah gerak—jantung bergerak, paru-paru bergerak, anggota badan lain bergerak, seperti seluruh kosmos pun bergerak; dan gerak menjadi motivasi hidup. Ada dua jenis gerak, yaitu vital motion yang merupakan dorongan untuk hidup seperti makan dan minum untuk mempertahankan hayat. Hobbes menempatkan tawa dalam kategori animal motion, ada jiwa yang mengendalikannya, dengan suatu tujuan. Dengan begitu, tawa dimotivasikan oleh jiwa dan memiliki tujuan, yakni kekuasaan.
Sebagai suatu jenis kegiatan manusia yang sadar akan kekuasaan, maka tawa, tertawa, ketawa, menertawakan, menurut Hobbes, adalah ungkapan sudden glory, kegirangan besar dadakan dan menunjukkan rasa superior, dilihat dari satu sisi. Bila dilihat dari sisi lain, mengandung sikap merendahkan. Dalam hubungan itu bahasa Indonesia pun memiliki kosakata yang sangat Hobbesian seperti “menertawakan” yang sangat dekat dengan konsep merendahkan dan menyisihkan orang/kelompok lain dan menunjukkan rasa superior.
Selain mengungkapkan kegirangan dadakan, tertawa, demikian Hobbes, juga menunjukkan ke-tidak-suka-an akan cacat dalam diri orang lain dan dengan membandingkan dengan diri sendiri sambil menepuk dada. Di sini, Hobbes menjadi manusia moral dengan mengatakan bahwa menertawakan kekurangan orang lain adalah pertanda kekerdilan jiwa, a sign of pusillanimity. Karena, kerja sesungguhnya mereka yang berjiwa besar adalah menolong dan membebaskan orang lain dari cerca. Mereka (seharusnya) hanya membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki kemampuan lebih atau sangat tinggi.
Ketika mengatakan “tampang Boyolali ... bukan tampang orang kaya” yang ditolak hotel-hotel besar Jakarta tentu saja meledakkan tawa hadirin. Maka tawa di sini merendahkan kelompok lain untuk meningkatkan/mempererat hubungan antar-kelompok sendiri. Dengan ini dilakukan social ostracism, proses penyingkiran kelompok lain (Richard D Alexander, 1986), dan menandakan kekerdilan jiwa.
Dalam hubungan itu “tahun politik” akan sarat dengan tawa yang akan menemukan “sekutunya”, yaitu apa yang disebut hoax (hoaks), berita bohong yang dirancang seteliti seorang profesional merancang kerjanya. Bila hoaks mampu menghasilkan tawa, maka yang diproduksikannya belum tentu berasal dari humor, karena tawa dan humor tidak identik dan tidak selalu sejalan. Hoaks bisa saja menghasilkan tawa, namun tawa di sini tidak beradab, angkuh, dan ingin melenyapkan yang lain, orstracizing, karena bukan berasal dari humor yang adil dan beradab.
Di sini letak perbedaan antara keduanya. Hoaks tidak lain dari tindakan “melempar batu sambil menyembunyikan tangan”, penanda kekerdilan jiwa, sedangkan humor mengejar keadilan dan keadaban dan dengan itu meningkatkan humanitas, kemanusiaan•