Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Humor, Hoax, dan Politik

Daniel Dhakidae

Kalangan terpelajar, kaum cendekiawan dan akademisi selalu mengenal Thomas Hobbes, 1588-1679, kira-kira 100 tahun sebelum Revolusi Peran­cis, filsuf Inggris, penulis Leviathan, sebagai filsuf modern yang terkenal dengan teori tentang manusia dalam ta­hap alam dengan kehidupan ganas, karena me­ngan­­dalkan kekuatan dan menjadikan setiap orang serigala bagi yang lain. Hobbes memberi dasar ten­tang mengapa harus ada negara kuat untuk me­ner­­tibkan kegarangan hidup/masyarakat alami itu. 


Namun, ada sesuatu yang sedikit di luar duga­an, Hobbes juga seorang filsuf yang dipandang sebagai salah satu pendasar utama teori humor, dan terutama teori tentang a sense of superiority dalam tin­dak humor yang terungkap dalam tawa. Dengan berpijak pada Hobbes maka bisa dikatakan bahwa humor anak kandung politik, dan politik anak kan­dung humor. 


Dia tidak membahas humor itu sendiri, akan tetapi memberikan semacam fenomenologi humor dari sisi fisikal semata-mata seperti laughter, tawa. Singkatnya, hubungan tawa dan kekuasaan, beta­pa tawa begitu erat hubungannya dengan power, ke­kuasaan. Itu semua berlangsung menurut asum­si dasar tentang kekuasaan: kekayaan adalah kekuasa­an; berasal dari keluarga berpengaruh ada­lah ke­kuasaan; menjadi terpelajar adalah kekua­saan; me­naati sesuatu perintah artinya mengakui kekua­sa­an orang lain. Dalam hubungan ini, tawa, terta­wa, ketawa, menertawakan adalah penanda kekuasaan.


Tawa tidak lain “mengeluarkan suara mele­dak-ledak karena rasa suka, geli, atau menghina (KBBI).” Kamus Oxford mengatakan tidak jauh berbeda, hanya dengan nuansa halus, sebagai “an ugly, twisted expression on a person’s face expressing wry amusement”—manusia menunjukkan muka jelek, mencong dalam dirinya dan mengung­kap­kan kegirangan dingin-masam. Dengan kata lain, ketika tertawa, manusia tidak berbeda dari bi­na­tang—seperti singa, harimau, anjing, kucing, dan lain-lain ketika menguap—yang mengekspresi­kan kegirangan sambil mengeluarkan suara seperti gelegar petir.


Hidup ini adalah gerak—jantung bergerak, paru-paru bergerak, anggota badan lain bergerak, seperti seluruh kosmos pun bergerak; dan gerak menjadi motivasi hidup. Ada dua jenis gerak, yaitu vital motion yang merupakan dorongan untuk hidup seperti makan dan minum untuk memper­tahan­kan hayat. Hobbes menempatkan tawa dalam kategori animal motion, ada jiwa yang mengen­dalikannya, dengan suatu tujuan. Dengan begitu, tawa dimotivasikan oleh jiwa dan memiliki tujuan, yakni kekuasaan.


Sebagai suatu jenis kegiatan manusia yang sa­dar akan kekuasaan, maka tawa, tertawa, ketawa, menertawakan, menurut Hobbes, adalah ungkapan sudden glory, kegirangan besar dadakan dan me­nunjukkan rasa superior, dilihat dari satu sisi. Bila dilihat dari sisi lain, mengandung sikap meren­dahkan. Dalam hubungan itu bahasa Indo­nesia pun memiliki kosakata yang sangat Hobbesian seperti “menertawakan” yang sangat dekat dengan kon­sep merendahkan dan menyisihkan orang/kelom­pok lain dan menunjukkan rasa superior.
Selain mengungkapkan kegirangan dadakan, tertawa, demikian Hobbes, juga menunjukkan ke-tidak-suka-an akan cacat dalam diri orang lain dan dengan membandingkan dengan diri sendiri sam­bil menepuk dada. Di sini, Hobbes menjadi manu­sia moral dengan mengatakan bahwa mener­tawakan kekurangan orang lain adalah pertanda kekerdilan jiwa, a sign of pusillanimity. Karena, kerja sesungguhnya mereka yang berjiwa besar adalah menolong dan membebaskan orang lain dari cerca. Mereka (seharusnya) hanya memban­ding­kan dirinya dengan orang lain yang memiliki kemam­puan lebih atau sangat tinggi. 


Ketika mengatakan “tampang Boyolali ... bukan tampang orang kaya” yang ditolak hotel-hotel besar Jakarta tentu saja meledakkan tawa hadirin. Maka tawa di sini merendahkan kelompok lain untuk me­ningkatkan/mempererat hubungan antar-kelompok sendiri. Dengan ini dilakukan social ostracism, proses penyingkiran kelompok lain (Richard D Alexander, 1986), dan menandakan kekerdilan jiwa. 


Dalam hubungan itu “tahun politik” akan sarat dengan tawa yang akan menemukan “sekutunya”, yaitu apa yang disebut hoax (hoaks), berita bohong yang dirancang seteliti seorang profesional meran­cang kerjanya. Bila hoaks mampu menghasilkan tawa, maka yang diproduksikannya belum tentu berasal dari humor, karena tawa dan humor tidak identik dan tidak selalu sejalan. Hoaks bisa saja meng­ha­sil­kan tawa, namun tawa di sini tidak ber­adab, ang­kuh, dan ingin melenyapkan yang lain, orstraciz­ing, karena bukan berasal dari humor yang adil dan beradab.


Di sini letak perbedaan antara keduanya. Hoaks tidak lain dari tindakan “melempar batu sambil menyembunyikan tangan”, penanda kekerdilan ji­wa, sedangkan humor mengejar keadilan dan keadaban dan dengan itu meningkatkan humanitas, kemanusiaan•