Korona seperti melancarkan suatu Blitzkrieg ber- ulang-ulang dengan akibat berkepanjangan bagi umat manusia dan kemanusiaan sekaligus. Bayangan kemus- nahan homo sapiens sebagai suatu spesies sungguh menakutkan; hubungan sosial dalam berbagai bidang diporakporandakan dari dasar-dasarnya; setiap orang menjadi ancaman bagi orang lain, kehangatan manu- siawi dibuat menjadi “barang asing” dan terlarang.
Dalam tempo singkat menghancurkan keang- kuhan paham neo-lib dan membingungkan para pe- lakunya seperti perusahaan-perusahaan raksasa. Semuanya bersujud minta ampun— yang dalam kata- kata seorang filsuf Belanda disebut sebagai als sneeuw voor de zon te verdwijnen, “hilang-sirna seperti salju direbus sinar matahari” (Gabriel van den Brink). Gaji buruh tidak bisa dibayar, utang harus dirunding ulang pembayarannya; gedung-gedung besar tempat kantor super-mewah sebentar atau sudah jadi rumah hantu.
Puncak dari sirna-hilangnya keangkuhan adalah intervensi, satu unsur yang dikatakan sebagai “musuh” neo-lib, ketika mereka berada di atas angin, yaitu nega- ra—yang kini dikatakan berkewajiban turun tangan untuk menjaga agar perusahaan tidak gulung tikar.
Hampir tidak ada perusahaan penerbangan yang bisa bertahan hidup tanpa bantuan negara. Medium neo-lib yang disebut market tidak berdaya dari dasar- dasarnya. Hukum ekonomi liberal supply and demand babak belur, ketika supply tidak dijawab oleh demand; yang diproduksi tidak dibeli, yang seharusnya dibeli tidak diproduksi. Ada demand baru yang mengejutkan semua orang, yaitu menutup pergaulan hidup dalam jarak yang semakin berkembang menjadi life-style, gaya hidup, satu-setengah-meter jarak dari manusia lain. Sedangkan demand and supply mengharuskan pertemuan di pasar konkret sebagai tempat dan di pasar hasil abstraksi supply and demand.
Namun, serangan virus baru korona menjalar lebih jauh, yaitu menelanjangi, belum sampai meng- hancurkannya tetapi menggugat apa yang disebut homo consumens. Sudah sangat lama manusia diajak dan dengan itu dibentuk sistem ekonomi neo-liberal untuk menjadi homo consumens. Manusia direduksi dari kepenuhan sebagai manusia untuk hanya men- jadi manusia tukang konsumsi, dan bahkan sebagai warga negara pun diabaikan karena yang terpenting adalah menjadi konsumen.
Sulit mencari rumusan lebih tepat dari Erich Fromm, filsuf dan psikolog, yang mengatakan, “kita konsumsikan semuanya dengan rakus—minuman keras, sigaret, film, televisi, kuliah dan ceramah, bu- ku, pameran kesenian, seks; semuanya bertransfor- masi menjadi barang konsumsi.”
Seorang dinilai menjadi homo consumens menu- rut kadar berapa banyak dia dihubungkan dengan pasar, market, yang secara konkret berarti berapa menghabiskan penghasilannya sendiri untuk mem- beli dan mengonsumsi barang ekonomi yang diha- silkan produsen, baik yang dikenal maupun tidak pernah dikenal. Institusi keuangan dan bank dicipta- kan agar homo consumens itu terjamin dengan kre- dit yang menumpuk utang dan lain-lain.
Krisis korona memorakporandakan homo con- sumens itu dari dasar-dasarnya seperti nafsu konsum- si yang tak terpenuhi, jet setting yang tidak menda- patkan kesempatan, dan setiap kesempatan hanya menghasilkan maut di depan mata. Kemewahan adibusana menjadi tidak berguna dan kehilangan konteks—tak ada pengagum, tak ada tempik sorak. Tanpa konteks kemewahan itu menjadi laknat.
Namun, konsekuensinya tidak berubah malah semakin ditingkatkan oleh krisis korona. Konse- kuensi paling nyata adalah terbaginya masyarakat ke dalam piramida sosial tajam dengan sangat sedi- kit orang yang memiliki akses terbesar ke dalam sumber-sumber daya ekonomi.
Ketika teknologi digital menjadi alat utama pen- didikan keperluan akan teknologi itu justru membu- ka ruang gelap ketidakadilan yang sudah lama ber- langsung akibat homo consumens. Ketidakadilan akses pada teknologi, ketiadaan literasi makin mem- perlebar ketidakadilan itu. Belajar jarak jauh lebih menunjukkan ketidakadilan dan jurangnya daripada keberhasilan.
Homo consumens mengabaikan satu sisi besar manusia dalam masyarakat, yaitu homo republicus, pengembang nilai-nilai republikan, republican va- lues, seperti kesamaan hak menuju keadilan. Pada satu Juni 1945 Bung Karno penemu dan pengga- gasnya mengangkat republik dan nilai-nilai repu- blikan itu ke permukaan. Nilai-nilai itu, kesamaan menuju keadilan, untuk waktu sangat lama diting- galkan dan terabaikan•