Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Mengolah Kekayaan, Kapital, dan Demokrasi

Daniel Dhakidae

Kekayaan dan menjadi orang kaya adalah cita-cita manusia sejak masa yang hampir tidak bisa ditetapkan kapan. Setiap suku bangsa di mana pun, ada cita-cita itu. Namun, sekurang-kurangnya bisa dikatakan bahwa cita-cita menjadi orang kaya dan mengumpulkan kekayaan ada masa awalnya. Kemampuan menentukan “kapan” lebih menjadi masalah teknis daripada substantif.

Sekurang-kurangnya secara negatif bisa dipastikan bahwa dalam masa pola hidup yang hanya mengumpulkan daun dan berkas kayu, mengejar binatang buruan boleh dibilang tidak ada cita-cita menjadi kaya. Kehidupan berjarak sangat pendek, yaitu dari tangan ke mulut, dan sifatnya hampir-hampir vegetatif.

Kekayaan baru bermakna, dan karena itu menjadi cita-cita ketika stabilitas loci, hidup menetap di suatu tempat, mulai ditemukan dalam arti suatu sistem produksi mulai diandalkan. Ketika suatu sistem kehidupan mulai menentukan bahwa suatu ruang menjadi milik baru pada saat itulah kekayaan dan penumpukan kekayaan menjadi berarti.

Dia masuk ke dalam suatu sistem sosial dan mengambil bentuk kehormatan, penghormatan, gengsi sosial dan karena itu menjadi cita-cita. Ketika orang Minang menyebut nama Mohammad Djamil Datuk Rangkayo Tuo maka rangkayo, orang kaya, di sana menjadi social status dan karena itu menjadi cita-cita dan sekaligus pemenuhan cita-cita. Hidup sudah tidak lagi vegetatif akan tetapi bergerak menjadi metafisikal, melampaui yang sifatnya fisikal, dan bergerak keluar menjadi kultural dan politikal.

Namun, dalam dimensi bangsa sangat sering kekayaan hanya menjadi beban bila tidak diubah menjadi modal. Kekayaan bangsa ini menjadi mitos yang tidak habis-habis dikutip dari waktu ke waktu. Bila tanah dan pohon-pohon di atasnya, dan batu-batu berharga di dalam kandungan perut buminya tidak diolah, semuanya akan tetap menjadi wealth.

Berapa pun kekayaan itu ditumpuk dia akan tetap seperti itu dan hanya akan mempertahankan a certain measure of permanence, tingkat stabilitas bentuk tertentu seperti dikatakan ekonom dan penulis Amerika dua abad lalu (Henry George, 1839-1897). Revolusi kekayaan hanya bisa dibuat ketika kekayaan ditransformasi jadi kapital dengan segala sistem produksi seperti perbudakan, mesin, dan teknologi.

Karena itu, perbudakan menjadi tidak sama dengan perbudakan. Perbudakan zaman Romawi Kuno berbeda dengan perbudakan di Amerika Serikat. Perbudakan Roma menghasilkan colosseum, dan tetap menjadi colosseum sampai hari ini; malah berkurang karena batu dan bata yang berguguran. Perbudakan di kebun-kebun kapas Amerika menghasilkan kapital dan akumulasi kapital, yaitu kekayaan untuk menghasilkan lagi kekayaan lain sedemikian rupa sehingga menjadi dasar imperialisme dalam segala arti. Karena itu, rumusan tua tentang kapital dikatakan Henry George sebagai, ”...That part of wealth so devoted to the production of other wealth is what is properly called capital.”

Kapital adalah bagian dari kekayaan demi produksi berjenis-jenis kekayaan lain yang menghasilkan kapital lagi dalam siklus tanpa batas uang menghasilkan uang, dan kaum kapitalis mulai beternak uang dan bukan lagi memproduksi barang, goods. Sedemikian perkembangan itu sehingga kapital tidak lagi bersentuhan langsung dengan produksi nyata, dan dunia kerja. Kapital bekerja dengan dirinya, menjual dirinya, dan menjadi dirinya. Modal menghasilkan modal, dan uang berbunga uang sampai ada campur tangan legalitas dan keadilan.

Intervensi legalitas adalah wewenang negara yang diberikan tugas oleh para warganya. Sedangkan intervensi keadilan adalah ideologi. Dua-duanya hidup dan menjadi inti demokrasi, yaitu apa yang disebut oleh Alain Badieu la passion égalitaire, hasrat egaliter, dan l’idé de la justice, ide tentang keadilan.

Bangsa ini dalam masa-masa terakhir terombang-ambing di antara ketiga hal di atas — kekayaan, kapital, dan demokrasi. Hubungan ketiganya harus dicarikan jalan keluar. Tanah yang kaya sudah melegenda, akan tetapi tidak semua kekayaan itu menjadi kapital. Kapital yang tidak terkendalikan hanya berarti ada yang salah dengan demokrasi. Hidup ideal adalah campuran manusiawi antara kekayaan, kapital, dan demokrasi•