Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Menyapa Prisma yang Datang Lagi

Daniel Dhakidae

PIKIRAN tertentu bisa datang berulang kali dan menghantui seseorang. Yang menjadi buah dari pikiran itu mungkin tidak bisa, atau tidak mampu diterima dan dikerjakan menjadi kenyataan. Akan tetapi, tanpa terduga ia datang lagi setiap saat dan “menyerang dan menduduki” seseorang. Itulah yang disebut obsesi. Ilusi lebih menunjukkan salah melihat atau melihat yang salah, atau salah membaca gejala sehingga menilainya sebagai kenyataan yang lebih tinggi atau lebih rendah, lebih besar atau lebih kecil.

Sedangkan gabungan antara obsesi dan ilusi adalah dua gejala kejiwaan yang ruwet. Namun, sublimasi keduanya menjadi motivasi yang dahsyat. Setiap pejuang, atau bahkan penjahat, kecil atau besar, revolusioner atau tidak selalu “diserang dan diduduki” pikiran seperti itu, apa pun namanya: kemerdekaan, persamaan, atau persaudaraan, dan Tanah Air.

Ilusi Keberhasilan dan Sublimasinya

Setiap kali mendengar pertanyaan sahabat, kolega, simpatisan yang dekat dan jauh dalam arti tempat, umur, dan generasi kecendekiaan dan bidang yang digeluti “kapan menerbitkan kembali majalah Prisma?” kami, di LP3ES, dan para kolega redaksi selalu merasa terteror. Rasa terteror itu semakin meningkat oleh pertanyaan tersebut yang akhirnya mengental dalam obsesi bagaimana menghidupkan kembali sesuatu yang sudah satu dasawarsa tidak lagi melihat dan merasakan panas sinar matahari. Obsesi itu berlangsung bertahun-tahun—sejak sepuluh tahun lalu.

Jarak waktu satu atau dua dasawarsa, pada dasarnya, tidak menjadi soal karena kemampuan finansial seperti dewa di muka bumi untuk menghidupkan apa saja yang mau dihidupkan, dan mematikan apa saja yang ingin dimatikan. Memberikan makna bagi masa yang hilang itu yang lebih jadi soal. Soalnya bertingkat-tingkat dari manajemen sampai idealisme. Paham neologisme manajemen seperti market visibility bukan berada di luar paradigma berpikir majalah ini—kalau boleh memakai istilah ini untuk urusan ini; akan tetapi itu lebih merupakan sesuatu yang bisa dikerjakan dengan sedikit kesadaran akan manajemen.

Kalaupun konsep itu mau dipaksa, maka market visibility sudah tentu jauh menurun karena sudah hilang dari ingatan para konsumen. Menilik pertanyaan yang sering diajukan sangat bisa diduga bahwa majalah itu masih diingat dan dikenang sebagai mitra kecendekiaan di beberapa kubu yang merasa bahwa kehidupan akademia, intelektual, dan profesionalnya mendapat seberkas sinar yang dipancarkan setelah berkontak dengan majalah ini di masa remaja, mahasiswa, dan ketika sudah berkarier secara profesional di mana pun.

Namun, yang paling meneror sebenarnya adalah ilusi tentang keberhasilan, fame and glory. Semakin mendengar cerita bahwa majalah itu dikepit sekadar untuk beraksi semakin menggelisahkan. Semakin pertanyaan di atas diajukan, dan semakin berbeda ruang, generasi, dan bidang-bidang kecendekiaan dan akademi yang digeluti semakin menakutkan lagi karena yang disebut ilusi sungguh beraksi dalam kenyataan. Bayangan untuk mengulanginya justru yang lebih menakutkan.

Sungguh suatu ilusi pula bahwa majalah yang disebut sebagai “majalah pemikiran sosial ekonomi” ini menyentuh satu generasi karena tidak ada yang tahu apakah ia pernah mengubah kehidupan seseorang. Dalam ilusi tentang keberhasilan siapa pun dipaksa untuk mereka-reka peran sosial dan intelektual majalah ini pada masa lalu yang dekat karena hanya sepuluh tahun; namun, bisa juga masa lalu yang jauh karena yang dirasa dekat tadi adalah abad dua puluh, dan kini abad dua puluh satu dengan seluruh perubahan yang terkandung di dalamnya.

Dalam hubungan itu, ilusi juga banyak berhubungan dengan ambisi. Seluruh ambisi itu tertuang dalam format atau dengan memakai sekali lagi neologisme teknologi ia tertuang dalam bayang-bayang prismatic design, yang tebersit dari namanya Prisma yang memberikan distinctiveness pada sinar yang tadinya hanya putih belaka; namun, dengan prisma sebagai teknik menjadi merah, hijau, biru bahkan sampai ke warna yang tidak kasat mata, tidak bisa dilihat dengan mata telanjang tapi katanya juga warna, infra merah, dan ultra violet.

Dua ambisi termaksud diukir di sana. Pertama, ambisi luminal, cahaya, yang berusaha menangkap sinar putih yang akan disulap jadi berkas-berkas warna pelangi. Majalah ini pun sejak dulu berambisi menangkap soal-soal itu mengupasnya menjadi merah, hijau, biru dari beraneka soal dengan titik-tilik yang khas dalam bidang pemikiran sosial ekonomi. Sebegitu rupa sehingga yang tidak jadi soal dipersoalkan sampai tumbuh kesadaran bahwa itu juga soal.

Kedua, adalah ambisi spasial, ruang, karena bundarannya adalah bundaran semesta, universum, yang juga diilusikan sebagai “bundar” sedangkan Einstein mungkin mengatakannya seharusnya menjadi “bundar pipih”, dan bukan bundar-bulat. Ruang nasional ataupun antarbangsa tidak menjadi batas.

Baik dalam arti luminal maupun dalam arti spasial semua ambisi itu berpijak pada dasar yang disebut di atas sebagai pemikiran. Akan tetapi “siapa berpikir?” dalam masa yang serba “pragmatik.” Pragmatisme dalam political parlance bangsa ini diterima sebagai antiberpikir, yang akan diterima dan dipakai selama “masih mampu menangkap kucing putih atau hitam”. Semuanya pasti membuat John Dewey meloncat dan memprotes dari kuburnya m-ngapa pendangkalan itu merajalela dan disebarluaskan. Di tengah pragmatisme picik tersebut majalah ini pun berambisi untuk mengatakan bahwa “berpolitik adalah berpikir.” Setiap tindakan politik adalah tindakan berpikir, termasuk tindakan yang dibuat di dalam ruang-ruang kecil yang disebut sebagai bilik-bilik tempat seorang mencentang.

Ketika seorang berada di dalam bilik suara, misalnya, dia mungkin tidak sadar atau tidak membayangkan dirinya sendiri sedang mengerjakan suatu political event. Namun, suatu majalah sosial-ekonomi seperti Prisma akan membayangkan suatu universum politik, yaitu siapa dan apa, institusi mana saja yang tinggal dan berubah, konsensus apa yang dicapai dan konflik apa akan pecah, mengenai apa saja, lembaga apa yang terlibat sebagai akibat centangan anonim di sudut-sudut negeri ini.

Berpikir adalah mencari tahu di mana negara dan modal membuang surplus kekuasaannya dengan memakai kekerasan, secara kasat mata maupun tidak; mencari tahu mengapa ada nama-nama yang dihilangkan dari daftar pemilihan, dan mengapa orang mati tetap menjadi pemilih yang sah.

Dengan kata lain yang universal dan kolektif itu intrinsik dalam diri setiap insan politik, dan usaha untuk memahami itu artinya berpikir, penser, kata Alain Badieu. Dalam kerjanya Prisma mau berdiri di sana.

Dunia yang Berubah

Menjelang Pemilihan Umum 1955, ilmuwan politik Herbert Feith meragukan kegunaan pemilihan umum pertama di Indonesia itu. Tingkat buta huruf terlalu tinggi, mendekati 40 persen; hampir separuh penduduk. Keadaan itu, katanya, tidak memungkinkan pemilihan yang berguna. Namun, dalam laporan tentang pemilihan umum, Feith mengaku terperanjat oleh kenyataan bahwa begitu banyak orang yang melihat dan memperlakukan pemilihan umum “in an almost religious frame of mind”, seperti sedang melakukan kebaktian agama.

Sungguh mengharukan pada waktu itu di tengah penduduk yang hampir separuh republik buta huruf, politik adalah berpikir dan karena itu hampir-hampir bertetangga dengan beragama. Manusia berpikir sedalam-dalamnya ketika dia berpikir tentang agama baik untuk menolak atau menerimanya.

Namun, sayang, Profesor Feith tidak cukup panjang umurnya untuk menyaksikan apa yang terjadi dengan pemilihan umum tahun 2009. Dia akan terperanjat sekali lagi seperti dia terperanjat tentang antusiasme tahun 1950-an. Kalau dulu dikerjakan dengan rangka pikiran keagamaan, dia akan terkejut bahwa kerangka itu hanya menjadi kenang-kenangan belaka. Yang disaksikan sekarang bukan religious frame of mind akan tetapi the frenzy of a market place, haru-biru di pasar tempat orang menjual dan membeli suara dalam lelangan terbuka atau tertutup. Politik dan berpolitik tidak lagi suatu proses berpikir, pikiran, akan tetapi proses transaksi, suatu tawar-menawar quid pro quo. Suara bukan pilihan politik, akan tetapi suatu benda yang akan ditukar dengan uang atau pangkat, kedudukan, dan lain-lain lagi.

Perkembangan media audio-visual semakin mendikte arah gejala ini. Kalau ungkapan tentang kedangkalan berpikir sudah menjadi klise namun di sana sudah muncul gejala lain bahwa khalayak yang terdiri dari para pembaca terpelajar semakin menurun. Khalayak yang berminat dan membaca majalah ini mungkin berubah. Daya tarik jurnal audio-visual mungkin berperan di sana, meski majalah ini pun akan berkiprah di sana. Semuanya memberi jalan kepada suatu generasi yang dikatakan sebagai “desensitized to complex argumentation”, generasi yang sudah terkuras derajat sensitivitasnya terhadap argumentasi yang berbelit-belit (The Nation, Amerika Serikat).

Tragis bahwa melawan gejala pendangkalan ini menjadi anakronik. Menata suatu majalah menjadi organ berpikir bisa juga menunjukkan gejala yang sama, hanya ditinjau dari sudut lain, yaitu menghimpun kelompok yang “desentisized to change”, hilang dan terkuras sensitivitas terhadap perubahan, apa pun nama perubahan itu.

Pertarungan antara keduanya mungkin menghasilkan krisis di salah satu tempat. Mengikis pragmatisme salah kaprah akan mengurangi pasar kemewahan dalam arus barang. Meningkatkan kemampuan berpikir hanya melahirkan generasi kritis yang menghalangi kemajuan dalam konsumtivisme. Pilihannya adalah demi kemajuan zaman harus melepaskannya dalam kedangkalan karena kedangkalan itu mewah dan nikmat dan menghidupkan ekonomi. Sekali lagi dua-duanya akan menghasilkan krisis baru lagi.

Prisma dan Abad Dua Puluh Satu

Prisma terbit pertama kali tahun 1971 dalam lingkungan sosio-budaya-politik dan ekonomi yang berbeda, dan salah satu perbedaannya adalah berjayanya paham modernisasi, baik sebagai suatu cita-cita maupun suatu gerak. Prisma menjadi salah satu pendukungnya, sadar atau tidak. Gerak modernisasi bolehlah dikatakan secara kasar sebagai suatu gerak yang didorong oleh cita-cita untuk maju, meninggalkan yang lama, kuno, agraris menuju industrialisasi; dan yang tidak terdidik menuju pendidikan tinggi. Semua soal dilihat dalam kacamata dan analisis versi dualisme, masalah-masalah dibahas secara biner: hitam x putih; maju x terbelakang; modern x kuno, dan lain sebagainya.

Ekses karikatural tidak terhindarkan. Bangsa modern adalah bangsa yang derajat membaca surat kabar tinggi. Untuk itu surat kabar dicetak dan dibagi-bagi di desa-desa. Dengan begitu indeks kemoderenan dipenuhi sampai luber meskipun kemampuan membaca efektif tetap rendah. Dengan begitu kemoderenan dalam hal ini adalah kegiatan mengejar indeks dan bukan isi. Orde Baru bisa dengan pongah memaklumkan bahwa bukan hanya ABRI yang bisa masuk desa, akan tetapi koran juga masuk desa dan memenangkan pertandingan modernisasi demi modernisme.

Semua itu kini dipersoalkan sampai kepada prinsip kemoderenan untuk mengejar dan membela prinsip “objektivitas.” Tidak ada yang objektif, semuanya tergantung dari perspektif. Yang disebut sebagai objektif lebih terikat pada budaya dan khas dari segi budaya. Ketidakberpihakan dilawan dengan “prinsip mengambil pihak” dengan alasan tidak ada ilmu apa pun yang mampu melepaskan dirinya dari kepentingan. Persoalannya bukannya menghilangkan kepentingan akan tetapi menunjukkan kepentingan dan derajat keterpengaruhannya dalam suatu penelitian ilmu sosial. Dengan demikian hasil dibatasi dan diukur berdasarkan itu. Prisma akan dililit soal-soal itu.

Dalam dunia nyata reformasi seolah-olah memberikan jawaban kepada soal-soal sebagaimana dikatakan di atas. Sentralisasi dihancurkan dan desentralisasi menjadi percakapan sehari-hari. Konsep besar seperti negara, sentralisasi, pusat, diganti dengan konsep lebih kecil, daerah, de-centering, menciptakan seribu pusat di segala bidang, dan bukan hanya satu pusat besar. Strukturalisme modernis menghasilkan dunia lelaki sedangkan destrukturalisme memunculkan dan/atau berusaha untuk memunculkan kehidupan dengan gender balance yang memadai, pluralisme kehidupan etnik, dan agama, dan lain sebagainya.

Paham-paham tentang struktur besar seperti sistem, demokrasi, dan ideologi-ideologi besar tidak lagi menguasai wacana. Kalaupun sistem masih dibicarakan, ia ditempatkan dalam konteks, kontekstualisasi. Kalau demokrasi dibicarakan maka persoalannya dialihkan menjadi demokrasi efektif dalam suatu lingkungan budaya tertentu. Menjawab tantangan semua itu adalah berpikir bersama beban yang disandangnya bersama itu.

Di tengah perkembangan beginilah Prisma akan berada, dan tantangan itulah yang akan dihadapi Prisma ke depan. Dengan nomor perdana abad dua puluh satu obsesi diharapkan berhenti menjadi hantu, dan ilusi berkurang kadarnya. Namun, sama sekali tak ada manfaatnya untuk membuktikan bahwa dua-duanya sudah bersublimasi menjadi motivasi yang harus dengan sendirinya mencuat ke permukaan dalam kerja.

Prisma berusaha untuk turut mengambil beban “pemikiran sosial ekonomi” untuk menghadapi itu semua. Dengan menerima dan mengerjakan beban tersebut berarti berpikir, karena berpikir adalah berbuat•