Bagaimana kuatnya hubungan politik dan narasi kerap ditunjukkan oleh kekuasaan yang bekerja dalam berbagai momen, misalnya, krisis politik, ekonomi, atau juga dalam laga di pemilihan umum. Narasi, yang dalam pengertian ini adalah sebentuk cerita, sederhana namun mampu merangkum kompleksitas persoalan, menjadi penting bagi penguasa untuk meyakinkan dan mendapatkan kepercayaan rakyat. Narasi juga berfungsi ganda. Ia adalah lem yang merekatkan barang yang pecah dan sekaligus palu memecahkan benda yang terikat kuat.
Pada dua pemilu terakhir di Indonesia, kita menyaksikan bagaimana narasi bekerja. Pada Pemilu 2014, para pendukung calon presiden Joko Widodo membawa slogan “Jokowi adalah Kita.” Suka atau tidak, slogan itu adalah pantulan dari narasi politik kerakyatan, tentang harapan kebangkitan bangsa Indonesia di abad ke-21, tentang isu pendidikan dan kesehatan yang terjangkau semua kalangan. Narasi itu berhasil menyatukan para pendukung Jokowi yang umumnya berasal dari kalangan bawah; petani, buruh, nelayan, dan urban poor, yang diperkuat oleh aksi Jokowi blusukan dan menyapa mereka di mana pun sang calon presiden bertemu. Narasi diperkuat oleh aksi, dan aksi mempertegas narasi.
Narasi juga dapat memecah yang telah bersatu. Pertarungan di Pilpres 2019 diwarnai oleh politik identitas yang menghancurkan modus kebersamaan pada kata “Kita,” lantas menawarkan sesuatu yang berbeda dan harus diruncingkan menjadi “Kami.” Sesuatu yang “bukan-Kita” adalah “Kami”, dan “Kami” adalah preferensi politik tempat kesamaan identitas primordial menjadi perekat dan dalam kasus pilpres itu, apa boleh buat, adalah agama. Dengan demikian, perbedaan telah menjadi agenda politik dan peran narasi “antek Cina dan kafir” menjadi pola ampuh untuk menyudutkan sekaligus tekanan kepada kelompok elite minoritas yang menguasai sumber daya ekonomi.
Narasi memang mengendalikan kehidupan kita. Ia bekerja pada tingkat perilaku kolektif manusia dan membentuk serta mengekspresikan identitas politik, perspektif, dan ideologi. Manusia juga cenderung mengandalkan narasi sebagai cara memahami dunia dan memberinya makna. Semua ekspresi, bahkan mimpi dan melamun, digerakkan oleh narasi. Begitu pula harapan, putus asa, rasa percaya, benci dan cinta, dibangun oleh narasi. Dengan narasi, ketakutan kita akan resesi global dan ambruknya ekonomi sebuah negara, misalnya, menjalar sampai ke masyarakat akar rumput. Narasi yang menggumpal di kepala individu akan menuntunnya pada keputusan dan tindakan.
Di titik itu, peran dominan narasi dalam wacana politik mendapatkan posisi sentral dalam perumusan dan pemeliharaan pandangan dunia. Sebagai sarana efektif dalam menyederhanakan situasi kompleks ke dalam sebuah rentetan peristiwa, narasi dengan cepat menjadi sesuatu yang popular. Sama halnya dengan daya pikat drama Korea, cerita tentang kejahatan melawan kebaikan, dan juga catatan sejarah yang tepercaya. Narasi yang memikat tampak jauh lebih kuat dampaknya ketimbang paradigma atau “penjelasan logis-ilmiah.”
Daya Tular
Narasi bekerja sangat efektif dan bahkan punya daya tular seperti virus. Dalam dunia ekonomi, ketakutan akan ambruknya sebuah bisnis, misalnya, akan membuat goyang lantai pasar bursa. Demikian juga jika ketakutan berganti narasi penuh harapan, grafik pembelian saham akan meroket tajam. Dengan kata lain, narasi ikut bersemayam di balik perubahan ekonomi besar dunia. Robert Shiller, pemenang hadiah Nobel Ekonomi 2013, misalnya, memotret secara gamblang perihal kekuatan narasi ekonomi itu dalam bukunya yang provokatif, Narrative Economics: How Stories Go Viral and Drive Major Economic Events (2019).
Shiller menyebutkan yang dia maksud dengan narasi ekonomi adalah sebuah studi tentang “penyebaran dan dinamika narasi yang popular, cerita-cerita, khususnya yang memikat emosi manusia, dan bagaimana perubahan itu terjadi dari waktu ke waktu untuk memahami fluktuasi ekonomi.” Dengan kata lain, dia ingin mengawinkan daya tular narasi ke teori ekonomi.
Menurut Shiller, banyak perubahan ekonomi tak melulu disebabkan hal-hal elementer dalam kalkulasi ekonomi, oleh sebuah keputusan yang objektif dan rasional, namun juga oleh sentimen dan emosi yang dibawa oleh narasi. Dengan menjelajahi rentang waktu seabad sejarah “narasi ekonomi yang perenial,” Shiller menemukan pertarungan narasi silih berganti: satu narasi naik lalu digantikan oleh kontra-narasi, yang pada gilirannya akan digantikan lagi oleh narasi yang lebih orisinal, demikian seterusnya.
Hal itu termasuk, misalnya, narasi kepanikan dan kepercayaan diri dalam krisis, kisah naik turunnya nilai tukar mata uang, manusia yang akan digantikan oleh mesin, kecerdasan buatan, lahan yasan (real estate) versus kembang kempisnya pasar bursa, dan kejahatan bisnis versus kejahatan pekerja. Dalam tiap kasus, Shiller merayakan pertarungan narasi dan konsekuensi ekonomi yang nyata terlihat oleh perubahan besar semisal akibat perang, pengangguran masif, serta makin lebarnya jurang kaya dan miskin. Hal menarik dari Shiller adalah dia memberi perhatian besar pada daya tular narasi yang, menurutnya, mirip sebuah “pandemi.”
Narasi memang bekerja selayaknya pandemi. Namun, melihat peran media sebagai “alat tumpangan” dalam menyebarnya narasi, adalah esensial, terutama dalam konteks mobilisasi politik. Bagaimana narasi yang telah bersemayam di kepala individu dapat menjadi sebuah kekuatan yang dimobilisasi untuk tujuan politik tertentu. Dalam konteks perkembangan dunia digital, narasi menemukan agen penularan luar biasa masif, seperti yang disinggung oleh Manuel Castells dengan The Network Society (2004).
Castells menyebutkan bagaimana peran teknologi menganyam sebuah jaringan masyarakat baru berbasis teknologi komunikasi digital. Jaringan besar individu yang terbentuk melalui teknologi digital dengan gampang hidup dalam sebuah dunia hibrida dari kenyataan dan virtualitas. Keterhubungan digital lantas menjadi basis tranformasi ke arah kekuatan politik: dari logika “berjejaring” ke “pengumpulan massa” dan mewujud dalam kerumunan besar untuk merebut ruang politik.
Peran media menjadi sangat signifikan dalam konteks mobilisasi politik. Dengan lebih dari 200 juta pengguna internet di Indonesia pada 2022, lebih dari dua pertiga jumlah itu adalah pemakai setia media sosial, sebuah medium baru yang mengubah drastis lanskap politik global di abad ke-21. Ia bisa menjadi alat untuk menyebarkan kemajuan, namun juga sebaliknya menjadi alat penghancur yang efektif dalam pertarungan politik.
Studi yang dibuat Merlyna Lim (2017) tentang menyebarnya ujaran kebencian pada saat kampaye Pilgub DKI 2017 cukuplah menyimpulkan bagaimana ruang kebebasan berekspresi telah menjadi lahan subur bersemainya narasi sektarian dan rasis serta menuju ke arah yang disebutnya sebagai tribal nationalism. Gejala yang terjadi di Jakarta tak berbeda dengan pelbagai belahan dunia lain dengan berita palsu dan hoaxes dipakai untuk menajamkan sentimen kebencian ketimbang menyampaikan fakta sesungguhnya. Gejala itu kerap disebut sebagai era “post-truth.”
Lantas, bagaimana narasi di jejaring media sosial itu bisa ditransformasikan menjadi kerumunan nyata, seperti halnya ledakan “Aksi Massa 212” yang memprotes Gubernur DKI Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama pada 2016 silam? Sejak seabad lalu Gustav Le Bon, seorang sosio-psikiatris, telah menelisik gejala kerumunan massa dalam bukunya The Crowd. Kerumunan, kata Le Bon, memiliki daya serupa Sphinx dengan individu dihadapkan pada pilihan mengikuti tawaran solusi dari kerumunan itu atau menarik diri dari terkaman psikologis mereka.
Kerumunan bekerja dalam kekuatan kata-kata atau narasi yang mereka bangun dan kerap kali ia tak terikat dari kenyataan sesungguhnya. Le Bon menyorot peran kata-kata yang pengertiannya paling sulit didefinisikan justru memberikan racun pengaruh lebih besar. Sebutlah dalam konteks sekarang, ide-ide yang menggerakkan itu seperti demokrasi, sosialisme, kebebasan, keadilan, atau mungkin juga daya magis kekhalifahan, zionisme, dan sebagainya. Pada sepotong kata yang singkat itu, tutur Le Bon, seakan mengandung solusi untuk segala persoalan, memuat beragam aspirasi dan harapan yang minta segera diwujudkan.
Melihat produksi kata-kata di media sosial oleh kerumunan, atau jejaring massa yang terhubung secara digital, dan hubungannya dengan pengumpulan massa, tampaknya tak terlalu sulit untuk memahami populisme yang tampil sebagai sebuah gaya politik, terlebih dengan memainkan sentimen atau emosi publik. Le Bon mengatakan produksi narasi itu bergerak dalam satu skema yang kompak: penegasan (affirmation), pengulangan (repetition), dan penularan (contagion).
Penegasan, dalam logika Le Bon, adalah membuat semua penalaran dan bukti sesederhana mungkin sehingga gampang larut ke kesadaran kerumunan. Makin ringkas penegasan sebuah pernyataan, semisal “Bahaya Komunisme”, akan dengan cepat merasuk dan bisa diwujudkan dalam berbagai penampakan tudingan dengan tanpa perlu pembuktian kuat, semisal “PKI masuk Istana.” Hal yang sama juga bisa digunakan dalam pernyataan “Bahaya Wahabi-isme” dan tuduhan “Arabisasi birokrasi.”
Pengulangan dibutuhkan untuk mewujudkan sebuah aksi jangka panjang, sehingga ia berdiam di ketidaksadaran individual tempat motif aksi kerumunan akan dibentuk. Pada ujungnya, ujar Le Bon, seiring waktu kita melupakan siapa pencetus awal pernyataan itu dan akhirnya percaya dan mengekor begitu saja. Ide, sentimen, dan emosi dari kerumunan, kata Le Bon, menular dengan kekuatan bak mikroba berkembang biak. Dia mengatakan gejala itu sebagai alamiah seperti halnya emosi gampang menular di kerumunan hewan.
Politik Kerumunan
Le Bon mungkin terlalu subjektif dengan hanya melihat perilaku individu di tengah massa dan melupakan bagaimana struktur mobilisasi itu dibentuk di dunia nyata. Adalah penting bahwa kesadaran, dan juga ketaksadaran yang menyebar, menjadi basis bagi sebuah mobilisasi atau anti-mobilisasi. Kembali ke peran narasi dan media dalam membangun kesadaran, Castells menyatakan keterhubungan digital menjadi syarat penting, atau setidaknya memudahkan, dalam membentuk struktur pengerahan massa bagi politik kerumunan.
Wadah politik tempat representasi rakyat bersandar, seperti partai politik, ormas, asosiasi, dan sebagainya, adalah penting dalam masyarakat politik mainstream. Namun, media sosial memiliki kekuatan lain yang bisa menerabas batas kepartaian dan masuk melalui sentimen ke setiap individu. Dalam kasus tertentu, mereka bisa digerakkan oleh sentimen, bukan oleh partai atau organisasi. Dari sudut itu, kerumunan di dunia virtual tampak berguna bagi penguatan masyarakat sipil yang bisa mengambil jarak dari masyarakat politik.
Peran media, dalam hal ini media sosial dan generasi penggunanya yang sangat personalized, tetapi secara kontras juga peka dengan isu politik identitas, menarik dikaji lebih jauh. Berita palsu dan hoaxes gampang menyebar karena sifat para pengguna media sosial selalu mencari isu sesuai dengan keyakinan atau identitas mereka. Dengan digiring oleh sentimen kebencian tertentu, berita palsu dan hoaxes, kerumunan pengguna media sosial cenderung membentuk bilik gema (echo-chamber) masing-masing. Mereka melakukan amplifikasi watak kerumunan persis seperti yang diungkapkan Le Bon.
Sebuah studi yang dibuat oleh Dewan Pers pada 2015 menunjukkan bagaimana para pengguna Twitter dalam Pilpres 2014 terbelah menjadi dua kubu, pro-Jokowi dan pro-Prabowo, serta keduanya terlibat dalam “perang” pernyataan yang sangat gaduh, mengarah pada perang sentimental dan emosional. Ditemukan bahwa pernyataan dan tanggapan di linimasa Twitter bukanlah sebuah proses tanya jawab yang dialogis, melainkan kumpulan monolog panjang dari para pendukung masing-masing kubu. Pembentukan nalar publik yang kritis di ruang yang demokratis justru tidak terjadi. Dengan kelemahan itu, jangan terlalu banyak berharap gaya politik kerumunan itu kelak akan meningkatkan narasi demokrasi bagi penguatan masyarakat sipil.●