Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi
Indonesia telah mengupayakan tercapainya proses industrialisasi sejak negeri ini merdeka. Namun, hingga kini tantangan tersebut belum terjawab. Apa yang terjadi justru sebaliknya persoalan ekonomi masih terus berulang dan bahkan ada kecenderungan semakin dalam. Misalnya, tingkat pertumbuhan yang persisten relatif rendah, tingkat kemiskinan, ketimpangan, produktivitas yang rendah dan sebagainya. Padahal, negeri ini kaya akan sumber daya alam bukan hanya di darat, tetapi juga di lautan; karakteristik yang belum tentu dimiliki negeri lain di dunia. Mengapa industrialisasi penting? Karena ia dapat menjawab persoalan ekonomi tersebut mulai dari penyerapan tenaga kerja, fondasi ekonomi domestik yang kuat, hingga pengembangan teknologi yang dapat dijual. Hal tersebut tentu penting seiring dengan perkembangan zaman.
Yang kini sedang terjadi Indonesia dapat saja dikatakan deindustrialisasi atau mungkin reindustrialisasi, namun perlu dipahami lebih dahulu apa yang dimaksud dengan industrialisasi sebelum menyusun sebuah kebijakan? Kerap kali kebijakan dibuat demi kepentingan jangka pendek dengan mengabaikan industrialisasi. Membuat tercapainya industrialisasi tentu memerlukan waktu karena berkait dengan teknologi dan konsolidasi sektor, sehingga tidak mungkin direalisasikan dengan kebijakan sesaat, seperti membuat atau menjual pisang goreng. Industrialisasi juga memerlukan pengembangan keterampilan yang dapat disediakan oleh balai riset yang selama ini makin terabaikan. Balai riset dapat menciptakan teknologi yang dapat menghasilkan lisensi untuk kemudian dijual. Teknologi tersebut tentunya sesuai dengan kebutuhan sektor. Dengan demikian, pengembangan sektor sebagai pilar ekonomi domestik menjadi penting. Pengabaian atas sektor berarti pengabaian atas ekonomi domestik. Sebagai negeria kelautan, sektor apa yang dinilai makin penting dan menentukan serta teknologi seperti apa yang dapat menyatukan? Untuk itu, Redaktur Ekonomi Jurnal Prisma Fachru Nofrian Bakarudin mewawancarai Saswinadi Sasmojo, Senior Research Advisor pada Center for Energy Policy Studies, berbincang soal penegasan kembali Indonesia sebagai negeri kelautan dan relevansinya dengan proses industrialisasi. Berikut sebagian petikannya.
Prisma (P): Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan. Namun, apakah industri dan teknologi yang dibangun dan diterapkan selama ini sudah sesuai dengan konteks Indonesia sebagai negara kelautan? Apakah industrialisasi di sektor kelautan bisa dikatakan “gagal” karena tidak sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai negara kelautan?
Saswinadi Sasmojo (SS): Selama ini yang dimaksud dengan pengertian tentang industrialisasi bila telah mendirikan pabrik-pabrik maka ini sudah terjadi industrialisasi. Industrialisasi sesungguhnya adalah membangun suatu sistem produksi yang dibutuhkan. Dengan kata lain, pengertian industrialisasi yang lebih luas adalah membangun sistem yang memproduksi komoditas dan jasa. Namun, itu belum cukup. Kita juga harus membangun sistem dengan resep-resep untuk berindustri. Tanpa resep berindustri, maka kita akan selalu “menjagokan” dan bertanya kepada orang lain, “bagaimana cara membikin ini dan itu?” Dia mungkin akan memberi atau tidak memberi jawabannya. Karena itu, kita perlu investment untuk mendapatkan teknologinya, meski pada akhirnya kita tetap tidak mengerti soal teknologi.
Di dalamnya perlu ada riset, pengembangan, pendidikan, industri yang menerjemahkan hasil riset menjadi resep yang sudah jadi dan bisa dijual. Itu yang kemudian kita berikan lisensi karena memproduksi teknologi yang diperlukan masih sangat lemah. Sekali lagi, selama ini, bila membicarakan industrialisasi yang dipikir hanya sistem yang memproduksi barang dan jasa, tidak memperhatikan ada pendidikan, riset, dan industri yang menghasilkan teknologinya. Hendak membuat pupuk, baja, kapal, pasti mengandung teknologi berupa informasi preskriptif yang memberitahu bagaimana “caranya.” Berbeda dengan penemuan dalam science yang disebut discovery atau sudah ada sebelumnya tetapi belum diketahui penjelasannya, sedangkan penemuan dalam berteknologi disebut invention atau menciptakan dan menemukan hal yang baru. Industrialisasi yang diagnosis belum maju dan sebagainya karena konsep tentang berindustri itu sendiri tidak terlalu dipahami.
(P): Indonesia adalah negeri kelautan, tetapi kerap diabaikan bahkan disamakan dengan negara kontinental. Apakah pengabaian dan penyamaan tersebut berjalan seiring dengan diabaikannya industrialisasi? Sebaliknya, apakah industrialisasi di Indonesia akan berhasil bila tidak mengabaikan konsep negara kelautan?
(SS): Hal pertama yang sekali lagi perlu diperhatikan adalah pengertian tentang industrialisasi. Zaman kolonial dahulu, Belanda memulai industrialisasi di negeri ini dengan membangun pabrik, terutama gula atau karet, dengan memanfaatkan dan mengolah bahan baku dari alam. Selain memproduksi gula, mereka juga membangun pusat penelitian gula di Pasuruan. Begitu pula pengusaha pabrik karet yang membangun pusat penelitian karet. Mereka membangun industri di negeri jajahan seperti itu, bukan hanya pabrik saja, tetapi juga pusat-pusat penelitian. Namun, pada masa kemerdekaan, pusat-pusat penelitian gula dan karet yang terkenal se-dunia itu terabaikan karena riset dianggap “menghambur-hamburkan uang” saja. Padahal, itu bagian dari berindustri. Jadi, pemahaman tentang industri itu yang pertama harus dibangun.
Dilihat dari sisi sejarah, Indonesia adalah negeri kepulauan terbesar di dunia. Apa yang membedakannya dibanding negara kontinental? Negeri kepulauan Indonesia “memiliki” dua pertiga luas laut, sedangkan luas daratan hanya sepertiga. Bahkan, luas wilayah Kepulauan Maluku berupa laut 92 persen dan daratan mungkin hanya 8 persen. Namun, kita tampaknya kurang menyadari hal itu, kendati kita telah mengubah hukum laut dunia. Itu yang dikerjakan oleh Pak Mochtar Kusumaatmadja sejak Deklarasi Djuanda dahulu. Kita mengatakan bahwa wilayah laut adalah wilayah kedaulatan. Gambar Indonesia itu bukan pulau-pulau, tetapi suatu wilayah yang ada lautnya. Bahkan, di balik kalau “Indonesia itu laut yang ada pulaunya.” Seharusnya seperti itu, bukan pulau-pulau yang dikelilingi laut. Pada titik tertentu, pengetahuan kita tentang kelautan makin mengecil. Kita bisa saja menyalahkan kepada dan karena penjajahan Belanda dan sebagainya. Akan tetapi, setelah meraih kemerdekaan kita tetap abai dan tidak sadar.
Indonesia menyatakan merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Lantas, menyatakan konstruksi negara seperti apa di dalam UUD itu baru pada tanggal 18 Agustus 1945. Kemudian, bangsa Indonesia seperti apa? Bangsa Indonesia bukan seperti negeri Arab Saudi yang isinya melulu orang Arab atau Republik Rakyat Tiongkok yang isinya orang Cina. “Bangsa” Indonesia lahir dari hasil kesepakatan pada tanggal 28 Oktober 1928. Itu hal sangat penting yang sering dilupakan. Bila kesepakatan-kesepakatan itu dilanggar dan kembali diperdebatkan, bangsa kita akan hilang dan tidak ada lagi. Kita ini seperti Amerika Serikat sekarang yang terdiri dari bermacam bangsa. Motto Amerika Serikat pun mirip “Bhinneka Tunggal Ika.”
Lantas, wilayah Indonesia itu seperti apa? Dahulu wilayah Indonesia hanya dikatakan bekas peninggalan negeri jajahan. Namun, yang mana bekas wilayah negeri jajahan? Bila mengikuti pemikiran seperti itu, maka wilayah Indonesia yang sekarang terpisah-pisah. Berangkat dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera harus melewati lebih dahulu wilayah perairan internasional. Berangkat dari Sumatera ke Kalimatan juga harus melewati perairan internasional. Dari Indonesia masuk ke Indonesia lagi dipisahkan oleh laut. Konsep hukum laut zaman penjajahan dahulu seperti itu. Namun, Bapak Mochtar Kusumaatamadja mengajukan hukum laut internasional yang baru serta dituangkan dalam Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Jadi, 12 tahun setelah merdeka, kita baru bisa menegaskan “ini wilayah Indonesia.” Laut tidak lagi memisahkan tetapi menyatukan seluruh wilayah Indonesia.
Ketika dinyatakan dalam Deklarasi Djuanda, banyak negeri menolak dan memprotes, “bagaimana dengan kapal-kapal kami yang harus melewati wilayah perairan itu?” Setelah melalui perundingan multilateral yang berjalan alot hingga Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS) tahun 1982, masyarakat internasional akhirnya mengakui keinginan kuat Indonesia untuk mewujudkan kesatuan Tanah Air dengan melakukan inovasi hukum yang dilakukan melalui proklamasi unilateral negara kepulauan menjadi suatu prinsip hukum internasional. Perjuangannya memang lama dan meletihkan. Namun, itu merupakan diplomasi sangat hebat yang membuat wilayah Indonesia sekian kali lebih besar. Tanpa menembakkan satu butir peluru pun berhasil mengubah laut lepas yang memisahkan pulau-pulau menjadi perairan yang berada di dalam kedaulatan Indonesia. Tiga tahun setelah UNCLOS ke-3, Indonesia mengesahkan konvensi ini sebagai hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut).
Sayangnya, hal-hal tersebut kurang disadari dan tidak terlalu dipahami. Itu salah satu alasan saya mengajak beberapa alumni ITB menulis buku Deklarasi Djuanda karena ingin buku ini menjadi bacaan semua mahasiswa, sehingga menyadari arti penting dari Deklarasi Djuanda dalam kaitan dengan perjuangan menetapkan wilayah teritorial negeri kelautan Indonesia. Bila para pemimpin negeri ini tidak menyadari akan hal itu, maka ada wilayah Indonesia yang tidak akan pernah dipijak oleh kaki kita. Bila bergerak dari satu pulau ke pulau lain, hanya bisa ditempuh dengan menyeberang. Karena membangun jembatan tidak selalu bisa, maka harus memakai pesawat terbang atau kapal laut agar setiap orang bisa berpindah-pindah, berkumpul, dan berkomunikasi. Pak Iskandar Alisyahbana dahulu mempelopori bahwa kita harus punya satelit, karena dengan ini kita mempersatukan Indonesia. Kemudian datang Pak Habibie dengan industri strategis pesawat terbang dan kapal laut. Di darat pakai kereta api yang efisien. Menyeberang laut pakai kapal. Melewati udara pakai kapal terbang. Semua industri penting yang sesungguhnya menyatukan bangsa justru terabaikan, dianggap terlalu canggih dan “nggak ngisi perut.” Karena itu, cara berpikirnya yang harus diubah.
(P): Ada keterkaitan antara industrialisasi dan negeri kelautan. Almarhum BJ Habibie mengatakan bawa untuk menyatukan negeri kelautan perlu pakai pesawat terbang dan kapal laut. Lantas, Pak Iskandar Alisyahbana pada 1969 mengatakan kita harus punya satelit untuk menyatukan Indonesia. Di sana ada aspek teknologi yang berdampak pada industrialisasi. Sebagaimana tadi dikatakan, masyarakat internasional baru mengakui Indonesia sebagai negeri kelautan setelah 12 tahun merdeka?
(SS): Diumumkan secara unilateral 12 tahun kemudian dalam Deklarasi Djuanda pada 1957. Dua puluh lima tahun kemudian, setelah melewati proses diplomasi sangat meletihkan, dunia internasional baru mengakui Indonesia sebagai negeri kelautan pada UNCLOS ke-3 tahun 1982.
(P): Situasinya sekarang seperti apa?
(SS): Pengertian tentang negeri kepulauan dan industrialisasi juga belum terlalu dipahami. Kalau menggambar wilayah Indonesia seharusnya secara keseluruhan dengan memasukkan garis-garis riel perairan laut Indonesia, bukan hanya gambar pulau-pulau saja. Bila Indonesia digambar dengan memasukkan wilayah lautnya, kita menjadi negara yang bentuknya sangat besar, seperti Amerika Serikat. Sebagaimana diketahui, Indonesia terbentang dari Aceh sampai Papua. Pesawat terbang dari Jakarta ke Papua butuh waktu sekitar enam jam. Biaya penerbangannya pun terhitung tidak murah.
Dewasa ini, situasi dunia sudah berubah cukup drastis. Sejak tahun 1970-an mulai berkembang “global ekonomi” yang berseberangan dengan “nation-state.” Sebagai contoh, beberapa negeri Eropa tidak mau menggunakan sumber daya energi nuklir dan menggantinya dengan gas bumi. Mereka mencari resources yang dianggap lebih bagus dan tidak membahayakan. Mereka kemudian membeli dari Rusia. Akan tetapi, negeri-negeri Eropa mulai kalang-kabut akan pasokan gas buminya akibat perang Rusia-Ukraina tak kunjung usai. Indonesia sendiri tampaknya agak kurang menyadari hal itu. Doktrin yang berkembang adalah “ekonomi global,” tetapi secara instingtif Presiden Jokowi tetap nation-state. Freeport diambil alih, misalnya, dan dinilai sebagai investasi. Namun, kita tidak punya teknologinya. Selama ini, sebelum diambil alih, mereka hanya memproduksi dan menjual. Kita menggali tanah atau memetik buah kemudian langsung dijual. Dapat duit dan bisa beli barang lain. Begitu seterusnya. Namun, kalau hendak membeli pesawat tempur–meski punya duit–belum tentu pihak penjual mau menjual. Hal seperti itu yang agak kurang disadari oleh para pemimpin di negeri ini. Habibie pernah dikritik habis-habisan, “kenapa mesti bangun pabrik dan bikin pesawat terbang sendiri?”, Pihak IMF meminta IPTN ditutup dan akhirnya terpaksa ditutup dengan cara mengumpulkan dan mengakumulasi utangnya supaya lebih tinggi dari asetnya.
(P): Bagaimana aspek kelautan bisa berdampak terhadap perkembangan industrialisasi di Indonesia sebagai negeri kepulauan? Di sisi lain, ada banyak potensi perdagangan internasional untuk meningkatkan impor dan ekspor Indonesia….
(SS): Pada dasarnya, kita tidak siap. Kita punya wilayah daratan dan laut yang sangat luas, tetapi kurang atau bahkan tidak mampu mengelolanya. Ada wilayah laut yang berada di dalam wilayah kedaulatan kita dan ada zona ekonomi eksklusif. Di samping laut dalam ada laut yang pengaturan dan hak pemakaian sumber dayanya ada pada Indonesia. Zona ekonomi eksklusif bukan wilayah kedaulatan Indonesia, tetapi masyarakat internasional mengakui bahwa yang berhak mengatur dan mengendalikan sumber daya di zona itu adalah Indonesia. Salah satu bagian dari zona ekonomi eksklusif itu adalah Laut Cina Selatan, dan “pemanfaatan” sumber daya di zona ini harus dirundingkan dengan banyak negara. Sebagaimana diketahui, Indonesia dikelilingi oleh 18 pangkalan militer Cina, Amerika Serikat, dan sebagainya.
Kita memiliki wilayah yang sangat besar dan punya zona ekonomi eksklusif. Akan tetapi, karena tidak terlalu menyadari akan maknanya, kita tidak menyiapkan sistem dan segala perangkatnya agar bisa memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya di zona itu. Sebagai contoh, selama ini yang mengendalikan wilayah udara dan perairan di Kepulauan Riau dan Natuna bukan Indonesia, tetapi Singapura. Namun, pada akhir Januari 2022, Presiden Jokowi berunding dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsie Loong supaya ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna itu dikendalikan Indonesia. Selama ini, Singapura memperoleh banyak duit dari situ. Indonesia sendiri lebih banyak berdiam diri. Kenapa kita tidak siap mengambil alih ruang udara itu yang sesungguhnya merupakan wilayah kedaulatan Indonesia.
Mengatur lalu lintas pesawat lewat wilyah udara Indonesia tentu membuat Singapura mendapatkan banyak duit. Bila dihitung-hitung mungkin seperlima dari duit yang diperoleh Singapura itu cukup untuk “membungkam” orang Indonesia. Dalam perundingan antara Presiden Jokowi dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsie Loong, Indonesia akan memberikan delegasi pelayanan jasa penerbangan pada area tertentu di Kepulauan Riau dan Natuna di ketinggian 0-37.000 kaki kepada otoritas penerbangan Singapura. Di area tersebut, ketinggian 37.000 kaki ke atas tetap dikontrol Indonesia. Tempo hari ada kemajuan, tetapi belum semuanya. Dengan penyesuaian perjanjian itu, layanan navigasi penerbangan di Kepulauan Riau dan Natuna akan menjadi tanggung jawab otoritas navigasi penerbangan Indonesia. Seharusnya Indonesia yang mengendalikan sepenuhnya, dan hal ini mudah kalau memang ada niat. Kita bisa mempelajari dan kirim peralatannya ke Singapura setelah lebih dahulu sistemnya kita set up.
Itulah pentingnya satelit telekomunikasi dan radar. Namun, kita kurang memperhatikan pentingnya industri pembuat radar di negeri ini. Setiap kapal asing boleh bergerak di zona laut eksklusif milik Indonesia, tetapi mereka tetap harus meminta izin bila melewati wilayah teritorial kita. Namun, kita tidak memiliki sarana yang memadai dan cukup canggih untuk bisa mengikuti dan menelusuri keberadaan mereka yang melanggar wilayah perairan Indonesia. Kalau pun mereka melanggar, kita tidak bisa berbuat banyak karena kita kekurangan kapal atau ketidaksediaan bahan bakar karena anggaran yang tidak mencukupi. Hal-hal semacam itu nyaris tidak dipikirkan secara sistemik. Kita selalu ribut dengan hal-hal yang sebenarnya sudah “terbentuk atas dasar kesepakatan.” Kalau kesepakatan itu terus-menerus digoyang, akhirnya terpaksa mengerahkan polisi dan tentara untuk menanggulanginya. Ujungnya, banyak sumber daya yang dialokasikan hanya untuk pengendalian, bukan untuk pengembangan teknologi dan riset serta peningkatan secara signifikan kesejahteraan rakyat. Mengembangkan teknologi dan riset membutuhkan dana yang tidak sedikit, namun ini dianggap membuang-buang uang saja. Belakangan dibentuk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), padahal sebelumnya sudah ada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Litbang Perguruan Tinggi yang berjalan bagus. Keberadaan lembaga-lembaga riset lama dianggap “menghambur-hamburkan” dana.
(P): Jadi, masih ada sejumlah kebijakan yang kurang atau bahkan tidak relevan?
(SS): Bukan relevan atau tidak relevan, tetapi ada hal-hal relevan yang kerap terabaikan. Seperti keberadaan IPTN yang dianggap, “Mahal dan lebih baik ditutup saja.” Ada semacam pemahaman yang keliru bahwa memproduksi pesawat terbang tidak seperti menutup dan membuka “warung pisang goreng.” Sebagaimana diketahui, dalam membuat komponen sekecil apa pun, setiap pekerja di IPTN harus punya sertifikat dan berkualifikasi internasional. Bila IPTN ditutup, tenaga kerja sekian banyak yang sudah bersertifikasi itu menjadi pengangguran dan rugi besar bagi Indonesia karena kehilangan sumber daya manusia yang berkualitas.
(P): Terkait keberadaan BRIN, apakah lembaga ini bisa melakukan inovasi lebih baik dibanding lembaga-lembaga riset sebelumnya?
(SS): Tidak juga. Apa yang dinyatakan sebagai inovasi akhir-akhir ini atas nama BRIN sebenarnya sudah dikembangkan jauh sebelum adanya BRIN. Misalnya, bahan bakar pengganti BBM fosil dari lemak kelapa sawit yang diriset sejak tahun 1982. Riset seperti itu dianggap aneh, “Selama ini kita pakai minyak bumi, lantas kenapa mikir dan riset macam-macam lemak sebagai pengganti bahan bakar minyak bumi?” Dahulu 80 persen ekonomi Indonesia bergantung pada migas dan sisanya non-migas. Kami di ITB jauh hari telah memikirkan bahwa migas pada akhirnya non-renewable. Awalnya melakukan riset mandiri, namun lama-kelamaan mendapat perhatian dan dana dari beberapa kelompok usaha kelapa sawit dan sebagainya. Kita bisa bikin biodiesel yang bisa sepenuhnya mengganti BBM fosil dengan lemak-lemak tumbuhan seperti kelapa, kelapa sawit, nyamplung, kemiri, pohon jarak, bintaro, dan lain-lain. Dari lemak tumbuhan itu bisa dihasilkan bahan bakar minyak untuk pesawat terbang, kapal laut, kendaraan bermotor, dan lain-lain.
(P): Sebagai negara kelautan, Indonesia kaya akan sumber daya kelautan, seperti ikan. Namun, produksi ikan nasional justru menurun. Bagaimana komentar Bapak?
(SS): Selama ini kita tidak menyadari bahwa, misalnya, “Oh ada ikan.” Namun, kita seolah membiarkan ikan-ikan itu diambil dan dicuri pihak lain. Alasannya, kita tidak punya sarana yang memadai untuk mengatasi hal itu.
(P): Indonesia sebagai negara kelautan sudah diakui internasional dan sudah ada hukumnya, tetapi mengapa hal-hal seperti itu bisa terjadi?
(SS): Kita harus belajar banyak dari RRT era Deng Xiaoping, yang punya macam-macam ilmu dan teknologi. Ketika dahulu “dijajah” Inggris, banyak sekolah dan perguruan tinggi yang didirikan. Cina terkenal dengan industri logam pelbagai perkakas. Saat berkuasa, Deng Xiaoping membuka lebar-lebar Cina dan mengirim ribuan doktor ke Amerika Serikat dan Eropa, khususnya ke Jerman. Profesor-profesor Amerika Serikat dan Eropa senang dengan doktor-doktor dari Cina yang sangat bersemangat dan produktif. Sekian tahun kemudian mereka kembali ke Tanah Air. Dalam tempo kurang dari 25 tahun, muncul Cina yang mampu bikin pesawat terbang, kapal induk, roket ruang angkasa, dan sebagainya. Itu bukan hanya karena bisa, tetapi juga karena mereka punya tujuan. RRT bisa memprediksi keadaan dunia dan posisinya di masa depan, “Kami ini negeri besar dan kelak di masa depan lepas dari jerat kemiskinan.” Salah satu kunci global ekonomi adalah transportasi. Cina membangun jalur sutra darat yang dilewati kereta api dan jalur sutra laut melalui Lautan Hindia menuju Eropa. Mereka sangat menguasai perdagangan timur-barat.
Di sisi lain, Cina merasa harus merdeka dan tidak mau terlalu bergantung pada negeri lain. Mereka melakukan riset, misalnya, tentang kelapa sawit yang selama itu banyak bergantung impor dari Indonesia. Mereka melakukan riset tentang bagaimana memproduksi kelapa sawit di daerah sub-tropis. Barangkali, Cina yang sekarang sudah punya kelapa sawit jenis lain. Namun, yang penting bukan kelapa sawitnya, tetapi lemak kelapa sawit yang bisa dijadikan minyak dan oleo chemical. Dengan kata lain, Pemerintah RRT sadar, berpikir, dan punya tujuan. Mereka melakukan investasi nikel di Indonesia. Pemerintah Indonesia tentu sangat senang dengan investasi dari Cina. Namun, saya kerap mengingatkan, “Kita ini sebenarnya mau membangun Cina atau Indonesia?” Kita mengeksploitasi bijih nikel, diproses hilirisasi, dan kemudian dijual ke Cina. Lantas, dari mana bahannya kalau Indonesia hendak bikin baja, kapal, kereta api, dan lain-lain. Cina sendiri sejak lama menydari bahwa alat transportasi darat jarak jauh dengan kereta api dan sebagainya perlu baja yang bagus. Baja dari bahan baku nikel.
(P): Dalam konteks internasional, apa yang perlu dibenahi dalam mengimplementasikan Deklarasi Juanda?
(SS): Hal pertama yang perlu “disadari” adalah implikasinya kemudian tahu apa yang harus diperbuat. Dalam buku Deklarasi Djuanda, saya mengusulkan beberapa strategic enabling technologies yang harus dinomorsatukan, selain juga untuk menciptakan pemerataan di pulau-pulau yang sedemikian banyak jumlahnya.
(P): Pemerintah punya visi dan misi yang ada di RPJP dan RPJM. Apakah visi dan misi itu sudah cukup relevan dengan Deklarasi Juanda dan Negara Kelautan?
(SS): Satu kata untuk menjawab: Belum! Kita tidak terlalu sadar, “Laut telah kita kuasai, maka bikin dan jadilah Tol Laut.” Hal yang kelihatan saja di permukaan dan tidak berpikir jauh harus seperti apa. Jadi, yang nomor satu adalah melakukan riset dan pengembangan. Kita hanya punya satu atau dua kapal buatan Perancis untuk mempelajari keadaan laut dalam Indonesia yang sedemikian luas. Urusan riset memang kerap terabaikan. Sementara itu, kalau ada komoditas yang “gagal pasar”, yang sebenarnya bukan karena ada atau tidak ada barangnya. Akan tetapi, barang itu tidak bisa dijual karena harganya yang tinggi dan pendapatan orang tidak cukup untuk membelinya. Lantas diambil solusi paling gampang: subsidi. Bila tidak disubsidi, pemerintah mana pun pasti akan “jatuh.” Subsidi menjadi solusi. Misalnya, listrik seharga Rp 5000 disuruh jual Rp 2000, PLN pasti bisa bankrut kalau tidak disubsidi. Contoh lain, kita perlu devisa dan investasi asing. Kita keduk tanah untuk mendapatkan hasil tambang yang kemudian dijual. Kita dapat dolar dan bisa membeli aneka macam barang kebutuhan. Padahal, solusi yang seharusnya adalah meningkatkan pendapatan rakyat sehingga bisa membeli barang yang ditawarkan.
(P): Solusi bersifat jangka pendek....
(SS): Bukan hanya jangka pendek. Saya kerap memakai perumpamaan kalau kita selama ini ternyata menggunakan dan meniru teknologi bekantan, salah satu satwa asal Kalimantan. Memetik buah atau mengorek tanah, seperti ayam, kemudian dijual. Seperti itu pola pikirnya.
(P): Dari mana harus dimulai kalau kita hendak melakukan industrialisasi dari laut? Industrialisasi kelautan mungkin seharusnya bukan berawal dari industrialisasi perdesaan…..
(SS): Berpikirnya tidak seperti itu. Kita harus tahu lebih dahulu keadaan laut, ikan, dan lain-lain itu seperti apa? Banyaknya ikan di suatu tempat bergantung pada suhu temperatur air. Karena kita kurang atau tidak mengerti apa yang ada di laut dalam, pihak asing yang cerdas akan, “Bikin kapal selam yang tidak diketahui orang Indonesia atau ‘mengubah’ air di Laut Cina Selatan menjadi lebih hangat. Ikan pasti banyak yang berenang ke sana.” Kita sendiri tidak punya ikan lagi. Seperti tadi saya katakan, riset yang dilakukan sebenarnya untuk mengetahui apa yang kita punya di laut– tidak hanya ikan. Contoh lain, Pak Iskandar Alisyahbana selain berpikir tentang teknologi satelit, juga berpikir tentang bagaimana memproduksi benur udang dari laut untuk memasok tambak-tambak di darat. Namun, seperti kejadian beberapa waktu lalu, benur udang yang kecil-kecil itu digiring ke tempat lain atau dibeli kemudian dibesarkan di sana lalu dijual. Sedangkan kita, karena tergesa-gesa ingin memperoleh uang, kita menjual benur udang itu dan dijual lagi lebih mahal oleh orang lain.
Kita harus tahu apa yang kita punya. Setelah itu, kita harus tahu bagaimana cara memanfaatkannya—punya tujuan. Kemudian kita bikin sistem-nya. Seharusnya dari dulu sudah dilakukan seperti itu dan hal ini tidak terlalu sukar. Kita punya pabrik kapal dan pesawat, tinggal diarahkan saja. Mau bikin radar, kita juga sudah punya pabriknya. Sayangnya, semua itu tidak terlalu didukung. Lantas kita sekarang beranjak memasuki era Industri 4.0, digitalisasi. Rakyat mau pakai apa? Kita tidak punya kemampuan untuk bikin chip-nya. Cina bukan hanya mampu bikin semua devices itu, tetapi juga tahu dan sangat “menguasai” kuncinya.
(P): Berarti kita harus menguasai kuncinya?
(SS): Ya. Dialokasi resources.
(P): Bagaimana Bapak melihat implementasi teknologi digital dewasa ini dengan adanya internet terkait dengan pengembangan produksi di sektor kelautan?
(SS): Kita tidak terlalu memahami, kecuali ikan dengan segala macam binatang bersama beberapa tumbuhan. Kita tidak mengerti ada apa di dalam dan di bawah laut, kecuali minyak dan gas bumi—ini pun belum tentu bisa kita olah. Kita selalu pakai investor asing. Sekarang makin sulit untuk menemukan sumber minyak dan gas bumi di Indonesia. Kita tidak mengerti mineral lainnya yang ada di dalam dan dasar laut. Nelayan yang selama ini kita bina adalah nelayan pantai, sedangkan kita punya zona ekonomi eksklusif di Laut Cina Selatan dan selatan Jawa berdekatan dengan Australia sampai Lautan Pasifik. Untuk itu kita perlu nelayan samudra, bukan nelayan pantai. Tidak bisa begitu saja memindahkan nelayan pantai ke perairan Natuna untuk hidup di wilayah ini. Mereka akan tewas dihantam ombak karena tidak mengerti kondisi yang ada. Sementara itu, nelayan dari Cina adalah nelayan samudra bahkan selalu dikawal oleh kapal-kapal coast guard mereka. Kita setengah mati mengusir mereka dari Laut Cina Selatan. Kita kekurangan kapal atau bahan bakar untuk menemani dan mengawal nelayan kita. Nelayan kita yang nelayan pantai harus berjuang sendiri.
Sekadar ilustrasi, kita membangun desa dengan “menaruh” uang sekian miliar per desa. Dapat dipastikan sebagian dari dana itu tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Membagi-bagi uang, tetapi tidak jelas tujuan yang hendak dicapai. Pemerintah, misalnya, mengatakan siap mengucurkan dana Rp1 miliar per desa. Untuk apa? Orang desa diberi uang Rp 1 miliar belum tentu mengerti penggunaannya. Seharusnya dilihat lebih dahulu resource per desa dan apa yang kemudian ingin dibangun dan dikembangkan.
(P): Bisa dibilang internet dan sebagainya berkembang, tetapi di sektor kelautan ternyata belum siap untuk mengadopsinya.
(SS): Barangkali bukan internetnya, tetapi computer and comunication yang penting. Kita mengerti kapal ada di mana, tidak hanya kapal terapung saja tetapi juga kapal selam tanpa awak. Itu sebenarnya bisa dibikin oleh PT PAL. Kita punya kemampuan untuk membuat kapal “un man system,” sistem tanpa berawak, yang dicemplungkan untuk melihat kedalaman dan isi laut. Kita bisa melihat kapal-kapal selam bukan milik Indonesia atau ratusan benda “asing” yang berkeliaran di kedalaman laut kita. Namun, kita tidak punya peralatan sensor yang memadai. Hal-hal seperti itu seharusnya ada. Apakah mahal? Tidak juga. Namun, harus ada ada strategi, yang dalam bahasa Inggris, the optimal deployment of scarce resources to accomplish a mission. What is the mission to be accomplished? Itu yang harus diketahui lebih dahulu, kemudian apa resources yang diperlukan? Lantas bagaimana menggunakannya secara optimal supaya mission-nya accomplished. Kemudian disusun kebijakan yang diawali dengan adanya strategi berindustri. Berindustri itu sebenarnya mendukung yang kelak berujung ke produk akhir ekonomi. Karena itu, harus berproduksi, SDM-nya harus pintar, dan sebagainya. Jadi, optimal deployment of scarce resources to accomplish a mission tahu bahwa dialokasikan ke riset ternyata ada gunanya.
Ilustrasi lain, bagaimana membuat garam dari air laut. Dengan pemikiran global ekonomi, garam yang ditambang dari Australia jauh lebih murah ketimbang bikin garam dari air laut. Akan tetapi, kalau cerdas, kita bisa memproduksi garam laut di beberapa pulau belahan timur Indonesia yang kaya akan sinar matahari. Namun, jangan hanya bikin garam, tetapi juga “memproduksi” air untuk penduduk di pulau itu serta membangun industri berbasis garam. Produksi garam dari air laut jauh lebih menguntungkan dan bisa bersaing dengan garam yang ditambang di Australia. Secara teknis memang ada cara tertentu, tetapi corak berpikir dan strateginya harus jelas. Dahulu, negara kolonial Hindia-Belanda yang membuat Madura sebagai produsen utama garam di Indonesia.
(P): Indonesia sudah berusia 77 tahun, tetapi tetap tertanam “ketidaktahuan” dan “ketidakmengertian.” Di sektor kelautan ada PT PAL dan Pelindo, tetapi dengan wilayah perairan Indonesia yang sedemikian luas apakah cukup hanya “ditangani” oleh kedua BUMN ini. Sebenarnya apa yang bisa diperbuat oleh BUMN di bidang kelautan?
(SS): Orang hidup di darat dan tidak bisa jalan di air. Untuk pergi ke laut dan sebagainya perlu adanya pelabuhan. Presiden Jokowi benar ketika secara instingtif mengatakan perlu adanya pelabuhan dan kapal-kapal khusus. Akan tetapi, pabrik kapal harus diperbanyak. Kita juga harus bisa membuat pelbagai sarana dan prasarana di laut dapat digerakkan tanpa orang, otomatisasi, supaya jangan terjadi lagi empat puluh sekian orang tenggelam karena pakai kapal selam kuno. Kalau mau melihat pedalaman laut kirim saja kapal selam tanpa orang yang lebih murah. Yang tidak dihitung adalah mendidik orang yang bisa mengoperasikan kapal selam yang mahal. Bikin saja kapal selam pintar tidak berawak, tetapi dikendalikan dari atas permukaan laut atau daratan.
Memang tidak langsung memikirkan BUMN yang “mengurus” soal perikanan. Itu hal-hal yang obvious. Akan tetapi, nelayan kita harus nelayan samudra. Kapal-kapal nelayan samudra tentu berbeda karena dilengkapi peralatan canggih yang bisa mendeteksi dan membaca keberadaan ikan. Satelit, radar, dan alat komunikasi yang lain juga diperlukan supaya gerakan kapal bisa dipantau dan diarahkan. Itu harus ada dan disadari, bukan lantas, “Ini mahal, itu mahal.” Kalau seperti itu kita tidak bisa berbuat apa pun. BUMN bisa menggerakkan dan mengerahkan UMKM nelayan-nelayan samudra, yang tidak seperti nelayan pantai yang pakai perahu kecil. Nelayan samudra dilatih dan diajarkan pelbagai hal tentang kelautan.
(P): Terkait ketenagakerjaan di bidang kelautan, masih banyak pulau kosong dan tidak termanfaatkan dengan baik. Semua tenaga kerja terkonsentrasi di Jawa atau pulau-pulau besar lainnya. Komentar Bapak?
(SS): Pemikiran saya dalam berindustri: berindustri harus ada tenaga kerja, terlatih dan terdidik, produktivitasnya tinggi, disekolahkan dulu. Berpikirnya seperti itu. Kelamaan. Yang penting orang bisa dapat nafkah dulu. Bagaimana orang bisa dapat nafkah dengan kemampuan yang ada pada dirinya. Apa yang dimiliki oleh kebanyakan orang Indonesia? Satu, pintar berbudi daya atau bercocok tanam. Dua, kriya bikin gerabah, tenunan, ukir-ukiran, dan lain-lain. Tiga, pariwisata yang memerlukan banyak informasi. Karena itu, dilatih secara cepat dan didukung peralatan komunikasi yng canggih.
Bagaimana membuat pulau-pulau di Indonesia menjadi lebih bermanfaat? Ada hal yang menarik orang untuk datang dan menginap di suatu pulau. Berlangsung semacam investasi di pulau itu yang membuat orang senang dan mengundang banyak turis. Dengan demikian, terbuka lapangan kerja. Siapa yang melakukannya? Sebagian besar orang asing. Bahkan, ada pulau yang tidak mengizinkan orang Indonesia masuk dan menginap di hotel pulau ini. Namun, kita tidak berpikir sampai ke situ. Lantas apa yang harus dilakukan? Harus ada pesawat terbang yang bisa mendarat di pulau-pulau itu. Pesawat terbang buatan PT Dirgantara Indonesia pun harus berjuang bikin pesawat yang bisa mendarat di darat, laut, dan pantai. Sayangnya, pembuatan pesawat di dalam negeri selain kurang didukung juga biasanya disertai pesan. “Ya sudah, jangan hanya coba dan berhasil memproduksi pesawat saja, tetapi juga harus bisa dijual.”
Akan tetapi, kalau jual pesawat itu tidak ada satu pun bank yang mendukung. Kalau rumah rakyat dengan model KPR, pembelia tidak membayar ke perusahaan pengembang perumahan tetapi membayar angsuran ke bank. Ada bank yang mau menanggung itu. Bank akan membayar langsung tunai penjualan pesawat di depan. Lantas pembeli bisa mengangsur ke bank. Akan tetapi, sejak dahulu tidak ada satu pun bank yang berminat membiayai untuk pesawat terbang. Pak Habibie dahulu setengah mati kalau berjualan pesawat. Beliau menunggu keluarnya anggaran belanja dan mencicilnya dari anggaran belanja. Dana selalu seret untuk bikin pesawat terbang. Yang banyak menolong kita justru Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia. Malaysia beli beberapa pesawat patroli pantai dari Indonesia. Begitu pula Korea Selatan yang membeli empat pesawat patroli pantai dari Indonesia.
Korea berharap dan menginginkan industri pesawat terbang Indonesia jangan mati karena mereka punya satu klaster untuk memproduksi pesawat di Indonesia, yang membuat kita bisa mengembangkan industri pesawat seperti di beberapa negeri Eropa. Mereka berpikir ke situ. Yang tidak berpikir ke situ justru sebagian pemimpin di Indonesia. IPTN berdiri, “Coba jangan hanya bikin pesawat saja, tetapi juga harus bisa jual.” Akan tetapi, tidak ada bank yang bersedia mendukung. Menjual pesawat disuruh seperti jualan “pisang goreng.” Untuk menuju ke sebuah atau beberapa pulau, kita perlu pesawat atau kapal. Mulai dari yang sederhana saja, misalnya, di wilayah Raja Ampat. Alam dan suasananya sangat bagus, sehingga kita tinggal bangun penginapan yang baik dan menyediakan pelbagai sarana untuk bisa menyelam dengan selamat. Di masa depan, kita bisa berkembang dengan mengandalkan sektor pariwisata.
Lantas budi daya ternak dan tanaman. Kita punya banyak tentara yang sekarang ini tidak boleh “ngapa-ngapain.” Dengan pesawat, tentara itu diangkut dan ditaruh di sebuah pulau. Namun, dia jangan terus dibiarkan di pulau itu seumur hidup. Dia harus balik lagi ke markasnya. Taruh di situ selama, misalnya, beberapa bulan terus diangkut pulang diganti peleton yang lain. Untuk hidup, dia bisa pelihara bebek dan ayam atau menanam kelapa dan sebagainya. Jadi, dia menjadi pelopor (frontier) dan dilengkapi dengan “ditelantarkan” di pulau itu selama beberapa bulan atau setahun. Kemudian diangkut balik dan dirotasi. Seterusnya seperti itu. Jadi, tentara tidak berkeliaran atau keluyuran di kota-kota. Tentara yang pintar, berdisplin bisa membuka pulau-pulau itu. Mungkin ada di antara mereka yang tertarik untuk tinggal selamanya di pulau-pulau yang sempat mereka huni selama beberapa bulan itu. Seperti Pulau Buru yang dahulu dipakai sebagai tempat pembuangan para tapol, sekarang malah menjadi salah satu daerah maju di kawasan Indonesia bagian timur.
(P): Setiap pulau punya banyak fungsi, tetapi mungkin kurang disadari. Sejauh mana semua itu berkait dengan Deklarasi Djuanda?
(SS): Kita harus paham betul implikasi dari Deklarasi Djuanda. Sayangnya, sampai sekarang, hal itu tidak terlalu dipikirkan.
(P): Kalau memahami Deklarasi Djuanda pasti pola pikirnya akan sampai ke sana?
(SS): Iya. Mengenai tenaga kerja, misalnya. Bila semua orang harus disekolahkan lebih dahulu, tentu akan memakan waktu Yang penting orang dapat income, senang dan nanti dia bisa belajar sendiri. Belajar tidak hanya diperoleh dari sekolah saja. Kita bisa bikin cara belajar yang baru, misalnya. Bila dia sudah punya keterampilan di bidang kerajinan, manfaatkan dan kembangkanlah industri berbasis kerajinan. Namun, jangan suruh orang menekuni kerajinan, tetapi bahan bakunya tidak tersedia atau tidak disuplai. Jangan semua diserahkan ke bawahan. Sementara itu, yang di bawah banyak yang tidak mengerti. Mereka itu orang kecil dan pejabat rendah.
(P): Terkait SDM kelautan yang tertinggal cukup jauh dibanding SDM umumnya, bagaimana strategi untuk mengejar ketertinggalan ini?
(SS): Di sana ada “misi yang harus diselesaikan.” Dengan strategi itu bikin kebijakan yang paling dasar berindustrinya. Kita mengindustrikan budi daya untuk orang-orang di desa dan mengindustrikan pariwisata serta mengindustrikan kriya. Jadi, jangan berpikir ekonomi kreatif terus bisa bikin program atau aplikasi. Bikin kain ulos adalah sebuah bentuk ekonomi kreatif dan menyambung dengan pariwisata serta bisa diekspor. Akan tetapi, jangan dibiarkan begitu saja. Harus juga dipikirkan ketersediaan bahan bakunya, corak desain, dan pemasarannya—diindustrikan.
Sebagai ilustrasi, di Sukabumi ada 11 desa. Pada tahun 1970-an, kami minta izin serta mengatakan kepada gubernur dan bupati, “Reputasi Anda bukan dihitung dari bagaimana melebihi target berproduksi padi, tetapi apakah rakyat Anda juga meningkat kesejahteraannya.” Jangan melebihi dan mengejar target. Kalau target telah ditentukan seperti itu ya sudah dipenuhi saja. Setelah itu gunakan waktu yang ada untuk menanam palawija atau pisang dan menjualnya. Ada 11 desa yang income-nya naik lima kali lipat hanya dalam tempo tiga bulan. Gampang dan tanpa bantuan dana 1 miliar rupiah seperti sekarang ini. Yang melakukan itu para mahasiswa, yang juga menjadi sadar. Kita membentuk calon-calon sarjana itu tidak pakai konsep “merdeka-merdeka” segala macam.
(P): Pengembangan teknologi dan industri sangat diperlukan. Kalau dari sisi pembiayaan, mungkin ruang APBN kita terbatas. Bapak sempat menjelaskan pihak perbankan enggan membiayai industri pesawat terbang. Apakah itu bisa dikaitkan dengan Deklarasi Djuanda?
(SS): Jangan hanya APBN saja yang memang dipakai untuk menstimulir. Ada mekanisme, pengetahuan, dan kemampuan yang kurang. Karena ilmunya kurang, maka harus ada financial engineering. Merekayasa penggunaan, “Oh ini penting.” Lalu semacam itu dibiayai. Tidak hanya pendidikan di perbankan dan bukan hanya dididik ekonomi dan sebagainya. Ada yang khusus. Apalagi, sekarang ada bank syari’ah dan ekonomi syari’ah yang terus mengubek-ubek soal haram dan tidak haram. Bagaimana berbank tanpa riba? Dengan apa? Dengan joint venture? Sebetulnya pembiayaannya itu pada modalnya berupa production sharing. Dulu industri minyak bumi kita pakai model production sharing (kontrak bagi hasil). Itu sebetulnya termasuk dalam konsep syari’ah.
Ada bank syari’ah membiayai perusahaan tertentu. Perusahaan itu tidak bisa maju kemudian dilepas dan asetnya diambil alih. Itu bukan syari’ah, karena kalau syari’ah berarti risikonya ditanggung bersama. Ia tidak mengerti bagaimana menjalankan perusahaan. Ia harus terlibat di dalam perusahaannya itu. Memang, susah membuat bank syari’ah meminjam-minjamkan uang, tapi terlibat di dalamnya. Itu pendanaan tanpa bunga. Untungnya dibagi bersama, ruginya juga ditanggung bersama. Jadi, mau mengimplementasikan bank syari’ah pun masih salah, menurut saya. Tidak mengerti artinya. Pendek kata, untuk urusan pembiayaan kita harus mengembangkan banyak pengetahuan tentang financial engineering.
(P): Bagaimana pandangan Bapak terkait hubungan antara teknologi dan UMKM di sektor kelautan?
(SS): Kita berproduksi harus menggunakan cara, preskripsi. Menghasilkan preskripsi itu adalah berteknologi dan berteknologi adalah tindakan untuk menghasilkan preskripsi. Sekarang ada upaya melibatkan banyak orang yang bisa memanfaatkan kekayaan di laut. Yang paling mudah adalah mengambil hewan yang ada di laut. Perbanyak nelayan samudra, jangan nelayan pantai. Kapal mereka dibikin dengan dilengkapi teknologi bermacam sensor. Teknologi radar akan mengarahkan sekaligus melindungi mereka dari tuduhan telah melanggar batas perairan. Pada dasarnya, preskripsinya telah tersedia. Dengan adanya kegiatan usaha kecil seperti UMKM di bidang kelautan, tingkat kemiskinan akan menurun. Namun, ukuran saya, bila orang yang menduduki trotoar dan tanah di tepi jalan untuk berjualan sudah tidak ada lagi berarti tingkat kemiskinan rendah. Bila masih ada, berarti tingkat kemiskinan masih tinggi. ●