Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi
Mengejar keadilan adalah mengejar bayangan — kaum sinis maupun realis berada dalam satu kubu di sini meski dengan alasan berbeda. Kaum sinis menetapkan standar setinggi mungkin sehingga tidak pernah tercapai. Setiap upaya ke sana diremehkan karena kegagalan adalah kepastian. Sedangkan kaum realis melihat kenyataan dan berdasarkan kenyataan membuat proyeksi dengan perhitungan seteliti mungkin, dan dalam hubungan itu teknikalitas adalah keniscayaan. Sudah terlalu terkenal teknik-teknik seperti gini-ratio yang selalu dijadikan ukuran keadilan ekonomi. Mereka menganut dan menghormati gradualisme, penyelesaian tahap demi tahap, karena itulah satu-satunya cara yang mungkin. Masalah besar tidak bisa diselesaikan dengan “sekali pukul.” Dengan begitu gradualisme dipakai sebagai prinsip dasar untuk mencapai apa yang disebut sebagai keadilan dengan menutupi kelemahan di sana-sini.
Dunia pernah mengalami dua-duanya. Pertama, secara gradualis tergantung dari perkembangan sistem kapitalisme, yang berlangsung di dunia tua seperti Eropa di mana teknologi berperan penting mengubah wajah ekonomi sejak penemuan mesin uap sampai revolusi teknologi informasi. Pelajaran yang diambil ekonomi berkembang adalah dengan menganut trickle-down-effect principle dan menjadikannya andalan. Inti trickle-down-effect principle adalah biarkan yang mampu berkembang dahulu, karena dari sana akan menetes kemakmuran ke bawah bagi yang lemah. Prinsip itu gagal di manamana. Namun, kegagalan demi kegagalan prinsip itu tidak pernah memberi pelajaran jera bagi perancang pembangunan.
Kedua, yang berada di sebelahnya adalah kaum idealis, yang sangat dekat hubungannya dengan kaum romantik. Pada gilirannya, gabungan antara paham idealisme, romantisme, umumnya menjadikan penganut-penganutnya revolusioner yang mau menciptakan keadilan dengan “sekali pukul.” Contoh terbaik dari gabungan itu adalah kaum revolusioner dalam bentuk anarkisme yang menjadi lebih revolusioner dari kaum revolusioner.
Dari semuanya, paham anarkisme paling menarik. Kaum anarkis pada dasarnya lebih menyoal dua hal: kebebasan dan otoritas. Dua hal tersebut berhubungan satu dengan yang lain. Semakin tinggi otoritas semakin berkurang kebebasan. Otoritas yang terstruktur dan diinstitusionalisasikan dalam bentuk organisasi apa pun, swasta ataupun negara, menggerus kebebasan. Dengan demikian, keadilan hanya mungkin bila otoritas berada dalam tingkat paling minimal.
Dalam suatu perkembangan lain, terutama komando operasi keamanan dan ketertiban, anarkisme menjadi perhatian Orde Baru Soeharto. Perbenturan di antara keduanya—anarkisme yang tidak pernah dianut gerakan-gerakan mahasiswa penentang Orde Baru dan otoritas yang dibela Orde Baru—secara teoretis membingungkan: mengapa anarkisme menjadi biangnya? Namun, meski tidak dinyatakan secara eksplisit, perbenturan antara kebebasan dan otoritas selalu menghasilkan kekerasan. Di tengah kekerasan tidak pernah ada keadilan. Kekerasan muncul ketika ratusan tahanan politik menerima “nasib” dipenjarakan tanpa pengadilan; sedangkan otoritas memunculkan arogansi penuh ketika para pembunuh mahasiswa dan kaum aktivis tetap berkeliaran tanpa perkara.
Jarak 60 tahun antara 1965 sampai sekarang tidak mengubah pandangan tentang apa yang berlaku pada masa darurat—komunisme itu tetap menjadi ancaman, dan kaum komunis yang sudah dihancurkan dalam jumlah jutaan itu tetap menjadi bahaya di depan pintu rumah setiap warga negara. Gerakan reformasi memproduksi kedaruratannya sendiri—bahwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti, bahwa pembunuhan mahasiswa di depan Universitas Atmajaya terjadi demi keamanan dan ketertiban ketika negara berada dalam keadaan darurat.
Ketika seruan kebebasan meningkat, peningkatan itu malah lebih memperkeras otoritas. Keketatan otoritas yang dirangsang gerakan kebebasan dan keadilan muncul dalam bentuk imunitas. Imunitas, kekebalan hukum, tidak sekadar menunjukkan bahwa pemegang otoritas itu tidak bisa dan tidak boleh tunduk kepada hukum—sering disebut sebagai “hukum yang berlaku” yang dalam kenyataan tidak pernah berlaku—tetapi terletak dalam kemampuannya untuk menyatakan bahwa apa pun yang terjadi pada masa transisi dengan hukum darurat sebagaimana ditentukan oleh pemegang otoritas sudah menjadi hukum. Hukum darurat yang menjamin imunitas terus berlangsung meski kedaruratan itu sudah lama berlalu.
Imunitas senantiasa dirumuskan sebagai “kekebalan”, namun dalam prosesnya yang panjang kekebalan sebagai akibat kedaruratan sudah “bermetamorfosis” menjadi hukum itu sendiri, dan bersama itu imunitas/kekebalan masa hukum darurat menjadi permanen•