Ketika istilah “post-truth” (pasca-kebenaran) dinobatkan Oxford Dictionaries sebagai word of the year 2016 karena lonjakan drastis penggunaannya hingga 200 kali lipat dari November tahun sebelumnya, ia seolah menandai suatu perubahan zaman. Beranjak ke suatu masa saat pertukaran komunikasi massa dan pembentukan opini publik tak lagi berurusan dengan produksi dan reproduksi kebenaran.
Kamus Oxford mendefinisikan “pasca-kebenaran” sebagai “hal ihwal yang menghubungkan atau menunjukkan keadaan saat fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik ketimbang membangkitkan emosi dan keyakinan pribadi.” Perlu digarisbawahi, awalan “pasca” (post) yang berarti masa yang telah usai, dalam makna temporalnya bukan hanya dimaksudkan kita kini berada pada “masa lampau kebenaran,” tetapi juga berarti bahwa kebenaran telah ditumbangkan. Kebenaran menjadi tidak relevan dalam hidup kita saat ini.
Beberapa pendapat mungkin membantah soal tidak relevannya kebenaran di masa hidup kita kini. Pasca-kebenaran bukanlah keterputusan dengan atau pelampauan atas kebenaran, melainkan semacam adaptasi sosial di era digital dari relativisme kebenaran dan skeptisisme tentang kebenaran. Dua dalil untuk melawan kemutlakan, yang kita yakini menjadi salah satu penopang disiplin ilmiah, perkembangan ilmu pengetahuan, dan sikap kritis.
Namun, pasca-kebenaran bukanlah problem teoretis atau epistemologi kebenaran, ataupun soal fenomenologi dan tafsir hermeneutik. Ia soal bagaimana, bahkan bagi setiap orang --yang memiliki akses internet, melalui berbagai saluran media sosial dan platform digital-- berpotensi menyelewengkan fakta objektif menjadi opini sepihak dan berat sebelah, mengabaikan bahkan menyangkal fakta, mengeksploitasi emosi, hanya demi keyakinannya sendiri.
Ledakan informasi dan opini di dunia maya yang awalnya banyak dianggap sebagai perluasan partisipasi demokratik dan keberagaman pendapat, kini malah berbalik menjadi sarana efektif bagi penyempitan pandangan, polarisasi keyakinan, monopoli informasi, bahkan berita palsu dan kebohongan.
Sebagian sumber penyebabnya terletak pada karakter teknologi informasi dan komunikasi yang digunakan cenderung monopolistik, menihilkan dialog. Meta-data di balik dunia maya dan platform digital memungkinan identitas pribadi, perilaku konsumen, bahkan kebiasaan, irama hidup, dan kepribadian kita sehari-hari dipantau, dikumpulkan, dipetakan, dan diagregasi melalui mesin algoritmik; dengan satu tujuan: memilah, mengonsentrasikan, untuk menyusun pola menjadi model yang disederhanakan hingga berwatak multipolar bahkan bipolar. Keberagaman manusia direduksi menjadi satu dimensi demi kepentingan ekonomi-politik para penguasa dan pemilik dunia digital.
Paruh dasawarsa kedua abad ke-21 ini ditandai bangkitnya populisme kanan melalui demokrasi elektoral yang memenangkan Donald Trump menduduki kursi kepresidenan Amerika Serikat berbekal kampanye penyangkalan, pelintiran kebencian (hate spin), berita palsu, dan omong kosongnya. Dalam cara mirip, di Pilpres 2019, melalui saluran media sosial dan komunikasi digital, kita menjadi saksi tentang menajamnya polarisasi antara mereka yang mengatasnamakan Islam sebagai identitas politik versus katakanlah “para nasionalis”, dan turunan ungkapan stigmanya: “cebong vs kampret”, lengkap dengan penyebaran ancaman ketakutan (fear-mongering). Pilpres seolah jurang permainan zero sum; kalau bukan kawan pastilah lawan, kemenangan yang satu meniadakan yang lain. There is no alternative, TINA.
Hari-hari ini kita tengah menyaksikan pengungkapan kebenaran dan upaya meraih keadilan dalam perkara pembunuhan Brigadir Josua Hutabarat. Irjen FS bersama istri, serta seorang ajudan, didakwa terlibat merancang pembunuhan. Sementara itu, Bharada RE dikabulkan menjadi justice collaborator. Kasus pembunuhan itu dapat diajukan ke meja hijau hampir sebulan kemudian, setelah upaya FS membuat skenario “tembak-menembak” antar-ajudan terbongkar penuh kebohongan. Kendati telah melibatkan beberapa perwira kepolisian bawahannya, skenario FS gagal total. Mereka yang terlibat menyebarkan keterangan palsu dijerat delik perintangan peradilan (obstruction of justice).
Tanpa upaya gigih keluarga besar Josua, para aktivis, tekanan publik, kebenaran tentang pembunuhan itu tak akan terungkap. Kini, banyak pihak berharap kasus itu dapat menjadi tonggak (milestone) bagi reformasi Polri. Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal Sigit Listyanto memandangnya sebagai upaya mengembalikan citra kepolisian di mata publik. Tolok ukur reformasi kelembagaan Polri agaknya lebih mementingkan citra ketimbang kinerja. Bertumpu pada citra, persepsi, di titik ini pasca-kebenaran menemukan kiatnya: manipulasi fakta, tipu daya.