Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi
Sebagai negara-bangsa majemuk dengan ratusan etnis, puluhan agama dan kepercayaan lokal, keragaman budaya, adat-istiadat, bahkan beragam ras, Indonesia pasca-Reformasi menghadapi persoalan integrasi sebagai sebuah bangsa. Pokok soal utama terletak pada menguatnya politik identitas dari Islam sebagai agama mayoritas, serta kecenderungan intoleransi berdasarkan sentimen bahkan prasangka keagamaan. Dalam konteks tersebut, pendidikan formal maupun informal untuk mengedepankan keberagaman menumbuhkan kembali asa kebangsaan, menghargai perbedaan serta menghormati hak dan kebebasan beragama/berkeyakinan orang lain menjadi sentral persoalan.
Sebagai organisasi masyarakat sipil, Yayasan Cahaya Guru (YCG) selama lebih dari satu dasawarsa sangat memperhatikan upaya pengembangan tema keragaman dan kebangsaan da- lam pendidikan. Bagaimana pergulatannya menemukan format yang tepat dan efektif untuk membuka dialog—mereka menyebutnya “‘ruang perjumpaan”—di antara para pendidik, guru, dan siswa, serta para aktivis di tingkat komunitas dan sekolah formal untuk terlibat membangun kerja sama dan mengidentifikasi masalah di lingkungan terdekat. Untuk menemukan kunci dan menggali praktik-praktik terbaik dari proses pembelajaran memajukan keragaman itu, Harry Wibowo dari Prisma mewawancarai Henny Supolo Sitepu, pendiri dan Ketua Dewan Pengurus YCG, akhir Desember 2019 di Jakarta. Berikut petikan wawancaranya.
Prisma (P): Apa yang dimaksud dengan “pendidikan multikultural” dan sejak kapan Yayasan Cahaya Guru berkiprah?
Henny Supolo (HS): Kami memulainya pada 2006. Sejak 2007 sampai 2010 kami melakukan berbagai pelatihan kepada guru khu- sus sekolah-sekolah yang kurang beruntung, yang selama ini tidak pernah tersentuh, tidak pernah mendapatkan pelatihan yang seharus- nya diberikan. Kami pergi ke sejumlah sekolah serta bertemu kurang lebih 4.500 orang guru dari sekitar 2.000 sekolah di beberapa tempat [lihat, https://youtu.be/4nHjsf4QiBc]. Topik atau payung besarnya berupa pelatihan penge- lolaan kelas dengan menggunakan potensi dan kondisi lingkungan. Kami mendatangi sekolah- sekolah kurang beruntung yang memiliki sa- ngat banyak kendala. Energi mereka sering kali habis untuk memikirkan apa yang mereka tidak punya, tetapi lupa mendata apa yang masih mereka miliki.
Kami pernah ke satu daerah tertinggal di perbatasan Cisarua, Cianjur, Purwakarta, Ban- dung Barat. Di daerah itu, kami menemukan guru-guru yang sangat luar biasa. Bahkan, di tempat-tempat yang berkekurangan pun selalu dapat dijumpai guru yang dengan kecintaannya mengajar berupaya mengangkat dan mengguna- kan potensi lingkungan. Biasanya mereka memakai sebuah atau beberapa “masalah” sebagai tantangan. Kami pernah kerja sama dengan seorang guru laki-laki untuk mengatasi masalah perkawinan anak. Pada 2007, lebih dari 50 persen anak SD tidak melanjutkan studi ke SMP. Pada 2011, setelah didampingi guru tersebut, 100 persen anak perempuan dapat melanjutkan belajar ke SMP, bahkan SMA. Pendekatan yang dilakukannya cukup seder- hana. Dia mendatangi dan berbincang-bincang dengan para orangtua, terutama ayah, karena biasanya yang memutuskan soal perkawinan anak adalah ayah.
Namun, ketika menghadapi 4.500 orang guru, kami menemukan isu keragaman yang disebutkan atau diungkapkan secara berbisik. Saya menulis tentang itu. Semua guru yang mengeluhkan soal keberagaman tidak satu pun bersedia disebut namanya, bahkan tidak mau disebut sekolahnya. Bila ketahuan, sekolah mereka bisa saja dicap sebagai “pemberontak.” Mereka kurang berani mengungkapkan soal keragaman. Namun, mereka kemudian berani mengungkap secara terbuka hal itu bila kita sudah saling mengenal lebih dekat, biasanya setelah pertemuan keempat. Bukan di ruang kelas, tetapi ketika makan siang bersama. Yang paling sering dikeluhkan saat itu adalah dipaksa memakai jilbab.
(P): Mereka dari sekolah swasta?
(HS): Kelompok sasaran kami adalah se- mua guru sekolah negeri. Kami tidak pernah mempermasalahkan sekolah-sekolah swasta. Mereka berhak menentukan seragam atau aturan khusus apa pun yang mereka mau. Guru berjumlah 4.500 itu tidak hanya berasal dari sekolah negeri. Ada juga yang berasal dari sekolah swasta. Namun, dalam interaksi dengan mereka, kami kerap menemukan problem intoleransi yang dibicarakan berbisik-bisik. Karena itu, pada 2010, kami tetapkan untuk fokus pada isu keragaman supaya guru tahu kalau mereka ingin bicara ke mana harus pergi. Dahulu kita menyebutnya pluralism, namun istilah ini tidak mudah dipahami oleh para guru. Kita mengubahnya menjadi “kebinekaan.” Na- mun, karena muncul berbagai penolakan, kita mengganti istilah itu menjadi “keragaman.” Sesungguhnya basisnya sama, yakni kemam- puan bekerja sama. Kita tidak mau berhenti pada soal toleransi yang bersifat pasif. Kita selalu mengatakan kemampuan bekerja sama dengan payung keragaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Bangsa kita tidak akan eksis tanpa payung itu.
Sejak 2010 hingga kini, melalui berbagai penyebaran dan kegiatan, kami sudah bertemu dengan lebih dari 13.000 orang guru guna me- wujudkan masyarakat guru yang merujuk pada tiga pilar tersebut. Bila para guru merujuknya, maka sebagian masalah yang kita hadapi bisa teratasi. Itu visinya. Sedangkan misinya dija- lankan melalui sejumlah kegiatan andalan, mulai dari advokasi kebijakan, menguatkan guru, hingga mempromosikan tiga pilar itu. Semen- tara itu, Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan dalam Pasal (4) ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa “Pendidikan dise- lenggarakan secara demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif, menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.”
Coba dibayangkan kalau UU tersebut dipa- kai sebagai payung kebijakan dan diturunkan hingga ke tingkat sekolah, dan sekolah mene- tapkan berbagai indikator yang memperlihatkan capaiannya. Sekolah tidak lagi disibukkan uru- san administrasi semata, tetapi lebih pada pro- ses pembelajaran yang berlangsung di dalam- nya. Sayangnya, hal itu tidak terlaksana karena yang dilihat dalam akreditasi sekolah dan ber- bagai evaluasi guru tidak memasukkan turunan UU itu. Ada semacam kesenjangan. Peraturan menteri (Permen) memang mengutip UU ter- sebut, tetapi secara spesifik ketentuan prinsipil itu tidak diangkat. Terjadi semacam inkon- sistensi dari yang dianggap prinsip dengan ketentuan di bawahnya. Hal tersebut perlu segera dibenahi, sehingga bisa diturunkan dalam keseharian di sekolah.
Mengatasi Kesenjangan
(P): Contoh kesenjangan antara yang prinsip atau yang seharusnya dengan kenyataannya itu seperti apa?
(HS): Misalnya, kita menetapkan bahwa sekolah negeri tidak diskriminatif. Berapa banyak sekolah negeri yang sungguh-sungguh mencegah perlakuan diskriminatif dan yang utama menyemai kebinekaan? Sekolah negeri itu dibayar oleh pajak kita. Seberapa jauh mere- ka sungguh-sungguh berketetapan melaku- kannya? Berapa sekolah negeri yang dengan penuh kesadaran berusaha agar siswanya bera- gam dan menghargai keberagaman? Berapa di antara mereka yang berupaya belajar dari keragaman dan menjadikannya sumber pem- belajaran? Keluhan yang muncul dari teman- teman beragama atau berkepercayaan lokal, atau saat bertemu dengan teman-teman beraga- ma minoritas, sulit mendapatkan guru mata pelajaraan agama mereka di sekolah bersang- kutan. Keluhannya sama. Saat anak-anak memu- lai pelajaran di kelas, Permen yang ada mengha- ruskan semua murid membaca terlebih dahulu sekitar 15 menit. Namun, yang disebut “membaca” ternyata membaca kitab suci satu agama (mayoritas, red). Lantas, siswa beragama lain juga harus atau tidak ikut membaca?
Kami pun menemukan beberapa sekolah
yang dengan sangat gembira mengatakan, “Aduh, sekolah kami beruntung sekali, 100 persen beragama (Islam, red).” Sekolah-sekolah negeri agaknya merasa beruntung jika semua siswanya hanya berasal dari satu agama. Saat itu pula kita tahu bahwa prinsip keberagaman tidak jalan. Tidak ada upaya mengangkat nilai-nilai budaya kemajemukan. Mengapa bisa terjadi seperti itu? Barangkali karena sekolah-sekolah itu lebih mengutamakan dan cenderung bias pada agama mayoritas, sehingga sangat sulit untuk masuk ke dalam soal keberagaman.
(P): Bagaimana konkretnya mendorong guru atau sekolah memfasilitasi agama atau keyakinan minoritas?
(HS): Kami berada dalam tiga tataran. Perta- ma, menguatkan filosofi pendidikan. Kedua, memperluas pengetahuan. Ketiga, menajamkan keterampilan. Dari ketiga hal itu, kami berharap setiap guru bisa melihat problem keberagaman. Kalaupun sekolah itu “homogen”, apakah anak- anak bisa mengatasinya? Bagaimana caranya mencari apa yang berada di luar diri kita, di lingkungan sekitar, untuk menciptakan ruang- ruang yang kami sebut sebagai “ruang perjum- paan”? Apakah mengundang yang lain ataukah menjalin kerja sama? Misalnya, seorang guru SD minta para murid mencari informasi seba- nyak-banyaknya, kemudian “membangun” ru- mah-rumah ibadah di pojok ruang kelasnya. Walaupun di sekitarnya tidak ada yang lain, hal
yang tampaknya sederhana itu menyiapkan para siswa agar memahami bahwa di luar ruang kelas ada sangat banyak keragaman yang perlu dikenali dan diketahui bahwa “mereka” adalah teman-teman untuk bekerja sama kelak. Wa- wasan keragaman dan menghargai perbedaan itu mau tidak mau harus dimiliki semua anak agar bisa survive. Kerja sama itu bagian sangat penting. Kompetensi penting untuk bisa sur- vive. Kalau kamu hanya bisa dapat dari apa yang kamu batasi, kamu tidak menyiapkan anak- anakmu untuk masa depan.
Ketika saya bertolak ke salah satu Universitas Islam Negeri (UIN) di Sumatera dan berdiskusi dengan beberapa dosennya, salah seorang di antara mereka menyatakan, “Bu, kebinekaan itu satu ancaman buat anak kita.” Dia pengajar ju- rusan pendidikan di UIN. Padahal, dalam dis- kusi itu, saya sama sekali tidak menyinggung soal agama. Saya hanya bicara, “Kalau kamu me- nyiapkan anakmu untuk masa depan, kamu perlu membekali mereka dengan kemampuan bekerja sama, kemampuan berkomunikasi, punya ke- mandirian, punya kreativitas, dan kemampuan ber- pikir kritis agar bisa bekerja sama dengan baik. Keragaman itu bagian sangat penting untuk be- kerja sama.” Itu saja sulit dipahami.
P): Bagaimana mengatasi problem diskri- minasi dalam soal seragam sekolah?
(HS): Seperti telah saya katakan, sejak dini muncul semacam penolakan ketika ditawarkan menggali problem diskriminasi. Ada semacam ketakutan yang cenderung meluas. Bagaimana- pun juga, kalau di dalam seragam sekolah mem- bawa serta “ideologi”—mestinya tidak diwajibkan di sekolah negeri—maka harus ada pilihan bagi siswi (Muslim, red). Sampai sekarang kami be- lum berhasil membawa kasus tersebut untuk diadvokasi secara terbuka. Namun demikian, setidaknya telah resmi dijelaskan dan diedarkan ulang bahwa ada beberapa macam seragam se- kolah. Jika sekolah negeri memilih hanya satu macam seragam, sebenarnya ini sebuah kesa- lahan. Dengan otonomi (daerah, red) akan sangat sulit mencari siapa yang seharusnya bertang- gung jawab soal itu di tingkat SD, SMP di kabu- paten, dan SMA di tingkat provinsi. Hal tersebut tentu akan menyulitkan Dinas Pendidikan. De- ngan kata lain, pendekatan yang dilakukan tidak boleh hierarkis.
Belajar dari Pengalaman
(P): Dalam beberapa kasus, adakah best practices dari sekolah-sekolah negeri untuk membuat pilihan bebas seragam untuk para siswi?
(HS): Ada sekolah negeri yang tahu jenis seragam yang tidak diwajibkan. Misalnya, hanya hari Jumat diharuskan mengenakan baju Mus- lim. Mengapa mesti di hari Jumat? Kami coba mencari pendekatan positif. Kita cari apa saja yang masih bisa ditarik untuk menguatkan keberagaman. Kami mulai dari soal jilbab dan berujung pada Sekolah Guru Kebinekaan. Peraturannya seperti apa? Peraturan berjilbab itu berterima atau tidak? Lantas kita membuka dialog untuk bekerja sama dengan berbagai pihak. Yang terpasang di sekolah itu apa? Guru itu cerminan apa? Bagaimana jika melibatkan Komite Sekolah? Bagaimana melibatkan ber- bagai lembaga yang meluluskan guru untuk memahami Pasal (4) UU Sisdiknas itu?