Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Pendudukan Ruang Publik, Meretas Ranah Publik

Harry Wibowo

“Gerakan Occupy” telah mengubah secara dramatis cara pandang kita tentang ruang publik kota. Menyusul yang kemudian dikenal sebagai #OcccupyWallStreet, tak hanya New York dan kota-kota besar AS lainnya, tetapi juga merebak di lebih 80 kota mancanegara: Spanyol, Yunani, Inggris, dan sebagainya, termasuk Melbourne dan Jakarta pada bulan-bulan di pengujung 2011. Di ibu kota negeri ini, meski tanpa “dimeriahkan” tenda-tenda perkemahan dan kantong tidur, lebih dari 50 orang terdiri dari kaum miskin kota, buruh, petani, mahasiswa, intelektual serta aktivis setiap hari selama lebih dua bulan menggelar protes dan rapat umum di pelataran Bursa Efek Jakarta; berdiskusi dan merumuskan resolusi tentang kejahatan kapitalisme.

Melalui bantuan media sosial yang mulai naik daun saat itu, dengan slogan yang mirip kalau tidak serupa, para peduduk (occupiers) menegaskan diri sebagai bagian dari 99 persen populasi. Satu persen kepentingan korporasi dan elite kaya raya dikaitkan dengan berbagai dampak krisis ekonomi, sosial, dan ekologis. Peningkatan utang negara, dana talangan untuk korporasi raksasa yang bangkrut, pengetatan anggaran negara, pengurangan jaminan sosial, serta meningkatnya pengangguran, semua berkontribusi pada menajamnya ketimpangan sosial-ekonomi dan ketidakadilan di era finansialisasi dan neo-liberalisasi global. Soal-soal itu menyatukan massa yang mendaku hak atas ruang kota.

Melampaui kandungan utama muatan protes dan slogannya, setelah satu dasawarsa berlalu, dua pelajaran bisa ditarik dari gerakan pendudukan (occupy movement) di kota-kota dunia. Pertama, gerakan itu membangkitkan pertanyaan penting tentang ruang publik (public space) perkotaan: siapa yang berhak memilikinya dan siapa yang dapat menggunakannya? Baik Zuccotti Park, New York, maupun Pelataran Bursa Efek Jakarta di Senayan untuk hanya mengambil dua contoh, merupakan ruang publik milik swasta (privately owned public space - POPS). Namun, para peduduk telah mendaku jika menyuarakan kepentingan umum (publik) ataupun rakyat banyak, maka perebutan tempat publik dengan pendudukan POPS sah adanya. Klaim politik spasial itu menantang otoritas pemerintah kota dan regulasi kepolisian, yang selalu mengistimewakan hak milik swasta di atas hak kolektif untuk berbicara dan berkumpul. Di seluruh kota dunia, walau berdaya tahan bulanan dan ajek, gerakan pendudukan selalu berakhir dengan pengusiran, blokade, dan penahanan oleh polisi.

Kedua, berbeda dengan aksi protes jalanan atau ekstra-parlementer yang merupakan fenomena demokrasi modern—sering kali jika dalam jumlah massa mencapai puluhan ribu seperti pendudukan DPR Mei 1998 ataupun Tahrir Square, yang mampu menumbangkan rezim otoriter/totaliter—gerakan pendudukan membangkitkan soal bagaimana ruang publik dapat memfasilitasi komunikasi massal antarwarga lebih partisipatif. Karenanya patut dibedah ulang kaitan konseptual antara public space yang lebih berwatak geofisik, berlokasi/bertempat tertentu dan public sphere (ranah publik) Habermasian yang lebih abstrak: ruang pertukaran wacana yang menjadi publik bah-kan politik. Publik muncul saat para peserta secara sistematik mengabaikan perbedaan individual-pribadi yang nyata dan meniadakan saling ketergantungan untuk menciptakan kemiripan dan kesetaraan antarpeserta. Demokrasi deliberatif pada masyarakat modern bermula dari sana.

Ranah publik bisa dibedakan dengan dan dimediasi oleh negara maupun pasar. Di sini musyawarah antarwarga menjadi faktor kunci. Asal muasal historisnya dapat dilacak pada bangkitnya kelas borjuasi, terutama di Eropa abad ke-18. Tulisan dan medium cetakannya menciptakan publicity (kepublikan). Meluasnya kapitalisme cetak di negeri jajahan pada abad ke-19 membuat “bahasa” ranah publik makin universal. Para anggota komunitas yang berbeda dan terpisah-pisah secara etnis, bahasa, agama, atau perbedaan lainnya dapat membayangkan sebuah bangsa yang menyatu. Ben Anderson menyebutnya imagined community (komunitas terbayang), cikal bakal nasionalisme.

Meskipun ruang publik dan ranah publik dapat dibedakan dan saling berhubungan, persamaannya dapat dipastikan: spaciality (keruangan). Baik ruang publik maupun ranah publik membutuhkan ruang. Di keduanya berlangsung kontestasi sekaligus pengelompokan bersama. Saat kita hidup di era digital tempat tindakan komunikasi massal dimediasi oleh “dunia maya”, gerakan pendudukan signifikan mengubah ranah publik. Artinya, konstelasi dan peta ranah publik yang merupakan basis bagi demokrasi perwakilan juga dapat berubah.