Judul: State of Disorder: Privatised Violence and the State in Indonesia
Penulis: Abdil Mughis Mudhoffir
Penerbit: Palgrave Macmillan, 2022
Tebal: xiv + 276 halaman
ISBN 978-981–16-3662-2
Pandangan Weberian yang menyatakan bahwa negara merupakan organisasi kekuasaan tertinggi yang sah untuk menggunakan kekerasan kerap digunakan sebagai acuan oleh para penganut pendekatan institusionalisme. Pendekatan itu kerap digunakan sebagai pedoman di berbagai lembaga kerja sama internasional dalam membantu negara-negara berkembang dalam penataan kelembagaan di sektor publik. Dalam perspektif institusional, negara merupakan sebuah entitas yang dianggap otonom dari aktor-aktor sosial dengan kekuasaan cukup kohesif dan terpusat untuk mempertahankan kontrol atas rakyat di suatu wilayah tertentu. Cara pandang tersebut mengandaikan berbagai konflik kepentingan di masyarakat akan dapat diselesaikan melalui mekanisme kelembagaan negara. Pandangan itu memercayai berbagai interaksi kepentingan di dalam suatu negara akan mencapai titik ekulibrium dengan sendirinya. Karena itu, berbagai tindak kekerasan ekstra-negara sulit berkembang sejauh negara memiliki kapasitas kelembagaan untuk mengantisipasinya.
Namun, perspektif tersebut tidak hanya memperoleh tantangan konseptual saja, tetapi juga tantangan empiris. Cara pandang semacam itu dinilai gagal dalam memahami fakta bahwa relasi kekuatan ekonomi-politik yang dibentuk sejarah sering kali memunculkan berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstra-negara. Sebagaimana dinyatakan oleh penulis buku ini, Abdil Mughis Mudhoffir, berbeda dengan pendekatan Weberian, perspektif Marxis dengan berbagai variannya menawarkan cara pandang yang lebih empiris-historis dalam memahami hubungan antara kekuasaan politik (negara), akumulasi kapital, dan kekerasan.
Menurut Mughis, konsep akumulasi primitif yang diperkenalkan Karl Marx lebih relevan untuk memahami hubungan antar-ketiga variabel tersebut di atas. Konsep akumulasi primitif sendiri mengacu pada upaya perampasan paksa oleh kaum kapitalis terhadap berbagai aset produktif guna pembentukan atau akumulasi kapital. Marx menyatakan akumulasi primitif adalah proses yang terjadi dalam pembentukan dan reproduksi hubungan sosial kapitalis dengan kekerasan digunakan untuk memisahkan produsen dari alat-alat produksi mereka. Mengutip teoretikus Marxis, Bob Jessop, dalam konteks kekerasan negara harus dipahami sebagai sistem dominasi kekuasaan politik. Sementara itu, teoretikus Marxis seperti Nicos Poulantzas mendefinisikan negara sebagai percampuran hubungan sosial yang kompleks, dinamis, dan menakhlikkan penggunaan aparatur negara. Perspektif teori itulah yang menjadi argumen sentral buku ini.
Negara Kolonial: Bibit Kapitalisme Predatoris
Buku karya salah seorang staf pengajar Universitas Negeri Jakarta ini berfokus pada kekerasan yang diprivatisasi dalam berbagai format politik yang berbeda di Indonesia. Dengan kata lain, buku ini dimaksudkan sebagai upaya melacak akar pembentukan historis institusi kekuasaan dan otoritas negara yang diiringi oleh pola-pola penggunaan kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok non-negara. Untuk keperluan tersebut, Mughis melakukan kajian dan penelusuran hingga ke era kolonial Belanda. Tesis utamanya adalah bahwa bertahannya kekerasan yang diprivatisasi tidak semata-mata terkait dengan pembentukan institusi kekuasaan dan otoritas negara secara historis, melainkan juga berkait dengan bentuk-bentuk predatoris dari perkembangan kapitalisme di Indonesia sejak era kolonial hingga pasca-Reformasi.
Kapitalisme yang menggunakan kelompok-kelompok ekstra-negara dalam rangka memuluskan jalan bagi proses akumulasi kapital, dalam kajian Mughis, telah tumbuh di era kolonial Belanda, terutama pasca-kebijakan liberalisasi ekonomi pada 1870. Pada tahun itu, Undang-Undang Agraria yang mengatur sistem sewa lahan komunal kepada pengusaha swasta asing mulai berlaku secara resmi. Dalam perspektif kepentingan negara kolonial Hindia-Belanda, kebijakan itu diharapkan mampu menarik aktivitas penanaman modal asing sehingga pemulihan ekonomi pasca-Perang Jawa (1825-1830)—yang menjadi salah satu faktor bangkrutnya VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)—dapat dipercepat.
Pada masa itu berbagai usaha perkebunan berorientasi ekspor dibuka secara masif dengan mengundang, yang pada masa kemudian lazim disebut, penanaman modal asing (PMA). Pemerintah kolonial sendiri, karena beberapa keterbatasan tertentu, tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan sistem keamanan yang memadai dan menyeluruh menyusul masuknya berbagai PMA ke Hindia-Belanda. Kondisi semacam itu mendorong pemerintah kolonial membuka dan memberi peluang sebesar-besarnya kepada pelbagai perusahaan PMA yang bergiat di sektor perkebunan untuk menyelenggarakan sistem keamanannya sendiri. Pada titik itulah muncul kebutuhan berbagai PMA untuk “jasa keamanan” di luar negara. Dari situ pula kemudian muncul istilah atau fenomena “Jago.” Dalam praktik, para jago berfungsi melayani kepentingan berbagai perusahaan perkebunan sebagai penjaga keamanan.
Dengan kata lain, jago berperan ganda: mengawasi dan mengintimidasi masyarakat lokal di satu sisi serta membantu melancarkan seluruh proses produksi ekonomi kolonial di sisi lain. Di Jawa yang diperintah langsung, Jago—yang dapat dipertukarkan dengan istilah lain di berbagai wilayah, namun dengan fungsi sosial yang sama—menjadi perantara antara aparat negara kolonial dan rakyat; sementara di pulau-pulau terluar yang diperintah secara tidak langsung, orang kuat, kepala suku, dan aristokrat lokal memiliki otoritas atas penduduk dan wilayah, tetapi fungsinya tetap harus melayani sebagai wakil negara kolonial.
Sejak saat itu terbentuklah relasi ekonomi-politik mutualisme antara negara kolonial Hindia-Belanda, kapitalis asing yang masuk melalui kebijakan PMA, serta para “jago.” Namun, dalam persekutuan itu, peran jago yang terkadang disebut kaum preman tampak lebih rendah dari segi posisi politik dibandingkan para boss mereka. Ciri kapitalisme yang menggunakan elemen-elemen non-negara dalam proses akumulasi kapital telah membentuk watak kekuasaan ekonomi-politik Indonesia pascakolonial. Dengan kata lain, pola-pola relasi kuasa semacam itu relatif bertahan dengan berbagai modifikasi, meski negeri ini telah mengalami berbagai proses perubahan format politik hingga hari ini.
Militer: Inkubator Kapitalisme
Masa-masa awal pascakolonial ditandai oleh konsolidasi kekuasaan negara yang tidak stabil dan kondisi ekonomi yang mengalami kemerosotan. Namun, pada 1957, saat upaya pemadaman berbagai pemberontakan dalam negeri mulai berhasil dilakukan dengan bantuan TNI-AD, konsolidasi kekuasaan negara lambat-laun mulai terlihat hasilnya. Hal itu terjadi berkat peran baru angkatan bersenjata khususnya TNI-AD, ke dalam politik. Untuk mengonsolidasi kekuatan ekonomi, pemerintah gencar melakukan kebijakan nasionalisasi berbagai perusahaan asing eks kolonial, terutama milik Belanda.
Sekalipun kampanye nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing itu kerap dipelopori oleh berbagai serikat buruh dari perusahaan bersangkutan, terutama yang digencarkan oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), namun pada level manajemen praktis jatuh ke tangan militer. Beberapa perusahaan negara hasil nasionalisasi di bidang perkebunan dan perminyakan praktis di bawah kendali TNI-AD. Bersamaan dengan itu, Presiden Sukarno memberlakukan UU keadaan bahaya atau darurat perang (SOB) pada 14 Maret 1957 sebagai respons atas berbagai pemberontakan di dalam negeri. Pada Desember 1957, Mayjen AH Nasution memerintahkan tentara untuk mengambil alih seluruh perusahaan Belanda yang baru saja dinasionalisasi. Langkah itu merupakan cikal-bakal masuknya tentara ke segala lini kehidupan ekonomi dan politik di Indonesia.
Di sisi lain, beberapa kalangan yang bersikap kritis menyatakan bahwa angkatan bersenjata yang memegang kendali langsung atas sumber-sumber ekonomi dan politik ibarat “negara dalam negara” tanpa kontrol pemerintah, parlemen, dan rakyat. Pada titik itulah bibit-bibit kapitalisme predatoris mulai ditanamkan. Tidak hanya mengembangkan kekuatan ekonomi untuk memperkuat posisi sosial di tengah masyarakat, TNI-AD juga memobilisasi dan membentuk organisasi paramiliter, yakni Pemuda Pancasila pada 1959.
Sejak awal, Partai Komunis Indonesia (PKI) mencermati perkembangan situasi itu dan senantiasa bersikap kritis terhadap TNI-AD. Sikap kritis tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa pengeloaan ekonomi nasional, termasuk pengelolaan di sejumlah perusahaan negara yang berada di bawah kontrol TNI-AD, dinilai telah keluar dari cita-cita revolusi nasional. PKI pun gencar mengampanyekan yang dikenal sebagai “Ganyang Kabir (kapitalis birokrat)”—fenomena yang sebenarnya mirip dengan pengertian kapitalisme predatoris. Kampanye itu, antara lain, memang dialamatkan langsung kepada pimpinan TNI-AD.
Sebagaimana diketahui, pada era itu, posisi politik antara TNI-AD dan PKI berada di kutub saling berlawanan. Agenda dan kepentingan keduanya sulit direkonsiliasi. Masing-masing pihak saling menyadari bahwa yang satu merupakan ancaman eksistensial bagi yang lain. Hanya karena peran politik Presiden Sukarno keduanya relatif dapat menahan diri, meski situasi sosial-politik cukup menegangkan, terutama di tahun-tahun terakhir era Demokrasi Terpimpin. Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa militer—dengan menguasai berbagai sumber daya kekuatan politik dan ekonomi—telah memiliki agenda strategis ke depan. Institusi itu juga sangat menyadari bahwa PKI merupakan musuh alamiah mereka.
Komunisme: Ancaman bagi Kapitalisme Predatoris
Perubahan signifikan dalam perkembangan ekonomi-politik terjadi pada tahun 1965-1966. Kurun itu ditandai oleh perubahan politik drastis dengan TNI-AD mulai mengendalikan kekuasaan. Periode itu juga memperlihatkan “lenyapnya” elemen-elemen politik kiri-progresif dan merosotnya kekuasaan efektif Presiden Sukarno menyusul tragedi Gerakan 30 September di tahun 1965. Menggunakan kekuatan kelompok-kelompok sipil berbasis agama dan non-agama, termasuk gangsters, TNI-AD mengorkestrasi pembasmian anggota dan simpatisan PKI secara fisik. Setidaknya 500 ribu orang mati dibunuh selama 1965-1966. Perlu ditekankan di sini bahwa besarnya jumlah korban yang tewas di tangan kelompok-kelompok ekstra-negara yang difasilitasi militer merupakan angka tertinggi dalam catatan kekerasan berdarah sepanjang sejarah Indonesia modern.
Pasca-pembasmian PKI, rezim yang menamakan diri sebagai Orde Baru itu semakin terkonsolidasi di bawah TNI-AD dan Jenderal Soeharto. Dengan demikian, proses konsolidasi itu berhasil dicapai berkat pembersihan terhadap kaum komunis dan diredamnya pengaruh politik Sukarno menjelang akhir dasawarsa 1970-an. Di sisi lain, konsolidasi rezim Orde Baru juga dilakukan dengan mengintegrasikan kembali perekonomian Indonesia ke dalam sistem kapitalisme global melalui berbagai instrumen kebijakan negara.
Sejalan dengan itu, konsolidasi kekuasaan Orde Baru di awal dasawarsa 1970-an juga dibarengi dengan tetap mempertahankan dan memperkuat kelompok-kelompok paramiliter yang sebelumnya telah dibentuk oleh TNI-AD sejak pertengahan hingga akhir tahun 1950-an. Untuk memperkuat legitimasi ideologisnya, Orde Baru mempertahankan dan propaganda pandangan anti-komunis untuk membentuk persepsi publik bahwa komunisme adalah ancaman terhadap nilai-nilai Pancasila dan membahayakan keutuhan negara. Dalam konteks itulah, keberadaan paramiliter produk rezim Orde Baru dapat diletakkan. Dengan demikian, menjadi jelas pula bahwa keberadaan kelompok-kelompok itu memang dimaksudkan untuk memajukan agenda dan proyek kapitalisme Orde Baru yang dipimpin negara. Untuk memastikan akumulasi kapital bekerja secara efektif, maka tidak ada tempat bagi kaum komunis.
Sebagaimana yang dicatat oleh Mughis, keberadaan dan bertahannya kelompok-kelompok gangsters—sebagai bagian dari tahap perkembangan kapitalisme di era Orde Baru—bukan karena negara tidak memiliki kapasitas untuk memberikan perlindungan dan jaminan keamanan bagi masyarakat, melainkan karena gangsters justru amat dibutuhkan sebagai instrumen dalam menjaga ketertiban sosial. Mereka kerap dimobilisasi untuk momen-momen politik, seperti dalam ajang pemilihan umum untuk mendukung partai politik yang berkuasa, Golongan Karya (Golkar), memanipulasi suara, serta mengawasi dan mengintimidasi rakyat.
Dalam berbagai proyek pembangunan ekonomi, kelompok-kelompok itu selalu diikutsertakan. Mereka memang dilibatkan sebagai bagian integral dari kebijakan resmi negara. Yang menarik dari penjelasan penulis buku ini, peran kelompok-kelompok paramiliter itu sama persis dengan peran para “jago” pada era kolonial: mengawasi dan mengintimidasi penduduk di satu sisi serta menjamin kelancaran bekerjanya akumulasi kapital di sisi lain. Jika muncul protes sosial berkait hak-hak mereka yang dilanggar oleh proyek-proyek pemerintah, kelompok paramiliter kerap menggunakan metode kekerasan fisik. Hal itu juga terlihat pada kasus-kasus perampasan dan penguasaan tanah rakyat yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan swasta, terutama sejak pertengahan tahun 1980-an di tengah menguatnya kapitalisme Orde Baru, yang kerap berujung kekerasan. Fenomena semacam itu cenderung merata di seluruh Tanah Air sepanjang rezim Orde Baru.
Pengalaman Indonesia ternyata tidak unik. Negeri-negeri lain juga memiliki pengalaman nyaris serupa terkait sifat kekerasan aktor non-negara dalam konteks perkembangan kapitalisme. Kolombia yang berada di kawasan Amerika Selatan, misalnya, merupakan kasus yang mirip dengan Indonesia. Di era Perang Dingin, format kekuasaan pada kedua rezim otoriter yang berkiblat kapitalisme itu, negara aktif mensponsori tumbuh dan berkembangnya organisasi paramiliter (ekstra-negara) untuk menumpas gerakan dan kaum kiri dengan kekerasan guna mempertahankan dan melipatgandakan kapital.
Hingga era Orde Baru Soeharto berakhir, sifat-sifat struktural negara ditandai oleh peleburan kekuatan-kekuatan politik-ekonomi yang memfasilitasi proses akumulasi kapital. Untuk sebagian, hal demikian dimungkinkan karena tiadanya kelas borjuasi domestik yang otonom dan kuat di era pasca-kemerdekaan. Karena itu, tidak mengherankan jika negara sering kali hadir dalam penggunaan sarana ekstra-ekonomi, termasuk kekerasan, sebagai katalisator pemupukan modal. Proses itu diawali melalui peran militer yang menguat sejak 1957 hingga terbentuknya negara Orde Baru pasca-1965.
Kekerasan Paramiliter di Era Demokrasi Elektoral
Fakta bahwa terdapat kondisi sosial-politik yang lebih bebas dan terbuka dibandingkan dengan format kekuasaan era Orde Baru, dalam pandangan Mughis, memang tak dapat dimungkiri di era pasca-Reformasi (1998). Namun, pola-pola kekuasaan politik yang memberi ruang bagi berkembangnya para preman terorganisasi demi memburu keuntungan material ternyata tidak banyak berubah hingga saat ini. Perbedaannya dengan rezim Orde Baru adalah bahwa kekuasaan politik di era reformasi terlihat lebih terdesentralisasi dan cair. Itu tampak dalam beberapa kasus penguasa lokal di berbagai daerah yang giat memobilisasi kelompok-kelompok preman lokal untuk merebut atau mempertahankan aset material. Di era Orde Baru, otoritas pendayagunaan kelompok-kelompok bandit semacam itu hanya dimungkinkan melalui pemerintah pusat.
Perbedaan lainnya, “aktor-aktor informal” di era Reformasi telah menjadi relatif otonom. Dengan kata lain, dibandingkan dengan masa Orde Baru, ketika mereka dapat dengan mudah digarap oleh negara, perkembangan sifat kelompok-kelompok sipil itu relatif tersebar di berbagai lapisan masyarakat. Hal tersebut merupakan rasionalitas baru dari kontrol sosial yang dikembangkan oleh aktor-aktor sipil di pinggiran kota yang merupakan produk Reformasi pasca-1998. Dengan demikian, sejumlah permukiman kumuh perkotaan menjadi tempat penyebaran “rasionalitas pemerintahan baru” sebagai akibat kebijakan desentralisasi. Karena itu, berbeda dengan era Orde Baru yang serba tersentralisasi, tumbuh dan berkembangnya kelompok-kelompok ekstra-negara di tingkat lokal juga dapat dilakukan dengan model franchise.
Era Reformasi juga ditandai dengan artikulasi watak yang tampak lebih “Islami” di berbagai kelompok paramiliter. Bibitnya telah ditanam di tahun-tahun terakhir masa Orde Baru dan sebagian dari mereka muncul di era pasca Reformasi. Selain memperlihatkan wajah Islami, ciri yang menonjol dari kelompok-kelompok itu adalah sikap militan anti-komunis. Di sisi lain, kelompok-kelompok itu masuk ke ruang publik dengan artikulasi pesan dan tindakan yang tidak ramah terhadap kelompok-kelompok minoritas. Berbeda dibanding era Orde Baru, berbagai aksi kekerasan kelompok paramiliter beratribut Islam yang kerap menyerang kelompok-kelompok minoritas itu terlihat lebih intens di era Reformasi.
Dengan demikian, Reformasi telah menciptakan setting bagi eksistensi dan keberlanjutan kelompok-kelompok semacam itu. Bahkan, beberapa karakter dasar Orde Baru tidak hilang sepenuhnya, yang saat ini telah direorganisasi dalam format demokrasi baru. Negara atau bagian-bagian tertentu dari negara selalu memberi kesempatan kepada mereka untuk melindungi diri sendiri dengan menimba pengalaman praktik rezim, meski dalam bentuk dan cara yang lebih baru sambil mencoba untuk menyesuaikan diri dengan demokrasi elektoral produk Reformasi 1998.
Dengan mengurai tahapan sejarah watak negara, kapitalisme, dan kekerasan yang dijalankan oleh kekuatan-kekuatan sosial ekstra-negara, buku ini memberikan gambaran penting tentang implikasi dari relasi dan pola-pola tersebut. Bagi Indonesia, sebagaimana juga terjadi di beberapa negara berkembang lainnya yang memeluk sistem kapitalisme, organisasi preman yang kerap melakukan kekerasan bukan merupakan anomali atau bukti kegagalan negara. Fenomena itu justru merupakan bagian inheren dalam konteks institusi kekuasaan negara demi kepentingan akumulasi kapital. Melalui kajian historis yang dilakukan Mughis, sekali lagi buku ini membuktikan aksi kekerasan paramiliter yang didukung negara merupakan sarana efektif bagi akumulasi kapital.
Di sisi lain, kehadiran buku yang semula merupakan hasil disertasi penulis di Universitas Melbourne, Australia 2021 ini, sangat penting untuk memahami kondisi historis dan sosial tertentu yang memunculkan paramiliter di Indonesia. Memosisikan kelompok dengan perkembangan negara dapat membantu menjelaskan bagaimana lembaga-lembaga koersif bekerja untuk kepentingan modal melalui institusi negara. Lintasan sejarah keberadaan dan metamorfosis organisasi gangsters, milisi, dan paramiliter di negeri ini sesungguhnya telah menggurita selama lebih dari satu abad.●
Rahadi T Wiratama