Skandal “Koperasi Simpan Pinjam”: Tata Kelola yang Salah dan Pengawasan yang Lemah

BAGIKAN



Krisis koperasi akibat jatuhnya delapan “Koperasi Simpan Pinjam” yang terjadi beberapa waktu lalu telah menghebohkan publik negeri ini. Mega skandal itu telah merugikan nasabah mencapai puluhan triliun rupiah dengan korban mencapai ratusan ribu orang. Untuk mencari tahu permasalahan yang sesungguhnya terjadi serta jalan keluarnya, agar tidak terulang lagi di masa depan, Prisma mewawancarai tiga orang figur yang kami nilai berkompeten pada bidangnya. Pertama, Kamaruddin Batubara, Presiden Direktur Koperasi Syariah Benteng Mikro Indonesia (BMI) yang sukses memimpin dan mengembangkan koperasi primer berbasis syariah yang bergerak dalam lima kegiatan utama: ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, dan spiritual dengan sejumlah produk berupa simpanan, pinjaman, dan juga pembiayaan. Kedua, Teten Masduki, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) yang merupakan pihak paling kompeten untuk menjawab pertanyaan mengapa skandal itu terjadi dari sisi regulasi dan kebijakan pemerintah di bidang pengawasan dan tata kelola koperasi itu sendiri. Ketiga, Kepala Departemen Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya Edi Setijawan yang menjelaskan ruang lingkup pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap lembaga yang bergerak di bidang jasa keuangan. Dengan hasil ketiga wawancara ini, diharapkan sidang pembaca Prisma memperoleh pemahaman lebih komprehensif mengenai masalah yang dihadapi dunia perkoperasian Indonesia, terutama dari sisi tata kelola (governance dan self regulation) serta pengawasan. Ketiga narasumber diwawancarai oleh Harry Wibowo dan Fachru N Bakarudin, serta dirangkum oleh Rustam Ibrahim.

 

Koperasi itu Jalan Tengah

 

 

Saya tidak sependapat dengan pandangan bahwa koperasi itu merupakan wujud dari ekonomi atau negara sosialis. Sosialis itu suatu paham atau ajaran mengenai peran negara yang sangat besar di bidang ekonomi. Sektor-sektor ekonomi, seperti produksi, distribusi dan konsumsi dikuasai atau dimiliki oleh negara. Koperasi itu berada di tengah, suatu jalan tengah. Koperasi mengakui peran negara, kepemilikan negara, tetapi juga mengakui peran dan kepemilikan rakyat. Yang penting proporsional. Koperasi juga bukan wujud paham ekonomi kapitalis yang mengajarkan bagaimana dengan modal atau pengorbanan sekecil-kecilnya dapat memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Koperasi mencari keuntungan, tetapi yang wajar. Harus ada kejujuran dan keadilan dalam bisnis koperasi. Yang kita share dengan anggota bukan hanya profit, tetapi juga benefit. Koperasi BMI telah membangun 463 rumah gratis untuk anggotanya. Bila Rp 50 juta per rumah, berarti sudah lebih dari Rp 20 miliar yang dikeluarkan. Bahkan, dalam masa pandemi pun kami tetap membangun rumah untuk anggota.

Sebagai konsep ideal, regulasi koperasi harus diarahkan untuk memberi banyak benefit kepada anggotanya. Koperasi itu seperti kata Bung Hatta ditujukan untuk kesejahteraan anggota. Kalau koperasi simpan pinjam (KSP) tentu harus simpan pinjam yang bisa menyejahterakan anggota.

Berkait skandal yang terjadi pada sejumlah “koperasi simpan pinjam”, saya ingin mengatakan bahwa ada tiga hal yang harus dijadikan landasan dalam mendirikan koperasi. Ada dasar historisnya, filosofisnya, dan ideologisnya. Semua yang bermasalah itu tidak punya dasar historis. Untuk berkoperasi itu harus ada keinginan orang banyak atau sejumlah orang mengajak orang banyak yang lain melakukan sebuah aktivitas, misalnya, simpan pinjam. Bagaimana cara mendapatkan pembiayaan yang mudah atau kalau perlu murah, maka mereka menyusun kekuatan bersama, baru lembaganya dibentuk. Poinnya, harus ada kekuatan yang dibangun bersama kemudian menjalankan bisnis demi kebutuhan bersama.

Sebagaimana dipesankan Bung Hatta, dalam berkoperasi semua anggota harus dilibatkan. Kalau sebuah koperasi dibangun dengan history yang jelas dan semua orang yang menempatkan uang di situ mempunyai tujuan untuk kesejahteraan bersama, tidak akan terjadi korupsi seperti di delapan KSP itu. Delapan koperasi itu didirikan oleh para pengusaha, yang disebut “pengusaha koperasi.” Mungkin mereka melihat kelemahan pengawasan kementerian koperasi. Setelah mempelajari karakter bangsa kita yang senang meminjam, mereka membentuk KSP. Praktiknya, mereka mendirikan koperasi untuk mengumpulkan uang demi mendukung bisnis mereka. Mereka punya BPR, financial leasing, dan sebagainya.

Koperasi Syariah BMI bergerak ada dasar historisnya, filosofinya kita bangun, ideologinya kita perkuat. Apa ideologi buat kita berkoperasi? Di sana ada solidaritas, pemberdayaan, peduli sesama, gotong royong, kesejahteraan bersama, kemandirian, dan kekeluargaan. Dalam hubungannya dengan simpanan anggota, saya harus memberi jaminan dan memastikan bahwa uang mereka tidak keluar ke mana-mana. Banyak koperasi yang mengubah dananya ke dalam bentuk aset. Namun, sangat berbahaya bila koperasi simpan pinjam memiliki aset yang terlalu banyak. Koperasi akan kelimpungan bila anggota hendak meminjam uang dari koperasi ini.

Koperasi Harus Menerapkan Good Governance

Koperasi harus punya manajemen keuangan yang sehat dan transaparan. Ada tata kelola keuangan dan ada sistem akuntansi untuk koperasi. Untuk itu, kami melakukan pendidikan dan pelatihan secara berkala setiap tahun. Kami selalu menekankan bahwa koperasi dibangun untuk kesejahteraan bersama dan dengan semangat bersama untuk memenuhi kebutuhan bersama.

Tata kelola atau governance koperasi juga harus dibangun dan dikembangkan. Di dalam koperasi, pengurus adalah leader. Pengurus bersifat kolektif, kolegial, dan membuat sebuah keputusan tidak sendiri-sendiri, tetapi melalui rapat. Seharusnya menjadi tugas dan peran pemerintah, dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan mengenai tata kelola koperasi. Kapasitas pengurus setiap koperasi harus diuji, juga pemahaman mengenai berkoperasi. Kementerian Koperasi seharusnya melakukan fit and proper test terhadap calon pengurus koperasi untuk memastikan pengurus koperasi memang benar memperjuangkan kepentingan anggota. Istilahnya bisa saja lain, karena kalau fit and proper test nanti seolah- olah koperasi itu milik negara. Padahal, negara tidak ikut taruh uang di koperasi itu.

Demokrasi dan transparansi juga harus berjalan dalam pengelolaan internal koperasi. Sebagaimana dikatakan Bung Hatta, koperasi harus mendahulukan kepentingan anggota. Ideologi itu tecermin dalam kebijakan lima pilar kegiatan atau produk BMI: ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, dan spiritual. Produk kami ada berupa simpanan, ada pinjaman. Ada produk pembiayaan simpanan untuk umroh, wisata, biaya anak sekolah, pembiayaan kesehatan supaya mereka punya toilet, dan sebagainya. Jadi, kebijakannya memang untuk kepentingan anggota. Sepuluh tahun silam, mayoritas anggota BMI tidak punya toilet, karena itu skema kami yang pertama adalah sanitasi air.

Setidaknya ada enam prinsip dalam tata kelola perkoperasian, yang lazim disingkat TARDIF (Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Demokrasi, Independensi, dan Fairness). Sementara itu, kalau badan usaha non-koperasi biasanya memakai singkatan TARIF (Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi, dan Fairness). Tidak ada demokrasi di bidang usaha swasta!

Jadi, kalau mau mendapatkan pembiayaan dari BMI, harus lebih dahulu masuk menjadi anggota. Kalau sekadar menyimpan dana, tetapi tidak menjadi anggota, sesungguhnya ini hanya investasi. Mereka tidak mendapat sisa hasil usaha (SHU). Mereka hanya dapat bunga berjalan. Posisi orang yang menaruh uang di sebuah koperasi, tetapi tidak menjadi anggota koperasi ini, sama seperti di bank, yakni nasabah. Hal demikian tentu “merugikan” dia yang punya uang, karena tidak mendapatkan SHU. Kalau berupa hibah atau infaq tentu boleh tanpa menjadi anggota koperasi.

Di Koperasi BMI tidak ada nasabah. Semua anggota otomatis menjadi nasabah dan mendapat SHU sesuai dengan kontribusi masing-masing terhadap pendapatan dan modal. Komitmen saya dalam koperasi simpan pinjam, seperti ditulis Hatta: simpan dulu baru pinjam. Karena itu, dinamakan koperasi simpan pinjam, bukan koperasi pinjam-pinjam atau koperasi simpan-simpan. Bila namanya koperasi simpan-simpan, uang simpanan digunakan untuk pembiayaan yang tidak perlu dipertanggungjawabkan kepada anggota. Misalnya, digunakan untuk mendukung pembiayaan usaha pribadi “pemilik” koperasi, seperti halnya banyak konglomerat yang punya bank.

Dalam memberikan pinjaman, koperasi harus berhitung secara cermat berapa volume yang harus disalurkan? Bukan margin keuntungan yang dinaikkan. Kalau uangnya tidak ada dari mana dapatnya? Berarti kita harus bikin program simpanan anggota dan kerja sama dengan pihak lain. Nah, yang dilakukan oleh delapan KSP “bermasalah” itu memperbanyak program simpanan dengan bunga tinggi untuk mendapatkan dana segar, namun uangnya kemudian dibawa kabur.

Koperasi Hadir untuk Kesejahteraan Anggota

Koperasi seharusnya tidak boleh rugi dan pengelolanya juga harus sejahtera. Kesejahteraan seperti apa? Kementerian Koperasi perlu mendesain ulang tujuan koperasi dan mengelaborasi lagi bagaimana implementasinya. Yang jelas, koperasi hadir untuk menyejahterakan anggotanya. Bagaimana caranya? Kalau ia koperasi simpan pinjam, sediakan simpanan, pinjaman, atau pembiayaan yang memang sesuai kebutuhan anggota. Oleh karena itu, di dalam merumuskan sebuah produk harus ada penelitiannya. Saya punya tim riset yang menilai apakah secara bisnis suatu produk menguntungkan atau tidak. Itu pun dibahas dalam rapat anggota. Jangan sampai, misalnya, koperasi membuat atau menjual bola golf, padahal anggotanya tidak ada yang main golf. Artinya, produk yang diciptakan harus sesuai dengan kebutuhan anggota

Koperasi tentu dapat bersinergi dengan bank. Untuk pembiayaan, misalnya, diperlukan jenis dan jumlah modal tertentu. Untuk itu kita bisa meminjam dari bank. Namun, saya tidak setuju dengan kredit usaha rakyat (KUR) yang disubsidi berdasarkan mindset yang salah. Yang dibutuhkan bukan bunga yang rendah, tetapi kontinuitas ketersediaan dana. Bunga yang rendah atau selalu disubsidi itu tidak mendidik. Kami juga memberikan kredit, tetapi bunganya tidak rendah. Kenapa? Karena operational cost kami tinggi. Kalau anggota taruh uang di BMI marginnya pasti harus lebih tinggi daripada bank.

Kembali pada skandal korupsi delapan atau sembilan KSP yang disebut-sebut akibat gagal bayar itu, sebenarnya di sana juga ada masalah pengawasan yang pertama-tama harus dilakukan oleh orang-orang koperasi itu sendiri. Tadi saya katakan mereka itu historynya tidak jelas, filosofinya tidak ada, ideologi juga tidak punya. Mereka hanya ingin memanfaatkan kelemahan regulasi dan euforia rakyat Indonesia yang senang pinjam dan bunga tinggi kalau menabung. Kalau peran Kementerian Koperasi belum seketat seperti diharapkan, seperti kata Bung Hatta, harus anggota sendiri yang mengawasi koperasinya. Jadi, self regulation, self assessment, self controlling harus ada. Peran anggota sebagai pemilik, pengguna, pengendali harus terus ditanamkan ke setiap anggota koperasi.

Berdasarkan pengalaman, kami terbilang ketat dan cermat dalam hal membuat regulasi. Itu saya praktikkan sendiri. Jangan sampai “guru kencing berdiri, murid mengencingi guru.” Saya harus memberi contoh lebih dahulu sebagai teladan. Salah satu keteladanan itu, misalnya, aturan masuk kantor setengah delapan dan pulang setengah lima. Saya pun harus menaati aturan itu. Akan berbahaya kalau kita hanya bicara saja tanpa mempraktikkan dan memberi contoh positif.

Gotong Royong dan Adaptif

Sehubungan dengan tahun 2025 yang ditetapkan PBB sebagai tahun koperasi internasional yang kedua, kami dari Koperasi BMI telah melakukan mapping berorientasi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG). Artinya, Koperasi BMI melayani semua kebutuhan strategis, termasuk lingkungan hidup dan energi terbarukan. Kami pernah punya produk biogas, sanitasi lingkungan, dan lain-lain. Hal lain yang ditekankan adalah perlunya diterapkannya kembali nilai-nilai klasik tentang gotong royong. Saya sangat sepakat dengan model kerja sama seperti itu, karena sekarang budaya luar telah menggerus dan meminggirkan budaya gotong royong kita.

Menghadapi masa depan, koperasi juga harus adaptif. Kita juga harus punya bisnis yang mengandalkan promosi dan informasi secara digital. Kita harus masuk dan punya bisnis-bisnis digital. Ada uang digital dengan memanfaatkan keberadaan lokapasar (marketplace), membangun dan mengembangkan corak perdagangan dengan menggunakan pelbagai media sosial seperti TikTok, Instagram, Facebook, dan sebagainya, menggelar acara berbelanja langsung (shopee live), dan lain-lain. Investasinya kira-kira seperti itu dan semuanya akan menjadi milik Koperasi Syariah BMI.

 

Dengan Ekosistem yang Baik, Koperasi Bisa Menjadi Arus Utama Perekonomian Nasional

 

 

Hal yang paling prinsip dari koperasi adalah, pertama, koperasi bukan kumpulan modal tapi kumpulan orang. Keuntungan koperasi harus dinikmati oleh anggota koperasi itu sendiri. Berbeda dengan korporasi yang dimiliki oleh orang per orang, koperasi tidak bisa dan tidak boleh seperti ini. Koperasi itu partisipasi kolektif rakyat kecil untuk masuk ke sektor bisnis, ekonomi koperasi.

 

Yang kedua, hasil keuntungan dari kegiatan ekonomi koperasi harus dinikmati untuk kepentingan bersama, bukan pemilik modal. Selain dua prinsip itu, koperasi juga harus produktif, efisien, dan harus bisa kompetitif. Kalau tidak, koperasi bukan pilihan rasional masyarakat untuk berusaha, berekonomi. Karena itu, yang perlu lebih dahulu dibangun adalah ekosistemnya. Kita juga harus melihat perkembangan koperasi di Eropa yang juga menjadi asal-usul koperasi di Indonesia. Dahulu Bung Hatta muda belajar koperasi dari pengalaman negara Skandinavia. Di sana, koperasi terus-menerus mengalami transformasi, sehingga koperasi di Skandinavia apple to apple dengan korporasi.

Konsepsi koperasi yang ideal tergambar dalam draf RUU Perkoperasian yang sedang kita tunggu untuk dibahas di DPR. Draf tersebut memuat konsepsi koperasi yang sehat, kuat, mandiri dan tangguh. Sehat artinya tata kelola sesuai dengan nilai dan jati diri koperasi serta berbagai regulasi perkoperasian lainnya. Kuat artinya koperasi sebagai entitas bisnis memiliki lini usaha yang memenuhi skala ekonomi sehingga potensial tumbuh dan terus membesar. Mandiri artinya koperasi dapat mengembangkan berbagai potensi internal mereka, sumber daya anggotanya untuk memajukan dan membesarkan koperasi. Tangguh, artinya koperasi dapat bertahan, adaptif, serta tumbuh dalam berbagai tantangan eksternal yang selalu berubah.

Peran ideal pemerintah adalah sebagai regulator dan fasilitator. Regulator yang dimaksud adalah menerbitkan berbagai regulasi serta kebijakan yang mendukung tumbuh kembangnya usaha koperasi. Sementara itu, peran pemerintah sebagai fasilitator adalah memfasilitasi berbagai program yang relevan bagi koperasi dalam konteks pembiayaan, pemasaran, pengembangan kapasitas SDM, rantai pasok, inovasi, teknologi, serta membangun ekosistem untuk tumbuh kembangnya usaha koperasi yang sehat, efisien, dan kredibel.

RUU Perkoperasian yang baru mengatur mengenai ekosistem perkoperasian dan merupakan pengganti UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kondisi saat ini. Kondisi masyarakat, perkembangan teknologi, dan sistem pemerintahan saat ini jauh berbeda dibanding 30 tahun silam. Karena itu, peraturan perundangan tentang perkoperasian perlu segera disempurnakan agar dapat menjadi landasan hukum bagi tumbuh kembangnya koperasi di Indonesia. Saat ini, RUU Perkoperasian tengah menunggu jadwal pembahasan bersama DPR dan semoga bisa disahkan sebelum September 2024.

Dengan mengenalkan pendekatan baru berbasis ekosistem, kami berharap koperasi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Dengan dukungan ekosistem yang baik, koperasi dapat menjadi arus utama (mainstream) dalam sistem perekonomian nasional dengan memperhatikan bahwa koperasi merupakan entitas bisnis yang tumbuh-kembangnya harus didasarkan pada prakarsa koperasi itu sendiri. Pembinaan pemerintah tidak boleh menumpulkan atau mematikan daya prakarsa koperasi. Dengan pendekatan ekosistem, pemerintah dapat mendorong peran para pemangku kepentingan sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Dalam konteks ekosistem tersebut, pemerintah berperan sebagai konduktor yang mengorkestrasi hubungan timbal-balik antara koperasi dengan para pihak sesuai dengan fungsi masing-masing dalam rangka memajukan koperasi. Dari ekosistem tersebut, setidaknya ada dua lembaga utama yang kami dorong untuk dibentuk melalui UU Perkoperasian mendatang, yakni Lembaga Pengawasan Koperasi (seperti OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi (seperti LPS) untuk mendukung pengembangan industri usaha simpan pinjam koperasi.

 

Tata Kelola Koperasi Simpan Pinjam yang Salah

Krisis delapan koperasi simpan pinjam (KSP) besar itu terutama terjadi karena tata kelola yang salah. Latar belakang mereka adalah koperasi dengan usaha besar yang bermasalah. Yang paling besar adalah Indosurya. Sistem “demokrasi” di dalam delapan koperasi itu tidak jalan. Tidak pernah ada rapat anggota dan sebagainya. Kasus Indosurya itu jelas skema Ponzi. Mereka yang menabung sebenarnya bukan di koperasi itu, tetapi investasi di perusahaan sekuritas yang dibukukan di KSP. Mereka punya dua koperasi simpan pinjam yang kemudian uang dan asetnya mereka rampok. Bicara mengenai “demokrasi internalnya,” mereka juga melahirkan oligarki. Para pengurus dan atau pengawas koperasi dipilih dari orang-orang atau keluarga dekat. Ketika koperasi-koperasi simpan pinjam itu semakin besar, hubungan anggota dengan koperasi seperti nasabah bank saja; tidak ada kepedulian untuk ikut mengawasi. Menurut undang-undang koperasi, yang seharusnya mengawasi koperasi adalah para anggota lewat rapat anggota atau oleh badan pengawas.

Bagaimana dengan pengawasan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah? Kontrol atau pengawasan pihak Kementerian Koperasi dan UKM memang belum berjalan dengan baik. Hal tersebut karena aturan tentang pengawasan koperasi tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Pengaturan pengawasan baru muncul dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam, tetapi pengaturan pengawasan ini merupakan bagian dari kegiatan pembinaan yang tidak disertai sanksi pidana yang dapat membuat jera pelaku kejahatan koperasi.

Pengawasan internal koperasi oleh perangkat organisasi pengawas terbukti belum optimal. Untuk usaha simpan pinjam yang termasuk dalam kategori usaha berisiko tinggi tentu memerlukan kehadiran negara untuk melindungi kepentingan masyarakat yang menjadi anggota koperasi. Masalahnya, pengaturan pengawasan usaha koperasi simpan pinjam dalam UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dinilai belum memadai. Bahkan, ada studi yang menyatakan terjadi kekosongan hukum dalam pengawasan usaha koperasi simpan pinjam.

Selama ini, peraturan pengawasan usaha koperasi simpan pinjam “dititipkan” melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan itu membuat kegiatan pengawasan usaha koperasi simpan pinjam dilakukan oleh 553 lembaga yang tidak memiliki hubungan komando (Kementerian Koperasi dan UKM, 38 Dinas Koperasi Provinsi dan 514 Dinas Koperasi Kabupaten/Kota). Terfragmentasinya lembaga pengawas ditambah dengan aneka keterbatasan sumber daya mengakibatkan pengawasan usaha koperasi simpan pinjam tidak berjalan optimal.

Hal itu yang hendak kami perbaiki melalui RUU Perkoperasian dengan merancang sekaligus mengatur pembentukan Lembaga Pengawasan Simpan Pinjam Koperasi (seperti Otoritas Jasa Keuangan). Lembaga tersebut yang akan bertanggung jawab penuh dalam penerbitan izin usaha, pengaturan, serta pengawasan khususnya terhadap usaha koperasi simpan pinjam.

Di sini, saya perlu menegaskan bahwa skandal koperasi bermasalah yang terjadi selama ini semua berkait dengan usaha simpan pinjam koperasi. Jumlah koperasi yang aktif saat ini lebih dari 130.000 dan sebagian besar memiliki usaha simpan pinjam. Pada 2023, jumlah koperasi simpan pinjam yang aktif sekitar 55.000 koperasi dan menyumbang lebih dari 60 persen omzet usaha koperasi di Indonesia.

Salah satu masalah koperasi simpan pinjam adalah banyak di antara mereka menyelenggarakan usaha simpan pinjam dalam kategori skala mikro dan kecil. Jumlah anggota koperasi saat ini di Indonesia sekitar 29 juta orang. Rerata keanggotaan pada usaha koperasi simpan pinjam di Indonesia hanya melayani 500 orang per koperasi. Bandingkan dengan rasio global 1:3.000. Artinya, koperasi kredit di sejumlah negara melayani sekurang-kurangnya 3.000 anggota. Keanggotaannya sebesar 6 kali dari rerata jumlah anggota koperasi simpan pinjam atau 15 kali dari rerata jumlah anggota per koperasi di Indonesia. Hal itu mengindikasikan bahwa konsolidasi usaha koperasi simpan pinjam ke depan melalui penggabungan dan peleburan sangat penting untuk dilakukan, sehingga terbangun usaha simpan pinjam yang sehat, kuat, efisien, dan kredibel.

Soal skala ekonomi koperasi itu sudah diatur dalam Peraturan Menteri Koperasi dan UKM Nomor 8 Tahun 2023 tentang Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi. Dalam Permen itu ditegaskan usaha simpan pinjam minimal harus setor modal 500 juta rupiah untuk wilayah keanggotaan dalam daerah kabupaten/ kota, 1 miliar rupiah untuk wilayah keanggotaan lintas daerah kabupaten/kota dalam 1 provinsi, dan 2 miliar rupiah untuk wilayah keanggotaan lintas daerah provinsi. Ketentuan tentang modal usaha awal tersebut ditujukan untuk meningkatkan skala ekonomi serta profesionalisme pengelolaan. Koperasi yang skalanya mikro dapat bergabung atau melebur menjadi 1 KSP sehingga skalanya meningkat. Bila mengikuti rasio global, KSP di Indonesia idealnya berjumlah 9.000 unit.

Merger/amalgamasi koperasi merupakan hal yang biasa terjadi di beberapa negara, yang juga biasa dilakukan oleh korporasi swasta di Indonesia. Namun, “paradigma” itu belum sepenuhnya diterima dalam gerakan koperasi di Indonesia. Mereka hanya mau membangun sendiri-sendiri secara organik tidak melalui pendekatan konsolidasi usaha koperasi dengan melakukan restrukturisasi kelembagaan dan usaha.

 

Perlu Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi

Saya sempat mengemukakan ada delapan koperasi bermasalah yang telah merugikan anggota masyarakat sebesar 26 triliun rupiah. Namun, pemerintah tidak punya mekanisme dan dana yang dialokasikan untuk bailout. Tidak ada kebijakan pemerintah untuk membayar uang anggota yang dilarikan oleh pengurus koperasi bersangkutan.

Pada 2023, UU Perkoperasian disesuaikan dan diubah dengan dua undang-undang Omnibus Law, yaitu UU Cipta Kerja dan UU P2SK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan). Undang-Undang Cipta Kerja memudahkan masyarakat untuk berkoperasi dan mengakui keberadaan koperasi syariah yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Sementara itu, UU P2SK memberi kesempatan kepada koperasi untuk melaksanakan kegiatan usaha di semua sektor jasa keuangan dengan meminta perizinan usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sekaligus dengan itu membatasi kegiatan usaha koperasi simpan pinjam yang bersifat tertutup. Artinya, usaha simpan pinjam hanya boleh melayani anggota koperasi bersangkutan dan koperasi lain dalam kerangka kerja sama antar-koperasi. Selain itu, UU P2SK menugaskan Kementerian Koperasi dan UKM untuk menilai usaha simpan pinjam koperasi yang bersifat tertutup atau terbuka pada tahun 2024. Usaha koperasi simpan pinjam yang bersifat terbuka (open loop) wajib memproses perizinan usaha dari OJK sebagai koperasi yang berkegiatan di sektor jasa keuangan.

Koperasi simpan pinjam yang open loop atau melayani mereka yang bukan anggota koperasi bersangkutan, misalnya, penyertaan modal lebih banyak dari investornya, nanti diatur dan pengawasannya ada di Otoritas Jasa Keuangan. Sementara itu, koperasi simpan pinjam yang close loop diatur dan diawasi oleh Kementerian Koperasi dan UKM. Bila yang open loop diserahkan ke koperasi berarti UU 25 Tahun 1992 harus diubah, karena dalam peraturan perundangan ini Kementerian Koperasi dan UKM tidak punya kewenangan mengawasi. Menjadi kewenangan koperasi untuk mengatur dan mengawasi diri sendiri, sedangkan usaha koperasi simpan pinjam yang bersifat tertutup, ranah perizinan, pengaturan, dan pengawasannya menjadi kewenangan Kementerian Koperasi dan UKM.

Seperti telah dikemukakan, dalam rangka membangun sistem ekonomi yang berkeadilan, gerakan koperasi menuntut perlakuan yang sama dengan perbankan khusus untuk koperasi sebagai jasa keuangan seperti di OJK. Hal demikian tidak akan menimbulkan ekses naiknya tingkat suku bunga atau adanya agunan. Perbankan yang dimiliki oleh beberapa orang dengan nasabah penyimpan dari kalangan masyarakat menengah atas memperoleh perlindungan dari negara melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sampai dengan 2 miliar rupiah. Saat ini, koperasi yang dimiliki oleh jutaan rakyat Indonesia dari kalangan akar rumput belum memperoleh jaminan diperlakukan secara lebih adil dan setara.

Dalam RUU Perkoperasian yang baru, kami sudah mendorong pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi, yang perannya memberi penjaminan simpanan anggota koperasi. Adanya lembaga pengawas koperasi simpan pinjam dan lembaga penjamin simpanan anggota koperasi diharapkan dapat membangun dan mengembangkan ekosistem industri usaha simpan pinjam yang, sekali lagi, sehat, efisien, dan kredibel, yang pada gilirannya akan meningkatkan akses pembiayaan usaha bagi masyarakat akar rumput sebagai upaya membangun sistem ekonomi nasional yang berkeadilan sosial.

Dilihat dari kontribusinya, usaha koperasi simpan pinjam tidak kalah dengan perbankan. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021, misalnya, menemukan sebanyak 4,25 persen rumah tangga mengakses kredit di koperasi, sedangkan pengajuan kredit di bank umum, selain KUR, sebanyak 4,95 persen. Kontribusi itu pasti mengalami peningkatan secara signifikan jika ada pola penjaminan. Anggota masyarakat pada umumnya tentu akan lebih percaya pada koperasi karena tidak perlu khawatir dana tabungan/simpanan mereka akan hilang. Selain itu, koperasi memiliki keunggulan tersendiri berupa anggotanya yang juga pemilik koperasi. Di sana, ada semacam community engagement karena koperasi dikendalikan dan dikelola oleh anggota koperasi sendiri. Itu akan membuat pencapaian koperasi simpan pinjam berlipat ganda sehingga dapat menjadi wahana untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya.

 

Koperasi sebagai Penyalur KUR

Saat ini, ada tiga koperasi di Indonesia yang menjadi penyalur Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu Koperasi Obor Mas, Koperasi Guna Prima Dana, dan Kospin Jasa. Mereka telah menyalurkan kredit lebih dari Rp 567 miliar kepada 15.717 anggota. Namun, skema KUR tidak dapat mengakomodasi pengaju pinjaman yang tidak memiliki jaminan. Kementerian Koperasi dan UKM sedang menyusun kebijakan pengalihan subsidi KUR agar dapat dimanfaatkan oleh Lembaga Non-Bank termasuk koperasi. Kebijakan tersebut berupa penerapan skema credit scoring. Langkah itu dianggap sebagai solusi bagi UMKM yang tidak memiliki aset sebagai agunan dan dapat meningkatkan harapan serta peluang UMKM untuk mendapatkan persetujuan pinjaman. Credit scoring akan menjadi kunci utama dalam menilai kemampuan UMKM membayar kewajiban pinjamannya, dengan melibatkan lembaga penilaian kredit dan memanfaatkan data transaksi UMKM.

Penggunaan data alternatif dalam credit scoring akan meningkatkan prediksi risiko gagal bayar bagi nasabah baru yang belum pernah mengakses kredit perbankan. Dengan demikian, penyaluran KUR dapat meningkat dan memberi dukungan lebih besar kepada UMKM dalam meningkatkan skala usahanya dan memajukan sektor ekonomi UMKM, khususnya anggota koperasi.

 

OJK Mengawasi Lembaga Jasa Keuangan, Bukan Mengawasi Koperasi Simpan Pinjam

 

 

Saya memulai dengan menyampaikan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga OJK mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan, serta melindungi nasabah lembaga jasa keuangan (LJK) yang berada di bawah pengawasan OJK. Dalam konteks koperasi, kita harus melihat lebih dahulu apakah koperasi termasuk bagian dari lembaga jasa keuangan atau tidak. Kalau koperasi berada di luar kategori lembaga jasa keuangan, itu menjadi ranahnya Kementerian Koperasi dan UKM. Kalau koperasi tersebut termasuk dalam kategori lembaga jasa keuangan, tentu kami yang akan melakukan tindak pengawasannya.

Menyangkut kasus delapan koperasi, semuanya berupa koperasi simpan pinjam (KSP) yang berada di luar kategori lembaga jasa keuangan. Karena itu, mereka tidak masuk dalam kewenangan OJK. Kami tidak bisa dan juga tidak berhak berbicara tentang bagaimana permasalahannya, karena itu berada di luar lingkup kewenangan OJK. Dalam UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) ada di antaranya yang mengatur mengenai koperasi yang dapat menjalankan usaha jasa keuangan, namun ini harus terlebih daulu mendapatkan izin dari OJK. Kalau koperasi itu sudah masuk dalam kategori usaha jasa keuangan, tentu menjadi tanggung jawab kami. Saat ini kami berkoordinasi dengan Kementerian Koperasi dan UKM untuk menyiapkan proses transisi dari koperasi simpan pinjam yang mengajukan diri menjadi lembaga jasa keuangan. Dalam UU P2SK, proses transisi seperti itu harus selesai pada awal 2026.

Sekarang ini Kementerian Koperasi dan UKM sedang melakukan pendataan. Dari sekitar 70.000 koperasi simpan pinjam, baik dalam bentuk KSP maupun unit-unit simpan pinjam dari koperasi serba usaha itu sedang dilakukan identifikasi. Mereka menyampaikan data kepada Kementerian Koperasi dan UKM, kemudian melakukan self declare yang sampai saat ini sekitar 25.000-an koperasi sudah melakukan self declare. Kementerian Koperasi dan UKM kemudian memverifikasi berapa banyak yang masuk kategori open loops— sudah menjalankan usaha seperti lembaga jasa keuangan dengan menghimpun dana, misalnya, bukan dari anggota. Semua itu harus masuk ke OJK. Pada pertengahan tahun 2024, akan dilakukan pelimpahan nama-nama tersebut ke OJK. Kami pun akan melakukan proses verifikasi dan mengonfirmasi ulang apakah mereka itu mau menjadi lembaga jasa keuangan yang mana?

Jadi, kalau di OJK itu ada namanya bank. Dalam UU P2SK, koperasi boleh menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) bila telah memenuhi persyaratan sebagai BPR, tetapi tidak boleh menjadi Bank Umum. Mereka bisa menjadi multi finance, atau lembaga pegadaian, atau lembaga keuangan mikro. Namun, badan hukumnya tetap koperasi. Semua ada persyaratannya berdasarkan peraturan OJK. Departemen tempat saya bertugas, bekerja sama dengan satuan kerja terkait memproses daftar yang diajukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM.

Sampai dengan akhir tahun 2025 atau awal 2026 diharapkan sudah diketahui berapa banyak yang masuk dan tidak masuk. Bila yang tidak masuk, mereka harus melakukan sterilisasi usaha sehingga hanya melakukan usaha simpan pinjam saja kepada anggotanya. Kalau tetap melakukan aktivitas di luar urusan yang didefinisikan sebagai koperasi simpan pinjam, mereka masuk dalam kategori lembaga jasa keuangan ilegal. Terkait dengan lembaga jasa keuangan ilegal, kami sudah memiliki Satgas Waspada Investasi. Jika masih ada koperasi yang menjalankan usaha seperti LJK, tetapi belum mendapat izin OJK, setelah Februari 2026 ia masuk kategori ilegal.

Dalam kasus beberapa koperasi, misalnya, yang berfungsi lebih dari sekadar usaha simpan pinjam di antara anggotanya, sepanjang belum disampaikan oleh Kementerian Koperasi dan UKM ke OJK, kewenangannya tentu berada di pihak kementerian. Saya menangkap ada permasalahan di Kementerian Koperasi dan UKM bahwa penekanan dalam UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian bukan pada sisi pengawasan. Justru di situ titik lemahnya. Pemerintah sendiri berupaya memasukkan aspek pengawasan dalam RUU pengganti UU No. 25/1992 yang sekarang masih dalam proses pembahasan.

Dalam UU yang baru diharapkan akan ada penguatan dari sisi pengawasan. Selama ini yang kita lihat dari definisi koperasi itu semacam lembaga yang mengatur diri sendiri (self regulation), dari anggota oleh anggota untuk anggota. Namun, dalam praktiknya sudah ada beberapa lembaga jasa keuangan berbadan hukum koperasi. Misalnya, ada BPR yang berbadan hukum koperasi atau lembaga keuangan mikro yang juga berbadan hukum koperasi.

Jadi, yang kami lihat selain aktivitasnya juga aspek perlindungannya. Kalau koperasi menjalankan aktivitas sebagai lembaga jasa keuangan, seperti BPR, ia akan dijamin oleh LPS. Dana para penabung atau pemilik deposito pada BPR yang diizinkan oleh OJK masuk dalam lingkup pelindungan lembaga penjaminan simpanan. Sementara itu, koperasi simpan pinjam tidak punya hal seperti itu. Itu bedanya terkait dengan perlindungan. Peraturan perundangan sudah memperlakukan seperti itu. Kalau tidak salah, di dalam RUU tentang Perkoperasian mulai dipikirkan bahwa koperasi perlu punya semacam LPS.

Artinya, kalau mau ada pengawasan dari OJK berarti harus didaftarkan dari Kementerian Koperasi dan UKM ke OJK. Sekarang ada koperasi simpan pinjam yang beroperasi. Ia akan ditanya oleh Kementerian Koperasi dan UKM, “Mau jadi lembaga jasa keuangan tidak? Bila ingin menjadi lembaga jasa keuangan, akan didaftarkan dan diserahkan ke OJK. Otoritas Jasa Keuangan akan menyeleksi dan memverifikasi apakah memenuhi syarat menjadi LJK atau tidak.” Bila diterima, koperasi bersangkutan menjadi LJK dan harus mengikuti aturan sebagaimana layaknya LJK. Bila tidak diterima, ia harus menjadi koperasi simpan pinjam seperti biasa yang tidak boleh menghimpun dana masyarakat yang bukan anggotanya. Kalau masih menghimpun dana masyarakat yang bukan anggotanya, OJK menganggapnya ilegal.

Kalau koperasi sudah menjadi lembaga jasa keuangan, misalnya BPR, ia bisa menghimpun dana dari bukan anggotanya. Sementara itu, untuk anggota koperasi bersangkutan tetap ada yang namanya simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan lain-lain yang diperlakukan sebagai modal mereka sebagai pemilik koperasi. Kami sedang mempersiapkan peraturan OJK yang baru agar mereka tetap bisa menjalankan fungsi sebagai koperasi, tetapi mendapat benefit sebagai lembaga jasa keuangan.

Kita sudah mendapat amanah dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan soal transisi dari koperasi simpan pinjam menjadi lembaga jasa keuangan. Dalam konteks inklusivitas, kebijakan OJK harus memberi kesempatan kepada semua warga negara, khususnya korporasi dan koperasi, untuk memiliki atau menjadi lembaga jasa keuangan. Kita juga tahu sebagian besar anggota koperasi rata-rata adalah UMKM. Koperasi lembaga jasa keuangan akan memberikan pilihan kepada masyarakat serta meningkatkan layanan jasa yang diselenggarakan oleh koperasi yang bisa digunakan bukan hanya oleh anggota, tetapi juga masyarakat umum.

Bila memang ingin sepenuhnya menjadi koperasi, ia tinggal minta izin usaha dan kegiatan sebagai lembaga jasa keuangan dicabut. Misalnya, ingin berhenti menjadi BPR dan memilih menjadi koperasi simpan pinjam saja. Prosesnya sangat mudah. Ia hanya meminta izin usahanya sebagai lembaga jasa keuangan dicabut oleh OJK. Setelah pencabutan izin usaha dan likuidasi, orang-orangnya atau pemegang sahamnya bisa saja membentuk koperasi, tetapi tidak bisa serta-merta dari BPR mendadak menjadi koperasi.

Motivasi lembaga jasa keuangan adalah profit, sedangkan koperasi selain ekonomi/ bisnis ada aspek sosialnya. Bagaimana mengantisipasinya? Di lembaga jasa keuangan, bahkan dalam UU P2SK, sudah diatur mengenai keuangan berkelanjutan (sustainable finance). Lembaga jasa keuangan sendiri diharapkan menerapkan nama menjadi “sustainable finance.” Dalam sustainable finance itu ada 3P (profit people and planet). Jadi, apa pun yang dilakukan LJK harus memperhatikan aspek keekonomian, aspek sosial, dan aspek perlindungan lingkungan hidup. Kami sudah punya peta jalan (road map) “Pengembangan Keuangan Berkelanjutan” dan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan, termasuk instrumen-instrumennya.

 

Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk Memperbanyak Penyaluran Kredit

Pada tahun 2024, pemerintah menargetkan penyaluran KUR sebesar Rp 300 triliun. Selain itu, pemerintah telah menunjuk empat puluh enam lembaga sebagai penyalur KUR, 40 di antaranya bank, 3 multifinance, dan 3 koperasi. Artinya, koperasi diberi kesempatan oleh pemerintah untuk ikut menyalurkan KUR. Jadi di situ koperasi mendapat benefit bisa menyalurkan secara langsung. Konsep KUR itu semacam pemberian insentif kepada lembaga keuangan dalam bentuk subsidi bunga pinjaman. Misalnya, bunga kredit untuk UMKM rata-rata 12-18 persen per tahun. Karena dinilai terlalu tinggi, pemerintah memberikan subsidi sehingga bunga kredit bisa turun menjadi 6 persen. Misalnya, rata-rata bunga bank sekitar 14 persen, bunga sebesar 8 persen disubsidi oleh pemerintah. Jadi, bukan dari sisi kreditnya memakai uang pemerintah, tetapi subsidi bunganya saja.

Jadi, gagasan KUR ini sebenarnya cara yang cerdas. Pemerintah hanya memberi subsidi bunga kredit untuk mendorong lembaga jasa keuangan atau koperasi agar menyalurkan kredit lebih banyak lagi. Sementara itu, masyarakat mendapatkan dengan price yang lebih murah. Semula dia harus, misalnya, membayar bunga sekitar 14 persen, sekarang hanya 6 atau 7 persen. Akan tetapi, lembaga keuangan tidak merasa dirugikan, karena pemerintah memberi subsidi atau mengganti selisih bunga yang diberikan.

Apakah di masa depan KUR diserahkan langsung ke LJK berbadan hukum koperasi? Regulasi itu sebenarnya ranah pemerintah. KUR lahir dari kebijakan pemerintah. Fungsi OJK lebih sebagai pengawas saja dan memastikan bahwa lembaga jasa keuangan yang menyalurkan KUR menjalankan tugas pemerintah itu dengan sebaik-baiknya. Yang menentukan siapa yang berhak menyalurkan kredit itu bukan OJK, tetapi pemerintah.

Kebijakan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian juga membolehkan penyalur KUR bermitra dengan BPR, BMT atau koperasi. Pengaturan kerja samanya diserahkan kepada masing-masing pihak. Yang penting masyarakat penerima KUR tidak boleh membayar bunga lebih daripada yang diatur oleh pemerintah. Jadi, konsep KUR itu adalah insentif suku bunga untuk mendorong lembaga keuangan memberikan kredit lebih banyak lagi kepada UMKM dengan tingkat bunga di bawah pasar. Di sana ada win-win solution antara pemerintah dan lembaga-lembaga penyalur KUR, utamanya perbankan. Pemerintah bertujuan agar semakin banyak anggota masyarakat dapat pendanaan dari bank dan keuntungan bank pun tetap terjaga.

 

 

 

 

 

 

 

 

EDISI

Gerakan Koperasi dan Pendemokrasian Ekonomi | 43 | 2024-03-25

BAGIKAN


Beli Prisma Cetak

Dapatkan prisma edisi cetak sekarang dengan klik dibawah ini

Webstore

Berlangganan Newsletter