Terjadinya krisis keuangan global telah menimbulkan degradasi moral di kalangan penganut kapitalisme liberal atau ekonomi pasar bebas. Bagi Indonesia yang pernah dilanda krisis perbankan 1997-1998, kini tengah menghadapi ujian yang sebenarnya akan ketangguhan ekonomi dalam negeri. Apakah kita akan kembali melalui masa-masa sulit, ketika likuiditas modal seret, harga barang-barang menjulang tinggi, dan tabungan tergerus inflasi? Atau kita punya cukup daya tahan berkat pelajaran dan bekal pengalaman dari masa lalu?
Soalnya bukan hanya masalah penderitaan apa yang bakal kita hadapi. Akan tetapi, terutama di tengah hiruk pikuk pentas politik pemilihan calon presiden dan wakil presiden 2009, krisis ini telah memunculkan debat ideologi tentang sistem ekonomi yang akan kita pilih.
Di tengah kondisi ini, Prisma berusaha mencari jawaban dan penjelasan lebih jernih tentang dampak dari krisis global yang mengguncang dunia terhadap perekonomian Indonesia. Pada edisi terbit kembalinya Prisma ini, tim redaksi mendapat kesempatan berdialog dengan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan sekaligus pejabat Menteri Koordinator Perekonomian Republik Indonesia. Berikut hasil dialog Daniel Dhakidae dan MA Satyasuryawan dengan doktor ekonomi lulusan University of Illinois, Urbana-Champaign, AS itu.
Prisma (P): Setelah Perang Dunia II, dunia mengalami dua krisis besar dalam dua dasawarsa berturut-turut; pertama, tahun 1989 ketika Tembok Berlin runtuh yang sekaligus menandai kehancuran sosialisme versi Uni Soviet, baik sistem ekonomi, politik, dan sosial. Kedua, pada 2009, menyusul krisis kapitalisme yang didukung sistem neoliberal. Apa pelajaran yang bisa dipetik dari dua peristiwa besar itu?
Sri Mulyani Indrawati (SMI): Image dan konsep kapitalisme yang kemudian diasosiasikan dengan liberalisme, selanjutnya neoliberalisme, pada dasarnya adalah pemikiran bahwa akumulasi modal itu pada sekelompok orang dibolehkan atau tidak oleh perundang-undangan suatu negara. Kalau memang tidak dibolehkan, modal itu semuanya dimiliki suatu negara. Dengan demikian, seluruh sistem ekonominya dikontrol, didikte dan diregulasi oleh negara secara absolut.
Bahkan, di negara komunisme yang seluruhnya dimiliki negara, termasuk modal, juga selalu ada dan terjadi ruang-ruang buat kegiatan ekonomi perorangan, seperti kepemilikan properti untuk dipakai dan menghidupi kehidupan mereka. Jadi, dalam suatu perekonomian selalu ada gradasi mengenai peran negara versus peran individual dalam melaksanakan akumulasi kekayaan atau kapital. Dengan kapital itu dia bisa melakukan berbagai aktivitas ekonomi termasuk akumulasi profit, dan dengan profit itu untuk menjalankan kegiatan ekonomi.
Runtuhnya Tembok Berlin dan negara-negara sosialis, termasuk Rusia, bukanlah didorong oleh kondisi bangkrutnya ekonomi sosialis. Sistem itu ambruk karena alasan politis, karena aspirasi politik yang kemudian diinfiltrasi dengan ide tentang kebebasan. Masyarakat tidak mau lagi diatur oleh sesuatu yang sifatnya tertutup, otoriter, tanpa ada demokrasi dan hak suara. Sedangkan krisis yang sekarang adalah akibat dari setting ekonomi, termasuk tingkah laku dari yang disebut economic animal; kapitalisme meruntuhkan dirinya sendiri dengan ketamakan.
P: Oleh karena itu, apa debat atau pelajaran yang bisa dipetik?
SMI: Suatu negara punya pilihan berdasarkan pilihan-pilihan yang dianggap representasi aspirasi masyarakat; yakni mengenai komposisi atau bangunan ekonomi seperti apa yang diinginkan. Indonesia selalu punya romantisme mengenai ide zaman Hatta tentang sosialisme, yang memang sedang mendominasi daratan Eropa atau negara-negara Barat sekitar tahun 1940-1945.
Dalam kaitannya itu kita ingin menerjemahkan kata-kata normatif menjadi sesuatu yang berlandaskan azas kekeluargaan, gotong royong, usaha bersama yang dilakukan untuk menciptakan kemakmuran. Bangunan ekonomi seperti apa yang diinginkan Indonesia? Maka pertanyaan yang relevan dan lebih besar bukan tentang pilihan apakah kapitalisme atau so-sialisme, akan tetapi mengenai bobot peranan negara dalam membangun bangunan ekonomi Indonesia.
Jadi akan jauh lebih produktif dan menjadi debat politik yang bermanfaat, sekaligus pematangan pemikiran secara intelektual, kalau debat berlangsung tentang: the role of the state versus market. Teriakan anti asing, dijual atau tidak dijual, itu semua hanya ujung-ujungnya saja. Ibarat baju hanya renda-rendanya saja. Sosok yang paling besar sebetulnya adalah dua itu, yaitu peranan negara dalam mengalokasikan sumber daya—apakah tanah ini dipakai untuk jalan tol, untuk sekolah, rumah sakit, atau pabrik—dan peranan pasar.
Siapa yang harus menentukan? Negara? Pemodal? Masyarakat luas atau siapa? Dalam situasi inilah saya akan selalu bersuara meninggi. Bukan apa-apa, tetapi karena saya memiliki ketidaksabaran terhadap cara kita mendebatkan isu ini.
P: Bagaimana pelajaran yang bisa dipetik dan apa pandangan Anda pribadi?
SMI: Dengan latar belakang ilmu ekonomi dan pemahaman saya, saya pasti dihadapkan pada suatu pertanyaan ideologis, pragmatis, dan yang teknikal-operasional. Yang teknis-operasional relatif bisa ditangani. Yang pragmatis adalah apa yang harus dikerjakan duluan; ini berkaitan dengan masalah manajerial dan leadership yang mungkin bisa saya lakukan. Akan tetapi, pertanyaan yang sifatnya filsafat ideologis yang akan memengaruhi bagaimana suatu policy akan didesain, apa bangun ekonomi negara ini, seperti apa dan di mana peranan negara, saya harus mengatasnamakan negara karena sekarang memegang jabatan sebagai menteri keuangan.
Kembali ke pertanyaan Anda, kita berdebat antara ekonomi yang dipimpin negara secara mayoritas atau pasar bebas. Saya anggap dua-duanya punya kelemahan. Kalau negara mau melakukan fungsinya untuk melindungi rakyat, memakmurkan rakyat, maka yang namanya negara harus dilengkapi dengan pemerintahan yang bersih, kompeten dan harus dicek kekuasaannya. Karena kalau tidak dicek, pasti korup. Nah, kalau suatu pemerintahan itu kompeten, punya resource, bersih dan dicek kekuasaannya, mereka bisa melakukan debat politik yang sehat, berapa luas dan sempitnya peran pemerintah termasuk bidang ekonomi. Saya kasih contoh, apakah listrik itu penting untuk rakyat? Siapa yang harus bangun? Negara atau biarkan pasar yang bekerja? Kalau pasar, berarti kita undang investor. Kalau memang negara bisa, ya, silakan. Bujetnya dihitung untuk pendidikan, kesehatan, pertahanan, segala macam. Ujung-ujungnya, kalau negara bisa menambah kapasitas 5 persen padahal yang dibutuhkan masyarakat harus naik 25 persen, maka ada bagian yang kosong. Lalu kebutuhan yang 20 persen itu apakah kita menunggu saja, alon-alon asal kelakon, atau kita undang sektor swasta?
P: Di sini persoalannya, terutama tentang privatisasi. Sejauh mana boleh privatisasi, misalnya, karena kapital terbatas. Ketidakadilan di negeri ini terlalu lebar, baik secara spasial timur-barat, kota-desa, dan seterusnya. Negara harus membatasi privatisasi. Tidak semua bisa diprivatisasi.
SMI: Saya orang yang seribu persen setuju mengenai itu. So ridiculous dan tidak realistis secara politik-ekonomi-sosial-legal untuk mengatakan privatisasi penuh, apalagi kalau privatisasi dilakukan oleh negara yang masih korup. Saya yakin betul bisa terjadi, kita umumkan privatisasi tapi kemudian temannya sendiri yang beli. Di Rusia waktu 1980-an itu, perubahan dari sosialisme kemudian masuk kapitalisme, terjadi oligarki. Siapa yang membeli aset-aset negara? Semua dijual secara sangat murah kepada kroni-kroninya. Kalau rakyat Rusia menjadi marah, itu memang seharusnya yang terjadi. Sangat tidak normal kalau mereka tidak marah.
Jadi mungkin idenya bukan pada masalah debat mengenai privatisasi atau tidak. Pasti butuh privatisasi. Kalau diperhatikan jurang ketidakadilan yang sangat besar tidak mungkin mekanisme pasar bisa melakukan koreksi. Sudah pasti itu. Karena sifat dasar dari pasar dan kapitalisme adalah akumulasi profit. Apalagi kemudian masuk fakta amat tipisnya batas antara mereka yang kreatif dan berkemampuan entrepreneurship dengan ketamakan. Yang bisa memberikan rambu-rambu buat mereka hanya etika dan moral, serta hukum.
Makanya negara kapitalis tanpa ada hukum yang kuat, it’s just disaster. Hanya menjadi ajang para kapitalis yang akan mengeksplorasi secara tidak terbatas seluruh keinginan mereka. Di satu sisi mungkin positif, tapi di sisi lain bisa menghabiskan resources, unsustainability, hutan yang rusak, pantai yang diubah fungsinya, gunung yang digunduli dijadikan ranch, apa saja. Karena mereka hanya ingin memuaskan nafsu mereka yang tidak pernah terpuaskan.
Makanya, jika negara mulai mengadopsi dan mengundang private sectors wajib hukum-nya punya pemerintahan yang kuat dan hukum yang bersih. Kalau tidak Anda akan terjebak dan selalu punya semacam romantisme, terjebak hanya pada retorika-retorika sosialisme. Kita menginginkan negara banyak melakukan fungsi melindungi kita. Namun, ternyata negara berkhianat, dan justru memeras rakyatnya sendiri. Jangan lupa apakah itu pasar bebas atau negara, mereka bisa menciptakan suatu keadaan negatif kalau tanpa dicek dan kedua-duanya pada akhirnya bisa menyebabkan kesengsaraan rakyat.
Membela rakyat tidak hanya dengan mengatakan semua diatur negara. Nonsense itu! Karena kalau Anda diatur negara, muncul pertanyaan siapa itu negara? Pemerintah. Siapa pemerintah? Birokrat. Siapa saja birokrat? Birokrat yang tidak kompeten. Birokrat yang korup tends to accumulate power. Maka rakyat akan diminta bekerja untuk birokrat bukan untuk dilindungi oleh negara. Sama juga kalau kita memilih membiarkan pasar yang bekerja. Siapa itu pasar? Para kapitalis. Siapa itu kapitalis? Mereka yang hanya memikirkan profit. Jadi dua-duanya memberikan ancaman.
Maka saya akan mengatakan kalau mau mendesain perekonomian Indonesia, perhatikan struktur bangunannya. Kemudian baru, ujung-ujungnya pada isu privatisasi, property right, isu sustainability suatu sumber daya alam, termasuk kerusakan lingkungan, dan lain-lain. Itu baru ujung-ujungnya, hilirnya.
Hulunya adalah pertanyaan tentang negara, yang pasti membutuhkan keseimbangan di antara dua ini. Sudah 64 tahun sejak Republik Indonesia merdeka kita tidak pernah sukses membangun birokrasi dan hukum yang baik. Tidak ada. Tanpa birokrasi dan sistem hukum yang baik, Anda mau memilih sistem sosialis, market, dua-duanya membawa malapetaka.
P: Tahun 1989, misalnya, sosialisme “hancur” karena over control. Sekarang, pasar bebas “hancur” karena dilepas bebas sama sekali tanpa regulasi dari negara. Indonesia benar-benar berada di saat yang menentukan. Kenapa? Karena dari masa Orde Baru kita praktis dikontrol oleh negara dan baru pada ujung-ujungnya sedikit terbuka. Seperti apa sebetulnya mengembangkan economic policies yang benar-benar membangun satu kebijakan dengan dua perhatian, negara yang harus berperan dan kapital juga harus dikontrol. Seperti apa kebijakan yang bisa membangun dua kepentingan itu?
SMI: Deskripsi ini yang memang mau kita jaga terus, yaitu keseimbangannya. Belajar dari kejadian di Amerika sekarang, bencana itu sedikit banyak ada persamaannya seperti waktu kita krisis. Bidang finansial dilepas sama sekali. Mereka menciptakan produk, kemudian menciptakan bubble, lalu koreksi, itu yang terjadi. Regulasinya tertinggal, supervisinya tertinggal, tetapi ruangnya terlalu luas buat mereka untuk membuat berbagai keputusan yang pada akhirnya tidak hanya membahayakan diri sendiri tetapi juga membahayakan seluruh sistem negara itu. Ini yang terjadi di Amerika di sektor finansial yang merembet ke sektor riil.
Kalau kita bicara Indonesia barangkali sampai pada titik bahwa posisi kita secara ideologis maupun policy sangat jelas. Buat saya peranan negara adalah tidak memberikan kompromi. Ideologi kita dan konstitusi mengatakan begitu. Kalau kita mengatakan itu penting bagaimana membuat dia penting dan berfungsi sehingga ia tidak mengkhianati tujuannya sendiri. Sehingga kalau kemudian kita harus membuka peranan sektor swasta, sampai di mana kita percaya diri untuk membuka ruang buat peranan privat dalam infrastruktur, umpamanya?
Pertanyaannya akan sama: di mana peranan negara, di mana peran privat? Selama negara memiliki resource yang cukup dan bisa mengadministrasikan secara efisien, negara harus melakukannya. Kenapa? Karena dia bisa menjamin apa yang disebut akses kepada siapa pun. Terlepas dari berapa pun pendapatannya. Orang tidak bisa hidup tanpa air bersih, jalan raya, tanpa listrik sekarang ini (paling tidak minimum level of consumption). Bahkan, di perkotaan sekarang orang tidak bisa hidup tanpa telekomunikasi. Semua sudah menjadi basic necessity bagi masyarakat kita, baik yang modern maupun relatif tertutup-tradisional.
Semakin ia tertinggal maka peranan negara akan semakin penting. Dalam konteks Indonesia, untuk daerah timur atau yang masih tertinggal di situ pasti harus masuk peranan pemerintah. Tetapi kalau daerahnya sudah well-developed seperti Jakarta, yang rakyatnya bisa memberi 5.000 perak hanya untuk joki “three-in-one”, itulah harga yang sanggup ditanggung oleh orang yang naik mobil. Kenapa purchasing power orang yang segede itu masih disubsidi dengan bensin yang murah, padahal mereka bisa beli makanan mewah?
Jadi, jangan tergantung dari daerah-daerahnya dan peranan pemerintah, tetapi harus berjalan di semua lini. Misalnya, di daerah tertinggal, peran negara jadi lebih dominan dan harus masuk dulu. Itulah yang disebut peranan perintis—masuk dulu untuk mengurangi risiko, supaya terjadi dulu pergerakan ekonomi minimal. Hitungannya bukan untung dan rugi, karena konstitusi kita mengatakan negara harus melakukan fungsi minimal melindungi masyarakat di mana pun mereka berada.
Tapi akan berbeda kalau kita bicara dengan masyarakat urban, apakah di Bandung, Surabaya, Jakarta, Medan. Barangkali masyarakat sudah sanggup dan menginginkan pilihan. Mereka tidak mau hanya ada satu layanan telepon, tidak ada pilihan. Orang bilang: “Ah, enggak lah saya mendingan milih bayar beda sedikit.” Ini tentang pilihan, dan mereka mau membayar lebih. Lalu kita bisa mengundang investor lain, membuka kompetisi. Karena kalau ini masih absolut dimonopoli negara, saya hampir yakin sudah pasti tidak efisien. Dia memegang monopoli, jadi korup, dan kemudian jadi inefisien yang merugikan masyarakat. Masyarakat harus membayar service yang jelek, delivery yang sangat buruk, harga yang mahal; akan tetapi kita tidak bisa buat apa-apa karena ini fungsi negara.
P: Kaum swasta selalu bisa terlibat when it is possible dan negara when it is necessary. Pada dasarnya kebutuhan untuk Indonesia begitu besar, seperti elektrifikasi, namun tidak mungkin semua diprivatisasi. Nah, untuk memenuhi kebutuhan besar itu seperti apa modelnya?
SMI: Menurut saya kalaupun terbuka bagi swasta when it is possible, tidak berarti mereka tidak diregulasi. Karena ketika mereka mampu dan mereka bebas, swasta boleh masuk dan tidak ada rambu-rambu, bisa banyak terjadi ekses dari kompetisi yang tidak fair. Mereka bisa membentuk kartel, oligopoli, bisa mengeksploitasi ketidaktahuan konsumen. Makanya di negara-negara manapun fungsi negara selalu ada. Keberadaan asosiasi perlindungan konsumen penting sekali, karena konsumen berada dalam posisi tawar yang lemah dibandingkan dengan para kapitalis.
Indonesia punya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Kalau Carrefour sudah mematikan bisnis sekitarnya dia harus disemprit, apakah dia melakukan kompetisi yang tidak sempurna. Sewaktu Indosat dan Telkomsel dimiliki bersama, apakah mereka merupakan suatu kolusi yang sifatnya duopoli? Tapi KPPU juga jangan diisi oleh “hakim-hakim” yang korup, nanti dikasih sedikit — seperti kasus televisi kabel — sudah membuat keputusan yang berbeda.
Jadi sama saja, supaya negara berfungsi melindungi Anda, sekali lagi, selalu dibutuhkan seorang pejabat publik yang punya integritas, kompetensi, dan selalu menjaga kepentingan. Itu tidak gampang. I can assure you, saya bekerja di sini (Departemen Keuangan) empat tahun, setiap hari bergulat dengan masalah itu. Ini bukan debat filosofis, tetapi debat tentang bagaimana kita menyediakan bagi negara ini birokrasi yang tidak mengkhianati rakyatnya. That’s a big battle.
P: Kalau tadi negara dinyatakan butuh resource supaya bisa berperan secara seimbang antara peran negara dan pasar, sekarang apa sumber sebenarnya yang bisa kita kumpulkan selain dari pajak? Apakah pembayaran utang itu terlalu besar sehingga alokasi kapital yang kita miliki banyak tersisih ke sana? Nah, di tengah krisis seperti ini apakah kita punya opsi lain?
SMI: Saya akan mengikuti logika itu setahap demi setahap, sebelum sampai ke ujungnya. Negara itu harus punya resources dan mayoritas resources itu dari pajak. Kalau pajak tidak mencukupi kita membutuhkan tambahan resources, biasanya dari utang. Kalau dulu kita punya aset, kita jual asetnya. Sekarang pajak, orang selalu menganggap taken for granted seolah-olah pajak itu sudah ada. Saya sendiri tidak akan lelah-lelah membunyikan ini karena orang Indonesia menganggap itu seperti sudah datang dari langit.
P: Kenapa dalam soal pajak orang menganggap sudah dengan sendirinya tersedia?
SMI: Pertama, pada zamannya Soeharto yang 30 tahun memerintah Republik ini, tidak pernah memohon rakyatnya membayar pajak. Kenapa? Karena Soeharto diberikan kemewahan yang disebut sumber daya alam minyak yang sangat besar di saat konsumsi kita sangat kecil. Makanya kita menjadi net exporter dan jadi anggota organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC). Harga minyak tiga kali melejit. Pertama saat gejolak 1973, lalu 1979, dan ketiga 1986. Harga meningkat dari tadinya hanya 4 dolar, jadi 12 dolar, lalu 24 dolar dan bahkan mendekati 30 dolar Amerika Serikat (AS).
Indonesia memproduksi minyaknya waktu itu sampai satu juta barel per hari, sementara konsumsinya hanya 300 ribu barel karena pendapatan per kapita kita masih 300-400 dolar AS. Kita menikmati banyak pemasukan. Lalu terjadi kasus skandal Pertamina yang melibatkan Ibnu Sutowo. Tidak ada governance waktu itu. De facto negara ini hanya dibiayai oleh satu sumber, yakni minyak. Hal itu bisa karena kebutuhan dan sistem politiknya sedemikian rupa, sehingga bisa mendanai hanya dari sumber itu. Jadi, selama 30 tahun tidak pernah kita berdebat mengenai pajak.
Sebelum Soeharto sama saja, ekonominya porak-poranda jadi tidak ada pajaknya. Pada zaman kolonial petani harus menyerahkan sebagian besar panennya untuk penjajah, yang disebut cultuur stelsel. Kalau tidak punya tanah maka kamu memberikan pajaknya dalam bentuk tenaga, dan tidak akan dibayar. All in all, republik ini tidak punya sejarah dan institutional building untuk memungut pajak dari rakyatnya. Rakyat bisa mengatakan: “Kok, setelah merdeka sekarang kita malah membayar pajak?” Padahal, di negara mana pun Anda, apalagi negara demokrasi, selalu punya warga negara yang mengatakan saya adalah pembayar pajak. Maka dia bisa berkata, “Mr. President, I am a tax payer, saya boleh menunjuk kalian melakukan apa dengan uang pajak saya.” Mereka bisa tanya mulai soal perang hingga kebijakan mengenai asuransi, pendidikan, dan lain-lain, karena mereka bagian dari shareholder negaranya itu. That’s what we miss a lot.
P: Kalau pajak tidak cukup bisakah kita, misalnya, menunda sementara atau bahkan mengemplang utang sehingga akumulasi modal yang kita kumpulkan bisa dipergunakan dulu buat diri kita sendiri?
SMI: Saya ingin mengatakan begini. Kita membangun republik ini secara bersama-sama. Dari mana sumber dayanya? Pajak! Kalau pajak tidak cukup pilihannya cuma dua: Anda mau cepat mencapai target atau mau mengurangi target. Biasanya orang tidak mau mengurangi target. Development cannot wait. Orang ingin menjadi makmur, menjadi lebih baik kesejahteraannya, tidak bisa menunggu. So you have to do it now. Kalau kita lakukan sekarang, butuhnya berapa? Katakanlah untuk bisa menyejahterakan rakyat dibutuhkan dana yang seluruhnya sebesar 8 persen dari perekonomian. Itu merata kepada masyarakat. Tidak sekadar tumbuh 8 persen, tetapi dinikmati oleh si Polan, si Buyung, si Amir, si Fatimah, Sri Mulyani, siapa saja, semuanya harus.
Kalau Anda mengatakan targetnya tidak bisa ditunggu karena harus tumbuh 8 persen, Anda butuh modal lebih, kan? Anda mengatakan bisa tidak memakai uang untuk membayar utang? Utang itu kan dibuat kebanyakan pada masa lalu, pasti. Karena kalau kita lihat utang itu pada masa Soeharto, durasinya pasti 20-30 tahun. Jarang dia mengutang di bawah 20 tahun. Utang yang dibuat mulai zaman reformasi setelah krisis perbankan durasinya bisa antara 5-10 tahun, kebanyakan 10 tahun. Utang yang sekarang saya buat ada yang durasinya tahunan. Nah, kalau umpamanya kita butuh 1.000 untuk mengejar target kesejahteraan, padahal pajak hanya 800, yang 200 bisa diambil dari APBN yang harusnya untuk bayar utang, bukan? Ya, bisa. Ini pernyataan kita sepihak. Sekarang saya mau mengajak kita semua berjalan dengan logika yang runtut. Karena ini biasanya yang disebut retorika. Saya sendiri menganggap retorika semacam itu sangat senang membodohi rakyat.
Anda kalau bicara Indonesia bukan bicara tentang Indonesia satu tahun saja, bukan? Sekarang saya ajak Anda berpikir. Kalau saya mengatakan 200 triliun tidak saya bayar. Saya bilang itu untuk tujuan mulia membangun rakyat saya. Kita senang. Kita anggap kreditor pasti mau menerima proposal kita. Apakah begitu? Tidak. Kreditor itu just like another economic animal juga. Mereka akan datang dan melarang. Kalau Indonesia dengan pendapatan per kapita 2.500 dolar AS tidak mau bayar hanya dengan mengatakan, “Eh, sebentar, ya, saya mau membangun sekolah dan listrik untuk rakyat dulu, I don’t want to pay you,” maka seluruh struktur kapital global akan ikut goyah. Karena kreditor tidak hanya meminjamkan uangnya ke Indonesia tetapi juga ke seratus negara lain di dunia, dari yang pendapatan per kapitanya 300 sampai 1.000 dolar AS.
Saya akan menyebutkan konsekuensinya, sekali Anda mulai melakukan langkah itu, Indonesia mulai diselidiki, ditanya, apakah 200 triliun itu benar untuk bangun sekolah, atau Anda hanya sekadar mau melawan saja, just bullying, cuma sok jagoan? Kalau cuma mau sok jagoan, mari kita sok jagoan. Mereka juga preman di sana. Akan tetapi, kalau Anda pemerintah dan ini sungguh-sungguh untuk isu pembangunan, Okay, let’s discuss about development issue. Mereka akan tantang kita untuk diskusi, mereka jejer seratus negara lain. Anda menyebut diri Anda paling istimewa? Oh, Indonesia sudah menderita ratusan tahun dijajah dan belum bisa memakmurkan rakyat. How about the other countries in the world yang kira-kira sama atau lebih dari Anda. Apakah mereka juga tidak menderita? Ya, tapi ini kan dominasi dari Barat yang sudah mengolonisasi kita.
Mari kita bicara risiko dan tanggung jawabnya. Pasti orang bertanya, “Kenapa Anda tidak bisa melakukan seperti Argentina? Kayaknya heroik. Atau negara-negara Amerika Latin?” I was working in Washington and I followed them case by case how painful the process was. Dari mulai Meksiko, Brasil, Cile, Venezuela, Anda tinggal sebutkan. Bahkan, sekarang Turki. Pernyataannya begitu atraktif dan simpel, “ngemplang utang, duitnya dipakai untuk membangun.” It is so simple, so logic, and yet so dumb! Maaf kalau saya harus mengatakan ini. Kenapa? Because you cannot implement it in actual way.
Cara ini sudah banyak dilakukan banyak negara dan sangat menyakitkan. Jadi, kenapa kita harus meletakkan Indonesia dalam keadaan berisiko seperti itu? Apakah karena kita men-service kreditor itu? Ya, enggak. It’s about servicing our own interest. Saya ingin memproteksi seluruh ekonomi dan rakyatnya supaya tidak menderita dari hukuman yang lebih besar lagi. Kalau kita mau mengatakan tidak suka utang yang dibuat zaman Soeharto, be it. Saya juga tidak senang dengan itu. Namun, kalau kita mau mulai melakukan debat mengenai kenapa utang dibuat, kreditor juga mengatakan memangnya waktu itu negara kamu terpaksa pinjam? Tidak juga. Yang meminjamnya datang ke Paris, naik limousine, kita tanda tangan juga, you looked happy waktu itu. Terus, kok, sekarang bilang terpaksa?
Jadi, menurut saya, sekali Anda di pemerintahan Anda akan dihadapkan pada tanggung jawab yang menuntut kontinuitas negara ini, dan risikonya begitu besar. Maka siapa pun yang menjabat, betapa heroiknya pun si presiden atau nanti menteri keuangannya, jika mereka mengkalkulasi dengan rasional, saya boleh taruhan mereka tak akan melakukan itu, meski mereka ngomong di semua media hari ini kalau akan mengambil jalan itu. Kecuali dia melakukan itu demi keuntungan pribadi untuk terlihat sebagai pahlawan.
P: Apakah proposal tersebut bisa kita lakukan?
SMI: Anda sebetulnya mau bicara politik tentang utang. Politik tentang utang dan pembayaran utang kembali menurut saya adalah pilihan sebagai negara merdeka. Kita negara independen. Saya menganggap kita negara merdeka. Jadi, kalau saya dengan DPR membahas APBN, pertanyaannya punya 1.000 triliun, tetapi butuhnya 1.100 apa yang harus dibuat? Yang 1.100 mau dipotong jadi 1.000 triliun atau nambah utang 100? Itu pertanyaan politik. Pilihannya kalau dipotong 100 berarti yang ini tidak dikerjakan, yang ini dikerjakan, yang itu tidak dikerjakan. Kalau Anda masih bisa menunggu, tidak apa-apa. Kita potong saja, jadi kita tidak perlu utang. Itu yang namanya balance budget.
Akan tetapi, kalau DPR mengatakan ini penting dan itu penting, harus dilakukan tahun ini lalu boleh tidak kita naikkan pajak? Tidak bisa dong. Masyarakat akan complain karena kita sudah bayar pajak lebih tinggi daripada Singapura. Sekarang kasih Anda pilihan, kita butuh 100. Jadi, pilihannya boleh dinaikkan pajaknya? Anda katakan tidak boleh. Pajaknya justru harus diturunkan. Sekarang kita turunkan dari 30 persen jadi 28, lalu 25 persen. Everybody is happy. But the government is not happy, karena penerimaannya turun 40 triliun rupiah. Namun, Anda tetap tidak boleh menurunkan pengeluaran 40 triliun. Tawarkan ke DPR. Kalau begitu pengeluaran yang ini saya tunda ya? Dia bilang tidak bisa. Papua butuh ini. Kalimantan butuh itu. Sulawesi, Jawa, semua butuh. Jadi politik utang is about necessity.
Kita letakkan dalam perspektif lain lagi, misalnya, dalam praktik negara di seluruh dunia. Are we a reckless country? Ada yang mengatakan kita sudah ketagihan utang. Apa dasarnya Anda mengatakan kita ketagihan utang? Kita jajarkan dan statistik akan menunjukkan. Bandingkan dengan negara yang sudah maju yang memberi kita utang, seperti Jepang atau negera-negara Eropa. Profil utang mereka tidak lebih baik dari kita. Amerika Serikat bisa dikatakan bangkrut. Presiden Obama kalau harus mengajukan APBN-nya sampai 2012, he is going to deliver a bad news to his voters. Cuma punya dua pilihan, saya potong pengeluaran atau saya naikkan pajak. Dua-duanya orang tidak suka. Karena defisit AS sudah parah.
Jadi, saya anggap debat mengenai utang di Indonesia lebih mengenai pengalaman traumatik. Apalagi Sumitro Djojohadikusumo selalu mengatakan: “30 persen utang kita bocor.” Tidak pernah ada yang membuktikan itu, tetapi semua orang percaya itu ada sehingga kita terus punya perasaan marah terhadap kondisi masa lalu itu dan terbawa hingga masa kini. Menteri seperti saya yang baru memang harus menghadapi konsekuensi dari bangsa yang masih traumatik terhadap soal itu. Tapi saya kan tidak boleh ikut dengan suatu suasana psikologis dan mental yang tidak sehat. Negara ini harus maju ke depan. Kita menghadap ke masa depan bukan melihat ke belakang terus.
P: Salah satu trauma kita adalah bahwa utang itu tidak akan pernah terbayar sama sekali sampai kapan pun.
SMI: Ini masuk ke dalam filosofi mengenai suatu negara apakah dia berutang terus sampai keabadian? Jepang, contohnya. Demografinya mulai mengecil, generasi tuanya sudah mencapai 60 persen. Karena makin tua berarti makin banyak kebutuhan untuk kesehatan, jasa-jasa, karena sudah tidak bekerja lagi maka “makan” dari tabungannya. Siapa yang akan menyediakan semua kebutuhan mereka ini? Generasi yang lebih muda, yang makin mengecil, yang harus menanggungnya, plus beban utang masa lalunya yang lebih dari seratus persen. Jadi, negara itu akan terus masuk ke dalam lilitan utang. Terus terang kalau saya jadi menteri keuangan Jepang barangkali akan frustrasi dan tidak tahu akan berakhir seperti apa.
Indonesia sekarang bukannya bisa utang suka-suka. Defisit kita maksimum cuma tiga persen. Untuk standar internasional mana pun negara seperti kita dengan defisit tiga persen is actually very prudent. Artinya, kalau ekonomi kita bisa tumbuh tinggi maka utang itu akan semakin mengecil saja. Sekarang utang sudah 32 persen, nanti 20 persen, kemudian jadi 10 persen, akan hilang masalah itu, kalau ekonominya dijaga hati-hati. Lima tahun terakhir ini saja kita bisa mengurangi utang. Nominal utangnya mungkin bertambah, tetapi kue ekonominya bertambah gede lagi. Terus, saya kumpulkan pajaknya, kita bisa bayar utang itu dengan mudah. Jadi bukan masalah nominalnya.
P: Salah satu cara lain adalah menambah kapital di dalam negeri. Itu yang hampir-hampir tidak kelihatan.
SMI: Orang Indonesia punya lagi wajah lain dari trauma. Tidak hanya sekadar utang, tetapi “utang ke luar negeri.” Itu sudah menjadi double trauma. Semenjak terjadinya krisis ekonomi kita tidak pernah utang ke luar negeri. Enam puluh persen utang datang dari dalam negeri. Sekarang kalau saya jualan Surat Utang Negara (SUN), meski ada uang masuk dari luar negeri tetapi itu dalam denominasi rupiah. Kalau kita dengar percakapan orang-orang, misalnya, di radio, percakapan kelas menengah Jakarta tentang apa yang harus saya rencanakan ke depan untuk pendidikan anak saya, kalau saya pensiun, mengelola tabungan. Tabungannya tidak banyak, tetapi itu tetap tabungan. Mereka tidak lagi bertanya taruh di deposito bank mana, tetapi mereka bertanya saya beli instrumen investasi apa? Ini adalah kelas menengah Indonesia. Saya memimpikan Indonesia akan punya potensi menjadi negara besar kalau kita punya kelas menengah. Dia bayar pajak, punya sisa uang untuk tabungan, dan tabunganya itu dipakai untuk investasi yang produktif. Termasuk kalau pemerintah pinjam kepada orang-orang ini. Saya jualan obligasi (ORI). Yang beli ibu-ibu, pelajar pun ada, karyawan dan swasta pasti ada; demografinya bermacam-macam. Jadi, di Indonesia selama lima tahun, bahkan dimulai sejak terjadinya krisis 1999-2000, kita mengerjakan financial deepening, sehingga masyarakat punya opsi.
P: Perhatian ini muncul terutama karena sektor riil yang tidak berkembang. Pajak memang sejak lama tidak disentuh. Akan tetapi ada juga yang tidak pernah dibuat oleh Orde Baru. Kalau ada yang harus disesali oleh Widjojo Nitisastro dan teman-temannya maka itulah agroindustri yang tidak dikembangkan sama sekali.
SMI: Saya setuju 1000 persen! Bagaimanapun ekonomi tidak bisa dikendalikan oleh sektor keuangan saja. Kita mengatakan, “Mari bangun sektor riil!” Ini satu mazhab lagi. Membangun sektor riil itu perlu pemihakan. Kalau tahun 1970-an ada yang disebut infant industry principle. “Bapak-bapak teknokrat” itu pasti tidak setuju. Mereka lebih suka deregulasi dan liberalisasi. Kenapa? Karena banyak negara menunjukkan infant industry itu jadi infant forever! Jadi, sudah tua pun tetap bayi!
Sekarang coba kita buka sektor riil, contohnya agroindustri. Kalau di Thailand rajanya memberikan instruksi pada pemerintah menggunakan instrumen baik pajak, subsidi sampai membangun infrastruktur. Kemudian muncul entrepreneurs dari mereka. Di sini akan ada pertanyaan entrepreneurs-nya pri atau nonpri, orang Jawa atau Padang atau Kalimantan? Nanti banyak lagi dimensi yang sifatnya SARA tadi.
Kalau pemerintah harus melakukan pemihakan seperti CPO kita produser terbesar di dunia. Meski kita terbesar seharusnya punya kelebihan maksimum dalam kekuatan tawar-menawar. Kenapa ternyata tidak? Karena pelakunya macam-macam. Bahkan, mereka justru punya markas di Kuala Lumpur. Mereka tidak punya infrastruktur, sehingga hanya bisa ekspor mentahnya saja karena tidak ada industri hilirnya. Okay, kita bangun ini. Kalau perlu insentif kita diskusikan. Sekali lagi, menurut saya, ini tantangan instrument choice.
P: Seperti apa pandangan Anda tentang ekonomi rakyat?
SMI: Secara jargon, semua orang tertarik. Saya pun tertarik. Namun, secara konseptual kita perlu mengkritik konsep itu. Jangan-jangan yang dipikirkan para penganjurnya adalah semuanya harus kembali kepada rakyat. Orang pun akan bicara siapa itu rakyat. Penduduk Republik Indonesia 220 juta orang. Itu semua rakyat.
Menurut saya yang diinginkan adalah economic policy yang punya pemihakan pada mereka yang relatif lemah. Saya lebih senang dengan definisi itu. Saya setuju dengan itu dan saya lakukan. Bagaimana? Jika kita ingin berpihak pada yang lemah, yang memihak itu siapa? Negara, lagi-lagi pemerintah. Negara/pemerintah memihak pada yang lemah. Bagaimana cara memihaknya?
Kalau pakai instrumen, kasih mereka subsidi atau fasilitas pajak. Kalau terlalu miskin sampai tidak bisa berbuat apa-apa, itu seperti bantuan langsung tunai (BLT). Di negara lain pun ada yang disebut kupon cash food. Kalau agak miskin, anaknya masih bisa sekolah, namun sekali-sekali bisa disuruh bolos untuk berjualan. Di sini ada problem dengan akses terhadap sumber daya supaya anaknya tidak jadi miskin juga.
Di Indonesia sebutannya Program Keluarga Harapan. Kamu masukkan anak ke sekolah, saya bayar kamu. Biasanya si anak jualan rokok, atau potong rumput, sehari dapat 10.000 rupiah. Kita kasih mereka 15.000 rupiah. Jadi anaknya bisa sekolah. Anaknya lahir tidak diimunisasi, tiba-tiba sakit terkena polio. Saya bayar kamu untuk imunisasi dari kecil. Ini intervensi untuk kelompok yang miskin. Kelompok yang disebut usaha kecil menengah, petani, nelayan, pedagang kecil, usaha kecil menengah, apa yang mereka butuhkan? BBM murah, kredit murah. Kita kasih subsidi BBM, kasih kredit murah untuk usaha rakyat. Itu semua ekonomi rakyat, tanpa perlu kita menyebutnya.
P: Salah satu konsekuensinya juga adalah harus adanya proteksi, mungkin proteksi dalam banyak bidang, terutama pertanian. Kita ambil contoh buah-buahan. Mangga kita paling enak di dunia, tapi tidak ada industri mangga. Itu tugas pemerintah juga.
SMI: Kita selalu dihadapkan pada ambivalensi, sejauh mana melakukan proteksi. Saya mau bantu petani mangga. Kenapa tidak ada industri hilirnya? Barangkali orang kita tidak suka makanan olahan. Lebih suka yang segar. Kenapa tidak ekspor ke New York? Selera orang New York mungkin berbeda. Menurut mereka mangga kita terlalu manis sedangkan mereka alergik terhadap yang manis-manis. Itu soal taste. “Kalau mangga Indonesia lebih enak; itu menurut Anda, bukan kami.” Siapa yang beli? Bagaimana mereka akan beli? Jika mereka punya persepsi bahwa mangga ini barang yang mereka sukai, maka mereka akan beli.
Bagi saya, proteksi, ekonomi rakyat, neolib, kapitalisme, itu debat yang secara konseptual menarik. Akan tetapi, dalam kapasitas sekarang sebagai menteri ekonomi saya melihat itu sebagai debat mengenai kebijakan: bagaimana menerjemahkan ide-ide itu menjadi realita, bukan tentang ideologi, apakah kamu setuju atau tidak. Kita seribu persen setuju. Tapi how to do it? Itu yang lebih ingin didengar rakyat. Ketika Anda menjelaskan bagaimana cara melakukannya, orang bisa menguji apakah yang Anda usulkan itu masuk akal atau tidak. Kalau tidak akan ketahuan bahwa idenya itu bolong! Kosong! Tidak ada apa-apanya! Padahal rakyat jangan lagi dikasih retorika yang kosong!
Makanya, setiap janji soal program di negara yang sudah matang, programnya itu diterjemahkan menjadi bujet. That is politics. Kalau para calon presiden mau memakmurkan rakyatnya, bagaimana postur bujetnya untuk rakyat itu? Apa implikasinya? Di mana bagian untuk rakyatnya? That is choice. Kalau Anda dapat 1.000 triliun siapa yang kebagian duluan? TNI, guru, nelayan, petani, murid, kelas menengah? Oh, bagi saja sama rata sama rasa. Jadi kecil-kecil lagi! Hercules jatuh lagi! Begitu, kan?•