Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Tanah, Kekuasaan, dan Kapital

Daniel Dhakidae

Tanah memiliki sejarah besar dan panjang dengan berbagai lika-liku, drama dalam tragika dan euforia. Drama perebutan tanah, baik oleh sesama individu dalam masyarakat maupun perebutan paksa oleh negara dalam hal melucuti hak milik, land expropriation/land dispossession, serta perebutan paksa dalam arti pendakuan sepihak hak atas tanah, land appropriation, dan semuanya menjadi drama kehidupan yang mengalirkan darah dan air mata. Rumah-rumah yang dibongkar paksa dengan alasan semuanya dibangun di atas “tanah negara” menjadi tragedi biasa/sehari-hari di wilayah perkotaan.


Setidaknya ada tiga hal yang memungkinkan semua pergulatan di atas: hak atas tanah; kapitalisme; dan kolonialisme. Dua yang terakhir melibatkan negara, langsung ataupun tidak langsung. Hak atas tanah pada awal zaman, selalu dianggap milik mereka who tilt the land. Para penggarap, kerja, dan keringat pertama di tanah itu memberikan mereka hak atas- nya, sekurang-kurangnya kalau Leo Tolstoy, pe- ngarang War and Peace dari Rusia, bisa dipegang kebenarannya.


Ketika tanah, terra, land dikerjakan ia berubah rupa dan substansi dan menjadi lahan, ager, yang kelak terkenal dalam seluruh kosa-kata turutannya seperti agraria, agraris, dan sebagainya. Kolonialisme dan kapital yang dibawanya mengubah paham itu secara kasar dan mendasar. Permainan segitiga tersebut mengubah wajah kepemilikan tanah di negeri ini sejak kolonialisme berkuasa, dengan akibat yang masih terasa hingga hari ini.


Kalau tanah adalah yang paling penting bagi eksistensi manusia dan merupakan salah satu unsur modal terpenting, maka dalam hubungan itu tidak ada yang lebih penting daripada masalah tanah yang ditinggalkan oleh kolonialisme Belanda dan sering dilanjutkan dengan sikap kolonial yang tidak ber- ubah. Bukan hanya penting, tetapi juga menentukan dalam arti mengubah struktur kepemilikan. Dengan menentukan struktur kepemilikan maka dengan sendirinya kekuasaan diciptakan dan dilanggengkan. Dengan begitu, pikiran kita dibawa kembali pada struktur penjajahan Belanda yang sering dipukul rata menjadi kolonialisme. Kolonialisme Belanda terkenal sebagai kolonialisme ekstraktif, dalam arti komersia- lisasi dan pemetikan keuntungan hasil garapan dan tanah secara mentah dengan mengekspor semuanya ke pasar dunia, yaitu pasar Eropa. Pola dan struktur kepemilikan atas tanah turut berubah dengan
 
menggeser kepemilikan tradisional kepada suatu struktur baru yang disebut sebagai “modern”, individual untuk melayani kebutuhan kapital. Tanah kolektif di Jawa dan Sumatera dipaksakan menjadi tanah milik pribadi, dengan demikian diperkenalkan private ownership of the land pada akhir abad ke-19.


Namun, kolonialisme Belanda tidak menyera- gamkannya di seluruh negeri. Setidaknya ada tiga jenis yang bisa dikemukakan dalam hubungannya dengan tanah. Pertama, dengan penjajahan ekstraktif Belanda menjalankan sistem penjajahan berbeda di Maluku dibandingkan dengan di Jawa dan Suma- tera. Di Maluku, penjajahan ekstraktif itu dijalankan dengan sistem perkenierschap, perkenierstelsel. Bidang- bidang tanah tertentu diambil dan dialihkan menjadi lahan tanaman bisnis yang dikelola bangsa Eropa.


Penjajahan ekstraktif di Jawa dengan cultuur- stelsel, mewajibkan penyisihan tanah 20 persen buat penanaman tanaman dagang tertentu untuk pasar Eropa. Sementara itu, penjajahan ekstraktif di Suma- tera mungkin jauh lebih kompleks dari segi political economy, yaitu suatu sistem perkebunan besar de- ngan kapital besar yang menuntut infrastruktur be- sar dan karena itu memerlukan buruh dalam jumlah besar yang harus diimpor dari Jawa dengan berbagai soal yang ditinggalkannya sampai hari ini.


Jenis penjajahan ketiga, yang jarang menjadi diskursus sejarah, disebut sebagai onthoudende poli- tiek, yaitu “penjajahan tanpa menjajah” tanpa mema- sukkannya ke dalam administrasi penjajahan pusat dari Pax Neerlandica di Batavia. Jenis itu berlangsung di seluruh wilayah yang sekarang dikenal Nusa Tenggara (Timur dan Barat). Namun, dalam hu- bungan dengan tanah, hal itu berlaku untuk seluruh wilayah yang oleh Belanda dikenal sebagai de groote Oosten, Timur Raya, yang mencakup Borneo, Cele- bes, Soenda Ketjil, Maluku, dan sebagainya. Dengan demikian, seluruh urusan tanah diserahkan kepada “tuan tanah” masing-masing dan tanah menjadi milik suku/puak dan sebagainya. Pendeknya, tanah bukan milik individual, tetapi suku.


Dari ketiganya hanya yang disebut terakhir, “penjajahan tanpa menjajah”, karena kekayaan besar yang dikandung, di atas, dan di dalamnya, tetap menjadi soal dan menggugah rasa keadilan di satu pihak ketika kapital datang dan merundungnya. Di pihak lain, tanah kolektif menjadi satu-satunya alat untuk mempertahankan keutuhan dan daya hidup masyarakat setempat•