Teori Ekonomi dalam Strategi Pembangunan di Indonesia

BAGIKAN



Setiap praktik ekonomi pasti memiliki pende- katan atau teori. Dalam arti luas, praktik ekonomi mencakup aspek pembangunan, pertum- buhan, dan penerapan kebijakan serta program- program pemerintah. Setiap teori dalam ilmu eko- nomi diharapkan mampu menjawab tantangan ekonomi pada zamannya, baik dari segi perspektif dan metodologi maupun implementasi. Di pusat- pusat ilmu ekonomi dunia akan selalu hadir teori yang lebih kuat dan berkembang melampaui za- mannya. Ketika pembangunan gagal atau pertum- buhan ekonomi menunjukkan persisten rendah, dalihnya mungkin karena salah menerapkan teori. Alih-alih menyalahkan teknokratik yang terjadi jus- tru karena kurang lengkapnya landasan teoretis di dalam pembangunan.


Periode Soekarno
Setidaknya ada beberapa kebijakan ekonomi makro yang dijalankan Pemerintah Indonesia sejak 1950 hingga 1966, di antaranya Program Benteng (1950- 1957), Nasionalisasi (1957-1958), dan Program Pem- bangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Ta- hun (1961-1969). Semua kementerian dan lembaga- lembaga negara, termasuk Bank Indonesia, diarah- kan pada tercapainya tujuan program-program eko- nomi yang ditetapkan pemerintah. Setiap menteri di bidang ekonomi bekerja dalam rangka penerapan pola pembangunan ekonomi. Namun, sebagian be- sar di antara mereka bukan ekonom, melainkan pe- ngacara, dokter, insinyur, dan tentara. Jika tidak berlatar pendidikan ilmu ekonomi, bagaimana mere- ka mengambil keputusan menyangkut ekonomi?
 
Pada periode ini, para politikus berperan besar dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan pembangunan. Ranah politik pun didominasi atmos- fer nasionalisme, komunisme dan Islam. Ketiga ideologi tersebut turut memengaruhi ranah ekonomi yang kerap memunculkan perdebatan sengit di antara partai politik. Misalnya, Masyumi tidak sepenuhnya setuju bila negara melakukan inter- vensi, sedangkan PNI dan PKI setuju akan campur tangan negara yang kuat di bidang ekonomi. Kedua parpol terakhir itu juga menganggap aset nasional menjadi milik negara dan perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya yang strategis harus di- nasionalisasi. Perpolitikan bukan dipresentasikan oleh kekuatan elektoral partai, tetapi dari segi perbe- daan ideologi ekonomi berlandaskan teori ekonomi yang banyak merujuk pemikiran para filsuf Barat. Karakter ekonomi-politik dengan menekankan nasionalisme tampak sangat menonjol dalam setiap kebijakan ekonomi makro pemerintah saat itu.


Karakteristik lain yang juga menonjol dalam pelaksanaan program-program ekonomi saat itu lebih bersifat kolektif ketimbang individualis. Hal seperti itu memang wajar mengingat pendekatan ekonomi- politik yang “digunakan” senantiasa merujuk pada teori-teori ekonomi dari “luar.” Di sisi lain, peran partai politik cukup signifikan, namun peran beberapa tokoh, seperti Mohammad Hatta, Sjafruddin Prawiranegara, dan Sumitro Djodjohadikusumo, dalam penguasaan teori dan praktik ekonomi jauh lebih kuat dan berpengaruh. Pemikiran ketiga ekonom tersebut banyak menekankan aspek sosial terkait soal-soal politik, sejarah, dan politik ekonomi.
 
Proteksionisme yang bertujuan melindungi para pengusaha lokal, menciptakan kewirausahaan dan perusahaan negara, termasuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan milik asing, juga mencuat dalam kebijakan ekonomi saat itu. Pendekatan eko- nomi-politik dipakai dalam setiap perencanaan pem- bangunan dengan membentuk “badan industrialisasi” yang mempelajari dan memperdalam rencana yang pernah dikembangkan Belanda untuk industriali- sasi Indonesia. Selain mendorong intervensi negara dalam kegiatan ekonomi di sektor-sektor utama tan- pa mengubah peran sektor swasta, tugas utama ba- dan tersebut adalah merumuskan tujuan pemba- ngunan jangka panjang untuk meningkatkan pen- dapatan nasional, menyeimbangkan struktur eko- nomi nasional, mengembangkan industri kecil dan menengah serta industri besar di daerah tertinggal, dan mengurangi kesenjangan pembangunan antar- wilayah.


Hal lain yang juga menarik pada periode itu adalah “pendekatan” struktur sosial terhadap eko- nomi. Misalnya, penyusunan data tentang struktur sosial pelbagai perusahaan Belanda, Tionghoa, dan pribumi. Berdasarkan hasil data itu, yang juga dapat dikarakterisasi sebagai bagian dari pendekatan ekonomi-politik, disusun kebijakan penciptaan la- pang kewirausahaan. Secara eksplisit struktur so- sial dinyatakan dalam data dan dianggap sebagai salah satu soal penting yang harus segera diatasi agar ekonomi menjadi lebih seimbang. Tampaknya pemerintah menganggap pengabaian terhadap pendekatan struktur sosial itu dapat berdampak jangka panjang terhadap perkembangan ekonomi di masa depan.


Pendekatan ekonomi-politik juga diterapkan di bidang moneter. Pada 1951, misalnya, Menteri Ke- uangan Jusuf Wibisono mengumumkan nasionali- sasi Javasche Bank menjadi Bank Nasional Indo- nesia (BNI). Untuk mendukung kebijakan pencip- taan kegiatan nasional yang dapat mensubstitusi kontribusi perusahaan-perusahaan asing, disusun kebijakan berorientasi pada pengurangan volume impor, peningkatan pajak, dan pembatasan jumlah uang yang beredar. Pemerintah kemudian memper- kenalkan pengendalian nilai tukar dan peningkatan anggaran publik, yang dikenal sebagai “Gunting Sjafruddin”, termasuk devaluasi rupiah, penerbitan obligasi pemerintah dengan tingkat bunga 3 persen, dan menerapkan sertifikat pertukaran dan adopsi sistem nilai tukar ganda. Sejak 1955 hingga 1960, pemerintah berusaha meningkatkan volume ekspor dengan memberlakukan pembebasan pajak dan subsidi serta mengatur izin ekspor.


Pada periode itu, setelah devaluasi rupiah dari 11,40 menjadi 45 per dolar AS, pemerintah mem- perkenalkan kebijakan moneter kurs tetap. Selama periode 1960-1966, menurut laporan Bank Sentral Indonesia pada 1968, pasokan rupiah naik 763 persen menjadi 22 miliar rupiah. Pada periode yang sama, ekspor, termasuk komoditas minyak dan gas bumi, merosot drastis dan menyebabkan derasnya arus keluar valuta asing. Namun, itu bisa diimbangi dengan impor yang lebih rendah. Penurunan be- lanja memungkinkan surplus neraca pembayaran hingga 96 juta dolar AS. Akan tetapi, peningkatan tersebut segera diikuti penurunan, yang hingga ta- hun 1966 terjadi defisit sebesar 88 juta dolar AS. Pada 1965, implementasi perencanaan pemba- ngunan pun terganggu akibat inflasi yang meroket lebih dari 600 persen.


Periode Soeharto
Pada 1966, ekonomi menunjukkan karakternya se- bagai bagian dari ilmu sosial, yakni krisis ekonomi mampu menggulingkan pemerintah yang berkuasa. Muncul pemerintahan baru dengan tantangan yang secara umum sama, yaitu pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat. Kata “pembangunan” menjadi mantera dan tujuan utama pemerintah, na- mun pendekatan ekonomi yang diterapkan berbeda dibanding periode sebelumnya. Pemerintah pada periode ini menganggap pendekatan ekonomi-politik tidak dapat menyelesaikan segala persoalan ekono- mi. Pendekatan ekonomi-politik dianggap sebagai “pengganggu.”


Pendekatan ekonomi yang dipakai Orde Baru berkembang dari teori ekonomi makro yang me- mandang bahwa pembangunan ekonomi akan ter- capai jika diserahkan kepada pasar bebas dan ter- buka. Indonesia memasuki dunia perekonomian baru dalam konteks internasionalisasi kapitalisme liberal. Haluan ekonomi berubah 180 derajat. Politik digunakan untuk menjaga stabilitas. Yang berkembang justru perhitungan matematis yang cenderung mengabaikan ekonomi-politik dengan diterapkannya tingkat pertumbuhan ekonomi da- lam trilogi pembangunan. Pertumbuhan menjadi salah satu tolok-ukur keberhasilan pembangunan. Makin tinggi tingkat pertumbuhan, pembangunan makin berhasil. Ekonomi makro seperti itu dite- rapkan melalui kebijakan fiskal dan moneter tanpa ekonomi-politik.

Penerapan ekonomi makro saat itu tidak dapat dipisahkan dari strategi pembangunan yang ter- tuang dalam setiap Repelita yang diartikulasikan secara bertahap mulai dari pembangunan pertanian (agrikultur), manufaktur, hingga rekayasa industri (tersier). Berbeda dibanding periode sebelumnya yang belajar bagaimana mencapai proses indus- trialisasi berdasarkan pengalaman negara-negara industri blok Barat maupun Timur, pemerintahan Soeharto justru memulainya dari tahapan-tahapan pembangunan. Setiap Repelita sebenarnya bisa me- ngimbangi teori pertumbuhan dengan adanya ber- bagai target tahapan pembangunan. Pada dasarnya, teori atau pendekatan ekonomi dominan pada periode ini ada pada strategi manajemen pemba- ngunannya, terutama aras strategi ekonomi makro, yang kemudian diterapkan melalui deregulasi.


Pada periode ini, Indonesia memiliki banyak ekonom terdidik dan terlatih berpendidikan Barat, terutama Amerika Serikat, di antaranya Widjodjo Nitisastro, Ali Wardhana, Muhammad Sadli, dan lain-lain. Apakah mereka memiliki dan mengapli- kasikan teori ilmu ekonomi dalam merancang dan menjalankan pembangunan ekonomi di Indonesia? Beberapa sumber menyebut mereka banyak mene- rapkan teori neokeynesian. Sementara itu, tidak se- dikit kalangan menyebut pembangunan yang mere- ka laksanakan dengan nama “widjodjonomics.” Salah satu teori terkenal yang dijadikan rujukan adalah trickle down effects yang merupakan konsep inti di dalam ekonomi arus-utama.


Berbagai teori tersebut membuat kebijakan ekonomi menjadi lebih terbuka dibanding periode sebelumnya. Pada 1983-1985, “diluncurkan” lebih dari 20 peraturan baru di bidang moneter, ke- uangan, dan perdagangan. Sebagian besar berupa deregulasi dan liberalisasi. Misalnya, pada 1985 diperkenalkan kemudahan pendirian bank dengan pengurangan kewajiban cadangan dari 15 menjadi 2 persen. Selain itu, mengakhiri monopoli impor baja dan plastik, padahal baja adalah the father of industry. Di sisi lain, ekonomi “berwatak” sosial tetap terlihat seiring pembangunan pertanian yang meningkatkan produksi beras hingga mencapai swasembada. Pertambahan penduduk pun berhasil ditekan.
Di sisi mikro, rezim Orde Baru mengembang- kan dan menjalin hubungan khusus dengan para pengusaha pribumi keturunan Tionghoa. Kepemilikan modal mereka agaknya meyakinkan Soeharto untuk sebuah kapasitas investasi keuangan yang
 
memberikan kontribusi signifikan bagi kemajuan ekonomi nasional. Pemerintah kerap berdiskusi dengan para pengusaha itu tentang proyek- proyek besar, termasuk pendirian bank swasta Bank Central Asia. Namun, teori ekonomi yang digunakan cenderung mengabaikan struktur so- sial atas akumulasi modal. Walaupun penting bagi penciptaan kewirausahaan, berbagai fenomena sosial yang merupakan dasar bagi ekonomi pun kerap diabaikan.


Belum selesai sepenuhnya krisis minor yang menerpa Indonesia, terjadi fluktuasi harga minyak di pasar dunia yang sempat naik tajam pada 1978 kemudian merosot drastis pada 1986. Saldo ekonomi nasional terhantam dan membuahkan inflasi hingga 74 persen, terburuk sejak tahun 1965. Pengendalian inflasi pun menjadi kebijakan prioritas. Selain itu, diambil sejumlah langkah untuk mengurangi proteksi dan melaksanakan kebijakan liberalisasi moneter, termasuk di sektor perbankan. Selama krisis Asia 1996-1997, sebagian besar bank yang pada 1995 menjamur hingga berjumlah 241 ditutup dan jumlahnya turun menjadi sekitar 130 buah.


Periode Reformasi
Pelajaran dari periode sebelumnya adalah indus- trialisasi yang tidak terproses mengakibatkan ketimpangan ekonomi dan besaran sektor informal hingga lebih dari 60 persen. Setelah lebih dari setengah abad, ketimpangan ekonomi dan porsi sektor informal relatif tidak mengalami perubahan. Penerapan kebijakan ekonomi makro makin pen- ting, baik dari sisi anggaran maupun moneter, namun instrumen ini tidak membawa perubahan yang berarti. Tingkat pertumbuhan ekonomi rerata 7 persen selama beberapa waktu dan tidak cukup membuat Indonesia menjadi negara maju. Setelah krisis moneter 1997, tingkat pertumbuhan persisten rendah pada kisaran 5 persen.

Pada akhir tahun 1990-an, sebagian besar eko- nom meyakini bahwa fondasi ekonomi Indonesia kuat dan tidak mungkin ambruk dilanda krisis mo- neter 1997-1998, karena proses industrialisasi telah digantikan dengan memperkuat finansialisasi dalam sektor keuangan. Para ekonom heterodoks sendiri telah mengingatkan betapa tidak stabilnya sektor keuangan dan belum tentu mampu menggantikan industri untuk menjadi sumber pertumbuhan. Pem- benahan besar-besaran di sektor moneter dan ke- uangan menjadi penanda awal periode Reformasi. Bank sentral menjadi independen yang kemudian diikuti oleh banyak lembaga negara lainnya untuk juga independen. Tak pelak muncul berbagai lem- baga yang bertugas mengawasi lembaga-lembaga independen itu. Berikutnya adalah penciutan jum- lah perbankan dan terbentuknya Komite Sistem Stabilitas Keuangan. Walaupun demikian, sektor keuangan selalu rentan dan bahkan beberapa lem- baga keuangan, seperti asuransi, juga collapse.

Sebagian perubahan besar itu berlangsung se- masa pemerintahan BJ Habibie, seorang industrialis yang memiliki pendekatan berbeda dari ekonom arus-utama. Dia lebih memprioritaskan industri aeronautika demi tercapainya kesejahteraan rakyat. Industri memang berkembang relatif pesat, namun industrialisasi pada masa pemerintahan Habibie belum tercipta cukup mapan. Hal tersebut dibukti- kan dengan tidak berkembangnya berbagai indus- tri yang disumbangkan Habibie pada periode pemerintahan berikutnya.

Pemerintahan Abdurrahman Wahid lebih ba- nyak mencurahkan perhatian pada usaha mengem- bangkan ekonomi kerakyatan dengan “mengandal- kan” beberapa ahli, seperti Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli. Yang pertama ialah seorang ekonom mikro (perusahaan) yang sangat menyadari arti penting sektor industri dan keuangan, sedangkan yang ke- dua ialah ekonom berlatar belakang teknolog. Pe- rencanaan pembangunan pemerintahan Gus Dur berdasarkan pada mekanisme pasar berkeadilan dan persaingan sehat disertai pertumbuhan ekonomi yang sarat dengan nilai-nilai sosial. Ekonomi makro “dikembalikan” tidak hanya pada soal anggaran dan moneter, melainkan juga mencakup aspek sosial.

Pemerintahan berikutnya dipimpin Megawati Soekarnoputri, yang juga merupakan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Partai politik itu memiliki ideologi ekonomi yang sangat kuat, namun kurang dilengkapi teori ekonomi ke- rakyatan yang cukup solid. Hal tersebut mengingat- kan pada Mubyarto, salah seorang ekonom yang selalu menyampaikan gagasan tentang “Ekonomi Pancasila.” Patut dicatat, teori ekonomi kerakyatan pada periode ini berbeda dibanding masa Demo- krasi Terpimpin yang sarat dengan teori-teori eko- nomi yang mendukung ekonomi kerakyatan ber- orientasi pada penguatan ekonomi domestik.

Selanjutnya adalah masa pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan program peren- canaan pembangunan ekonomi bertajuk Master- plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Eko- nomi Indonesia (MP3EI), yang secara eksplisit menyatakan tujuan objektifnya adalah mengimple- mentasikan liberalisasi ekonomi. Apakah itu sama saja dengan mengulang kembali ekonomi-politik li- beral yang diadopsi pada 1983 dan membawa krisis besar tahun 1997-1998 serta terbukti gagal mening- katkan kesejahteraan rakyat? Sejak masa kepemim- pinan SBY, politik luar negeri berganti arah ditandai dengan realisasi APEC, menjadi anggota G-20, serta berpartisipasi lebih aktif di Bank Dunia dan OECD. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan in- vestasi asing dan menarik kepercayaan internasio- nal. Upaya tersebut cukup berhasil dengan naiknya tingkat investasi dalam berbagai program. Sejak tahun 2000 hingga 2010, ada sekitar 168 program yang terealisasi dengan bantuan Bank Dunia dan 400 proyek dengan ADB (sejak 1998). Proyek- proyek tersebut terkonsentrasi pada sektor pendi- dikan dan reformasi negara, tidak untuk infrastruk- tur dan irigasi seperti pada masa pemerintahan Megawati. Ekonomi makro dijalankan dengan men- jaga demand melalui bantuan langsung tunai.

Pemerintahan berikutnya dipegang oleh Joko Widodo, seorang pengusaha yang dicalonkan oleh PDI-P. Joko Widodo berbicara banyak tentang revo- lusi mental dan kemandirian ekonomi sebagaimana tertuang dalam Nawacita. Pada periode pertama pemerintahannya, dia menargetkan pertumbuhan ekonomi cukup tajam sebesar 7 persen per tahun. Sebagian besar pembangunan masa itu dicurahkan untuk pembangunan infrastruktur. Walaupun ren- cana pemindahan ibu kota dan pembangunan mari- tim dipercepat, tidak banyak terjadi perubahan yang berarti karena sebagian besar kebijakan ekonomi makro “dipagari” oleh parameter-parameter endo- gen. Pemindahan ibu kota menandai pentingnya ekonomi regional. Jakarta dianggap sudah tidak mampu menampung beban perputaran uang—se- lama ini tujuh puluh persen uang beredar di Jakar- ta. Sementara itu, Indonesia sesungguhnya meru- pakan negara maritim, namun pembangunan sela- ma ini lebih berorientasi pada daratan. Untuk itu perlu dilakukan penyesuaian. Kendati penting dan “mengubah” arah pembangunan di Indonesia, na- mun pengelolaan kedua kebijakan itu tidak me- makai “teori” yang sesuai. Yang berkembang justru meningkatnya impor yang menyebabkan deindus- trialisasi. Tingkat pertumbuhan pun persisten di ki- saran 5 persen. Di sisi lain, tidak ada upaya konkret penciptaan kewirausahaan di tengah peningkatan jumlah uang beredar yang menandakan semakin mendalamnya aspek finansialisasi•
 

EDISI

Historiografi Indonesia: Menguak Kebenaran Sejarah | 39 | 2020-02-02

BAGIKAN


Beli Prisma Cetak

Dapatkan prisma edisi cetak sekarang dengan klik dibawah ini

Webstore

Berlangganan Newsletter