Bagi manusia, 50 tahun usia yang matang. Bagi pernikahan, setengah abad patut dirayakan, the golden anniversary, “kawin emas.” Sebuah pergulatan hidup untuk menyelami rumah tangga, membangun keluarga batih, dengan kemungkinan gagal berantakan. Tentu analogi usia manusia atau pun usia pernikahan untuk tumbuh, berkembang, menjadi dewasa dan matang tidaklah sepenuhnya tepat bagi sebuah penerbitan berbasis pengetahuan dan akuntabilitas ilmiah, seperti Prisma.
Terbit pada masa awal regimentasi Orde Baru, Prisma tumbuh menjadi sebuah “majalah” pemikir an sosial ekonomi yang lekat sebagai bagian dari teknokrasi Orde Baru. Kegairahan membuncah dari para pendiri, awak redaksi, dan para kon tributornya terhadap sebuah proyek modernisasi yang kemudian kita kenal sebagai pembangunan. Beberapa tahun kemudian, pada akhir tahun 1970 an, Prisma menjadi lebih kritis terhadap model pembangunan dan kekuasaan negara yang makin otoriter, namun dalam pakem di master-headnya hingga kini, Prisma menyatakan diri:
“… dimaksudkan sebagai media informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan eko nomi, perkembangan sosial dan perubahan kul tural di Indonesia dan sekitarnya. Berisi tulisan ilmiah populer, ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis dan segar.”
Sebagai produsen pengetahuan dalam dunia sosial yang terus berubah, pertanyaan tentang cara dan tujuan yang tepat bagi Prisma selalu menjadi pertimbangan penting, bahkan pergulatan di meja redaksi. Misalnya, bagaimana analisis dan hasil penelitian yang dimuat di Prisma tak hanya berkon tribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dari dan oleh kalangan akademia atau scholar, namun juga memiliki dampak pada proses pengambilan keputusan dan kebijakan publik?
Bagaimana kualitas penelitian dan nilai publik dari suatu penyelidikan sosial dapat andil merumuskan masalah dan memajukan gerakan sosial yang semakin kompleks, terutama saat Indonesia memasuki milenium baru di era pascaReformasi? Bagaimana para peneliti sosial dapat membingkai ulang masalah yang dihadapi oleh mayoritas mere ka yang tersingkir dan terpinggirkan oleh proses pembangunan, seraya merancang suatu metode penyelidikan dan, yang lebih penting, mengomuni kasikan berbagai temuan dan analisisnya dengan cara yang tepat sehingga mampu berkontribusi pada debat publik yang bernas?
Jawaban atas pertanyaanpertanyaan tersebut tentu tidak akan dibantu oleh nalar biner yang telah menciptakan hierarki pengetahuan seperti kredo yang tertanam di benak banyak cerdikcendekia mengenai pembelahan antara ilmuilmu alam dan ilmuilmu sosial atau humaniora; atau seperti juga perbedaan yang disebut Aristoteles sebagai techne (rasionalitas teknis) dan phronesis (rasionalitas nilai).
Menyadari ketegangan mendasar antara dua rasionalitas yang berbeda tersebut, sejak kembali terbit di pertengahan tahun 2009, setelah “mati suri” selama satu dekade, Prisma berupaya meru muskan ulang posisi dan kiprahnya. Perumusan ulang tersebut semakin relevan dan mendesak karena setidaknya dua hal.
Pertama, karena refleksi kritis dan perkem bangan teori tertentu dalam ilmuilmu sosial, tam paknya kita harus keluar dari zona nyaman dengan pemilahan bahkan dikotomi usang antara “agensi” dan “struktur”, antara data “lunak” dan “keras”, antara fenomena objektif dan subjektif, antara re alitas material dan diskursif, bahkan antara tekno krasi dan demokrasi/partisipasi.
Kedua, menyadari juga dalam masyarakat kontemporer yang semakin mendunia, kita terus dihantui dan menghadapi krisis kapitalisme—yang akut maupun konjungtural—yang kini memuncak dalam wujud krisis iklim dengan disrupsi pan demi virus korona. Krisis itu berada dalam suatu era globalisasi digital, di tengah ledakan informasi dan dominasi media sosialnya. Sambil mematah kan janjijanji modernisasi, krisis global ini terus menyeret gerbong berbagai masalah klasik pem bangunan: konsentrasi kekuasaan dan sumber daya pada segelintir orang, ketimpangan sosial dan penghancuran ekologi.
Pada titik itulah Prisma dituntut mampu menjelaskan masalah dan risiko yang dihadapi masyarakat Indonesia di masa mendatang. Hal itu mungkin dapat dilakukan dengan merangkul, baik rasionalitas nilai maupun rasionalitas tekniknya, sambil memperluas komunitas epistemik yang mampu memperkuat daya penjelas dan daya pre diktifnya. Dalam arti ini, Prisma berupaya meng artikulasikan edisi tematiknya bukan sekadar melalui pendekatan multidisiplin melainkan trans disiplin agar tetap menjadi hub (penghubung) antara ketiga stakeholdernya: dunia akademik atau para cerdikcendekia, para pengambil kebijakan negara, dan gerakan sosial. Semoga.