Yang Berubah dan Sungguh Tidak Berubah

BAGIKAN



Teknologi analog berubah menjadi teknologi digital. Secara teknis kelistrikan, teknologi analog sepenuhnya berbasis pada arus sinyal berkesinambung­ an, sementara teknologi digital berdasarkan pada kom­ putasi biner diskrit dalam sirkuit pengodean tertentu yang sudah diprogramkan.


Akan tetapi, lebih dari sekadar penjelasan defini­ tif teknis tersebut, dalam pemahaman kita sehari­hari, teknologi analog sering dikaitkan barang konsumsi pra­ digital seperti radio, TV, atau pemutar rekaman video, dan terutama dipahami sebagai deskriptor teknologi, yang secara ontologis, teknologi analog berkembang seturut dengan peradaban manusia.


Oxford English Dictionary (OED) menawarkan definisi yang sama sekali berbeda dari definisi per­ tama. Sebagai kata sifat, secara teknis “sinyal analog” adalah pemakaian arus sinyal yang berkaitan dengan atau menggunakan sinyal atau informasi yang diwakili oleh kuantitas fisik variabel terus­menerus, seperti po­ sisi spasial, tegangan, dan lain­lain. Istilah “analog” (sebagai kata benda) berarti “seseorang atau sesuatu yang tampak sebanding dengan yang lain.” Itu berasal dari kata Yunani analogon yang berarti “sebanding” atau “proporsional.”


Definisi kedua OED tersebut membawa kita pada karya klasik Arnold Gehlen (terbit kali pertama dalam bahasa Jerman pada 1949 dan diterjemahkan ke bahasa Inggris pada 1980), Man in the Age of Technology. Pendekatan “filsafat­antropologi”­nya membawa kita ke akar bagaimana spesies manusia berevolusi sebagai makhluk teknologi.


Tidak seperti alam atau makhluk hidup lainnya yang mampu berevolusi secara alamiah, beradaptasi dengan mengubah tubuh dirinya, manusia (homo sa- piens) beradaptasi dengan mengatasi dan mengubah lingkungan (alam)­nya melalui perkakas atau peralatan yang membantunya untuk bertahan hidup. Cara ma­nusia melakukan perubahan itu kemudian kita kenal sebagai “teknik” (Jerman) atau “teknologi” (Inggris) jauh sebelum revolusi industri.


Dengan antroposentrisme, manusia diandaikan sebagai pusat semesta, awal penciptaan, yang meng­ hubungkan orang dan benda dalam konteks lingkung­ an (alam) mereka melalui prinsip “sebanding” dengan skala manusia. Palu dibuat agar bisa digenggam dengan tangan. Hunian tempat berlindung dibangun berdasar­ kan jangkauan dan ukuran ruang fisik manusia.


Gehlen membedakan tiga jenis teknik/teknologi. Pertama, teknik penguatan, seperti palu atau seperti mikroskop atau pengeras suara, yang menambah atau memperkuat kapasitas alami manusia: penglihatan ataupun bersuara. Kedua, teknik memfasilitasi, seperti misalnya, membuat roda atau jembatan atau mobil, yang berfungsi untuk meringankan beban pada organ tubuh dan membantu usaha pergerakannya mengarungi ruang dan waktu. Ketiga, teknik substitusi, seperti pe­sawat terbang atau kapal laut, yang berfungsi sebagai pengganti organ atau kapasitas yang tidak dimiliki ma­ nusia sebagaimana makhluk yang bersayap, bisa ter­ bang, atau mengarungi samudra.


Jika dikategorikan demikian, keragaman manu­ sia dengan tekniknya tersebut sangat mengesankan, sehingga membuat evolusi manusia semakin luar bia­ sa menuju alat dan pengembangan alat. Pada tingkat yang paling mendasar (dan ideal) di masa pramodern, hubungan menusia dengan teknik itu tercermin, seperti disebut Gehlen, sebagai “lingkaran tindakan” (loop of action), yakni sebuah proses dialektika manusia­alam dengan teknologi yang melampaui objeknya, melam­ paui mata dan tangan, lantas kembali ke objek seraya menyimpulkan dirinya sendiri dan mulai lagi.


Umpan balik tindakan manusia yang berlangsung selama ribuan tahun dengan metoda coba­salah (trial and error) memungkinkan kita untuk menciptakan diri sendiri dan menciptakan kembali lingkungan hidup kita. Dengan lingkaran tindakan meniru alam, melalui teknik yang sesuai dengan alam, atau berbagai cara yang sebanding (proporsional) dengan dan “bergaung” atau menyatu dengan alam, dan menemukan citra kita sendiri sebagai manusia yang tercermin di alam. Itulah yang disebut teknologi analog.


Melalui perpaduan sains dan teknologi yang pe­ sat, terutama sejak Perang Dunia Kedua, dunia analog tersebut makin bergeser, kalaupun tidak be­revolusi. Kita memasuki abad tempat globalisasi tidak hanya dijangkau melalui penjelajahan, perdagangan, dan ko­ lonialisme klasik dari abad ke­16. Pada abad itu, era modernitas dimulai, revolusi industri berdampak luas serta kapitalisme merasuk hingga negeri dan pelosok dunia terjauh. Dengan meminjam David Harvey, kon­ teks perkembangan kapitalisme dengan sistem yang bertumpu pada kekuatan kapital demi akumulasi dan konsentrasi profit, dunia digital yang kita huni saat ini mengalami kompresi, pemampatan ruang dan waktu.


Kompresi ruang­ waktu digital tidak hanya me­mungkinkan orang di dunia terhubung dalam sarana komunikasi dan informasi yang makin menyatu, tetapi juga memungkinkan modal bergerak dan berpindah lebih cepat dan serentak di pusat­pusat keuangan du­ nia. Kita tahu modal keuangan, misalnya, dalam ben­ tuk modal ventura itulah yang menjadi basis utama dari pertumbuhan berbagai perusahaan platform digital de­ ngan sistem algoritma digitalnya terus mengumpulkan dan memupuk data kehidupan pribadi setiap manusia melalui berbagai platform media sosial dan periklanan yang mengiringinya, menjadi sumber keuntungan dan oligopoli baru bagi korporasi raksasa tanpa bisa di­ kendalikan oleh publik, bahkan oleh negara (republik): big data. Sebuah keterasingan politik pasca modern yang tidak hanya mengancam privasi, melainkan juga demokrasi.
 

EDISI

Globalisasi Digital: Tantangan Ekonomi Politik Indonesia | 40 | 2021-02-02

BAGIKAN


Beli Prisma Cetak

Dapatkan prisma edisi cetak sekarang dengan klik dibawah ini

Webstore

Berlangganan Newsletter