Bulan Mei dua puluh lima tahun silam, sebagian besar rakyat Indonesia menatap negeri ini dengan sukacita. Harapan Indonesia baru, Indonesia yang keluar dari belenggu otoritarianisme, struktur kekuasaan yang korup, nepotis, dan kolutif. Kehidupan bernegara yang menghormati warganya membuncah dengan jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998 (sehari setelah peringatan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1998). Kala itu optimisme yang tumbuh di Indonesia bertemu dengan antusiasme atas gelombang ketiga demokratisasi dunia. Namun, Indonesia tidaklah unik. Pada saat bersamaan, khususnya di pengujung abad ke-20, timbul kegairahan masif atas akhir riwayat dunia yang ditandai oleh kemenangan demokrasi politik dan tatanan pasar bebas; visi yang terangkum dalam karya Francis Fukuyama berjudul The End of History and the Last Man (1992).
Namun, sebuah perkembangan yang tidak banyak diperhatikan oleh media massa internasional seiring dengan histeria kemunculan demokrasi liberal-pasar bebas dalam perkembangan ekonomi-politik global adalah munculnya kritik dan skeptisisme terkait prediksi optimistis tersebut. Salah satunya adalah karya profesor hubungan internasional dari London School of Economics and Political Science (LSE) bernama Fred Halliday berjudul Revolution and World Politics: The Rise and Fall of the Sixth Great Power yang terbit pada 1999 (setahun setelah jatuhnya Soeharto pada 1998). Karya itu hanya diapresiasi di kalangan intelektual progresif dan kalah populer dibanding karya-karya intelektual liberal yang mengabarkan kemenangan demokrasi pasar bebas. Dalam buku yang sangat solid dalam argumentasi kajian ekonomi-politik dan historis materialisme itu, Halliday menegaskan bahwa rezim demokrasi liberal dan globalisasi pasar bebas yang hadir sebagai gelombang politik dunia seiring dengan ambruknya rezim komunisme di Soviet ibarat istana pasir; berdiri di atas fondasi yang lemah. Kehancuran komunisme tidak serta-merta menempatkan tradisi politik revolusi ke dalam musium peradaban sebagai masa lalu yang tidak lagi relevan. Hantu revolusi masih akan tetap mendampingi dinamika politik internasional melalui pisau analisis materialisme historis yang semakin menunjukkan ketajamannya di tengah lemahnya basis politik dari kemenangan demokrasi pasar bebeas dalam skala mondial.
Pada bagian epilog, Halliday menegaskan setidaknya ada empat alasan mengapa demokrasi dan pasar bebas yang tampil menjadi rezim ekonomi-politik dunia internasional sejak akhir abad ke-20 dibangun di atas fondasi yang lemah. Pertama, globalisasi pasar dan corak relasi produksi yang mendampingi demokrasi liberal sejak gelombang demokratisasi ketiga tidak ditandai oleh menguatnya distribusi kemakmuran, namun sebaliknya memperlihatkan menguatnya ketimpangan sosial dan semakin dalamnya jurang kekayaan antara kelompok kaya dan miskin. Pergeseran menuju adopsi tatanan kapitalisme dan integrasi dengan tatanan ekonomi dunia ditandai oleh pelemahan secara brutal dan tak terkontrol dari pencarian hajat hidup rakyat. Penilaian Halliday itu tidak hanya relevan dalam konteks perkembangan ekonomi-politik dunia, namun juga absah dalam melihat kondisi ekonomi-politik di Indonesia. Selama dua puluh lima tahun setelah jatuhnya rezim Soeharto, konsentrasi kemakmuran 1 persen orang terkaya di Indonesia semakin tinggi meninggalkan mayoritas rakyat dengan porsi kue ekonomi sekitar hampir separuh dari perputaran kemakmuran di Indonesia. Sementara itu, data World Inequality Report tahun 2022 menunjukkan bahwa pendapatan per tahun dari 1 persen orang terkaya di Indonesia itu sebesar 73 kali lipat dari pendapatan mayoritas penduduk miskin (berkisar pada angka 1,2 miliar per tahun atau 105 juta per bulan). Sampai saat ini, baik Indonesia maupun negara-negara yang “menjalankan” demokrasi masih belum memiliki formula kebijakan ekonomi-politik yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut.
Kedua, seiring dengan ketimpangan sosial yang kian tinggi dan demikian pula absennya kesetaraan ekonomi-politik sebagai warga negara, ruang politik demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang dianggap baik (democracy space and good governance) secara konkret tidak serta-merta menuju pada pemenuhan ekspektasi publik terhadap terbentuknya tatanan ekonomi-politik yang inklusif. Dalam kondisi yang berlangsung di Indonesia, misalnya, kemampuan dari kekuatan-kekuatan sosial lama yang memiliki basis sosial maupun ekonomi-politik yang kuat, sehingga mampu beradaptasi dan menguasai arena politik demokrasi, menghasilkan tatanan politik yang mengeksklusi keterlibatan politik rakyat di tengah dominasi kuasa faksi-faksi oligarki dalam gelanggang politik kekuasaan di Indonesia. Kondisi serupa juga berlangsung dalam konteks mondial seiring tampilnya jargon kuasa 1 persen yang mendominasi tatanan kapitalisme neoliberal global.
Ketiga, gelombang demokrasi ketiga yang menjadi emblem penanda dari politik dunia sejak akhir abad ke-20 tampaknya lebih tinggi daripada kenyataan konkret yang terjadi. Klaim-klaim politik besar tersebut menyembunyikan kenyataan hadirnya rezim hibrida demokrasi yang bertemu dengan watak otoritarianisme rezim semi demokrasi serta rezim otoritarian yang masih menjadi penanda politik dunia, yang tetap eksis saat slogan demokrasi liberal-pasar bebas masih memiliki kekuatan hegemonik yang besar. Dalam kasus Indonesia, misalnya, keterbukaan politik masa setelah tumbangnya Orba masih ditandai oleh warisan kuasa rezim Soeharto yang membelenggu gerak maju rezim demokrasi di Indonesia. Warisan tersebut bukan hanya berkait sistem kekuasaan bercorak oligarkis seperti yang bercokol pada era Soeharto, tetapi juga hadir dalam bentuk gagasan, ideologi, serta cara pandang rezim Soeharto yang masih kuat memengaruhi arena masyarakat sipil di Indonesia. Pada kenyataannya dan sampai saat ini, dalam analisis politik lebih mendalam, tatanan masyarakat sipil kita tidak bercorak demokratik serta progresif, namun justru dikuasai oleh para pendukung gagasan otoritarianisme Soeharto maupun populisme kanan.
Keempat, dari berbagai macam analisis yang menandai kesangsian atas rezim demokrasi pasar bebas global, Halliday menyimpulkan bahwa alih-alih demokrasi liberal-pasar bebas menjadi akhir dari sejarah umat manusia seperti dinujumkan oleh Francis Fukuyama, dunia masih akan terus diisi oleh tampilnya ideologi-ideologi alternatif yang menggugat kenyataan ketidakadilan sosial, meski banyak di antaranya tidak mengarah pada tujuan kuasa rakyat dan keadilan sosial. Tidak lebih dari sekitar satu dekade sejak terbitnya karya Fred Halliday, tatanan politik dunia dan Indonesia diisi oleh berbagai ingar bingar tampilnya artikulasi populisme, baik populisme kiri yang memperjuangkan kesetaraan ekonomi-politik maupun populisme kanan yang menegaskan politik eksklusif dan menempatkan yang dianggap berbeda dengan mereka sebagai ancaman politik.
Berangkat dari kenyataan konkret yang memperlihatkan rentannya tatanan demokrasi dan pasar bebas tersebut, Halliday menegaskan bahwa, baik analisis materialisme historis maupun proyek politik revolusi, masih menjadi hantu yang membayang-bayangi realitas politik dunia dan Indonesia. Namun, pembacaan saksama atas kenyataan ekonomi-politik di Indonesia yang tersambung dengan dinamika ekonomi-politik global tidak secara otomatis memperlihatkan potensi politik revolusioner sebagai alternatif yang sekali jadi dan siap untuk digunakan sebagai preskripsi jalan politik. Kenyataan ekonomi-politik di Indonesia serta lanskap kekuasaan dunia memperlihatkan bahwa saat ini yang terjadi agaknya mirip seperti yang digambarkan oleh pejuang pemikir progresif Italia Antonio Gramsci saat menjelaskan sejarah politik Italia dalam era Risorgimento pertengahan abad ke-19.
Bagi Gramsci, momen transformasi sosial yang berlangsung kala itu ditandai oleh ledakan politik rakyat yang menggugat kemapanan kaum feodal dengan mengusung jargon politik kerakyatan. Rakyat diusung tinggi-tinggi dalam emblem-emblem politik perubahan. Namun, pada kenyataannya posisi rakyat, khususnya dalam konteks Italia, yakni massa kaum tani, dalam gelanggang pertarungan kekuasaan dieksklusi. Kekuatan-kekuatan borjuasi yang menjadi kelas sosial utama dalam kancah pertarungan politik khawatir dengan peran massa petani dalam perubahan sosial akan mengancam kepentingan mereka, tatkala mereka mendorong perubahan sosial dengan menekankan pada agenda reforma agraria. Menurut Gramsci, di sanalah tatanan bernegara dalam rezim borjuis di Italia abad ke-19 dibangun di atas fondasi yang rapuh tanpa dukungan infrastruktur dan basis sosial yang kuat bertumpu pada kuasa rakyat. Kondisi seperti itu disebut Gramsci sebagai kondisi passive revolution, ketika revolusi meninggalkan substansi revolusi.
Demikian pula yang berlangsung di Indonesia dua puluh lima tahun silam, tatkala momentum perubahan sosial yang berlangsung saat penggulinan Soeharto tidak ditopang oleh hadirnya kekuatan sosial-progresif, baik dari kalangan rakyat pekerja maupun dari kekuatan massa berbasis petani. Pada akhirnya, manifestasi dari passive revolution di Indonesia adalah suatu rezim yang instalasi politik kelembagaannya bercorak liberal, namun basis sosial serta tendensi kekuasaannya didominasi oleh kekuatan oligarkis yang tidak diikuti oleh kehadiran rakyat dalam memengaruhi arena politik. Hal tersebut berlangsung, baik berkait depolitisasi dan penghancuran basis sosial di era berkuasanya Soeharto maupun ketakutan kaum reformis saat itu bahwa kehadiran kuasa rakyat dalam bentuk front nasional yang mengikat aspirasi kekuatan kelas pekerja, petani, dan kaum miskin sebagai basis utama dari gerakan reformasi. Bila hendak mencari jawaban preskriptif dari problem ekonomi-politik Indonesia setelah Reformasi 1998, kita dapat membaca kembali tradisi politik revolusioner yang sudah terbentuk pada masa silam.
Mutiara gagasan-gagasan revolusioner dapat kita gali dan temukan dalam Naar de Republiek Indonesia dan Massa Actie ataupun Indonesia Menggugat. Di dalamnya kita dapat menemukan politik yang berpijak pada garis rakyat (mass line) maupun pembentukan kuasa rakyat (machtsvorming), kalau tidak maka kemungkinan kita akan mengabadikan kemarahan Gramsci ketika dia menggugat tatanan bernegara di Italia yang menandai passive revolution abad ke-19, “They said that they were aiming at the creation of a modern State in Italy, and they in fact produced a bastard. They aimed at stimulating the formation of an extensive and energetic ruling class, and they did not succeed; at integrating the people into the framework of the new State, and they did not succeed” (Mereka bilang mereka bertujuan untuk menciptakan negara modern di Italia, dan pada faktanya mereka hanya memproduksi bangsat. Mereka bertujuan mendorong formasi kelas dominan yang energik dan luas dan mereka tidak berhasil; dalam mengintegrasikan rakyat pada kerangka negara baru, mereka lagi-lagi gagal! (Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, disunting oleh Quintin Hoare dan Geoffrey Nowell Smith. New York: International Publihers, 1971, hal. 90.).