Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Pembelajaran Sekaligus Tantangan

Eka Handriana

 

Diketoknya palu pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menandai betapa panjangnya jalan yang harus ditempuh bagi embrio instrumen pelindungan ini. Terhitung sejak Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyusun naskah akademis dan memprakarsainya pada 2012 hingga disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada 12 April 2022, embrio UU TPKS telah melewati liku-liku perjalanan selama satu dasawarsa. Mulai dari forum diskusi yang melibatkan para pemangku kepentingan, hingga maju mundurnya naskah RUU TPKS dalam proses legislasi, bahkan sempat terdepak keluar dari pembahasan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas pada 2020. Problem pro dan kontra atas definisi kekerasan seksual “menuntut” kampanye dan advokasi panjang yang melelahkan. Strategi “mengepung” pemerintah, dilakukan demi menuju pengesahan.

Prisma mencatat pengesahan tersebut sebagai salah satu tonggak historis perjuangan kaum perempuan di Indonesia. RUU Penghapusan Kekerasan terhadap Peremuan yang kemudian disepakati menjadi TPKS berhasil memuat pembaruan hukum yang progresif, memperkuat pelindungan dan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual. Pencapaian dari perjalanan yang panjang itu mengandung pembelajaran penting bagi gerakan sosial. Di sisi lain, UU TPKS masih menghadapi tantangan tentang bagaimana ia diimplementasikan. Dalam rubrik Dialog edisi “25 Tahun Reformasi,” Prisma mencoba secara kritis merefleksikan sekaligus mengupas pembelajaran dan tantangan undang-undang ini dengan menghadirkan dua orang narasumber: Luluk Nur Hamidah (Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR-RI dan Sekretaris Jenderal Kaukus Perempuan) dan Mariana Amiruddin (Komisioner Komnas Perempuan). Pemimpin Redaksi Jurnal Prisma Harry Wibowo  menanggapi sekaligus merefleksikan paparan kedua narasumber. Dialog dibuka dan dimoderatori anggota redaksi Prisma Rahadi T Wiratama serta dirangkum oleh Eka Handriana.

 

Prisma (P): Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) merupakan salah satu tonggak perjuangan kaum perempuan Indonesia, karena undang-undang ini dapat melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan seksual. Isu itu penting karena proses hingga disahkannya berjalan sangat panjang. Draf undang-undang itu sudah ada sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Beberapa organisasi nonpemerintah (ornop) dan Komnas Perempuan, juga sudah lama memperjuangkan isu tersebut. Karena itu, refleksi terhadap UU TPKS menjadi penting untuk dibahas bertepatan dengan momen peringatan 25 tahun Reformasi. Pertanyaannya, faktor apa saja yang membuat pengesahan undang-undang itu harus menunggu hingga satu dekade? Faktor kultural, sosial, politik, ataukah ketiganya? Apakah proses pembahasan hingga pengesahannya yang begitu lama berkait dengan gerakan perempuan? Bagaimana liku-liku perjuangan kawan-kawan perempuan hingga disahkannya UU TPKS?

 

Luluk Nur Hamidah (LNH): Kita patut bersyukur karena bisa melahirkan peraturan perundangan yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kaum perempuan. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization; WHO) menyebut sebuah fakta bahwa satu dari tiga orang perempuan di seluruh dunia selama hidupnya pernah mengalami kekerasan dalam skala yang berbeda. Minimal, setiap perempuan pasti pernah dipanggil dengan sebutan  tak sepatutnya, baik di ruang publik maupun privat. Komnas Perempuan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga memiliki data bagaimana kekerasan seksual yang selama ini dipersepsikan sebagian kalangan hanya terjadi di ruang publik, justru lebih sering terjadi di ruang privat dan angkanya bisa lebih banyak. 

Di sisi lain, UU TPKS menjadi salah satu isu yang bisa mempersatukan semua gerakan perempuan di Indonesia yang memiliki ragam dan concern berbeda. Setelah sekian lama gerakan perempuan di Indonesia terpecah dalam berbagai isu, apalagi di tengah situasi pandemi Covid-19, TPKS bisa menyatukan semuanya. Bahkan, isu TPKS mampu menyatukan organisasi-organisasi lintas sektoral, termasuk akademisi dan para profesor. Tingginya tingkat kekerasan seksual di lembaga perguruan tinggi disusul dengan lembaga keagamaan. Pada awalnya, teman-teman agak membatasi bahasan mengenai isu kekerasan seksual yang terjadi di lembaga-lembaga keagamaan karena khawatir dikaitkan dengan penodaan agama. Namun, menurut saya, tidak perlu khawatir karena substansi dari agama apa pun pasti berpihak pada korban. Kita perlu mengungkap sebuah model praktik kekerasan yang angkanya tergolong tinggi dan pelakunya memiliki relasi kuasa dengan korban.

Kenapa (proses legislasinya–red) lama? Isu terkait TPKS bukan sekadar kontestasi bagi gerakan perempuan, melainkan sudah masuk ke arena politik dan berkait dengan urusan elektoral. DPR sendiri merupakan lembaga politik yang dalam kerjanya senantiasa  menggunakan kalkulasi. Pada 2018, misalnya, eskalasi aksi menolak RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU KPK, dan lain-lain di luar perlemen sangat kencang. Kita harus memilih yang dianggap bagus dan secara elektoral tidak merugikan. Waktu itu Partai Kebangkitan Bangsa mendahulukan RUU Pesantren karena telah mendapatkan persetujuan dari semua fraksi. Kalau momentum itu dilewatkan, agak susah untuk mengulang. Sementara itu, (pembahasan-red) RUU TPKS  di tingkat partai politik belum selesai. Akhirnya RUU TPKS yang dikorbankan.

Di sisi lain, ada beberapa pihak yang maju “memainkan” isu anti-kekerasan seksual  untuk alat konsolidasi massa akar rumput. Misalnya, RUU TPKS berulang kali dituding sebagai promosi lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT), padahal isu itu tidak ada  kaitannya. Alih-alih menghadirkan informasi yang benar, tudingan itu digunakan untuk konsolidasi basis-basis massa yang sensitif dengan isu LGBT.

 

Perjalanan Berliku RUU TPKS

Mariana Amiruddin (MA): Mengapa proses legislasi RUU TPKS memakan waktu sampai 12 tahun? Awalnya banyak ditemukan berbagai bentuk dan tingkat kekerasan seksual, terutama terhadap perempuan, yang terjadi di masyarakat. Dahulu istilahnya bukan “kekerasan seksual,” tetapi umumnya disebut sebagai “perkosaan” saja. Banyaknya kasus kekerasan seksual,[1] mendorong Komnas Perempuan segera menginisiasi draf hukum yang dapat dipakai sebagai acuan melindungi masyarakat, terutama perempuan, dari tindak kekerasan seksual. Saat itu, KUHP lebih banyak menangani soal kesusilaan. Bentuk-bentuk kekerasan seksual belum terakomodasi dalam sistem hukum negeri ini. Bahkan, istilah kekerasan seksual sendiri masih dianggap tabu. Media umumnya enggan menggunakan istilah “kekerasan seksual”, melainkan cenderung menggunakan istilah “perkosaan.”

Komnas Perempuan kemudian menyusun kategorisasi tentang berbagai bentuk kekerasan seksual. Dari berbagai pengaduan yang masuk, kategorisasi yang kita susun makin terstruktur. Selanjutnya, bersama berbagai organisasi pro-feminis lain yang telah terkonsolidasi, Komnas Perempuan menyusun draf undang-undang yang salah satunya, karena efek jera dari regulasi yang ada saat itu tidak efektif, menekankan sanksi hukum bagi pelakunya.

Fraksi-fraksi di DPR-RI umumnya setuju dengan draf regulasi anti-kekerasan seksual. Namun, saat feminist legal theory, LGBT, dan consent (persetujuan) masuk di dalam draf tersebut, sebagian anggota dewan terlihat resistan. Khusus terkait dengan istilah consent, sebagian dari legislator menyatakan bahwa substansi RUU tersebut sama saja dengan melegalkan zina. Sementara itu, mereka memandang feminist legal theory dan LGBT sebagai “produk Barat.” Mereka yang resistan terhadap RUU versi masyarakat sipil menggalang aksi dengan melibatkan puluhan ribu orang. Tujuannya adalah menggagalkan RUU itu disahkan oleh parlemen.

LNM: Semula memang ada hambatan, dimulai dari kalangan masyarakat sipil. Mulai ada prasangka dari teman-teman di DPR bahwa siapa pun yang mendukung RUU TPKS memiliki agenda tersembunyi untuk melegalisasi LGBT. Prasangka itu cukup kuat dan kalau dilacak muncul dalam argumen-argumen yang terus-menerus diulang oleh pihak yang kontra. Saya tidak mendebat, tetapi lebih pada keharusan adanya strategi untuk menghadapi soal itu. Misalnya, saya bicara kepada teman-teman Komnas Perempuan untuk mundur beberapa langkah, tetapi tetap melakukan support materi di belakang dan silakan munculkan aktor yang baru entah organisasi Fatayat, Muslimat, atau publik luas, tetapi yang jelas progresif dan sudah “lulus” dari sisi perspektifnya tentang RUU TPKS. Itu untuk mengatur peran yang harus berada di depan merepresentasikan gerakan perempuan dan siapa yang sedikit di belakang. Akhirnya, muncul suatu konfigurasi baru yang mencakup semua bukan hanya ornop yang sebelumnya disangka pro-LGBT, mengampanyekan zina, freesex, dan macam-macam.

Referensi-referensi Fiqih, kitab-kitab, semua dikeluarkan. Karena informasi yang sampai ke publik harus seimbang, Badan Legislasi (Baleg) DPR kemudian mengundang sejumlah orang yang sangat kredibel dan qualified bicara TPKS dalam perspektif agama. Umumnya masyarakat Indonesia masih resistan dengan LGBT. Selain disangka akan mempromosikan seks bebas dan perzinaan, ternyata lebih banyak lagi yang resistan  terhadap RUU TPKS. Berkait  tudingan bahwa RUU itu pro seks bebas atau melegalkan LGBT, kami sampaikan bahwa hubungan seksual berdasarkan konsensual tidak menimbulkan korban, sedangkan yang tidak konsensual memang menimbulkan korban. Kita harus sangat hati-hati, karena bisa jadi korban itu semula seolah-olah memberi persetujuan. Yang perlu dilihat adalah keadaan saat itu. Apakah persetujuan diberikan karena korban ditekan atau takut kehilangan pekerjaan atau pengaruh orangtua terhadap anak, dan sebagainya. Di situ ada semacam relasi kuasa. RUU TPKS tidak mendorong seks bebas dan tidak "mengkriminalisasi” orientasi seksual. Kalau bicara kesusilaan, tempatnya ada di KUHP. Dalam kasus prostitusi, misalnya, RUU TPKS menyoal pemaksaan prostitusi karena angkanya yang tidak kecil, bukan menyoal prostitusi itu sendiri yang aturan hukumnya ada di KUHP.

Para pendukung RUU TPKS dianggap tidak Pancasilais dan tidak paham budaya Indonesia. Memang aneh, tetapi itulah narasi yang dibangun. Narasi tandingan harus dibuat untuk menyampaikan informasi yang berimbang sekaligus mendidik. Saya mengusulkan kepada teman-teman bahwa sudah waktunya para rohaniwan dan organisasi keagamaan menghadapi serangan pihak yang kontra terhadap isu kekerasan seksual yang umumnya selalu melihatnya dari sudut pandang kesusilaan atau moralitas. Di sejumlah organisasi keagamaan, kami kerap meminta “agamawan, ayo cek ajaran masing-masing dan bagaimana posisi korban kekerasan seksual menurut kacamata agama.” Semua harus bicara dengan menggunakan bahasa yang sama dalam konteks keagamaan masing-masing. Bagaimana kita seharusnya  melihat korban kekerasan seksual? Apakah mesti dibedakan hanya karena, misalnya, pelaku merupakan orang dekat, orang tidak dikenal, atau bahkan orang yang dalam status sosial dianggap sebagai rujukan moral? Forum Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (NU) pun tidak jarang membedah TPKS dalam perspektif dan kajian hukum agama. Hasilnya kemudian dipakai untuk membuat rumusan pemidanaan. Di sana ada pemberatan pidana terhadap pelaku yang punya hubungan kuasa sangat dekat, seperti orangtua, pengacara, dokter, dan lain-lain.

Saya pernah menyusun semacam policy memo sepanjang tiga halaman pada Agustus 2021. Intinya adalah presiden harus punya statement yang tegas dalam mendukung RUU TPKS. Saya menyampaikan policy memo itu kepada Presiden Jokowi melalui staf khusus beliau. Jadi, strateginya adalah mengepung dari semua sisi sampai ke top leader. Presiden Jokowi waktu itu didukung oleh koalisi sepuluh partai politik. Ketika Presiden secara terbuka menyatakan mendukung RUU TPKS, tidak lama kemudian partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju juga memberikan dukungan. Endorsement dari kepala negara itulah yang mempercepat proses pembahasan di DPR, meski tetap ada partai politik yang menolak sampai akhir RUU TPKS.

MA: Organisasi feminis dan Komnas Perempuan mengupayakan strategi lain. Di antaranya memadukan antara komunikasi dan edukasi dengan menjawab semua pertanyaan mengenai RUU TPKS melalui media. Upaya lainnya adalah menghimpun sejumlah mitra gerakan perempuan dari berbagai daerah dan menggalang para influencer. Para mitra dan influencer membuat video dan disebar melalui media sosial. Konten yang disajikan, antara lain, mengapa RUU TPKS penting untuk didukung. Imbasnya di publik cukup lumayan. Beberapa media mulai menurunkan headline secara berimbang antara yang pro dan kontra terhadap RUU TPKS.

Namun, aksi menggalang dukungan terhadap RUU TPKS ketiban dan terkesampingkan oleh meruyaknya isu Omnibus Law. Karena sudah tidak ada lagi celah untuk masuk ke DPR, kita akhirnya bergerak di luar bersama kawan-kawan LSM, mahasiswa, dan masyarakat luas, yang juga menolak RUU KUHP dan sekalian kita klaim sebagai massa yang pro RUU TPKS. Kelompok anti-RUU TPKS datang mengadang, memukul kendaraan yang kami tumpangi sambil berteriak-teriak “pelacur, dasar pelacur!” Dalam setiap aksi unjuk rasa, meski sudah tahu bakal di-bully, kami tidak memakai cara kekerasan. Kami hanya “bersenjatakan” peluit dan ditiup serentak oleh sekitar 200 orang ketika kami mulai di-bully. Akhirnya, mereka minggir dan mundur. Setelah itu, beberapa tokoh agama dipersilakan ceramah di atap mobil.

Ketika pandemi Covid-19 dan pergantian anggota DPR muncul wajah-wajah baru. Saat itu (2020), RUU TPKS dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan hal ini membuat kami sedih. Namun, kami kemudian menyusun draf baru. Istilah LGBT diganti dengan feminist legal theory. Dalam draf baru itu, istilah “konsen” sudah tidak ada lagi. Kita duduk bersama dan terus-menerus membekali anggota-anggota (DPR) baru tentang isi RUU TPKS sampai akhirnya mereka saling melobi. Kami hanya mengikuti dari luar dan membiarkan mereka bekerja. Pihak yang kontra terhadap RUU TPKS pun mulai tampak tak berdaya. 

Pada mulanya, ada gerakan politik yang tidak bisa kami lihat. Namun, kemudian kita tahu bahwa Presiden Jokowi mendukung dan menyetujui percepatan pengesahan RUU TPKS. Di sana, Pemerintah mendesak DPR untuk mempercepat proses pembahasan RUU itu. Kami juga melihat pihak-pihak yang semula mengambil posisi anti-RUU TPKS semakin lama semakin lembut. Saya tidak tahu apa yang terjadi di dalam gedung parlemen. Yang pasti  anggota DPR saling berjuang sampai akhirnya Ketua DPR RI Puan Maharani mengetuk palu pengesahan.

Tantangan dan Implementasi UU TPKS

P: Sejauh mana kawan-kawan yang tergabung dalam gerakan perempuan, termasuk legislator perempuan, memandang tindak lanjut UU TPKS di dalam praktik? Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam menyusun peraturan pemerintah (PP), termasuk mobilisasi kementerian dan lembaga-lembaga terkait. Apakah konsekuensinya seperti itu? Bukankah ada keharusan campur tangan lembaga-lembaga pemerintah atau kementerian terkait dalam mengimplementasikan UU TPKS?

MA: Presiden mengatakan bahwa tahun 2023 sudah harus ada aturan turunan. Namun, beberapa lembaga dan kementerian terkait tampak kebingungan mengimplementasikan UU TPKS. Mereka butuh pemahaman dan penjelasan lebih perinci. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) kemudian membentuk tim khusus untuk mengumpulkan secara rutin beberapa kementerian  dan lembaga untuk membicarakannya satu per satu. Saat ini, KPPA sedang menyelesaikan aturan turunan itu dan diharap sudah bisa diberlakukan pada Juni 2023. Kami sendiri dari Komnas Perempuan tengah membuat draf tentang mekanisme pemantauan pelaksanaan UU TPKS, sambil tetap memantau bagaimana implementasi undang-undang ini dijalankan.

LNH: Ini problem koordinasi sektoral. Dalam konteks tertentu, DPR berkolaborasi dengan Pemerintah. Kami dukung dalam penyusunan PP atau Perpres (Peraturan Presiden). Pemerintah seharusnya tetap membuka ruang-ruang partisipasi dengan meminta masukan dari masyarakat sipil. Jangan sampai PP atau turunannya bertolak belakang dari semangat, misi, dan tujuan utamanya. Sebenarnya, karena komunikasi tidak terlalu terbuka dan transparan, kami tidak bisa mendengar dan mengetahui lebih banyak sejauh mana proses yang sudah dilakukan pemerintah. Setelah 12 tahun memperjuangkan RUU TPKS, momentum penyusunan aturan turunannya tidak terlalu dijaga. Mendadak sunyi senyap, tetapi pasti akan dilakukan uji publik terhadap peraturan turunan UU TPKS.

Prosesnya memang berjalan sangat lambat dan lama. Aturan turunan yang sudah bisa diterbitkan, misalnya, terkait hukum acara sebaiknya memang diberlakukan lebih dahulu supaya aparat penegak hukum memiliki kesiapan. Karena butuh pengadilan khusus, maka polisi, jaksa, hingga hakim harus lulus training. Selama ini yang menjadi hambatan justru hukum acara pidana, terutama pelindungan bagi perempuan. Tatkala melapor ke kantor polisi, perempuan korban kekerasan seksual akan menghadapi pelecehan berikutnya melalui  pertanyaan tentang situasi kejadian, perasaan saat kejadian, dan sebagainya. Tidak jarang selama proses penyidikan, perempuan korban kembali mengalami kekerasan seksual, bahkan ada yang hamil karena diperkosa oleh pihak penyidik. Jaminan bahwa korban bisa menghadirkan cukup satu alat bukti berupa dirinya sendiri merupakan lompatan yang sangat berarti bagi hukum acara pidana di Indonesia untuk melindungi korban. Kami yakin bahwa lebih banyak korban yang tidak terdata atau terlaporkan karena tidak melapor atau gagal melapor disebabkan tidak dapat memenuhi kesaksian minimal dua orang, seperti yang dipersyaratkan dalam hukum acara pidana. 

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ditempatkan sebagai leading karena diharapkan bisa lebih sensitif menyikapi soal kekerasan seksual. Namun, tetap  harus diwaspadai karena kekerasan seksual bisa terjadi di berbagai tempat dan situasi, misalnya, di tempat penampungan dan pelatihan TKI yang juga rawan eksploitasi perbudakan, di sekolah, di pesantren, dan lain-lain. Korban berhak mendapatkan pelatihan, pendidikan, dan lain-lain. Artinya, perlu pelibatan kementerian dalam sistem terpadu bagi pelayanan korban kekerasan seksual, termasuk Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Kementerian Ketenagakerjaan, dan sebagainya. Namun, setiap kementerian punya versi masing-masing soal kekerasan seksual dan belum terjalin koordinasi yang baik, sedangkan  korban berjatuhan setiap hari. Korban tidak otomatis memperoleh benefit dari UU TPKS karena pemerintah lambat menyiapkan perangkat aturan yang dibutuhkan.

Sebagai perbandingan, aturan hukum keluarga dan perempuan di Brasil berada dalam satu kementerian dengan mengaitkan isu perempuan dan HAM. Saat penyusunan undang-undang, Brasil menghadapi resistansi dari kelompok keagamaan dan gereja. Namun, dalam tempo enam bulan setelah undang-undang disahkan, pemerintah baru mengetahui bahwa korban kekerasan seksual di Brasil sudah mencapai 15 juta orang. Tempat-tempat penahanan  langsung bekerja. Orang berdatangan untuk melapor. Psikolog, ruang pemeriksaan, ruang sel penahanan, dan ruang untuk menangani korban juga ada di tempat itu. Semua proses pengadilan kekerasan seksual tidak di Pengadilan Umum, namun ditangani oleh sebuah badan khusus. Satu kasus kekerasan seksual harus diselesaikan maksimal tiga hari.

Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) mengafirmasi kekerasan seksual bisa terjadi pada semua pihak, baik laki-laki maupun perempuan, meski faktanya korban terbanyak adalah perempuan. Undang-undang itu mengesahkan segala bentuk pelecehan seksual menjadi kekerasan seksual. Ada 19 jenis kategori kekerasan seksual dari yang semula (dalam draf awal - red) hanya sembilan jenis. Ada penambahan berupa kekerasan berbasis gender online (KBGO) dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Undang-undang itu  juga menghukum pelaku dalam konteks pemaksaan perkawinan dan kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga.

Hal tersebut pernah mendapat tentangan sangat keras pada beberapa tahun silam karena kekerasan seksual yang dilakukan oleh pasangan dianggap tidak bisa terjadi. Pada kenyataannya, hal itu bisa terjadi, misalnya dalam hubungan seksual suami-istri yang dipaksakan, apalagi disertai dengan kekerasan verbal dan nonverbal. Kemudian yang baru dari isi UU TPKS adalah memidanakan orang yang menikahkan korban dengan pelaku kekerasan seksual. Itu merupakan sebuah bentuk kejahatan yang lain. Peristiwa awalnya sendiri sudah merupakan kekerasan seksual. Bila korban kemudian dinikahkan dengan pelaku, sepanjang pernikahan akan terjadi kekerasan. Itu namanya kekerasan ganda. Beberapa negara di Timur Tengah yang menggunakan pendekatan semacam itu mulai mengoreksi peraturan yang ada tentang kekerasan seksual. Undang-Undang TPKS juga memasukkan tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh korporasi. Kita sepakat menjatuhkan hukuman pidana maksimum, sanksi yang sangat besar, serta larangan menempuh penyelesaian perkara di luar pengadilan.

Yang bersifat khusus, korban tindak pidana kekerasan seksual berhak mendapatkan restitusi dan layanan  pemulihan. Itu menjadi capaian yang sangat penting. Ada victim trust fund yang menggunakan konsep dana bantuan korban, yakni dana kompensasi negara kepada korban tindak pidana kekerasan seksual. Itu dimajukan oleh tim kecil, yang sebenarnya sudah tidak boleh lagi ada pembahasan karena sudah masuk tahap perumusan. Akan tetapi, itu hal penting dan berdampak serius bagi penanganan korban. Menteri Keuangan sendiri meminta supaya dana korban tidak boleh kecil. Kita lihat kemungkinan yang ada, misalnya, apakah dana publik dalam lembaga-lembaga seperti Baznas atau BPJS dapat digunakan untuk membantu korban kekerasan seksual.

 

Peradilan Khusus, Restitusi, dan Reparasi

P: Peraturan Pemerintah akan menjadi valid atau sah kalau sudah dicantumkan dalam undang-undang. Ada hukum acara spesifik dan kesiapan kelembagaan. Tadi dikatakan bahwa salah satu implementasi dari UU TPKS harus dibuat peradilan khusus, bukan peradilan umum. Namun, UU TPKS sendiri tidak menyatakan harus dibentuk peradilan khusus untuk penanganan kasus kekerasan seksual. Artinya, UU TPKS belum memberikan mandat secara spesifik mengenai peradilan khusus. Hal tersebut akan mempersulit pemerintah dalam menyusun peraturan perundang-undangan yang mengatur peradilan khusus untuk TPKS. Sependek pengetahuan saya, hukum acara di beberapa negara justru memasukkan kasus kekerasan seksual dalam peradilan umum. Ada perlakuan baik terhadap korban. Pelaku di bawah 18 tahun masuk peradilan anak. Jika ada usulan peradilan khusus tentu butuh upaya lebih lanjut dalam hukum acaranya.

Kemudian mengenai restitusi, bukan reparasi atau remedy. Dalam pengertian sangat umum, restitusi sebenarnya hanya salah satu bentuk dari rights to remedy atau pemulihan hak. Dalam suatu deklarasi tentang penghapusan kekerasan seksual, misalnya kekerasan LGBT, disebutkan standar internasional di bidang pemulihan untuk memerangi impunitas secara sangat detail. Rights to remedy atau reparasi merupakan sesuatu yang memang menjadi hak dari korban. Bentuknya bermacam-macam, satu di antaranya restitusi. Hak penting lainnya adalah reputasi, misalnya, nama baik, yang tidak boleh dibuka dalam konteks privasi. Bila hak-hak itu belum diatur dalam UU TPKS, menjadi pekerjaan rumah kita bersama untuk mendorongnya dalam PP-nya. Jadi, kalau bicara normatif, rights to remedy menjadi yang lebih umum, baru dalam turunan spesifiknya ada restitusi.

LNH: Mengenai peradilan khusus, hukum acara memang tidak menyebut secara eksplisit, meski ini adalah lex specialis. Sepertinya itu berkenaan dengan anggaran karena pasti dibutuhkan dana sangat besar. Yang diperkuat adalah semua aparat penegak hukum. Mereka harus memenuhi syarat dan kualifikasi, kompetensi, dan integritas sebagai penyelenggara peradilan bagi TPKS. Kalau korbannya anak, maka mengikuti Undang-Undang Perlindungan Anak. Namun, kalau masih pidana umum, penegak hukumnya harus punya kualifikasi khusus.

Mengenai pemulihan, itu banyak disebut dalam UU TPKS. Bahkan, untuk korban KBGO berhak atas penghapusan semua konten bermuatan seksual menyangkut kasusnya sehingga tidak mungkin bisa dilacak lagi. Siapa pun yang menyimpan dan menggunakannya lagi akan dipidana. Sejak dia melapor sebagai korban, di sini melekat soal rehabilitasi medis, rehabilitasi mental, dan rehabilitasi sosial. Korban berhak dalam pemberdayaan sosial dan restitusi adalah salah satu hak korban atas pemulihan. Korban juga berhak atas reintegrasi sosial dan aksesibilitas yang layak, karena kerap kali korban diasingkan atau malah terusir. Selain itu, masih ada hak lain dalam UU TPKS, di antaranya penanganan pelindungan keluarga korban dan saksi.

Restitusi dalam UU TPKS adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiel dan atau imateriel yang diderita korban atau ahli warisnya. Restitusi yang dimaksud dalam Pasal 30 UU TPKS adalah ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;  ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual; penggantian biaya perawatan medis dan atau psikologis dan atau ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual. Pidana denda berbeda dengan restitusi atau pidana lain menurut undang-undang. Hakim wajib menetapkan besaran restitusi terhadap tindak pidana kekerasan seksual yang diancam dengan pidana penjara empat tahun atau lebih.

Dalam konteks tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh korporasi, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan keuntungan dan atau kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana kekerasan seksual. Selain itu, pidana tambahan lainnya terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana kekerasan seksual adalah  pencabutan izin tertentu; pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu; pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan korporasi; penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha korporasi; dan atau pembubaran korporasi. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan menghitung kekayaan dan kerugiannya yang diajukan sejak kali pertama korban melapor. Pengadilan yang memutuskan sejak awal dengan “sita jaminan.”

Bagaimana jika pelaku tidak mampu membayar restitusi? Itu bisa diperdebatkan. Dalam Pasal 35 disebutkan bahwa bila harta kekayaan terpidana (pelaku) tidak cukup untuk membayar restitusi, negara memberikan kompensasi sejumlah restitusi yang kurang bayar kepada korban melalui Dana Bantuan Korban. Namun, hal itu harus jelas. Misalnya, pelaku tidak mampu secara materi, namun bila masih bisa bekerja dia tetap dianggap punya kemampuan membayar restitusi. Jika mampu secara materi, LPSK akan menghitung restitusi yang harus dibayar, tetapi dipisahkan dari harta keluarga pelaku—jangan sampai pihak lain menjadi korban dari tindakan yang dilakukannya. Jika tidak mampu secara materi ataupun tidak mampu bekerja untuk membayar restitusi, barulah negara mengambil alih. Itu yang saya maksud restitusi dalam UU TPKS bersifat khusus. 

P: Menurut human rights international standard, beban utama remedy tidak pada pelaku, melainkan menjadi kewajiban dan tugas negara serta dieksekusi oleh pemerintah. Dalam proses peradilan, pelaku dianggap masih “bebas” sebelum ada putusan hakim. Padahal, tatkala kali pertama melapor, korban sudah berhak dipulihkan. Selain soal peradilan khusus, UU TPKS  memasukkan restitusi tidak dalam pengertian standar sebagai rights to remedy, yang otomatis selalu ada dan inheren pada korban apa pun, termasuk korban tindak pidana kekerasan seksual.

Tampaknya ada semacam misconception dalam soal restitusi tadi dalam tradisi pemikiran klasik. Ini wilayah pidana dan memang ada pidana denda, namun wilayah ini  secara prinsipil sudah diambil alih  oleh negara. Itu bukan undang-undang perdata dengan ganti rugi dan segala macam dibebankan kepada pelaku. Hakim bisa saja memutuskan bahwa pelaku didenda, tetapi beban utama untuk rights to remedy seharusnya tanggung jawab atau tugas  negara. Itu yang kontradiktif. Kemudian istilah layanan atau services. Itu bukan layanan, melainkan obligasi dari negara. Layanan medis, rehabilitasi, dan segala macam itu seharusnya dalam kerangka normatif dirumuskan sebagai rights to remedy menurut satu prinsip aksi untuk memerangi impunitas. Dalam posisi rights to remedy, UU TPKS belum comply dengan human rights standard. Kalau rights to remedy dilihat keseluruhannya sebagai tanggung jawab, bahkan kewajiban atau tugas negara, dan pelaku itu bukan pelaku sebenarnya. Karena prinsipnya pelaku sudah dihukum.

MA: Kalau dalam perspektif HAM, remedy belum terlalu perinci diuraikan karena keterbatasan kita untuk menerjemahkannya ke dalam undang-undang. Itu salah satu kekurangan. Kita memang harus memperkuatnya dalam pembuatan peraturan perundangan. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memang berangkat dari gerakan perempuan yang kebanyakan menggunakan standar feminisme. Pada waktu itu, teman-teman aktivis HAM tidak bicara apa pun dan tidak terlibat dalam soal RUU TPKS. Yang terlibat benar-benar gerakan perempuan. Gerakan perempuan dan HAM adalah sesuatu yang kadang kala terpisah. Walaupun demikian, memang ada gerakan perempuan yang juga memakai standar HAM. Komnas Perempuan pun pakai standar HAM.

Komnas Perempuan bikin draf berdasarkan pengaduan langsung dari korban yang kemudian didokumentasikan. Kalau metodologi feminis itu justru mengangkat pengalaman menjadi pengetahuan yang paling utama, dalam hal ini pengalaman korban. Selama ini tidak ada undang-undang yang memasukkan pengalaman realitas kehidupan orang sampai ke kamar tidur. Pengalaman merupakan sesuatu yang sangat valid. Dari perspektif feminis, validitas akademik kita sebenarnya berada pada pengalaman langsung perempuan, bukan sesuatu yang berjarak jauh.

Upaya Melawan Impunitas

P: Artinya, dalam hal itu ada empirisme, namun tidak dikerangkakan dalam konstruksi normatif human rights standard. Kerangka itu diperlukan supaya tidak melompati sisi  praktis. Misalnya, perdebatan urusan restitusi mengenai istilah “pelaku yang mampu atau tidak mampu.” Itu bukan logic of criminal law melainkan masuk ke logika perdata, sehingga beban pembayaran restitusi ada pada pelaku. Itu karena tidak digunakan kerangka standar HAM yang spesifik. Yang dimaksud dengan “spesifik” adalah tindak pidana kekerasan seksual harus memenuhi prinsip-prinsip melawan impunitas. Ada sangat banyak impunitas terhadap pelaku kekerasan seksual. Lantas, bagaimana rencana aksi untuk memerangi impunitas?

Kita mesti belajar dan becermin diri dari kekurangan-kekurangan kita. Itulah pentingnya dialog. Kalau kita refleksi ke belakang, jangan-jangan problem pemahaman itu dimulai dari naskah akademiknya yang tidak cukup layak membuat minimum kerangka dengan rights to remedy atau rights to reparation di dalam aksi memerangi impunitas. Kita maunya memerangi agar layak dihukum. Korban mendapatkan hak-haknya kembali dan bisa dipulihkan. Dalam soal itu, restitusi hanya salah satu aspek saja.

Untuk advokasi, salah satu yang paling penting adalah mendesakkan terbitnya PP sebagai peraturan turunan UU TPKS. Kita sudah tahu letak pokok persoalan dan masalah dalam UU TPKS, sehingga kalau melakukan advokasi atau mendesak pemerintah untuk membuat PP, sudah tergambar secara lebih jernih. Sebenarnya kita sedang melakukan autokritik untuk melihat apa saja kelemahan yang ada, terutama karena RUU TPKS inisiatif gerakan sosial, yang dibantu oleh anggota parlemen dan mereka yang peduli, serta disambung menjadi usulan inisiatif DPR. Itu sebuah prestasi, tetapi di tengah-tengah prestasi ini pun masih banyak kekurangan dan kelemahan. Kekurangan dan kelemahan itulah yang hendak kita gali, termasuk pada diri gerakan sosial.

LNH: Sepanjang pengalaman saya, tidak ada proses penyusunan undang-undang di DPR yang sangat terbuka dan separtisipatif RUU TPKS. Tidak pernah terjadi sebelumnya di parlemen. Pengalaman perempuan yang sangat personal justru dipakai sebagai instrumen penting dalam penyusunan undang-undang. Itu yang membedakan UU TPKS dari semua undang-undang yang lain. Coba kalau kemudian pengalaman petani dijadikan dasar bagi sebuah undang-undang. Seperti apa dahsyatnya?

Nyaris hampir semua masukan dari berbagai pihak dipakai dalam penyusunan UU TPKS. Kami mengistilahkan ada three angle dalam penyusunan RUU itu: DPR, Pemerintah yang akomodatif, dan masyarakat sipil. Jika waktu itu ada masukan soal restitusi harus diletakkan dalam kerangka tanggung jawab negara, pasti akan dibahas. Persoalannya, pertama, mohon maaf, Komnas HAM tidak menyodorkan kerangka standar HAM sebagai pilihan yang harus kita kawal mati-matian. Kedua, masyarakat sipil memang tidak melakukan pendalaman khusus terkait restitusi. Yang didalami justru terkait jenis dan bentuk kekerasan seksual, karena ini soal momentum bagaimana supaya segera ada undang-undang yang melindungi warga negara dari TPKS.

Namun, itu semua merupakan pemenuhan HAM dan dikerangkakannya di situ. Pada akhirnya, tentu ada catatan apakah itu sepenuhnya diadopsi? Mesti ada kompromi, karena ini terkait dengan politik yang berpengaruh pada penyusunan undang-undang. Dalam hal restitusi, itu adalah soal kemampuan negara. Kita sudah bilang bahwa dalam situasi apa pun negara harus hadir dan bertanggung jawab. Namun, pemerintah berteriak tidak mau kalau seluruhnya dibebankan langsung kepada negara. Jadi, negara hadir dalam situasi tertentu yang bersyarat.

P: Negara sebagai “the lender of last resort” Akan tetapi, kalau itu dirumuskan sebagai rights to remedy dan rights to reparation, dalam undang-undang harus ada tuntutan terhadap tanggung jawab Pemerintah dan DPR menjalankan fungsi sebagai pengawas. Misalnya, apa yang bisa dilakukan bila korban tidak mendapatkan layanan medis? Hal seperti itu seharusnya dirumuskan dalam undang-undang. Secara konseptual, undang-undang juga harus bisa menuntut lebih jauh kepada negara.

Selanjutnya yang menjadi pertanyaan seberapa jauh hasil pemantauan terhadap terjadinya pelanggaran atas hak restitusi? Misalnya, pemantau, Komnas Perempuan, Komnas Anak, Komnas HAM, dan Komnas Disabilitas, sudah bertindak atas nama korban, menerima pengaduan, advokasi kasus dan sebagainya, tetapi kekuatan hukum seperti apa yang dihasilkan dari pemantauan tersebut untuk membuat pemerintah menjalankan kewajiban dan menunaikan rights to reparation dan rights to remedy. Setidaknya harus ada mekanisme standar, bagaimana jika hak-hak korban untuk pemulihan tidak bisa ditunaikan oleh negara melalui pemerintah. Apa konsekuensinya bagi negara?

LNH: Kalau hak-hak korban kekerasan seksual tidak dijalankan pemerintah karena tidak ada sanksi terhadap penyelenggaraan pelayanan terpadu, kita memasukkan pemantauan terhadap pelaksanaan UU TPKS melalui lembaga pemantau. Itu mestinya ada di dalam PP. Silakan Komnas Perempuan rumuskan sehingga bisa menjadi sangat kredibel sebagai penilai, dan pemantau. Jika HAM tidak dilaksanakan, kita bisa sampai pada satu simpulan apakah pemerintah melakukan pengabaian atau pelanggaran undang-undang, karena ada amanah undang-undang yang tidak dijalankan. Padahal, bila melanggar aturan perundangan, pemerintah bisa saja dimakzulkan.

Pemantau bekerja sesuai kapasitas melakukan pemantauan. Di DPR sendiri ada mekanismenya, pemantauan, lantas kesimpulan apakah negara mengabaikan undang-undang atau tidak. Ceknya ke presiden, karena fungsi dan tanggung jawab kewenangan itu bertingkat mulai dari pusat sampai daerah. Ada fungsi koordinatif, perencanaan, sampai implementasi yang melibatkan semua aras pemerintahan terkait. DPRD bekerja di kabupaten. Kalau konteksnya DPR, bisa memanggil gubernur untuk mengetahui implementasi undang-undang, apakah ada Peraturan Daerah terkait dengan itu. Memang secara umum, menjadi soal bagi kita kemudian, apakah pemerintah pernah “dihukum” karena tidak menjalankan undang-undang? ●  

 

 

[1] Pada 2016, menurut Mariana Amiruddin, ada dua kasus kekerasan seksual yang memicu kemarahan publik. Pertama, perempuan usia 19 tahun yang mengalami gang rape karena menolak berhubungan seksual dengan pacarnya. Kedua, anak perempuan usia14 tahun yang diperkosa dan disiksa hingga tewas.